Anda di halaman 1dari 26

1

Kontroversi Pemahaman dan Pengamalan Syariat


Jamaah Zikir Ya Allahu di Kota Gorontalo
Oleh: Muhammad Gazali Rahman

Abstrak
Perkembangan tasawuf tetap eksis di beberapa wilayah meskipun tidak
disebut dengan nama-nama kelompok tarekat yang masyhur sebagaimana halnya
Naqsyabandiah, Khalwatiah, dan sebagainya, melainkan dalam bentuk-bentuk
majelis zikir yang eksklusivitasnya tidak jauh berbeda dengan kelompok tarekat yang
masyhur. Gorontalo pun tidak lepas dari perkembangan jamaah atau majelis zikir
yang bernuansa tasawuf, baik dari segi lafaz zikir yang khas digunakan, maupun
praktik ibadah lainnya yang secara umum banyak berbeda dari fikih yang
diaktualkan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Salah satu dari majelis zikir
tersebut adalah Jamaah Zikir Ya Allahu. Beberapa perbedaan dalam praktik ibadah
di temukan di majelis zikir ini mulai dari zikir setelah salat, penentuan awal puasa
dan 1 Syawal, macam-macam zakat, hingga pada paham tentang haji dan kurban.
Penelitian ini juga menemukan adanya kecenderungan pemahaman yang bercorak
sufistik atau batiniah pada Jamaah Zikir Ya Allahu ini. Pemahaman tersebut seolah
mengilustrasikan adanya birokrasi alam gaib yang diyakini terlibat mengawasi,
mengevaluasi dan memandu mereka untuk sampai pada puncak tertinggi dari tujuan
ibadah. Asumsi lain yang terhadap keberadaan birokrasi alam gaib tersebut adalah
bahwa sosok-sosok yang hadir secara gaib tersebut merupakan jembatan atau wasilah
(tawassul) mereka untuk sampai kepada Sang Mahagaib. Hal ini hampir mirip
dengan tata cara yang dilakoni oleh kelompok-kelompok tarekat dengan cara
membayangkan mursyid mereka ketika berzikir atau menjadikan mursyid sebagai
wasilah yang menuntun dalam meniti maqa>mat dan ahwa>l untuk hingga
menembus tirai kegaiban.

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Menarik untuk melihat perkembangan antara golongan fukaha yang
terlembagakan dalam institusi ulama, qadi, atau mufti dengan golongan sufi yang
muncul dalam bentuk-bentuk tarekat-tarekat ataupun kelompok zikir yang masing-
masing pihak hampir tidak pernah sepaham satu sama lain. Dalam kasus al-Halla>j
misalnya, golongan fukaha yang menitikberatkan pada aspek hukum formal ajaran
Islam tampak lebik agresif dengan mengatasnamakan “syariat”. Dalam kenyataan
sejarah, gerakan sufi atau tarekat menjadi populer dan menarik perhatian dan minat
orang awam. Kelompok-kelompok tersebut ternyata lebih dapat adaptatif dan
akomodatif dengan kebudayaan setempat. Hingga saat ini, aspek tasawuf sebagai
bagian dari dimensi ajaran Islam masih tumbuh eksis di tengah umat meskipun
2

beberapa bagian dari praktik-praktik fikih yang mereka jalankan berbeda dengan
praktik fikih mayoritas umat Islam di sekitarnya.
Perkembangan tasawuf ini tetap eksis di beberapa wilayah meskipun tidak
disebut dengan nama-nama kelompok tarekat yang masyhur sebagaimana halnya
Naqsabandiah, Khalwatiah, dan sebagainya, melainkan dalam bentuk-bentuk majelis
zikir yang eksklusivitasnya tidak jauh berbeda dengan kelompok tarekat yang
masyhur tersebut. Gorontalo pun tidak lepas dari perkembangan jamaah atau majelis
zikir yang bernuansa tasawuf, baik dari segi lafaz zikir khas yang digunakan,
maupun praktik ibadah lainnya yang secara umum banyak berbeda dari fikih yang
diaktualkan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Salah satu hal yang masih nampak dan menguntungkan di Gorontalo adalah
kondisi masyarakatnya yang masih homogen dalam satu agama (mayoritas Islam)
dan adat istiadat. Homogenitas ini masih memungkinkan untuk mengurangi
terjadinya perbenturan antar budaya sebagaimana lazimnya corak masyarakat yang
heterogen dan plural. Sebab pada masyarakat yang heterogen dalam sisi etnis dan
budaya akan membentuk pelapisan sosial dan individual group yang semakin
dominan dan menjadi tidak terhindarkan disebabkan oleh adanya perbedaan status
sosial, ekonomi maupun kultur masyarakat yang variatif.
2. Rumusan Masalah
Pokok masalah dalam penelitian ini difokuskan pada penelusuran tentang
bagaimana pengamalan ibadah jamaah zikir Ya Allahu di Gorontalo. Pokok masalah
tersebut selanjutnya dijabarkan dalam beberapa sub masalah sebagai berikut: 1)
Bagaimana praktik ibadah salat, puasa, zakat, haji dan kurban perspektif jamaah zikir
Ya Allahu; 2) Bagaimana perspektif syariat terhadap praktik ibadah jamaah zikir Ya
Allahu tersebut; 3) Bagaimana perspektif tasawuf terhadap praktik ibadah jamaah
zikir Ya Allahu tersebut.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif lapangan yang berjenis studi
kasus. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai
aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu
program, atau suatu situasi sosial. Dalam mempelajari semaksimal mungkin seorang
individu, suatu kelompok, atau suatu kejadian, penelitian ini bertujuan memberikan
pandangan yang lengkap dan mendalam mengenai subjek yang diteliti. Sifat khas
3

dari studi kasus adalah mampu mempertahankan keutuhan (wholeness) dari objek,
artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari sebagai suatu
kesatuan yang terintegrasi. (N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln, 1994: 236).
Pendekatan penelitian ini memiliki dua perspektif yaitu: 1) pendekatan
metodologi; dan 2) pendekatan studi atau keilmuan. Secara metodologis, penelitian
ini menggunakan pendekatan fenomenologis, (Imam Suprayogo dan Tobroni, 2003:
103-104), sebab penelitian ini bertujuan untuk mendapat data yang terkait dengan
realitas jamaah zikir Ya Allahu yang dianalisis lebih lanjut dan dikaji sebagai
fenomena ibadah yang mengakomodir unsur tasawuf dan syariat yang bersifat
objektif. Oleh karenanya, pendekatan fenomenologi ini berperan ketika melakukan
observasi terhadap praktik ibadah jamaah zikir Ya Allahu yang “berbeda” dari
mayoritas Muslim serta ketika melakukan wawancara dengan pimpinan maupun
anggota jamaah zikir. Adapun pendekatan keilmuan yang relevan digunakan adalah
pendekatan fikih, filsafat, dan sufistik.
Penelitian ini dilakukan di Kota Gorontalo, tepatnya di jalan Bali Kecamatan
Kota Tengah, yakni di rumah pimpinan/ketua jamaah zikir Ya Allahu. Rumah
tersebut saat ini ditetapkan sebagai markas besar jamaah zikir Ya Allahu. Pemilihan
lokasi ini karena jamaah zikir Ya Allahu dibentuk dan didirikan di Kota Gorontalo
tanpa memiliki cabang di tempat lain. Dengan demikian, penelitian ini pada dasarnya
bersifat eksploratoris, yaitu penyelidikan secara mendalam dengan cara terlibat
langsung dengan obyek yang sedang diteliti. Dalam hal ini adalah terlibat langsung
dalam aktivitas jamaah zikir di Gorontalo untuk melihat langsung praktik ibadah dan
pemahaman di balik praktik ibadah tersebut.
4. Penelitian Terdahulu
Kajian tentang jamaah zikir yang bercorak tarekat atau tasawuf serta yang
identik dengan kelompok ini belum banyak diteliti, khususnya dalam kaitannya
dengan implementasi syariah mereka. Adapun kepustakaan fikih atau syariat yang
relevan dalam penelitian ini misalnya dapat dilihat pada tesis karya Arifin Pakaya
yang berjudul Corak Pemikiran Fikih Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Hasil penelitian
ini menjelaskan bahwa pemikiran fikih ‘Abd al-Qa>dir al-Jailani> bercorak sufistik
dan salafi (tradisionalis). Corak pertama ditandai dengan tiga pendekatan:
pemaknaan simbolik atas ketentuan legal; penemuan makna terdalam dari ibadah
formal (hakikat ibadah); dan penafsiran alegoris (takwil). Sedangkan corak kedua,
terlihat dalam persoalan berikut: mencukur kumis dengan silet, memanjangkan
4

jenggot, mencabut uban, dan mengecat rambut dengan warna hitam adalah makruh
hukumnya. Ketentuan ketiga hal tersebut termaktub secara literal (dila>lah
lafz}i>ah) dalam hadis nabi saw. Pemahaman literalis terhadap hadis, adalah ciri
menonjol dalam pemikiran hukum mazhab Hanbali. (Arifin Pakaya, 2004: 78-97.).
Sofyan AP. Kau dalam penelitian tesisnya juga mengungkapkan upaya
rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf yang dilakukan oleh Ima>m al-Ghaza>li>.
Tesis yang berjudul Corak Fikih Imam al-Ghazali; Kajian terhadap Kitab Ihya’
Ulum al-Din ini menyimpulkan adanya dua corak fikih Ima>m al-Ghaza>li> yang
menonjol, yakni corak sufistik dan corak filosofis atau rasionalis-spekulatif. Corak
sufistik ini mencerminkan keterpaduan antara fikih dan tasawuf. Ada dua pendekatan
yang dilakukan al-Ghaza>li> dalam membangun fikih sufistik: 1) menggunakan
istilah-istilah tasawuf ke dalam istilah teknis fikih; dan 2) menemukan makna
terdalam dalam setiap aturan formal fikih. Sebuah corak yang menegaskan bahwa
fikih tidak hanya berdimensi lahiriah, tapi juga batiniah. (Sofyan AP. Kau, 2000: ii).
Oleh karena penelitian ini mengkaji kelompok yang erat kaitannya dengan
aspek tasawuf atau tarekat, maka telah ditelusuri pula beberapa karya tulis yang
mengkaji tentang tasawuf atau tarekat. Beberapa penelitian yang masih dapat
dikategorikan relevan misalnya yang ditulis oleh Sunyoto Usman dalam judul
Komunitas Tarekat dan Politik Lokal di Era Orde Baru. Penelitian yang difokuskan
di daerah Kudus-Jawa Tengah ini lebih menekankan pada aspek intervensi negara
terhadap kehidupan komunitas keagamaan yang menyentuh pula pada basis sosial
komunitas tarekat. Sikap taklid jamaah tarekat terhadap imam, badal, atau mursyid
mereka tampaknya telah dimanfaatkan oleh elit partai tertentu di masa Orde Baru
untuk tujuan politik. Fenomena taklid di kalangan kelompok tarekat paling tidak ikut
memengaruhi afilisasi politik mereka. (Sunyoto Usman, 1998).
Penelitian yang juga relevan dengan kajian ini misalnya yang ditulis oleh
Nurhayati dengan judul Karakteristik Pengamalan Tarekat Naqsyabandiyah
Khalidiah di Kota Palu. Hasil penelitian ini mengungkapkan terdapatnya dua
karakteristik pokok yang dimiliki oleh jamaah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah
dalam menjalankan ritualitas ibadah (amalan), yaitu: pertama, perilaku dalam
berhubungan kepada Allah swt. melalui jalur wasilah sebagai mediator dalam
beribadah dengan pengamalan ritualitas ibadah yang lebih mengedapankan
ketenangan ruhani, tanpa diiringi oleh suara dan gerakan badan. Kedua, perilaku
dalam berhubungan dengan guru (mursyid). Selama menjadi jamaah tarekat, seorang
5

murid (sa>lik) dituntut untuk patuh dan hormat sepenuhnya pada segala perintah
guru dalam menjalankan amalan tarekat yang telah diterimanya sesuai aturan dan
tatakrama yang berlaku di lembaga Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, baik dalam
konteks pribadi ataupun sosial. (Nurhayati, 2006: xii).
Kontekstualisasi tentang pengamalan sufisme Tarekat Naqsyabandiyah
Khalidiyah dalam kehidupan meliputi; zikir, tawajjuh, ziarah, sedekah, ubudi>ah,
dan suluk. Keenam ajaran pokok tersebut harus diamalkan dengan kontinyu oleh
setiap jamaah dengan mengutamakan aspek ruhani (spiritual) melalui jalur wasilah
untuk berhubungan kepada Allah swt. (Nurhayati, 2006: xii). Penelitian ini pada
dasarnya mendeskripsikan pengamalan tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah
sebagaimana lazimnya amalan-amalan pada terekat muktabarah lainnya sehingga
tidak sampai menyinggung aspek syariat yang kemungkinan dapat dipertemukan
dalam warna-warna tasawuf. Begitu pula Dadang Kahmad dalam tulisannya Tarekat
dalam Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern menyajikan hipotesis tentang
kebangkitan kembali tarekat di pedesaan serta revitalisasi sufisme perkotaan.
(Dadang Kahmad, 2002: 122).
5. Kajian Teoretis
Seiring dengan hadirnya Islam, percampuran unsur-unsur agama dari fase
primitif dan fase arkeik di Gorontalo menemui titik temu dengan unsur tasawuf yang
dibawa oleh Islam. Penting dicatat bahwa sejarah keagamaan di Gorontalo sejak
zaman purba tidak mengenal politeisme. Sejak dulu telah dikenal prinsip taguwata
tomita no oto mita niya atau dengan kata lain eya tuwawu loqu tuwawu liyo (Tuhan
yang Mahaesa dan Kemahaesaan Tuhan). Gorontalo di era Islam, meskipun terdapat
sinkretisasi ajarannya dengan unsur-unsur primitif dan arkeik, tetapi inti keagamaan
berkaitan dengan sesuatu yang sakral segera ditarik ke wilayah akidah (tauhid).
(Alim S. Niode, 2007: 141).
Terlepas dari itu, islamisasi secara kultural maupun struktural di Gorontalo
menurut Nani Tuloli diindikasikan dengan beberapa hal yaitu: 1) masuknya simbol-
simbol islami ke dalam peradatan; 2) penggunaan ayat-ayat suci Alquran dan hadis
dalam wacananya; 3) pelaksana yang terdiri atas tokoh adat dan agama, serta; 4)
sering dikaitkan dengan tempat ibadah yaitu masjid sebagai tempat pelaksanaan.
Kegiatan adat itu antara lain: perkawinan, kematian, penyambutan, penobatan,
gunting rambut, pemberian nama, awal masa haid dan sunatan, selamatan hamil,
peringatan-peringatan hari-hari besar Islam, dan lain-lain. Dalam proses peradatan
6

ini, tidak dapat dipisahkan antara adat dan agama, keduanya sudah merupakan
keterpaduan yang saling menguatkan dan memberi makna. (Nani Tuloli, 2004: 71).
Pengamalan syariat yang dimaksudkan dalam penelitian ini pada dasarnya
difokuskan pada aspek ibadah mah}d}ah yang dipraktikkan oleh jamaah zikir Ya
Allahu, yakni meliputi aspek tentang salat, puasa, zakat, haji dan kurban. Kelima
aspek tersebut menjadi kontroversial oleh karena beberapa hal yang berbeda dari
praktik mayoritas Muslim. Secara teorretis, makna ibadah sebagaimana yang
diungkapkan oleh Muhammad bin S{a>lih} al-Us\aimin dalam Syarh S|ala>s\at al-
Us}u>l adalah suatu bentuk perendahan diri kepada Allah yang dilandasi dengan
rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan dalam syariat-Nya.
(Al-Us\aimin, 1424 H: 23).
Ibadah/amalan akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah jika
memenuhi tiga syarat, yakni akidah yang benar, ikhlas, dan ittiba’. Ikhlas artinya
ibadah itu hanya diperuntukkan kepada Allah dan tidak dipersekutukan dengan
selain-Nya. Ini merupakan kandungan dari ikrar syahadat yang mendeklarasikan
tiada Tuhan selain Allah. Lawan dari ikhlas adalah syirik, riya, dan sum’ah. Riya
adalah beribadah karena ingin dilihat, sedangkan sum’ah adalah beribadah karena
ingin didengar. Ittiba’ maksudnya adalah setia dengan tuntunan/sunah nabi
Muhammad saw., tidak mereka-reka tata cara ibadah yang tidak ada tuntunannya.
Ini merupakan kandungan dari ikrar syahadat yang mendeklarasikan kerasulan nabi
Muhammad saw. Lawan dari ittiba’ adalah ibtida’ atau membuat bidah. Bidah
adalah tata cara beragama yang diada-adakan dan menyaingi syariat, dimaksudkan
dengannya untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah. (Al-Faqi>hi>, 1414
H: 13).
Dengan demikian, penyimpangan terhadap konsep ibadah yang telah baku
dalam fikih lazim diistilahkan dengan bidah. Bidah secara etimologi menurut Ibnu
Manzu>r adalah bada‘a al-syai’a, yabda‘uhu bad‘an wabtada‘ahu, artinya
menciptakan sesuatu atau mengawali penciptaan sesuatu. Badda‘a al-raki>ah,
artinya menggali sumur dan membuatnya. Al-Badi>‘u dan al-bid‘u, artinya sesuatu
yang menjadi awal permulaan. (Ibnu Manz\u>r, 1993: 6-8). Pengertian tersebut
memberi makna bahwa yang dimaksud dengan kata bada‘a adalah mengadakan
sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, secara umum. Para ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikan bidah menurut terminologi syar‘i (istilah syariat). Ada yang
7

menjadikannya sebagai lawan dari sunah; dan ada pula yang menjadikannya
sebagai perkara umum, yang mencakup semua perkara yang diada-adakan setelah
zaman rasul, baik yang terpuji maupun yang tercela.
Hamka Haq yang memgutip al-Muwa>faqa>t, menjelaskan bahwa
penyembahan manusia kepada Tuhan dapat dibedakan dalam dua bentuk. Pertama,
ibadah yang fungsi utamanya mendekatkan diri kepada Tuhan, yakni beriman
kepadanya dengan segala konsekuensinya yang disebut dengan ibadah mah}d}ah.
Kedua, pergaulan muamalah yang berlaku menurut tradisi kebiasaan untuk
kemaslahatan hidup manusia. Adapun yang pertama adalah hak Allah, sedang yang
kedua adalah hak hamba (al-ma’qu>lat al-ma’na). (Hamka Haq, 1995: 136;
Fathurrahman Djamil, 1997: 41).
Oleh karena bersifat ta’abbudi> murni, maka ide dan konsep yang
terkandung di dalam ibadah tak dapat dinalar (irrasional), sehingga manusia harus
menerima apa saja yang ditetapkan syariat. (Hamka Haq, 1995: 137). Dalam hal ini
ibadah menyangkut hak Allah (huqu>qulla>h). Oleh karena itu, pengaturannya
tergantung pada Allah dan rasul-Nya sendiri, sehingga ketentuan dalam bidang ini
sudah cukup terinci diberikan baik dalam Alquran maupun dalam sunah Rasulullah
saw.
Berpijak pada pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh para ulama
tersebut maka telah jelas bahwa ibadah dalam konsepsi syariat memiliki kriteria
yang mengacu kepada syarat-syarat berikut:
a. Ibadah dibagi atas dua jenis, yaitu ibadah mahd\}ah dan ghairu mahd}ah.
b. Setiap ibadah harus dilandasi oleh akidah yang benar, yakni berlandaskan pada
tauhid atau persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya.
c. Setiap ibadah harus disertai dengan niat yang benar serta dilakukan dengan
ikhlas, yakni semata-mata untuk mengharapkan rahmat, berkah, dan rida Allah.
d. Khusus pada ibadah mahd}ah, harus memiliki landasan nas atau dalil, yakni
merujuk kepada petunjuk Alquran, hadis-sunah, dan ijma ulama (ittiba’).
e. Ibadah pada asalnya adalah dilarang sampai ada dalil yang memerintahkannya.
f. Tidak melakukan bidah dalam ibadah mahd}ah, yakni tidak mengubah,
menambah, ataupun mengurangi rukun, syarat, dan ketentuan lainnya yang
telah disepakati ulama.
8

Perspektif tasawuf juga memiliki cara pandang berbeda dengan perspektif


syariah dalam urusan ibadah mahd}ah. Perspektif tasawuf tidak ingin terjebak
dengan aturan-aturan fikih yang secara baku telah menentukan aturan-aturan dalam
aspek ibadah, baik hal itu menyangkut syarat, rukun, maupun sunah-sunah lainnya.
Untuk dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap ibadah misalnya, sufi tidak
membatasi jumlah dan jenis zikir yang harus dilafazkan. Pelaku tasawuf
memandang bahwa setiap makhluk memiliki potensi pengalaman mistik, batin,
atau esoterik. Sehingga untuk sampai ke puncak pengalaman batin, pelaku tasawuf
tidak ingin terjebak pada waktu, tempat, atau tata cara.
Sisi lain yang juga ditemukan dalam ajaran tasawuf yang hampir tidak
memiliki titik temu dengan ajaran syariat adalah ketika perspektif tasawuf
memandang konsep ibadah dalam tataran tarekat, hakikat, dan makrifat, dan ketiga
hal itu mempersyaratkan adanya mursyid atau guru sebagai pembimbing spiritual
agar seorang yang meniti jalan tasawuf tidak melenceng dari tujuan akhir mereka,
yakni bersatunya Khalik dan makhluk, penyembah dan yang disembah (al-‘abi>d
wa al-Ma’bu>d) dalam ibadah.
Perbandingan konsepsi ibadah antara paradigma syariat dengan tasawuf
selanjutnya dapat dilihat pada tabel berikut:

PARADIGMA SYARIAT PARADIGMA SUFISTIK


- Tidak ada ibadah jika tidak ada - Tidak semua ibadah ada perintahnya.
perintahnya. - Semua ibadah adalah bentuk tawassul.
- Tidak ada tawassul dalam ibadah. - Fleksibilitas fikih tidak harus mengacu
- Vonis bidah, sesat dan menyimpang pada mainstream.
terhadap praktik yang tidak berdalil. - Pendapat imam/mursyid tidak terikat
- Fleksibilitas fikih tetap mengacu pada oleh mazhab fikih.
maslahah.

B. Pembahasan
1. Profil Majelis Zikir Ya Allahu
Majelis Zikir Ya Allahu didirikan oleh H. Muchtar bin Yasin Ibrahim sekitar
tahun 1980 di Gorontalo. Tidak seorang pun dari anggota jamaah yang dapat
memastikan tanggal dan bulan berdirinya majelis zikir ini. H. Muchtar yang
kesehariannya dipanggil dengan nama Om Panja adalah warga asli Gorontalo yang
lahir pada tanggal 28 Oktober 1946. Anak pertama dari tujuh bersaudara ini lahir dari
pasangan Yasin Ibrahim (ayah) dan Oku Ibrahim Aku (ibu). Pensiunan Pegawai
9

Negeri Sipil yang hingga akhir hayatnya tidak menikah ini juga mendapatkan
sertifikat haji meskipun tidak pernah berangkat ke Masjidil Haram (Mekkah).
(Asyura Ibrahim, 2016: Wawancara).
Sulaiman Ibrahim, salah seorang jamaah menuturkan alasan bagaimana H.
Muchtar bisa memperoleh sertifikat haji. Menurutnya, pada saat musim haji tiba, H.
Muchtar selalu memberikan infak yang dititipkan melalui salah seorang keluarga
ataupun jamaah yang hendak berangkat haji untuk diberikan kepada pengurus
Masjidil Haram. Infak yang diniatkan sebagai sumbangan pembangunan Masjidil
Haram tersebut diberikan setiap tahun hingga suatu ketika setelah ia wafat salah
seorang pengurus Masjidil Haram yang tidak diketahui namanya menanyakan asal-
usul sumbangan tersebut. Setelah diceritakan tentang asal-usul sumbangan tersebut,
akhirnya pengurus Masjidil Haram tersebut menghajikan H. Muchtar secara badal
dan kemudian memberikan sertifikat haji untuk diserahkan kepada keluarga H.
Muchtar. (Suleman Ibrahim, 2016: Wawancara).
Menyimak penuturan beberapa jamaah dan berdasarkan pengakuan keluarga
dekatnya, diketahui kemudian bahwa H. Muchtar adalah sosok yang religius sejak
masih usia belia. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Husin Ibrahim, bahwa sejak
usia 10 tahun, H. Muchtar terlihat telah biasa melakukan berbagai amal ibadah baik
yang wajib maupun yang sunnat. Bahkan dapat dikatakan hal itu ia lakukan tanpa
terputus sedikitpun. Ia pun disebutkan tidak pernah batal dari wudhu dan selalu
ditemukan sedang melakukan zikir atau amalan-amalan sunnat lainnya seperti salat
duha, salat hajat, salat tobat, ataupun salat lail. (Husin Ibrahim, 2016: Wawancara).
Sebagaimana dituturkan pula oleh Nurhayati, bahwa kontinuitas amalan-
amalan tersebut dilakukan oleh H. Muchtar selama 5 tahun, hingga pada usia 15 tahun
ia memperoleh “ilmu laduni” yang ditandai dengan hadirnya petunjuk atau ilham
melalui mimpi berupa susunan-susunan zikir sesuai dengan jenis salat dan hajat yang
akan dilakukan. Bahkan H. Muchtar setelah itu diakui dapat mengobati berbagai
penyakit dan keluhan sehingga ia kemudian banyak didatangi oleh orang-orang dari
berbagai daerah ataupun luar daerah Gorontalo yang sengaja datang untuk berobat.
Sebagian dari mereka yang berhasil disembuhkan kemudian ikut bergabung menjadi
anggota Majelis Zikir Ya Allahu. (Nurhayati, 2016: Wawancara).
H. Muchtar juga dikenal sebagai orang yang dermawan. Salah seorang
jamaah juga menceritakan bahwa setiap hari H. Muchtar memberikan sedekah baik
10

kepada kerabat yang fakir ataupun kepada pengemis yang datang ke rumahnya. Jika
ia ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari, tidak pernah sekalipun ia menawar
harga barang yang hendak dibeli. Namun anehnya, para pedagang selalu melebihkan
jumlah barang yang dibeli tersebut. (Pasisa, 2016: Wawancara).
Berbagai kisah menarik yang dituturkan oleh beberapa orang jamaah tentang
akhlak, ilmu, dan religiusitas H. Muchtar, para jamaah Majelis Zikir Ya Allahu
meyakini bahwa ia telah mencapai tingkat makrifat dan diyakini pula sebagai
seorang waliyullah. H. Muchtar wafat pada hari Rabu tanggal 21 Maret 2001 pukul
14.00 wita dan dimakamkan di halaman masjid yang sengaja dibangun khusus untuk
jamaah zikir Ya Allahu. Ia meninggalkan pengikut yang tersebar di seluruh pelosok
Gorontalo, Manado, Bolaang Mongondou, Bitung, Makassar, Palu, dan Jakarta, yang
masing-masing daerah ada pimpinan zikirnya. (Mubarak, 2016: Wawancara).
Pendapat para jamaah yang menilai dan mengatakan H. Muchtar sebagai
waliyullah ataupun telah mencapai tingkat makrifat tampaknya wajar jika hal itu
disandarkan kepada teori dan aplikasi tasawuf. Sebagaimana dipahami bahwa para
sufi yang mencapai tingkat makrifat dalam pencapaian tasawufnya terlebih dahulu
melakukan berbagai proses riyadah atau mujahadah yang tidak mudah. Berbagai
amalan ibadah dilakukan oleh para sufi untuk mencapai hal tersebut. Dimulai dari
upaya pembersihan diri dan hati hingga melalui zikir-zikir tertentu yang semua hal
itu dimaksudkan untuk lebih dekat (taqarrub) kepada Allah swt.
Adapun anggota jamaah Majelis Zikir Ya Allahu hingga saat ini tidak dapat
dipastikan jumlahnya, sebab masing-masing jamaah yang telah menguasai wirid
zikir diperbolehkan untuk membuka majelis zikir di rumah masing-masing dan
hanya berkumpul di dua markas besar ketika bertepatan dengan hari-hari besar Islam
seperti Idul Adha, Maulid, Israk Mikraj, atau peringatan tahun baru Hijriah. Ketika
jamaah berkumpul pada hari-hari besar tersebut maka ruangan zikir terkadang tidak
mampu menampung kapasitas jamaah yang diperkirakan lebih dari 200 orang.
Hal yang juga menarik dari Majelis Zikir Ya Allahu ini adalah mengenai
zikir yang selalu diwiridkan di setiap selesai salat baik salat sunnah tertentu ataupun
salat wajib. Setiap zikir disesuaikan dengan waktu salat atau berdasarkan hari
pelaksanaannya. Adapun susunannya adalah sebagai berikut:
1) Zikir malam Jumat adalah zikir al-Qadr dan zikir al-Ikhlas.
11

2) Zikir malam Sabtu adalah zikir al-Ikhlas.


3) Zikir malam Ahad adalah zikir al-Ikhlas.
4) Zikir malam Senin adalah zikir al-A’la dan zikir al-Insyirah.
5) Zikir malam Selasa adalah zikir al-’Asr dan zikir al-A’la.
6) Zikir malam Rabu adalah zikir al-A’la dan al-’Asr.
7) Zikir malam Kamis adalah zikir al-Qadr dan zikir al-Ikhlas. (Suleman
Ibrahim, 2016: Wawancara).
Dari semua macam-macam zikir yang ada, zikir di majelis ini menurut bapak
Usu’ memiliki enam macam inti zikir dari semua zikir, yakni: 1) zikir tujuh; 2) zikir
lagu besar; 3) zikir lagu empat; 4) zikir subhanallah al-azim wa bihi da’iman abadan;
5) zikir subhana malik al-quddus; dan 6) zikir subbuhun quddusun rabbuna wa rabb
al-mala’ikati wa al-ruh. (Suleman Ibrahim, 2016: Wawancara).
Di setiap waktu salat, terdapat pula Zikir Penangkal yang dibaca sebelum
melakukan salat. Dalam praktiknya, ketika membaca Zikir Penangkal ini, telapak
tangan harus dihadapkan ke bawah pada saat membaca lafaz doa tertentu (doa tolak
bala) dengan maksud menolak atau menahan bala. Hal lain yang ditemukan pula
pada majelis zikir ini adalah adanya doa sebelum dan sesudah azan yang berbeda
dari mainstream syariat. Sebelum azan, muazin melafazkan basmalah sebanyak 3
kali, lalu melafazkan ayat: inna Allah wa mala’ikatahu yusalluna ‘ala al-nabi… (al-
Ahzab/33: 56) yang dijawab oleh jamaah dengan melafazkan salawat nabi. Setelah
itu barulah muazin mengumandangkan azan sebagaimana biasanya. Sesudah itu,
muazin membaca rangkaian lafaz-lafaz berikut: 1) basmalah 3 kali; 2) doa kepada
kedua orang tua 3 kali; 3) salawat kepada nabi 3 kali; 4) doa keselamatan dunia
akhirat 3 kali; 5) amin ya Allahu amin 3 kali; 6) basmalah 3 kali; 7) subhanallah
al-’azim wa bihamdihi da’iman abadan 11 kali; 8) nabiyullah ahliyullah salamullah
11 kali; 9) asyhadu alla ilaha illa Allah 11 kali; 9) amin ya Allahu amin 3 kali; dan
10) alhamdulillahi rabb al-’alamin 3 kali. Setelah itu dilanjutkan dengan melafazkan
kalimat iqamat sebagaimana biasanya. (Yusuf Ismail, 2016: Wawancara).
Selain zikir-zikir yang telah disebutkan, macam-macam zikir lainnya yang
ada di Majelis Zikir Ya Allahu ini antara lain:
1) Zikir Sembahyang atau disebut pula Zikir Tiga.
2) Zikir Istigfar.
12

3) Zikir Tobat.
4) Zikir Hajat.
5) Zikir Subhanallah.
6) Zikir al-Nasr.
7) Zikir al-’Alaq.
8) Zikir al-Fil.
9) Zikir al-Humazah.
10) Zikir Ayat Kursi.
11) Ya Allahu Ya Rabbi.
12) Zikir Penangkal Panas dingin atau disebut pula Zikir Tujuh.
13) Zikir Amantubillah.
14) Zikir Lagu Tiga.
15) Zikir Lagu Lambat.
16) Zikir Lagu Empat.
17) Zikir Lagu Besar.
18) Zikir Hasbiyallahu.
19) Zikir Menurunkan atau Zikir Penutup. (Jama’ah Ya Allahu, 2013: 13).
Hal yang juga menarik adalah bahwa dalam salat lima waktu terdapat surah-
surah tertentu sebagai surah pilihan yang harus dibaca setelah membaca al-Fatihah.
Sehingga dapat dipastikan jamaah zikir ini tidak membaca ayat atau surah lainnya
selain surah yang telah ditentukan tersebut. Adapun dalam beberapa salat sunat,
terdapat pula rangkaian zikir-zikir tertentu yang dilafazkan setelah salat. Beberapa
salat sunnat tersebut antara lain:
1) Salat sunat hajat 2 rakaat memohonkan rahmat. Surah yang dibaca setelah al-
Fatihah adalah surah al-Qadr dan al-Tin, dan zikir setelah salat adalah zikir
al-’Asr.
2) Salat sunat hajat 2 rakaat untuk tolak bala. Surah yang dibaca setelah al-
Fatihah adalah surah al-Humazah dan al-Lahab, rukuk dan sujud membaca la
ilaha illa Allah 3 kali, dan zikir setelah salat adalah zikir al-Humazah.
3) Salat sunat hajat 2 rakaat untuk hadiah kepada orang tua. Surah yang dibaca
setelah al-Fatihah adalah surah al-Qadr dan al-Tin, rukuk dan sujud membaca
doa kepada kedua orang tua (3 ...‫ اللهم اغفلى ولوالدى‬kali), dan zikir setelah salat
13

adalah zikir istigfar lalu membaca kembali doa kepada kedua orang tua
sebanyak 100 kali.
4) Salat sunat tobat 2 rakaat. Surah yang dibaca setelah al-Fatihah adalah surah
al-Nasr dan al-Insyirah, rukuk dan sujud membaca istigfar 3 kali, dan zikir
setelah salat adalah zikir istigfar lalu membaca kembali istigfar sebanyak 300
kali.
5) Salat sunat tasbih 2 rakaat yang dimulai pada pukul 02.00 WITA. Surah yang
dibaca setelah al-Fatihah adalah surah al-’Ala dan al-Duha, rukuk dan sujud
membaca tasbih 3 kali, dan setelah salat melafazkan tasbih 300 kali dan Ya
Allahu 300 kali.
6) Salat sunat duha 2 rakaat yang dimulai pada pukul 07.00 WITA. Surah yang
dibaca setelah al-Fatihah adalah surah al-Qadr dan al-Tin, dan zikir setelah
salat adalah zikir yang biasa dibaca setelah salat fardu.
7) Salat sunat tahajjud 8 rakaat yang dimulai pada pukul 20.00, 24.00, dan 03.00
WITA. Surah yang dibaca setelah al-Fatihah adalah surah al-Qadr dan al-Tin
(dua rakaat pertama), al-’Alaq dan al-Tin (dua rakaat kedua), al-’A’la danal-
Duha (dua rakaat ketiga), al-Duha dan al-Insyirah (dua rakaat keempat), dan
zikir setelah salat adalah zikir yang biasa dibaca setelah salat fardu.
8) Salat sunat witir 3 rakaat. Surah yang dibaca setelah al-Fatihah adalah surah
al-Qadr dan al-Tin (dua rakaat pertama), al-Ikhlas, al-Falaq, al-Nas (satu
rakaat terakhir), dan zikir setelah salat adalah Zikir Subhanallah.
9) Salat sunat lailatul qadr 2 rakaat yang dimulai pada pukul 14.00 WITA atau
disesuaikan dengan perintah atau petunjuk dari pimpinan berdasarkan bisikan
gaib yang diperoleh. Surah yang dibaca setelah al-Fatihah adalah surah al-
Qadr dan al-Tin, dan zikir setelah salat adalah zikir al-Qadr.
10) Salat sunat keramat 2 rakaat yang dimulai pada pukul 15.00 WITA. Surah
yang dibaca setelah al-Fatihah adalah surah al-Qadr dan al-Tin, dan zikir
setelah salat adalah melafazkan la ilaha illa Allah, Allahu akbar sebanyak-
banyaknya. (Jama’ah Ya Allahu, 2013: 18).
Jika mencermati amalan-amalan zikir dan salat Majelis Zikir Ya Allahu ini,
khususnya pada lafaz doa dan susunan zikir/ratib maka dapat dipastikan bahwa
majelis zikir ini berdiri sendiri tanpa berafiliasi atau ittiba’ kepada kelompok tarekat
14

tertentu yang telah masyhur dan muktabarah. Bermacam nama zikir dan susunannya
murni merupakan hasil riadah H. Muchtrar Yasin yang oleh anggota jamaahnya
dikatakan bahwa hal itu diperoleh dari mimpi pendiri majelis zikir tersebut setelah
melakukan ibadah-ibadah sunnat seperti puasa senin kamis dan berbagai amalan
sunnat lainnya. (Jama’ah Ya Allahu, 2013: 18).
Susunan zikir atau ratib tersebut kemudian menjadi zikir yang diwariskan
hingga saat ini kepada jamaah Majelis Zikir Ya Allahu yang secara berjamaah
dilaksanakan pada setiap selesai salat isya pada malam Ahad, Rabu, dan Jumat, serta
pada saat hari-hari besar seperti Israk Mikraj, Maulid Nabi, Tahun Baru Hijriah, Idul
Fitri dan Idul Adha atau ketika terjadi musibah bencana alam yang melanda wilayah
Gorontalo ataupun di wilayah lain di Indonesia.

2. Kontroversi Pengamalan Syariat Majelis Zikir Ya Allahu


Adapun analisa terhadap pengamalan syariat jamaah Majelis Zikir Ya Allahu
yang menjadi fokus penelitian ini lebih dikhususkan kepada pengamalan empat
aspek ibadah utama dalam Islam yang termuat dalam rukun Islam, yakni salat, puasa,
zakat, serta haji dan qurban.
Empat aspek penting dalam ajaran Islam inilah yang dalam praktiknya pada
jamaah Majelis Zikir Ya Allahu peneliti temukan beberapa hal yang “berbeda” dari
mayoritas muslim lainnya di Indonesia. Adapun aspek syahadat tidak dibahas dalam
penelitian ini oleh karena tidak ada perbedaan baik dari segi lafaz ikrar syahadat
maupun pemaknaannya.
1. Salat
Beberapa perbedaan (khilafi>yah) dalam ibadah salat fardu pada umumnya
masih diakomodir oleh empat mazhab dalam fikih Islam. Artinya, kalaupun terdapat
perbedaan, masing-masing memiliki rujukan yang bersandar kepada salah satu dari
empat mazhab fikih yang diakui. Sebagian dari masyarakat Islam pun dalam
perkembangannya mulai tampak fleksibel dan terbiasa dengan perbedaan-perbedaan
yang ada. Meskipun di beberapa tempat hal itu menjadi polemik yang berkepanjangan,
bahkan sampai ditemukan pula masjid yang saling berdekatan hanya karena
perbedaan-perbedaan tersebut, namun di kalangan masyarakat terpelajar atau yang
telah mengenal fikih ikhtila>f, hal itu tidak lagi menjadi masalah besar.
15

Lain halnya dengan pelaksanaan salat pada jamaah Majelis Zikir Ya Allahu,
beberapa perbedaan yang ditemukan antara lain:
a. Adanya tambahan lafaz tertentu setelah niat sebelum melakukan takbiratul ihram;
1) Tambahan lafaz syahadat pada salat isya.
2) Tambahan lafaz istigfar (astagfirullah al-azim allazi la ilaha illa huwa al-
hayy al-qayyum wa atubu ilaik) pada salat subuh.
3) Tambahan lafaz doa permohonan keselamatan dunia akhirat (rabbana atina
fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirah hasanah wa qina azab al-nar) pada
salat zuhur.
4) Tambahan lafaz doa permohonan mendapatkan keturunan yang baik
(rabbana hablana min azwajina wa zurriyatina qurrata a’yun wa ij’alna li
al-muttaqina imama) pada salat asar.
5) Tambahan lafaz doa untuk kedua orang tua (rabb igfirli wa li walidayya wa
irhamhuma kama rabbayani sagira) pada salat magrib.
b. Adanya surah-surah yang ditentukan (setelah al-Fatihah) berdasarkan waktu salat
yang dikerjakan.
1) Surah al-A’la dan al-Duha atau al-Insyirah dan al-Tin di rakaat pertama; al-
A’la dan al-Tin atau al-Alaq dan al-Tin di rakaat kedua pada salat isya.
2) Surah al-Ikhlas dan al-Nas atau al-Falaq dan al-Nas pada salat subuh.
3) Surah al-Duha dan al-Insyirah atau al-A’la dan al-Duha pada salat zuhur.
4) Surah al-Asr dan al-Tin pada salat asar.
5) Surah al-Fil dan Ayat Kursi (QS. al-Baqarah/2: 255) atau al-Kafirun dan al-
Ikhlas atau al-Insyirah dan al-Tin pada salat magrib.
c. Adanya tambahan doa tertentu serta salawat yang dilafazkan setelah al-Fatihah
pada rakaat ketiga dan keempat atau pada rakaat terakhir salat subuh. Lafaz yang
dimaksud adalah:
‫ وصلى اهلل على سيدنا حممد و‬,‫ربنا تقبل منا إنك أنت السميع العليم وتب علينا إنك أنت التواب الرحيم‬
.‫على اله وصحبه أمجعني‬
d. Melafazkan doa Tolak Bala secara jahar (suara yang dibesarkan) dengan telapak
tangan menghadap ke bawah pada setiap rakaat terakhir. Lafaz doa yang
dimaksud adalah:
16

ُ‫احلمد هلل الذي عافانا (ماشاء اهلل) مما ابتالك به وفضلنا على كثري ممن خلق تفضيالً (ماشاء اهلل) اللَّ ُه َّم إِيِّن أ َُعوذ‬
)‫ض ِاء (ماشاء اهلل‬ ِ )kali 3-‫) (ماشاء اهلل‬kali 3( ‫الشَق ِاء‬
َ ‫وسوء الَْق‬
ُ َّ ‫ك ِم ْن َج ْه ِد الْبَاَل ِء (ماشاء اهلل) َو َد ْر ِك‬
َ ِ‫ب‬
)kali 3-‫) (ماشاء اهلل‬kali 3( ‫َومَشَاتَِة اأْل َْع َد ِاء (ماشاء اهلل) اللهم اكشف عنا من البالء (ماشاء اهلل) والوباء‬
)kali 3( ‫اء (ماشاء اهلل) ما ال يكشفه غريك (ماشاء اهلل) إن هلل وإن اليه راجعون‬ ِ ‫والغالء (ماشاء اهلل) والَْفحش‬
َْ
.)kali 11( ‫) ال اله اال اهلل‬kali 3-‫(ماشاء اهلل‬
e. Qunut pada kelima waktu salat.
Kelima perbedaan tersebutlah yang peneliti temukan di Majelis Zikir Ya
Allahu yang menjadi amalan tetap jamaah berdasarkan bimbingan dari H. Mukhtar
Yasin. Meskipun pada masalah qunut ada kesamaan dengan pendapat pada mazhab
al-Zahiriah yang juga mengamalkan qunut di lima waktu salat, namun H. Mukhtar
Yasin melakukannya bukan karena berkiblat pada mazhab al-Zahiriah, melainkan
semata-mata karena berdasarkan mimpi yang diperolehnya.
2. Puasa
Perdebatan dalam masalah puasa dapat dikatakan hampir tidak banyak
menyinggung tentang perbedaan fikih puasa dari berbagai paham dan mazhab. Hal
yang pasti bahwa tidak ada bantahan terhadap kewajiban puasa di bulan Ramadan
ataupun terhadap adanya puasa-puasa sunnah yang pernah nabi saw. jalankan selama
hidupnya. Problem yang ditemukan lebih kepada perbedaan dalam hal penentuan
awal dan akhir puasa (1 Ramadan dan 1 Syawal). Di Indonesia khususnya,
perbedaan tersebut muncul oleh karena metode yang digunakan dalam penentuan
awal bulan tidak sama pada masing-masing kelompok. Ada yang menggunakan
metode hisab/perhitungan sedangkan yang lainnya menggunakan rukyah/melihat
hilal. Adapula kelompok yang menentukan awal bulannya dengan metode alamiah,
yaitu dengan cara melihat fenomena alam baik berdasarkan pasang surut air laut dan
sungai ataupun dengan melihat perbintangan.
Begitupula dengan kelompok-kelompok tarekat tertentu yang umumnya
penentuan awal bulan mereka adalah dengan berdasarkan petunjuk gaib yang
diperoleh dari mimpi ulama atau pemimpin kelompok tersebut. Upaya terhadap
penyatuan awal dan akhir puasa tersebut bukan tidak pernah dilakukan, namun
hingga saat ini tetap saja ditemukan ketidakseragaman dalam memulai puasa ataupun
dalam penentuan 1 Syawal yang merupakan hari raya muslim sedunia. Umat Islam
boleh saja berbeda dalam penentuan 1 Ramadan, namun betapa indah sekiranya 1
17

Syawal dapat disatukan oleh karena hal itu sekaligus dapat menjadi syiar dan
gambaran persatuan umat.
Di Majelis Zikir Ya Allahu juga tidak ada perbedaan dalam hal fikih puasa.
Anggota jamaah yang tidak siap melakukan salat lail/malam pun tetap ikut
berjamaah tarwih di masjid-masjid yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.
Setelah selesai melaksanakan salat tarwih, barulah kemudian para jamaah kembali
berkumpul untuk melakukan aktivitas zikir malam secara berjamaah di masjid H.
Mukhtar Yasin atau di markas kedua yang berada di jalan Bali Kota Gorontalo.
Perbedaan yang terjadi hanyalah terkait dengan penentuan awal Ramadan dan 1
Syawal sebagaimana perbedaan yang telah diuraikan sebelumnya. Jamaah Majelis
Zikir Ya Allahu menentukan awal Ramadan dan 1 Syawal mereka hampir sama
dengan yang dilakukan oleh beberapa kelompok tarekat lainnya, yakni berdasarkan
informasi gaib/mimpi atau hidayah yang diperoleh pemimpinnya. Hanya saja,
penentuan awal Ramadan dan 1 Syawal di majelis zikir ini diawali dengan
melakukan zikir bersama selama tiga atau dua hari sebelum pelaksanaan puasa.
Setelah H. Mukhtar Yasin wafat, penentuan 1 Ramadan dan 1 Syawal tidak lagi
berdasarkan kepada informasi gaib yang diperoleh pemimpin saja, tetapi dapat
diperoleh pula dari anggota jamaah yang ikut dalam zikir. Hal ini tergantung dari
siapa di antara jamaah yang saat itu lebih konsentrasi atau khusyuk dalam zikir
sehingga “terpilih” untuk mendapatkan informasi gaib. (Ridwan dan Suleman
Ibrahim, 2016: Wawancara).
3. Zakat
Paham dan pengamalan zakat di Majelis Zikir Ya Allahu memiliki dua
perbedaan signifikan yang tidak ditemukan dalam mazhab-mazhab besar fikih atau
yang menjadi praktik umum mayoritas umat Islam. Dua perbedaan tersebut adalah:
1) Adanya ketentuan zakat nyawa di samping zakat fitri dan zakat mal dengan
jumlah perjiwa sama dengan jumlah yang dikeluarkan pada zakat fitri.
Pemimpin Majelis Zikir Ya Allahu saat ini, Yusuf Ismail menjelaskan
bahwa zakat nyawa atau jiwa ini diberlakukan khusus kepada jamaah Majelis
Zikir Ya Allahu sejak masih dipimpin oleh H. Mukhtar Yasin dan juga
berdasarkan petunjuk gaib yang diperoleh pimpinan saat itu. Sebagai manusia,
bersyukur terhadap segala nikmat yang telah Allah anugerahkan adalah suatu
yang wajib, jika tidak maka ia termasuk kufur atas nikmat. Salah satu nikmat
18

terbesar yang Allah berikan kepada manusia adalah nikmat hidup dan
kesempurnan penciptaan Allah atas raga/tubuh manusia yang dihidupkan dengan
nyawa. Nyawa atau jiwa merupakan salah satu unsur kemanusiaan yang paling
dekat dengan unsur ketuhanan. Nyawa yang menjadi sebab hidupnya makhluk
melalui tarikan nafas merupakan sedikit dari ruh yang telah Allah tiupkan kepada
manusia. Tanpa bernafas, maka makhluk apapun pasti akan mati. Atas dasar
itulah sehingga zakat nyawa wajib dikeluarkan sebagai bukti rasa syukur atas
nafas kehidupan yang Allah berikan. (Yusuf Ismail, 2016: Wawancara).
Menganalisa pandangan tersebut, maka dipahami bahwa yang dimaksud
dengan dikeluarkannya zakat nyawa adalah bahwa yang disucikan tidak hanya
setiap makanan yang dimakan (melalui zakat fitri) atau setiap harta yang
dimanfaatkan (melalui zakat mal), tetapi juga atas setiap tarikan nafas yang
dihirup dan dikeluarkan (melalui zakat nyawa). Hal inilah yang melengkapi
kesucian manusia atas semua titipan yang Allah berikan kepada manusia sebagai
amanahkan yang harus dijaga.
2) Ketiga jenis zakat yang telah disebutkan harus ditunaikan sebelum memasuki 1
Ramadan.
Menurut Yusuf Ismail, zakat fitri atau zakat makanan, zakat mal atau
zakat harta, serta zakat nyawa atau zakat jiwa sudah harus tuntas dikeluarkan dan
dibagi kepada yang berhak menerimanya sebelum memasuki bulan puasa atau 1
Ramadan, sebagaimana penuturannya berikut:
Ketiga jenis zakat tersebut menurut Yusuf Ismail memang bukan syarat sah
puasa, namun bagi kami, bulan Ramadan adalah bulan suci umat Islam dan
setiap muslim yang akan memasuki bulan suci ini juga terlebih dahulu harus
suci baik dari segi makanan, harta, maupun jiwa atau nyawanya. Oleh karena
itu maka zakat yang berfungsi mensucikan semua itu harus sudah tuntas
sebelum melakukan puasa Ramadan. Sehingga setiap muslim yang hendak
berpuasa dan memasuki bulan Ramadan pun suci dari berbagai noda dan dosa.
Dan hal itu akan lebih disempurnakan lagi melalui puasa yang mereka jalani.
Sebab dengan memasuki bulan Ramadan dengan keadaan suci maka seseorang
akan lebih dapat menjaga dirinya dari setiap hal yang dapat memakruhkan atau
membatalkan puasanya. Atas dasar inilah majelis zikir kami melaksanakan
ketiga jenis zakat tersebut dan menunaikannya sebelum masuk 1 Ramadan.
Hal ini mungkin tidak akan diterima oleh orang di luar majelis zikir kami,
namun hal itu hanya dipersyaratkan kepada anggota jamaah Majelis Zikir Ya
Allahu saja karena merupakan hasil dari “bisikan” yang diterima oleh H.
Mukhtar Yasin ketika beliau memimpin majelis ini. (Ridwan, 2016:
Wawancara).
19

Ungkapan Yusuf Ismail tersebut diperkuat pula oleh anggota jamaah lainnya,
salah satunya adalah Ridwan, salah seorang jamaah Majelis Zikir Ya Allahu yang
cukup komunikatif dalam dialog yang sering peneliti lakukan bersama jamaah
selepas melaksanakan zikir berjamaah. Ridwan menuturkan bahwa:
Perintah menunaikan zakat nyawa dan zakat lainnya sebelum memasuki bulan
suci Ramadan telah saya lakukan sejak masih dipimpin oleh om Panja (H.
Mukhtar Yasin). Saya memang termasuk anggota jamaah yang sudah lama
bergabung dengan majelis zikir ini. Jadi, semua zakat itu kami kumpulkan di
sini (markas Majelis Zikir Ya Allahu) dan sebelum masuk 1 Ramadan kami
bagikan kepada anggota jamaah lain yang masuk kategori fakir miskin atau
kepada keluarga jamaah dan tetangga di sekitar sini meskipun mereka tidak
menjadi anggota di majelis zikir ini. Kami juga merasakan perbedaan dari
sebelumnya ketika belum beramal dan menjadi anggota di sini. Berpuasa
sebulan penuh hampir tidak dirasakan letih, lapar, dan hausnya meskipun harus
bekerja keras mencari (mencari nafkah), sebab banyak dari anggota jamaah di
majelis ini bekerja sebagai bas (tukang batu dan kayu), bawa bentor, supir, dan
sebagainya. Kami yakin itu adalah dampak positif dari zakat yang kami
keluarkan lebih awal sehingga semacam ada “kesiapan ruhaniah” sebelum
memasuki bulan suci Ramadan. (Yusuf Ismail, 2016: Wawancara).

Paham dan ajaran tentang zakat yang ditemukan pada jamaah Majelis Zikir
Ya Allahu ini tentunya jauh berbeda dengan fikih zakat yang selama ini dianut oleh
mayoritas muslim. Sesuai dengan namanya, zakat al-Fit}r diberikan pada hari fit}r,
yaitu hari lebaran atau hari raya Idul Fitri pada tanggal 1 Syawal sebelum
melaksanakan salat Idul Fitri.
4. Haji dan Kurban
a. Haji
Haji dalam arti harfiah lainnya adalah mengunjungi tempat-tempat tertentu
yang dihormati, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan menurut
istilah agama, haji ialah mengunjungi Ka’bah dan sekitarnya di kota Mekkah untuk
mengerjakan ibadah tawaf, sa’i, wukuf di Arafah, dan sebagainya, semata-mata demi
melaksanakan perintah Allah dan meraih keridaan-Nya. (Muhammad Baqir, 2008),
h. 377; Bimas Islam dan Haji, 2003: 21-27). Makna harfiah ini memiliki arti yang
sangat dekat dengan kata al-’umrah yang secara etimologi berarti ziarah (‫)اإلعتمار‬,
yakni mengunjungi Ka’bah untuk melakukan tawaf di sekelilingnya, sa’i antara
S{afa dan Marwah dan kemudian mencukur rambut. (Sayyid Sa>biq, 1977: 19).
Hal yang menarik adalah paham dan ajaran yang dianut oleh kelompok
tarekat atau kaum sufistik tentang makna ibadah haji. Abi> Muh}ammad ‘Abd al-
Qa>dir bin Abi> S{a>lih} al-Jaila>ni> misalnya, tokoh pendiri tarekat al-Qadiriah
20

dan penarang kitab Sirr al-Asra>r ini membedakan haji ke dalam dua pengertian,
ada pengertian haji menurut syariat dan ada haji menurut tarekat. Haji syariat ialah
melakukan ibadah haji ke Baitullah dengan melaksanakan syarat-syarat dan rukun-
rukunnya, sehingga menghasilkan pahala haji. Bila kurang syaratnya, maka kurang
pula pahalanya, bahkan membatalkannya. Adapun haji tarekat (t}ari>qah) adalah
adanya kecenderungan hati ingin mengambil talqi>n dari S{a>h}ib al-Talqi>n,
selanjutnya melaksanakan zikir dengan lisan serta menghayati maknanya. Zikir yang
dimaksud ialah mengucapkan kalimat la> ila>ha illa Alla>h dengan lisan,
selanjutnya menghidupkan hati dengan berzikir kepada Allah dalam batin, sehingga
hatinya menjadi bersih. (Al-Jaila>ni>, t.th.: 133-134).
Menelusuri lebih jauh cara pandang kelompok tarekat ataupun pelaku
tasawuf terhadap ibadah haji, akan ditemukan makna-makna mendalam dari dimensi
setiap syariat haji yang selalu digiring kepada makna hakiki dan makrifat. Mulai dari
ihram, tawaf, hingga wukuf dan bahkan terhadap semua simbol-simbol yang
mengitari ibadah haji akan dimaknai secara batiniah daripada sekadar makna fikih.
Cara pandang seperti ini pulalah yang peneliti temukan dalam kelompok jamaah
Majelis Zikir Ya Allahu. Lebih dari itu, jamaah tersebut bahkan meyakini dan
membenarkan adanya “haji batin” yakni melakukan ibadah haji tanpa harus
berangkat ke Mekkah. Konsep “haji batin” ini lebih jelasnya diutarakan oleh
Ridwan, salah seorang jamaah senior di Majelis Zikir Ya Allahu sebagaimana
penuturannya berikut:
Ibadah haji dalam pemahaman kami sebenarnya tidak berbeda dengan apa
yang dipahami oleh banyak orang bahwa hal itu adalah wajib bagi mereka
yang telah mampu, baik secara fisik maupun biaya. Akan tetapi syarat
kemampuan fisik dan biaya tersebut bagi kami bukanlah penghalang untuk
tidak berhaji, sebab di sini sebagaimana yang kami ketahui dari om Panja (H.
Mukhtar Yasin), ibadah haji dapat dilakukan secara batin atau bisa kita katakan
sebagai haji batin. Dengan haji batin, kita tidak perlu pergi ke Mekkah. Jamaah
yang mampu mengamalkan zikir dengan khusyukk serta mengawalinya
dengan salat sunnat hajat dan berniat menghadirkan dirinya di sisi Ka’bah
maka insyaAllah dia sesungguhnya juga telah melaksanakan haji. Masyarakat
tentu saja tidak akan memanggil kami dengan pak haji atau ibu hajjah karena
kami tidak memakai titel haji di depan nama kami. Orang Arab sendiri yang
mungkin setiap tahunnya melakukan ibadah haji, tidak ada yang memakai
gelar haji. Cuman torang di Indonesia ini yang begitu. Haji batin ini dalam
pandangan kami sama dengan peristiwa Isra’ Mi’raj nabi Muhammad.
Perjalanan nabi ke Pelestina atau Masjidil Aqsa kemudian lanjut naik ke
Sidratil Muntaha menurut kami adalah perjalanan batin. Artinya, jasad nabi
tidak ikut serta dalam perjalanan tersebut. Hanya perjalanan batin yang kami
yakini bisa sampai bertemu dengan Allah sehingga tidak mungkin jasad nabi
21

ikut serta dalam peristiwa tersebut. Om Panja (H. Mukhtar Yasin) sendiri
sebenarnya telah melakukan haji batin meskipun setelah beliau wafat
kemudian ada orang dari pengurus Masjidil Haram yang membadalkan
hajinya. (Ridwan, 2016: Wawancara).

Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep “Haji Batin” seperti yang diyakini oleh
jamaah Majelis Zikir Ya Allahu tersebut sering ditemukan dalam pemikiran beberapa
orang maupun kelompok tertentu dari umat Islam. Syariat Islam yang diperinci
dalam fikih ibadah tidak pernah berhenti dikaji dari aspek seremoni dan simbolis
semata, selalu ada kontekstualisasi maknawi terhadap setiap ritual ibadah dan simbol
yang mengitarinya. Beribadah tanpa memahami esensi atau tujuan di balik perintah
ibadah tersebut diakui akan menjadikan ibadah tersebut hambar dan tidak memberi
efek terhadap pelakunya. Islam pun memberi ruang yang luas dalam
menginterpretasikan setiap kemungkinan nilai-nilai dan rahasia yang dapat digali
dari unsur-unsur yang dikandung dalam ibadah.
b. Kurban
Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang
lainnya. Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah ud}h}iyah
atau al-d}ah}i>yah, dengan bentuk jamaknya al-ad}a>h}i. Kata ini diambil dari kata
d}uha>, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan
penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00-10.00. (Ibnu Manz\u>r, 1993:
211; Al-S{an’a>ni>, t.th.: 89; Al-Syauka>ni>, 1993: 196). Ud}h}iyah adalah
hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban (10
Zulhijjah) dan hari-hari tasyrik (11-13 Zulhijjah) sebagai taqarrub (pendekatan diri)
kepada Allah. (Sayyid Sa>biq, 1977: 155; Al-Jabari>, 1994: 83; Al-Syanqi>t}i>,
1995: 470).
Namun kemudian para fukaha berbeda pendapat tentang status hukumnya,
ada yang berpendapat bahwa hukumnya wajib dan ada pula yang berpendapat bahwa
hukumnya sunnah muakkad bagi yang mampu. Di tengah perdebatan status hukum
tersebut, jumhur ulama tampaknya lebih banyak yang memandang bahwa hukum
kurban hanyalah sunnah saja, namun bagi mereka yang mampu, kesunnahan tersebut
dapat berubah menjadi wajib. Terkecuali kepada kurban nazar, maka para fukaha
22

sepakat bahwa hal itu adalah wajib. Di luar masalah tersebut, para fukaha tidak
berbeda pendapat dalam hal syarat hewan qurban dan waktu pelaksanaannya.
Hal yang menarik adalah tentang ajaran dan pemahaman yang berlaku pada
Majelis Zikir Ya Allahu terkait dengan ibadah kurban, khususnya dalam hal waktu
pelaksanaannya. Meskipun tidak ada perdebatan dalam masalah status hukum
kurban, namun dalam hal waktu pelaksanaannya, majelis zikir ini melaksanakannya
tidak pada hari nahar ataupun hari tasyrik sebagaimana yang dipraktikkan oleh
mayoritas muslim dan yang disepakati oleh fukaha berdasarkan hadis dan sunah
Rasulullah saw. Adapun waktu pelaksanaan ibadah kurban atau penyembelihan
hewan kurban di Majelis Zikir Ya Allahu adalah pada tanggal 9 Zulhijjah atau sehari
sebelum Salat Idul Adha. Peneliti pun berkesempatan ikut menyaksikan proses
penyembelihan hewan kurban di majelis ini selama dua tahun/dua kali pada setiap
tanggal 9 Zulhijjah.
Tidak hanya itu, daging kurban yang disembelih juga tidak boleh diambil
atau dimakan oleh jamaah yang berkurban seperti halnya aturan dalam kurban nazar.
Jamaah yang berkurban hanya boleh memakan daging dari pemberian jamaah
lainnya yang juga berkurban pada saat itu. Terhadap paham dan ajaran tersebut,
jamaah Majelis Zikir Ya Allahu tidak mengungkapkan satupun dalil atau nas yang
menjadi rujukan mereka, baik yang bersumber dari Alquran dan hadis Rasulullah
saw. maupun fatwa dan ijma ulama. Selain oleh karena murni bersumber dari
informasi gaib yang diperoleh sejak pemimpin pertama (H. Mukhtar Yasin), jamaah
ini beralasan bahwa penyembelihan hewan kurban di tanggal 9 Zulhijjah adalah
berdasarkan peristiwa penyembelihan nabi Ismail as. oleh ayahnya (nabi Ibrahim as.)
sebagai tonggak awal perintah kurban terjadi pada tanggal tersebut. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Badar dan Suleman Ibrahim berikut:
Kami tidak mengetahui ayat ataupun hadis yang digunakan om Panja (H.
Mukhtar Yasin) dalam hal pelaksanaan kurban di tanggal 9 Zulhijjah itu. Tidak
ada jamaah yang menanyakan itu. Jamaah meyakini bahwa semua amalan
yang dilakukan di sini (Majelis Zikir Ya Allahu) adalah bersumber dari mimpi
atau bisikan yang diterima oleh om Panja ketika beliau mendalami zikir Ya
Allahu. Om Panja hanya sempat mengatakan bahwa berkurban di tanggal 9
Zulhijjah itu dilakukan karena nabi Ibrahim menyembelih nabi Isa pada
tanggal 9 Zulhijjah. Jamaah yang berkurban juga dilarang mengambil daging
kurbannya. Semuanya harus dibagi habis. Jamaah yang berkurban hanya boleh
memakan atau mengambil daging kurban pemberian jamaah lainnya. (Badar
dan Suleman Ibrahim, 2016: Wawancara).
23

Lebih lanjut Yusuf Ismail mengutarakan bahwa:


Dalam pemahaman kami, kurban sesungguhnya adalah tumbal atau
pengorbanan yang dipersembahkan kepada Allah sebagai bukti rasa syukur
atas nikmat yang Allah anugerahkan sekaligus sebagai penebusan atas dosa-
dosa manusia. Untuk kesempurnaan persembahan dan penebusan dosa itulah
maka daging kurbannya tidak boleh diambil dan dimakan oleh mereka yang
berkurban. Sebab jika itu dilakukan maka akan mengurangi kualitas
persembahan dan pengorbanan. Selain bermakna tumbal, kurban dalam
pemahaman Ya Allahu adalah dimaksudkan sebagai tolak bala. Yaitu
permohonan agar terhindar dari segala bentuk musibah. Nabi Ismail as.
merupakan anak yang sekian lama telah ditunggu kelahirannya oleh nabi
Ibrahim as. untuk meneruskan dakwah atau ajaran yang dibawanya. Untuk bisa
dianugerahi keturunan, nabi Ibrahim as. bahkan telah bernazar untuk
berkurban. Nazar itulah yang akhirnya ditagih oleh Allah setelah sekian lama
tidak dilaksanakan. Namun Allah mengujinya dengan mengurbankan anak
kesayangannya itu. Setelah beberapa hari dan setelah benar-benar yakin
terhadap mimpi yang diperolehnya, barulah pada tanggal 9 Zulhijjah nabi
Ibrahim merasa siap untuk melaksanakan perintah tersebut. Jadi, berkurban di
tanggal 9 Zulhijjah merupakan syariat warisan nabi Ibrahim as. Ibadah haji dan
kurban merupakan ibadah satu paket yang diwariskan dari nabi Ibrahim as.
syariat inilah yang benar dalam pemahaman kami. Namun tentunya kami tidak
menyalahkan umat Islam di luar jamaah kami jika mereka berkurban setelah
tanggal 9 Zulhijjah. Jika umat Islam lainnya berqurban berdasarkan ayat dalam
Alquran, maka bagi kami, peristiwa kurban yang dijalankan nabi Ibrahim as.
juga merupakan ayat-ayat Allah. (Yusuf Ismail, 2016: Wawancara).

Pemahaman tentang beberapa syarat sah dari hewan yang akan dikurbankan di
Majelis Zikir Ya Allahu tidaklah berbeda dengan yang disebutkan oleh fukaha dalam
kitab-kitab fikih. Hanya saja, terdapat syarat tambahan mengenai warna hewan pada
kurban nazar. Jika nazarnya adalah untuk akikah dan tolak bala, maka hewan yang
akan dikurbankan harus berwarna gelap (hitam, coklat, atau merah), sedangkan jika
nazarnya dimaksudkan untuk wujud rasa syukur (syukuran) maka hewan yang akan
dikurbankan harus berwarna terang (putih). (Yusuf Ismail, 2016: Wawancara).
Peneliti juga melihat adanya ritual khusus dalam proses penyembelihan
hewan kurban di Majelis Zikir Ya Allahu. Jika dalam fikih atau yang mayoritas
dipraktikkan oleh umat Islam disunnahkan melafazkan basmalah, salawat, takbir, dan
doa, maka di majelis ini terdapat beberapa rangkaian lain: 1) prosesi kurban diawali
dengan zikir berjamaah; 2) hewan yang akan dikurbankan terlebih dahulu
dimandikan dengan air yang telah dicampur dengan bunga dan daun tertentu lalu di-
wud}u-kan; 3) pisau atau parang yang digunakan untuk menyembelih digenggam
persis seperti posisi tangan dan jari-jari pada saat tasya>hud dalam salat lalu
memulai dengan gerakan mendorong pisau/parang ke depan lebih dahulu (tidak
24

ditarik) sehingga tampak posisi awal leher hewan berada di dekat ujung pisau/parang
bukan di dekat pangkal pisau/parang); 4) mengakhiri prosesi penyembelihan dengan
kembali berzikir secara berjamaah.
Demikianlah beberapa amalan Majelis Zikir Ya Allahu yang berbeda dari
mayoritas umat Islam lainnya dan masih eksis hingga saat ini.

C. Kesimpulan
Meskipun tidak berafiliasi kepada lembaga tarekat tertentu yang masyhur di
dunia Islam, namun dalam beberapa hal Majelis Zikir Ya Allahu tampak memiliki
kesamaan dalam amalan dan pemahaman. Adanya doa, zikir, serta tambahan-
tambahan tertentu dalam ibadah mereka tidaklah berpijak pada nas Alquran dan
hadis maupun ijma ulama, melainkan semata-mata berdasarkan ilham atau informasi
gaib yang diperoleh “sang pemimpin” majelis tersebut.
Jamaah Majelis Zikir Ya Allahu menyadari bahwa perbedaan dalam beberapa
amalan ibadah mereka dapat dipastikan akan memicu kontroversi bagi umat Islam
lainnya atau paling tidak akan dipandang melakukan bid’ah atau merupakan ajaran
sesat. Meskipun secara subjektif jamaah zikir ini meyakini kebenaran ada di pihak
mereka, namun mereka tidak lantas menyalahkan syariat yang dipraktikkan oleh
mayoritas umat Islam lainnya. Sebab bagi mereka, syariat yg dipraktikkan oleh
muslim di luar Majelis Zikir Ya Allahu adalah syariat umum sebagai warisan dari
nabi Muhammad saw. dan penjelasan para fukaha. Sedangkan amalan yang mereka
praktikkan merupakan syariat khusus yang juga berdasarkan petunjuk dari Allah swt.
Dengan kata lain, praktik ibadah umat Islam adalah berdasarkan fikih mayoritas,
sedangkan yang jamaah Majelis Zikir Ya Allahu praktikkan adalah fikih minoritas
yang juga harus diakui keberadaannya.
Beberapa hal kontroversial dari amaliah-amaliah jamaah zikir tersebut
tentunya tidak sekadar menjadi fenomena sesaat. Dibutuhkan penelitian yang lebih
mendalam untuk menemukan kebenaran sepihak yang mereka pertahankan agar
tidak secara prematur dinilai sebagai suatu penyimpangan ataupun kelompok
sempalan yang membawa ajaran sesat.

Daftar Pustaka
Baqir, Muhammad. Fikih Praktis; Menurut Alqur’an, As-Sunnah, dan Pendapat
para Ulama. Cet. I; Bandung: Karisma, 2008.
25

Denzin, N.K. dan Y.S. Lincoln (ed.), Handbook of Qualitative Research. London,
New Delhi: Sage, 1994.
Departemen Agama RI. Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Panduan
Perjalanan Haji. Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Ibadah Haji Pusat,
2003.
Djamil, Faturrahman. Filsafat Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997.
Al-Faqi>hi>, Ali> bin Muhammad Na>s}ir. Al-Bid’ah, D{awa>bit}uha> wa
As\aruha> al-Sayyi’ fi> al-Ummah. Al-Madi>nat al-Munawwarah: al-
Ja>mi’ah al-Isla>mi>ah, 1414 H.
Haq, H. Hamka. Falsafat Ushul Fiqih. Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1995.
Ibnu Manz\u>r, Abu> al-Fad}l Jama>l al-Di>n Muhammad bin Mukrim. Lisa>n
al-‘Arab. Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>ah, 1993.
Al-Jabari, ‘Abd al-Muta’al. al-Ud}h}iyah; Ah}ka>muha> wa Falsafatuha> al-
Tarbawi>yah, diterjemahan oleh Ainul Haris dengan judul Cara Berkurban.
Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Al-Jaila>ni>, Abi> Muh}ammad ‘Abd al-Qa>dir bin Abi> S{a>lih}. Sirr al-Asrar
wa Muz}hir al-Anwa>r fi> ma> Yahta>ju Ilaih al-Abra>r. Damaskus: Da>r
Sana>bil, t.th.
Jama’ah Ya Allahu, Kumpulan Dzikir dan Doa Ya Allahu. Gorontalo: t.p., 2013.
Kahmad, Dadang. Tarekat dalam Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern.
Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Kau, Sofyan AP. “Corak Fikih Imam al-Ghazali (Kajian terhadap Kitab Ihya’ Ulum
al-Din)”, Tesis. Semarang: PPs IAIN Walisongo Semarang, 2000.
Muhammad bin ’Ali> ‘Abdulla>h al-Syauka>ni>, Nail al-Aut}a>r. Mesir: Da>r al-
Hadi>s\, 1993.
Niode, Alim S. Gorontalo; Perubahan Nilai-nilai Budaya dan Pranata Sosial. Cet. I;
Jakarta: Pustaka Indonesia Press, 2007.
Nurhayati. “Karakteristik Pengamalan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiah di Kota
Palu”, Tesis. Makassar: PPs UIN Alauddin Makassar, 2006.
Pakaya, Arifin. “Corak Pemikiran Fikih Syekh Abdul Qadir al-Jailani”, Tesis.
Gorontalo: PPs UIN Alauddin di Gorontalo, 2004.
Al-S{an’a>ni>, Muhammad bin Isma>’i>l al-Kahla>ni>. Subul al-Sala>m. Mesir:
Da>r al-Hadi>s\, t.th.
Sa>biq, Sayyid. Fiqh al-Sunah, Juz V. Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1977.
Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama. Cet. II;
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
Al-Syanqi>t}i>, Muhammad al-Ami>n ‘Abd al-Qa>dir. Ad}wa>’ al-Baya>n fi>
I<d}a>h}i al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.
Tuloli, Nani. ”Sastra Lisan Gorontalo dalam Konteks Kebudayaan Islam”, dalam
Nani Tuloli dkk. (ed’s), Membumikan Islam; Seminar Nasional
26

Pengembangan Kebudayaan Islam Kawasan Timur Indonesia. Cet. I;


Gorontalo: Grafika Karya, 2004.
Al-Us\aimin, Muh}ammad bin S{a>lih}. Syarh} S|ala>s\at al-Us}u>l. Mis}r: Da>r
al-Kutub al-Ilmi>ah, 1424 H.

Anda mungkin juga menyukai