Anda di halaman 1dari 5

A.

Syari’ah
Syari'ah atau hukum Islam bagi setiap muslim lebih daripada sekadar hukum
agama, ia adalah hukum Allah, dan dengan demikian, secara esensial tidak dapat diubah.
Di samping itu ia menjangkau setiap segi kehidupan dan setiap bidang hukum. Karena
itu, dalam teori, ia tidak dapat ditandingi oleh hukum manapun, bahkan ketetapan-
ketetapannya sama sekali tidak dapat diganggu gugat. Tetapi bila kita menengok pusat
dunia Islam, Negara-negara Arab di Timur Dekat dan Timur Tengah, kita mendapati
bahwa di kebanyakan Negara tersebut perubahan- perubahan besar telah terjadi selama
kira-kira satu abad terakhir ini, baik dalam sistem peradilannya maupun sistem hukum
yang mereka terapkan.1

Menurut Djazuli, kata “Syariah” memiliki banyak arti. Salah satunya “Syariah”
yang berarti ketetapan dari Allah bagi hamba-hambanya. Mahmud Syaltut dalam Al-
Islam Aqqidah Wa Syari’ah menyebutkan kata syari’ah berarti jalan menuju sumber air
yang tidak pernah kering. Kata syariah juga diartikan sebagai jalan yang terbentang lurus.
Hal ini sangat relevan dengan fungsi Syari’ah bagi kehidupan manusia, baik
hubungannya dengan tuhan maupun sesama manusia, islam atau non islam maupun
dengan alam sekitarnya.2 Sedangkan Muhammad Syalabi mengetimologikan Syariah
sebagai suatu yang dirujuk kepada sejumlah hukum Islam yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad Saw dan terekam oleh Al Qur’an dan Sunnah Nabi.3

Sementara secara terminology syariah adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh


Allah untuk hamba-hambanya yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. 4 Pada dasarnya
kata “Syari’ah” dalam Islam mencakup seluruh petunjuk agama Islam, baik itu
menyangkut dengan akidah, ibadah, muamalah, etika, hukum-hukum yang mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia. Namun seiring berjalannya waktu, pengertian syariat
sendiri mengalami perkembangan. Dimana pada masa perkembangan ilmu-ilmu agama
islam diabad kedua dan ketiga, masalah akidah mengambil nama tersendiri yaitu
ushuluddin, sedangkan masalah etika juga mengambil nama tersendiri yaitu terkenal
1
Abdullah Sulaiman, Dinamika Qiyas dalam Pembaruan Hukum Islam; Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi`I, (Jakarta,
Pedoman Ilmu Jaya, 1996).
2
Mahmud Syaltut, Al-Islam Akidah wa Syari’ah, (Beirut: Dar Al Qalam,1966) hal. 12
3
Muhammad Syalabi, al-Madkhal fi Ta’rif bi al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1969) hal. 28
4
A. Djazuli, Hukum Fiqh, (Jakarta: Prenada, 2005) hal. 1-2
dengan istilah akhlak. Karena itu, istilah syari’ah sendiri dalam pengertiannya mengalami
historical continuity yang pada akhirnya menyempit, khusus mengenai hukum yang
mengatur perbuatan manusia. Atas dasar ini kata syari’at islam identic dengan kata
hukum dengan arti teks-teks hukum dalam al Qur’an dan sunnah Nabi.5

B. Thoriqoh
Kata Thoriqoh/Tarekat berasal dari bahasa Arab Al-Thariq yang berarti jalan yang
ditempuh dengan jalan kaki. Dari pengertian ini kemudian kata tersebut digunakan dalam
konotasi makna cara seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik terpuji maupun tercela.
Menurut istilah tasawuf sendiri, tarekat ialah perjalanan khusus bagi para sufi yang
menempuh jalan menuju Allah Swt. Perjalanan yang mengikuti jalur yang ada melalui
tahap dan seluk-beluknya.6 Kata tarekat, secara umum mengacu pada metode latihan atau
amalan (zikir, wirid, muraqabah), juga pada institusi guru dan murid yang tumbuh
bersamanya. Sedangkan secara praktis, Thoriqoh/tarekat dapat dipahami sebagai sebuah
pengalaman keagamaan yang bersifat esoteric (mementingkan dimensi dalam) yang
dilakukan oleh orang-orang Islam dengan menggunakan amalan berupa wirid dan
Dzikir.7
Thariqoh menurut Moch Siddiq dalam bukunya bisa juga diartikan sebagai
petunjuk untuk melakukan suatu praktik ibadah yang telah ditentukan serta memiliki
contoh dari Nabi Muhammad saw untuk dikerjakan oleh para sahabat, tabi’in dan
berkesinambungan secara terus menerus sampai kepada mursyid, muqhadam (guru) yang
bersambung sanadmya baik secara sanad keilmuan ataupun sanad penalqinan. Harun
Nasution dalam hal ini mengatakan bahwa tarekat merupakan jalan yang harus ditempuh
oleh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan.8
Do’a dan dzikir merupakan cara kita selaku hamba mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta, baik dalam meminta ampunan, dan meminta bantuan atas segala persoalan serta
menyebut nama-nama baik bagi-Nya (asmaul husna) ketika kita dalam keadaan sukar,
sedih, dan tertimpa sebuah cobaan. Dalam ajaran thariqat, do’a dan dzikir ini adalah hal
5
Satria Efendi M Zein, Aliran-Aliran Pemikiran Hukum Islam, (Diktat pada program Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta) hal. 7
6
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia (Depok: Pustaka Ilman, 2009), 183
7
Kharisudin Aqib, Al-hikmah memahami teosofi Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah (Surabaya: Dunia
ilmu, 2000), ce. Revisi, hal. 9
8
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992) hal. 89.
yang musti di lakukan secara rutin dan terus menerus agar kita selaku hamba senantiasa
mendekatkan diri kita dengan yang Maha Pencipta selain dari ibadah wajib, mereka akan
duduk berlama-lama menghabiskan waktu untuk dzikir dan do’a di tempat duduknya.9
Tarekat yang tadinya merupakan suatu system atau jalan yang ditempuh menuju
jalan kepada Tuhan. Kemudian menjelma dalam bentuk organisasi-organisasi yang
kemudian dalam perkembangannya timbul tarekat-tarekat cabang yang merupakan
perpecahan dari tarekat induknya, sehingga dengan demikian timbullah banyak macam
tarekat. Tarekat pokok dan cabang dilihat dari segi system ajarannya, maka akan didapati
perbedaan-perbedaan. Tetapi perbedaan-perbedaan itu tidak prinsipil, dan dalam
perkembangannya juga tidak melepaskan diri dari empat faktor keadaan dari suatu
bangsa yang menganut tarekat itu. Dari faktor-faktor tersebut timbullah ciri-ciri yang
bersifat khas dari suatu tarekat yang kemudian membedakan yang satu dengan yang
lainnya.10
Sebuah tarekat biasanya terdiri dari pensucian jiwa, kekeluargaan tarekat, upacara
keagamaan dan kesadaran sosial. Yang dimaksud dengan pensucian jiwa adalah melatih
rohani dengan hidup zuhud, menghilangkan sifat-sifat jelek yang menyebabkan dosa, dan
mengisi dengan sifat-sifat terpuji, taat menjalankan perintah agama dan menjauhi
larangan-Nya. Taubat atas segala dosa dan muhasabah, introspeksi, mawas diri terhadap
semua amalan-amalannya.11Kekeluargaan tarekat biasanya terdiri dari Syaikh tarekat,
disebut juga murad, pir, atau mursyid yang memiliki peran penting bahkan mutlak ada
dalam sebuah tarekat. Untuk mendeskripsikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang guru yang sah, sumber-sumber Naqsybandi tampaknya memilih menggunakan
dua sifat; ’sempurna’ (kamil) dan ”yang menyempurnakan” (mukammil atau mukmil).
Guru yang sah sudah pasti memenuhi syarat yang mencakup tingkat kesempurnaan dan
mampu mengantarkan (murid) kepada kesempurnaan.12
C. Sufisme

9
Moch Siddiq, Ajaran Torekat dalam Aliran tasawuf (Jawa timur, Putra pelajar,2001) hal. 205-219
10
Abdurrahman Musa, Tarekat-Tarekat Penting (Paper Wajib Peserta Studi Purna Sarjana Dosen-Dosen IAIN
Seluruh Indonesia, thn. 1974/75. Yogyakarta), h. 1.
11
Musyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 241.
12
Leonard Lewishon, Et. al. Warisan Sufi, Warisan Sufisme Persia Abad Pertengahan (1150-1500). (Jogyakarta:
Pustaka Sufi, 2003), h. 549.
Sufisme adalah ajaran dan doktrin yang memberikan suatu jalan (praktek), yang
ditujukan pada kesadaran yang mendalam akan Tuhan. Kesadaran semacam ini, dalam
pengandaian yang umum, berdasarkan hadis Nabi, sering diidentikkan dengan ihsan,
yaitu merasa seakan-akan melihat Allah, atau setidaknya merasa selalu diawasi oleh-Nya.
Jalan yang bersifat spiritual atau rohaniah ini merupakan fitrah manusia yang ingin
mencapai hakikat (pengetahuan) yang tinggi, berada dekat atau sedekat mungkin dengan
sang pencipta, yaitu Allah swt, dengan menyucikan dan melepaskan jiwa dari
keterpenjaraan jasad yang bersifat kebendaan, di samping melepaskan jiwa dari noda-
noda sifat dan perbuatan yang tercela.13 Menurut Robert Frager sedikitnya ada lima jalan
di dalam tradisi sufi, yaitu jalan (melalui) hati, akal, kelompok, zikir, dan pelayanan.14
Berbicara sufisme ada tiga elemen dasarnya: Pertama, tentang kebaikan, Kedua,
tentang kemanusiaan, dan Ketiga tentang spiritual. Dalam realisasi kebaikan pada
dasarnya pengejewantahan dari sifat Allah, dan manusia merupakan sebagai pusat
kemuliaan sebagai al-ahsan al-taqwim, dan menjadi teofani atau simbol dari nama dan
kualitas Tuhan. Ini adalah elemen kekal sufisme pada setiap jalan mistis yang sejati.
Akhirnya Dialah yang ahwal, dan jalur yang menghubungkan manusia dengan Tuhan,
sebagai metode kebajikan spiritual melalui perjalanan wisatawan mistic untuk mencapai
kehadiran Ilahi dan kebenaran.15
Dalam sufisme, konsep kebenaran memiliki makna yang luas tidak hanya terfokus
pada tingkat ritual semata, melainkan seluruh aspek kehidupan. Apapun yang dilakukan
manusia tidak bisa terpisah dari eksisistensinya sebagai makhluk Tuhan. Ajarannya
sufisme mengalami perkembangan, tidak lagi memiliki makna yang sempit. Meskipun
makna tasawuf (shuf) adalah sederhana, atau murni.16
Menurut Syeikh Muhammad Amin al-Kudri, kata shufi berati orang yang hatinya
bersih, jernih dan suci dari kotoran serta penuh dengan berbagai keteladanan”. 17 Secara
13
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 145-149. Lihat juga Annemarie Schimmel,
Dimensi Mistik dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h. 1-26; dan pada Martin Lings, Ada Apa dengan Sufi?
(Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004).
14
Robert Frager, Psikologi Sufi: Untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh, (Jakarta: Zaman, 2014), h. 49
15
Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays, (State University of New York Press, Albany 1991), hal. 34-35
16
Nicholson, The Mystic, 3. Lihat juga, Abu Nashr As-Sarraj terjamah, dalam, al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu
Tasawuf, (Surabaya Risalah Gusti), hal. 45.
17
Syeikh Muhammad Amin al-Kudri, Tanwi { al-Qul’ub Fi Mu’ammalah ‘Allam al-Ghuyub, (Dar Ihya’ al-Kutub al-
Arabiyah, tth) dalam, Manusia Bumi Manusia langit, Rahasia menjadi Muslim sempurna, (Bandung, Pustaka
Hidayah, 2010), hal. 186
historis, orang yang pertama memakai kata shufi” adalah seorang zahid atau ascetic
bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (150-265 H)”.18
Tujuan para sufi adalah ma’rifatullah yang dalam perjalanannya melalui beberapa
tahap seperti syariat, ṭarῑqah, hakekat dan ma’rifat. Ma’rifat adalah tujuan akhir dari
tasawwuf, yang mana didikannya pun berpindah dari hakekat ke ma’rifat yaitu mengenal
Tuhan sebaik-baiknya.19 Dalam mencapai ma’rifat para sufi menunjukkan dengan
berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (ṭarῑqah) menuju
Allah SWT. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan (riyāḍah) lalu secara bertahap
menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan ḥāl (keadaan), dan
berakhir dengan mengenal (ma’rifah) Allah SWT.20
Menurut Abu Jihaduddin Rifqi al Hanif dalam bukunya Ilmu dan Ma’rifat bahwa
yang dimaksud dengan ma’rifat adalah bahwa manusia harus mengenal empat perkara
yaitu:
1. Mengenal dirinya.
Yang dimaksud mengenal dirinya adalah bahwa manusia merasa sebagai
hamba Allah, yang rendah dan butuh kepada-Nya.
2. Mengenal Tuhannya.
Arti mengenal Tuhannya yaitu bahwa ia tahu benar dan yakin bahwa Allah
Ta’ala yang berhak dipertuhan Yang Maha Agung dan Maha Kuasa.
3. Mengenal Dunia.
Yang dimaksud mengenal dunia adalah bahwa dia mengetahui hakekat dunia,
mengenal dunia yang terpuji dan dunia yang tercela, sehingga dapat
menempatkan diri hidup di dunia ini. Mana yang halal dan mana yang haram.
4. Mengenal akhirat.
Sedangkan yang dimaksud mengenal akhirat adalah mengetahui keadaan
akhirat, mengenal nikmat-nikmatNya dan mengenal siksa-siksaNya sehingga
dengan mengenal akhirat ini manusia akan merasa bahwa pada waktunya
nanti dia akan hidup di sana.21

18
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1937),hal. 56.
19
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani, 1996), hal. 406
20
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 197
21
Abu Jihaduddin Rifqi al Hanif, Ilmu dan Ma’rifat, (CV. Bintang Pelajar), hal. 76

Anda mungkin juga menyukai