Anda di halaman 1dari 20

BAB II

SEJARAH TAREKAT SYATTARIYAH

A. Asal-usul Tarekat
Secara harfiah, kata thoriqoh berarti sirah, madzhab, thobaqoh dan
maslakul mutashowwifah.1 Sedangkan secara istilah, Tarekat adalah
meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang
sifatnya mengandung) fadilah, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang
disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan
seorang arif (Syaikh) dan (Sufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.2
Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang
khas. Pada masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid
mereka dan beberapa dari murid ini kelak akan menjadi guru pula. Boleh
dikatakan bahwa tarekat itu mensistematiskan ajaran dan metode-metode
tasawuf. Guru tarekat yang sama mengajarkan metode yang sama, dzikir yang
sama, muroqobah yang sama. Seorang pengikut tarekat akan memperoleh
kemajuan melalui rangkaian amalan-amalan berdasarkan tingkat yang dilalui
oleh semua pengikut tarekat yang sama, Dan dari pengikut bisa (mansub)
menjadi murid selanjutnya pembantu Syaikh (Khalifah-nya) dan ahirnya
menjadi seorang guru yang mandiri (mursyid).3
Dari keterangan mengenai tarekat diatas, menurut Abdul Munir, bahwa
jalan menuju Allah meliputi tujuh tindakan; pertama, merasa berdosa dan
banyak bertaubat dengan dalam hati dan jangan lupa untuk istighfar jika
berdosa terhadap sesame minta dihalalkan atau diganti, jika mencuri. Kedua,
bertapa, meninggalkan dunia dan hanya mengambil keperluan hidup sekedar
bagi ibadah sehari semalam dan kuat taatnya terhadap tuhan. Ketiga, hatinya
qona‟ah , menerima pemberian Allah apa adanya, jika kurang tidak boleh
mengeluh kepada Allah maupun yang lainnya. Keempat, tawakkal,

1
Suteja. Teoori Dasar Tasawuf. Cirebon: Nurjati Press. 2011.Hal 87
2
A. Mustofa. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2007. hal.280.
3
Sri Mulyati. Tarekat-tarekat Muktabaroh di Indonesia. Jakarta: kencana.2006. hal 8
menyherahkan jiwa raganya kepada Allah, bagai orang mati yang ketika
disiram air atau dibungkus, diam saja tidak meminta kepada yang
memandikan apalagi kepada yang lainnya, hanya yang hidup saja yang
bersahajah. Seperti itulah manutnya manusia kepada takdir Allah SWT.
Kelima, berhati sabar, tidak mengeluh dan bersedih dalam ngebakti kepada
Allah diwaktu siangdan malam yang fardu atau yang sunnah, mencegah laku
maksiat serta hatinya tawajjuh yang jika diganjar fakir atau melarat atau
dikenai cobaan oleh Allah selalu rela, tidak mengeluh. Keenam, syukur
kepada Allah dengan mengerti makna nikmat. Ketujuh, ikhlas beramal ibadah
hanya untuk berbakti kepada Allah dan bukan untuk yang lain.4

Tarekat tersusun pada mata rantai silsilah guru, sumbernya Al-Qur‟an


dan Hadits Nabi Muhammad SAW. kemudian mantu beliau Ali Abi Tholib
RA. Dalam satu Hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: “aku adalah kota
ilmu dan Ali adalah gerbangnya”. Bagi eksoterisme Islam, Hadits ini menjadi
dasar pendapat bahwa Ali adalah mata rantai esoterik pertama, yang
kepadanya seluruh mata rantai saling mengaitkan.5
Tujuan dari tarekat adalah untuk mencapai ma‟rifat, yakni mengenali
tuhan dengan sebenar-benarnya. Hal ini bisa dijelaskan dengan pernyataan
bahwa tarekat adalah pelaksanaan dari syari‟at yang merupakan uraian dari
ajaran Islam. Sedangkan hakekat adalah keadaan hati, dan ma‟rifat adalah
tujuan pokoknya. Syari‟at diibaratkan sebagai perahu, tarekat sebagai lautan,
dan hakekat sebagai mutiara, dan ma‟rifat sebagai keindahan mutiaranya.
Orang tidak bisa mendapatkan keindahan dari mutiara tanpa dengan perahu
dan lautan.6

4
Abdul Munir Mulkhan. Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kesempurnaan Syekh Siti
Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2002-2004. Hal 184
5
Syaikh Khaled Benthounes. Tasawuf Jantung Islam. Diterjemahkan; Andityas p.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka sufi. 2003. hal 26-27
6
Abu Bakar Atjeh. Pengantar ilmu Tarekat. Solo: Rmadhani. 1985 hal 70
Dalam sebuah tarekat terdapat istilah maqom. Maqom adalah
merupakan sebuah tempat kusus sepanjang perjalanan sufistik (adab) yang
direalisasikan oleh seorang hamba tuhan melalui pelaksanaan semua prilaku
yang baik dan melalui suatu bentuk penelusuran dan disiplin diri. Maqom
sesorang adalah tempat berdirinya dalam keadaan tertentu serta berbagai
prilaku dan tindakan yang ia lakukan. Seseorang tidak bisa naik maqom jika
ia belum mencapai maqom kepuasan (rido), berarti ia tidak siap untuk
mencapai maqom percaya (tawakkal) kepada Allah, maka ia belum saatnya
mencapai maqom ikhlas. Hal yang sama, siapapun yang belum mencapai
maqom tobat maka ia tidak siap untuk mencapai maqom kesedihan yang
mendalam karena dosa, dan siapapun yang belum mencapai maqom
penguasaan (muroqqobah) berarti ia tidak siap untuk penafian diri (fana).7
Untuk melihat kaitan antara tasawuf dengan tarekat dari berbagai
penjelasan-penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan dengan, tarekat pada
mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan
digunakan untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi seorang Syaikh.

7
Slamet Riyadi. Sufisme Klaski: Menelusuri Tradisi Teks Sufi. Bandung: Media
Transformasi Pengetahuan. 2003. hal 137-138
Kelompok ini kemudian menjadi lembaga-lembaga yang mengumpul dan
mengikat sejumlah pengikut dengan aturan-aturan. Dengan kata lain, tarekat
adalah tasawuf yang melembaga. Dengan demikian tasawuf adalah usaha
mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang
ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada tuhan.
Begitulah hubungan antara tasawuf dengan tarekat.
Istilah tarekat dalam tasawuf sering dihubungkan dengan dua istilah
yakni, syari‟ah (syari‟at) dan haqiqot (hakekat), dari istilah tersebut dipakai
untuk menggambarkan peringkat penghayatan keagamaan seorang muslim.
Penghayatan peringkat awal disebut syari‟at peringkat dua disebut tarekat,
sementara peringkat tertinggi adalah hakekat. Syari‟at merupakan jenis
penghayatan keagamaan eksoteris, sedangkan tarekat merupakan jenis
penghayatan keagamaan esoteris. Adapun hakekat secara harfiah berarti
“kebenaran”, namun yang dimaksud dengan hakekat disini ialah pengetahuan
hakiki mengenai tuhan, yang diawali dengan pengalaman syari‟at dan tarekat
secara seimbang.8
Ajaran tasawuf (tarekat) pada dasarnya berkonsentrasi kepada
kehidupan rohaniyah, mendekatkan diri pada tuhan melalui berbagai kegiatan
kerohanian seperti, pembersian hati, dzikir, dan ibadah lainnya.
Al-Qur‟an al-Karim adalah kitab yang didalamnya ditemukan sejumlah
ayat yang berbicara atau paling tidak yang berhubungan dengan hal-hal
tersebut di atas sebagai legitimasi tarekat, diantaranya:

َّ ‫َوأ َ ْن لَ ِى ا ْستَقَا ُمىا َعلَى‬


‫الط ِريقَ ِة ََل َ ْسقَ ْينَا ُه ْم َما ًء َغدَقًا‬
Artinya: „dan bahwasannya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas
jalan itu, benar-benar kami akan memberi minum mereka dengan air yang
segar”.9

ّ ‫َواَناَّ ِمناَّ ال‬


‫ ُك َّنا َطراَئِقَ قِدَدًا‬،‫ص ِل ُح ْىنَ َو ِم َّناد ُْونَ ذ ِل َك‬
8
Sokhi Huda. Tasawuf Kultural: fenomena Sholawat Wahidiyah. Yogyakarta: LKis.
2008. hal 61-62
9
Q.S. al-Jiin ayat 16
Artinya: “ dan sesungguhnya diantara kami ada orang-orang saleh dan
diantara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami
menempuh jalan yang berbeda-beda”.10

ِ ‫يَ ْآءَيُّهاَا َل ِريْنَ آ َم ُن ْىا ااتَّ ُقىا هللا َ َوا ْبتَ ُغ ْىا ا َل ْي ِه ْال َى ٍس ْي َل َة َو َجا ِهد‬
‫ُوافى‬
َ‫سَ ِ ْي ِل ِه َل َ َّل ُ ْم تُ ْ ِل ُح ْىن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadanyadan berjihadlah pada
jalannya. Supaya kamu dapat keberuntungan”.

Dalam sebuah Hadits:

“sesungguhnya jika seorang hamba berada pada tarekat yang baik dan
beribadah, kemudian ia sakit. Maka, dikatakan (oleh Allah)kepada Malaikat
yang mengurusnya, tulislah untuk orang itu pahala yang sepadan dengan
amalny. Apabila ia sembuh sampai aku menyembuhkannya atau
mengembalikannya kepadaku”.11

Artinya: Ali bin Abi Tholib berkata; saya bertanya:”Ya Rosulullah,


manakah jalan (tarekat) yang sedekat-dekatnya dengan tuhan?”. Maka
Rosulullah SAW pun menjawab: “dzikir kepada Allah”12. (al-Hadits)

Rosulullah SAW bersabda: “syari‟at adalah perkataanku (aqwali),


tarekat adalah perbuatanku (af‟ali), dan hakekat adalah keadaan batinku
(ahwali)”. (al-Hadits)

Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di negara-


negara Asia Tenggara khususnya Indonesia, berkat peranan dan kontribusi
toko-tokoh tarekat adalah kenyataan yang diakui hampir mayoritas sejarawan
dan peneliti. Hal ini disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang
lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Karena tasawuf memang memiliki
pandangan terbuka dan berorientasi kosmopolitan.
Harun Nasution menyatakan bahwa setelah al-Ghazali menghalalkan
tasawuf yang sebelumnya yang dikatakan sesat, tasawuf berkembang didunia

10
Q. S. Al-Jiin ayat 11
11
Musnad Ahmad, 11:203
12
Yunasril Ali. Membersihkan Tasawuf dari Syirik, Bid‟ah dan Khurafat. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya; cet, III. 1992. hal. 54
Islam, melalui tarekat. Tarekat adalah organisasi yang bertujuan untuk
melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya, tarekat memakai suatu tempat
pusat kegiatan yang disebut ribat, ini merupakan tempat murid-murid
berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya.13
Pada awalnya Tarekat berkembang dari dua daerah yaitu, Khusaran
(Iran) dan Mesopotamia (Irak), pada periode ini mulai timbul beberapa
diantara tarekat Yasafiyah yang didirikan oleh Abd Al-Khaliq Al-
Ghuzdawani.14 Al-Malatiyah yang didirikan oleh Hambdun al-Qahahor, atau
Taifuriyah yang mengacu kepada Abu Yazid Al- Busthomi, ataupun al-
Khazzaziyah yang mengecu kepada Abu Said Al-Khazzaz. Namun tarekat-
tarekat tersebut dan semacamnya masih dalam bentuk yang amat sederhana
dan bersahaja. Perkembangan dan kemajuan tarekat justru terjadi pada abad
ke-6 dan ke-7 H. yang pertama kali mendirikan tarekat pada periode tersebut
adalah Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, yakni pada awal abad ke-6 H
kemudian disusul tarekat-tarekat yang lainnya.15
Pertumbuhan dan perkembangan tarekat di Indonesia menurut para ahli
sejarawan Indonesia adalah dimulai pada abad ke-13 M, bersamaan dengan
berkembangnya di negara-negara Islam lainnya, yakni berbarengan dengan
gencarnya proses Islamisasi organisasi-organisasi tarekat mulai berkembang,
sehingga dapat disimpulakan bahwa suksesnya penyebaran Agama Islam di
Indonesia adalah karena gerakan dari pemimpin tarekat.16
Setiap putra Indonesia yang kembali setelah belajar di Makkah dapat
dipastikan ia membawa ijazah dari Syaikhnya untuk mengajarkan tarekat
tertentu di Indonesia.
Perkembangan tarekat di Indonesia sejalan dengan perkembangan Islam
di Indonesia, yakni berawal dari Aceh atau yang dulu dikenal dengan nama

13
Harun Nasution. Perkembangan Tasawuf di Dunia Islam. Jakarta: Depag RI. 1986.
hal.24.
14
Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf . Bandung: CV. Pustaka Setia. 2000. hal.167.
15
Alwi Shihab. Op, cit. hal 184
16
Dhofir, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3S. 1982. hal. 140
Samudra Pasai. Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Aceh yakni
pada abad VII M. Kawasan Aceh sebagai sentral penyiaran Islam yang awal
di Nusantara, menjadi markasnya ulama dan sufi besar tepatnya yakni pada
masa Sultan Alauddin Ri‟ayat Syah, Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam
Syah, sampai pada masa kekuasaan Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin Syah.
khususnya dimulai pada masa pemerintahan Iskandar Muda Mahkota Alam
Syah (1606-1616) yang di tandai dengan banyaknya para Alim Ulama dan
daum intelektual yang datang dan berdomisili di kerajaah Aceh.17
Berkat kedatangan para ulama-ulama itu, pemikiran, penghayatan, dan
pengalaman keagamaan begitu berkembang di kawasan Kerajaan Islam Aceh.
Disamping itu juga, tasawuf (tarekat) berkembang pesatdan mewarnai
kehidupan keagamaan di Aceh. Dari sinilah tasawuf (tarekat) tersebar luas ke
Nusantara.
Berkaitan suburnya berbagai pemikiran tasawuf yang berkembang di
Aceh pada abad VII M, yang nantinya akan berujung pada perkembangan
tarekat di Nusantara. Hal tersebut pada umumnya disebabkan oleh dua faktor
yang tidak bisa diabaikan. Faktor pertama adalah bahwa kerajaan Aceh
sebagai sebuah kerajaan Islam yang nantiya apabila ditinjau dari sudut
pandang geografis mempunyai letak yang sangat strategis dalam laulintas
perniagaan di Asia Tenggara. Selat malaka senantiasa dilalui oleh kapal-kapal
besar dan kecil yang sebagian besar datang dari negeri-negeri yang kuat
terhadap pengaruh Islamnya. Hal ini kemudian menyebabkan adanya
interaksi lanjutan dimana banyak pedagang muslim dari Timur Tengah, India,
Gujarat, dan lain-lain yang berniaga di Aceh yang juga sekaligus
mengembangkan agama Islam di sana. Faktor kedua adalah bahwa Sultan
Aceh atau pemimpin Kerajaaan Aceh (masa Iskandar Muda Mahkota Alam
Syah) seorang sultan yang sangat menghormati ajaran agama Islam serta
mencintai Alim „Ulama dan kaum intelektual. Dengan kata lain, ilmu
pengetahuan mendapatkan perhatian yang sangat besar dari sultan Aceh.

17
Abdullah Hawash. Perkembangan ilmu tasawuf dan tokoh-tokohnya di Nusantara.
Surabaya: Al-Ikhlas.Tt. hal 30
Sebagai seorang sultan yang berwibawa, Iskandar Muda Mahkota Alam Syah
juga selalu mendapat sambutan yang baik dari kalangan rakyatnya yang terus
mematuhi perintah serta kebijakan-kebijakannya. Karena dalam hal ini sultan
Iskandar Muda Mahkota Alam Syah adalah seorang sultan yang adil dan
dikenal taat dalam beragama.18
Pada masa awal perkembangan tarekat di Nusantara, pusat penting yang
mempengbaruhi perkembangan tarekat adalah India (Gujarat) yang dari
tempat ini diduga Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin
al-Raniri, Abdurrouf Sinkel, yang keampat-empatnya berasal dari Aceh,
mereka belajar dan mendaapatkan ijazah serta menjadi Kholifah.
Beberapa sumber mengemukakan bahwa tarekat-tarekat mendapat
pengikutnya pertama-tama adalah dari lingkungan istana, dan lama kemudian
barulah merembes ke kalangan masyarakat awam. Para sufi dari Sumatra
bekerja dibawah lingkungan kerajaan. Sumber sejarah yang berbahasa Jawa
dari Cirebon dan Banten menceritakan bagaimana pendiri kerajaan sendiri
menjunjung Tanah Arab dan berbai‟at menjadi pengikut sejumlah traekat
Syattariyah, Naqsabandiyah, Syadziliyah, Kubrawiyah). Tarekat dipandang
sebagai sumber kekuatan spiritual, sekaligus meligitimasi dan mengukuhkan
posisi raja. 19
Disaat tarekat-tarekat memperoleh penganut lebih banyak diantara
khalayak ramai. Tetapi ketika ini berlanjut, banyak pengikut yang membawa
bersama kepercayaan kebatinan pribumi, yang kadang-kadang melibatkan
praktik non-muslim. Sehingga menyebabkan keprihatinan yang besar diantara
para ulama. Maka dari itu, dari keprihatinan mereka kemudian terbentuklah
Jam‟iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu‟tabaroh an-Nadliyyah (JATMAN) yang
menjadi suatu badan otonom NU.
Organisasi ini didirikan di Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, pada 10
Oktober 1957/20 Rajab 1377 ole Nahdlatul Ulama. Para pendirinya adalah

18
Wildan M. Yahya. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syaikh Abdul Muhyi
Pamijahan. Jakarta: Rosda karya. 1998. hal 85
19
Martin Van Bruinesen. Kitab Kuning,: Pesantren dan Tarekat. Bandung : Mizan.
1995. hal 197
K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syamsuri, K.H, Dr. Idhan Chalid,
K.H. Masykur dan K.H. Muslih.20
Tujuan dari organisasi ini adalah mengakui semua tarekat yang
dianggap sah (mu‟tabaroh) dan melacak silsilah-silsilah dari Syaikh yang
sekarang sampai dengan kepada sumber yang pertama, yakni Nabi
Muhammad SAW. Menurut asosoaisi ini , terdapat 45 tarekat,kecuali nomor
44 dan 45 hanya ada pada daftar JATMAN, sedangkan TQN di daftarkan
sebagai suatu tarekat, yang dimaksudkan untuk merepresentasikan keduanya,
yakni Tarekat Qodiriyyah dan Taraekat Naqsabandiyyah. Tarekat yang masuk
kepala kategori tarekat mu‟tabaroh, antara lain21:
1. Tarekat Rumiyyah (Ismail al-Rumi)
2. Tarekat Rifa‟iyyah (Ahmad al-Rifa‟i)
3. Tarekat Sa‟diyyah/Jibawiyyah (Sa‟d al-Din al-Jibawi ibn Yusuf al-
Syaybani)
4. Tarekat Bakriyyah (Abu Bakr al-Wafa‟i)
5. Tarekat Justiyyah
6. Tarekat „Umariyyah
7. Tarekat „Alawiyyah (Muhammad ibn Ali)
8. Tarekat Abbasiyyah
9. Tarekat Zainiyyah (cabang dari Rifa‟iyyah)
10. Tarekat Dasuqiyyah (Ibrohim ibn Abi Abdul Majid al-Dasuqi)
11. Tarekat Akbariyyah
12. Tarekat Bayyumiyyah (Ali ibn al-Hijazi ibn Muhammad al-Bayyumi)
13. Tarekat Malamatiyyah
14. Tarekat Ghaybiyyah
15. Tarekat Tijaniyyah (Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn al-
Mukhtar al-Tijani)
16. Tarekat Uwaysiyyah (Uways al-Qarani)
17. Tarekat Idrisiyyah (Ahmad ibn Idris ibn Muhammad ibn Ali)
20
Sri Mulyati. Peran Edukasi Tarekat Qodiriyyah Naqsabandiyyah dengan Referensi
Utama Suryalaya. Jakarta: Kencana. 2010. hal 87
21
Ibid. hal 93-99
18. Tarekat Samaniyyah (Muhammad ibn Abdul Karim al-Sammani)
19. Tarekat Buhuriyyah
20. Tarekat „Usysyaqiyyah (Hasan Husm al-din „Usysyaqi)
21. Tarekat Kubrawiyyah (Najm al-Din Kubro)
22. Tarekat Mawlawiyyah (jalaluddin Rumi)
23. Tarekat Jalwatiyyah (Aziz Mahmud Hudai)
24. Tarekat Bayrumiyyah (Hajji Bairam al-Ansori)
25. Tarekat Ghazaliyyah
26. Tarekat Hamzawiyyah
27. Tarekat Haddadiyyah (Abdullah ibn Alawi al-Haddad)
28. Tarekat Matbuliyyah (Ibrahin al-Mathbuli)
29. Tarekat Sunbuliyyah (Sinan Yusuf)
30. Tarekat „Idrusiyyah (Abu Bakr al-Aidarus)
31. Tarekat „Uthmaniyyah
32. Tarekat Syadziliyyah (Abu al-Hasan al-Syadzili)
33. Tarekat Sya‟baniyyah (Sya‟ban Wali)
34. Tarekat Kalsaniyyah
35. Tarekat Khadhiriyyah
36. Tarekat Syattariyyah (Abdullah Asy-Syattari)
37. Tarekat Khalwatiyyah (Zahir al-Din Umar al-Khalwati)
38. Tarekat Bakdasiyyah
39. Tarekat Suhrawardiyyah (Diya al-Din Abu Najb al-Suhrawardi)
40. Tarekat Ahmadiyyah (Ahmad al-Badawi)
41. „Isawiyyah Ghorbiyyah (Muhammad ibn Isa al-Mukhtar)
42. Tarekat Turuq Akabir al-Awliyyah (jalannya orang suci yang agung)
43. Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyyah (tarekat ini gabungan antara
Qodiriyyah dan Naqsabandiyyan didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib
Sambas)
44. Tarekat Kholidiyyah wa Naqsabandiyyah
45. Tarekat Ahl Mulazamah al-Qur‟an wa al-Sunnah wa Dala‟il al-Khairat
wa Ta‟lim Fath al-Qorib wa Kifayat al-Awwam (orang yang terbiasa
dengan Qur‟an, Sunnah Rasul (SAW), Dala‟il al-Khayrat dan ajaran
Fath al-qorib dan Kifayat al-Awwam)

B. Kemunculan Tarekat Syattariyah


Tarekat Syattariyah muncul pertama kali di India pada sekitar abad ke-
15. Nama Syattariyah dinisbatkan kepada Abdullah Asy-Syattari. Tarekat
Syattariyah pernah menduduki posisi penting, karena tarekat ini merupakan
salah satu tarekat yang besar pengaruhnya di dunia Islam, termasuk di
Indonesia.
kalau dilacak dari awal lagi, tarekat ini memiliki hubungan keterkaitan
dengan tradisi Transoksiana, karena silsilahnya terhubung dengan Abu Yazid
al-Ishqi, yang terhubung lagi dengan Abu Yazid al-Busthomi (w. 260 H/873
M), dan Imam Ja‟far al-Siddiq (w. 146 H/763 M). Sehingga, tidak
mengherankan jika kemudian tarekat ini dikenal dengan nama Tarekat
Ishqiyyah di Iran, atau Tarekat Busthomiyyah di Turki Utsmani, yang sekitar
abad ke-5 cukup populer di wilayah Asia Tengah, sebelum ahirnya memudar
dan pengaruhnya digantikan oleh Tarekat Naqsabandiyyah.22
Penisbahan nama al-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya
membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah
tauhid yang dihayati didalam dzikir nafi isbath, laa ilaaha (nafi‟) dan illa
Allah (isbat). Nisbah al-Syattar juga merupakan pengukuhan dari guru atas
derajat spiritual yang dicapai, yang kemudian berhak mendapat pelimpahan
hak dan wewenang sebagai wasitah (mursyid). Ditambah juga menurut
Najmudin Kubro, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah akhyar
dan abror. Ketiga istilah ini, dalam hirarki yang sama, kemudian juga
dipakai didalam tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para
sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af‟al diri (wujud jiwa
raga).23

22
Oman Faturahman. Op, cit. hal 28
23
Suteja. Op, cit. hal 101
Perkembangan selanjutnya, setelah Syaikh Abdullah Asy-Syattar
mengembangkan di wilayah India, Tarekat Ishqiyyah atau Busthomiyyah
tersebut mengalami kebangkitannya kembali, yang kemudian menyebutnya
sebagai Tarekat Syattariyah. Semenjak itulah Tarekat Syattariyah selalu
dihubungkan dengan jenis tasawuf India, kendati nama Abu Yazid al-Ishqi
dan Abu Yazid al-Busthomi masih menjadi sandaran dalam tradisi silsilahnya
untuk menghubungkan sampai kepada Imam Ja‟far al-Siddiq, dan yang
ahirnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Syaikh Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya, Syaikh
Muhammad Arif. Di Jaunpur, ibukota sebuah Kerajaan Islam kecil di India
bagian utara, wilayah ini merupakan tempat pertama Syaikh asy-Syattar
setelah perpindahannya dari pendidikannya di Persia. Karena mendapat
berbagai kesulitan, dia pindah ke Mandu, ibukota Kerajaan Islam kecil
disebelah timur Gujarat. Disinilah ia mendirikan khanqoh 24 dan mengajarkan
tarekat-nya hingga wafat.
Abdullah asy-Syattar diketahui menulis sebuah kitab berjudul Lata‟if
al-Ghaibiyyah yakni tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Tarekat Syattariyah,
yang disebutnya sebagai cara tercepat untuk mencapai tingkat ma‟rifat.
Karya inin kemudian disempurnakan oleh dua murid utamanya, Syaikh
Muhammad A‟la, yang dikenal sebagai Syaikh Qodhi Bengal (Qazam
Syattari), dan Syaikh Hafiz Jawnpur. Yang tercatat sebagai urid Syah
Abdullah yang berjasa mengembangkan silsilah Tarekat Syattariyah di India
bagian utara melalui murudnya, Syaikh Budhdhan. Yang selanjutnya, murid
dari Syaikh Budhdhan ini , Syaikh Baha al-Din, menulis juga sebuah kitab
berjudul Risalah Syattariyah, yang juga berisi tentang prinsip-prinsip dari
ajaran Tarekat Syattariyah.25
Sebagai sebuah gerakan ekspansi keagamaan, Tarekat Syattariyah pada
periode ini lebih diarahkan kepada perjuangan untuk meningkatkan nilai-nilai

24
Berasal dari bahasa Persia, yang berarti sebuah bangunan yang digunakan oleh para
sufi untuk berbagai macam keperluan, seperti belajar mengajar, berkhalwat, berdzikir dan
sebagainya
25
Sri Mulyati. Op, cit. hal 155
moraldam spiritual melalui penyebaran berbagai ajaran dalam Islam. Dalam
usaha ini, Syaikh Abdullah asy-Syattar beserta para pengikutnya
mengembangkan kecendrungan untuk menyesuaikan diri dengan tradisi atau
ritual masyarakat setempat yang saat itu masih banyak dipengaruhi oleh ajran
atau ritual Hindu. Sikap akomodatif para penganut Tarekat Syattariyah seperti
ini lebih muda perhatian kalangan non-muslim untuk memeluk ajaran Islam,
dan bahkan hal ini dianggap sebagai kunci sukses perkembangan ajaran
Tarekat Syattariyah.
Dalam silsilah Tarekat Syattariyah yang berkembang yang khususnya di
daerah Melayu-Indonesia, nama murid Syaikh Abdullah asy-Syattar, yakni
Syaikh Qodi Bengal dan Syaikh Hafiz Jawnpur, sejauh ini belum pernah
dijumpai. Nama yang menempati posisi sebagi Khalifah Tarekat Syattariyah
setelah Syaikh Abdullah asy-Syattar adalah imam Qodi asy-Syattari, Syaikh
Hidayatullah al-Sarmasti, Syaikh Haji huduri dan Syaikh Muhammad Gauts
dari Gwalior.26
Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah diperluasakn
oleh para murid-muridnya. Salah seorang murid yang paling berperan dalam
mengembangkan dan menjadikan Syattariyah sebagai satu tarekat yang
indipenden atau berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts. Ia berhasil
memapankan doktrin dan ajaran tarekat Syattariyah melalui berbagai
karangannya antara lain, Jawahir al-Khamsah, kilid Makhzan, dama‟ir,
Basyayir, dan Kanz al-Tauhid.27 Sehingga dapat dipastikan bahwa kitab ini
memuat sejumlah doktrin dan rumusan penting yang berkaitan dengan
Tarekat Syattariyah pada periode awal pertumbuhannya di India.
Diantara murid-murid Syaikh Muhammad Ghauts yang paling
terkemuka adalah Syaikh Wajih al-Din‟Alawi yang tinggal di Ahmadabad,
India. Perkembangan Traekat Syattariyah mulai surut setelah wafatnya
Syaikh Muhammad Ghauts dan Syaikh Wajih al-dsin „Alawi. Yang dalam
periode berikutnya tergantikan oleh Tarekat Naqsabandiyyah dan Qodiriyyah.

26
Oman Faturahman. Op, cit. hal 29
27
Ibid. hal 29
Akan tetapi, Syaikh Wajih al-Din „Alawi menyisakan seorang murid bernama
Sayyid Sibghotullah ibn Ruhullah Jamal al-Barwaji (w. 1015 H/1606 M)
kelahiran India dari orang tua asal Persia.28 Selama beberapa tahun, dibawah
lindungan penguasa setempat, Shibghotullah sempat mengajarkan doktrin
Tarekat Syattariyah di tempat kelahirannya, yuang kemudian ia mengadakan
perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Setelah setibanya di tanah Haramayn, ia merasa lebih dapat
mengembangkan Tarekat Syattariyah di Makkah dan Madinah. Terbukti
setelah selesai menunaikan ibadah haji, ia memutuskan tinggal di Madinah,
dimana ia membangun sebuah rumah dan Ribat.
Karir keilmuan Sayyid Sibghotullah di Haramayin rupanya terus
bersinar, ia aktif mengajar di Masjid Nabawi dan di Ribat-nya sendiri. Ia juga
menulis sebuah kitab dalam bidan Tasawuf, kalam dan komentar atas tafsir
al-Baidhowi. Murid-muridnya pun datang dari berbagi kalangan, salah satu
yang paling terkemuka dan menjadi penerus Tarekat Syattariyah adalah
Ahmad al-Shinawi (lahir 975 H/1567 M) dan Ahmad al-Qushashi (991-1071
H/1585-1660 M). Kedua orang inilah yang paling bertanggung jawab
mewariskan ajaran-ajaran Shibghotallah di Haramayn. Hubungan antara al-
Shinawi dan al-Qoshashi sendiri tergolong unik. Disatu sisi al-Shinawi adalah
kawan seperguruan al-Qushashi dari Sayyid Shibghutallah, tetapi disisi lain,
al-Shinawi juga adalah guru dan juga mertua al-Qushashi. Ia mengajari al-
Qushashi berbagai pengetahuan keIslaman seperti: hadits, fiqih, kalam, dan
tasawuf.29 Setelah al-Shinawi wafat, tanggung jawab atas penyebaran ajaran
Tarekat Syttariyah di Haramyin benar-benar diambil alih oleh al-Qushashi.
Selanjutnya, melalui muruid-murid yang datang dari berbagai kalangan,
al-Qushashi juga dianggap sebagai tokoh yang paling utama dalam transmisi
ajaran Tarekat Syattariyah ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke wilayah
Indonesia. Diantara salah satu muridnya ialah Ibrahim al-Qurani (1023-1102

28
Ibid. hal 31
29
Ibid. hal 31-32
H/1616-1690 M) dan Abdurrouf bin Ali al-Jawi (1024-1105 h/1615-1693
M).30

C. Penyebaran Tarekat Syattariyah di Nusantara


Abdurrauf bin Ali al-Jawi sendiri yang paling sering dianggap sebagai
ulama yang paling otoritatif dalam menyebarkan Tarekat Syattariyah di
wilayah Melayu-Indonesia. ia telah menunjukan posisinya sebagai ulama
memumpuni yang dapat mensejajarkan dirinya dengan para ulama besar dari
belahan dunia lain. Dan dari ia-lah penyebaran Tarekat Syattariyah di wilayah
Melayu-Indonesia, Abdurrauf merupakan figur utama, karena hampir silsilah
Tarekat Syattariyah bermuara kepada dirinya.
Tarekat Syattariyah dibawa dan dikembangkan di Indonesia oleh
Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi, seorang ulama yang berasal dari Sinkel,
Aceh. Ketika ia melaksanakan ibadah haji ke Makkah ia menggunakan
kesempatan tersebut untuk menuntut ilmu seluas-luasnya seperti tafsir, hadits,
fiqih, kalam, terutama di bidang tasawuf dan tarekat. Ia menetap di
Haramayin selama 19 tahun. Ia belajar dari berbagai pengetahuan keagamaan
tersebut pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15
tokoh mistik kenamaan jeddah, Makkah, Madinah, Moka, Bait al-Faqih, dll.31
Abdurrauf mempunyai banyak mata rantai secara langsung dan kokoh dengan
para tokoh utama dari jaringan ulama. Untuk pertama kalinya, dapati pada
sosok Abdurrauf sebuah gambaran lebih jelas dari silsilah-silsilah intelektual
dan spiritual, yang menempatkan Islam di wilayah Melayu-Indonesia diatas
peta penyebaran global pembaruan Islam.
Dibandingkan dengan yang lain, ia sangat menaruh hormat kepada
Ahmad al-Qushashi. Ia menyebut Ahmad al-Qushashi dengan “pembimbing
spiritual dan guru di jalan Allah”. Setelah mendapat banyak ilmu dari

30
Ibid. hal 32
31
Ibid. hal 32
gurunya, Syaikh Ahmad al-Qushashi, kemudian kembali ke Sinkil, Aceh,
Indonesia, yang ketika itu masyarakatnya belum banyak masuk Islam.32
Bagaimanapun juga, kedatangan Abdurrauf dari Arabia dengan
sendirinya menciptakan rasa penasaran, terutama dilingkungan istana. Tidak
lama kemudian Abdurrauf dikunjungi seorang pejabat istana, Khatib Seri
Rajab Hamzah al-Asyi. Ia diutus Sultanah untuk menyelidiki pandangan-
pandangan keagamaan Abdurrauf, karena saat itu telah terjadi perdebatan
dalam hal keagamaan. Namun Abddurrauf berhasil lulus dari ujian itu, sebab
ia segera merebut hati kalangan istana. Kemudian ia ditunjuk Sultanah
menduduki jabatan sebagai Qodhi Malik al-„Adl atau Mufti, yang
bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan, yakni
pada masa pemerintahan Sultanah Syafiatuddin.33
Abdurrauf adalah seorang ulama Aceh yang menyebarkan ajaran
martabat alam tujuh yang dikenal di Aceh sebagai paham Wahdatul Wujud
atau Wujudiyyah (pantheisme) dengan paham sunnah. Ajaran seperti inilah
yang kemudian dibawa oleh muridnya, Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan ke
daerah Jawa.
Pemikiran tasawuf Abdurrauf dapat dilihat antara lain pada persoalan
kecendrungannya untuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syari‟at. Kendati
demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan
Nuruddin al-Raniri, yaitu penganut paham satu-satunya wujud hakiki yakni
Allah. Sedangkan alam ciptaanya bukanlah merupakan wujud hakiki, akan
tetapi bayangan dari yang hakiki. Walaupun demikian antara bayangan (alam)
dengan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu mempunyai persamaan.
Maka dari itu, sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah, seperti
yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakekatnya setiap perbuatan
adalah merupakan perbuatan dari Allah.34

32
Karel A. Steenbrink. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonasia abad ke-19. Jakarta:
PT. Bulan Bintang. 1984. hal 182
33
Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
& XVIII. Jakarta: Kencana. 2007. hal 242
34
M. Sholihin. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2005. hal 62
Ajaran dari tasawuf Abdurrauf yang lain adalah berkaitan dengan
martabat perwujudan . menurutnya ada tiga martabat perwujudan: pertama,
martabat ahadiyyah atau laa Ta‟ayyun, yang mana alam pada waktu itu
masih merupakan hakekat ghoib yang masih berada didalam ilmu Tuhan.
Kedua, martabat wahdah atau ta‟ayyun awwal, yang mana sudah tercipta
hakekat Muhammadiyyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga,
martabat Wahdiyyah atau Ta‟ayyun Tsani, yang disebut juga dengan ta‟ayyun
al-tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta. Menurutnya, tingkatan itulah yang
dimaksud Ibn „Arobi dalam Sya‟ir-sya‟irnya. Menurut Abdurrauf, jalan untuk
mengesakan tuhan adalah dengan dzikir: laa ilaha illaAllah sampai
terciptanya kondisi fana.35
Sikap yang ditunjukkan olae Abdurrauf dalam menghadapi berbagai
persoalan keagamaan, tampaknya telah mengukuhkan dirinya sebagai seorang
ulama yang sangat dihormati. Kharismanya tidak hannya menarik bagi
masyarakat Aceh saja, tetapi juga bagi masyarakat muslim di wilayah
lainnya. Hal itu erbukti dari banyaknya para murid yang datang ke Aceh
untuk belajar pengetahuan keIslaman dengannya.
Diantara murid-murid Abdurrauf yang paling terkemuka diantaranya
ialah Syaikh Burhanuddin dari Ulukan, Pariaman, Sumatra Barat dan Syaikh
Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dari kedua murid
inilah yang kemudian berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah
Tarekat Syattariyah, dan menjadi tokoh sentral di wilayahnya masing-masing.
Syaikh Burhanuddin menjadi Khalifah utama bagi semua Khalifah Tarekat
Syattariyah di wilayah Sumatra Barat, sedangkan Syaikh Abdul Muhyi
menjadi salah satu mata rantai utama bagi terhubungkannya silsilah Tarekat
Syattariyah di wilayah Jawa Barat khususnya, dan di Jawa pada umumnya. Di
semenanjung pula Abdurrauf mempunyai murid yang terkemuka lain, yakni
Abdul Malik bin Abdullah (1089-1149 H/1678-1736 M) yang dikenal sebagai
Tok Pulau Manis dari Trengganu.36

35
M. Sholihin. Ibid. hal 63
36
Oman Faturahman. Op, cit. hal 34-35
D. Tarekat Syattariyah di Keraton Cirebon
Masuknya tarekat di Cirebon yakni berawal dari keraton, bebarengan
dengan masuk dan perkembangan Agama Islam di Cirebon. Menurut
keterangan yang penulis dapatkan Sunan Gunung Jati adalah sebagai
penganut Tarekat Syattariyah. Berawal dari kedatangan Syaikh Nurjati di
Cirebon. Syaikh Nurjati menyebarkan Agama Islam juga sekaligus
mengajarkan Tarekat Syattariyah, akan tetapi hanya kepada orang-orang
tertentu saja yang sudah dianggap mampu untuk menjadi anggota tarekat.
Setelah Syaikh Nurjati, kemudian Tarekat Syattariyah dipimpin oleh
Pangeran Cakrabuana yang pada saat itu sebagai penguasa Cirebon. Baru
setelah estafet kepemimpinan Tarekat Syattariyah, Pangeran Cakrabuana
selanjutnya dipegang oleh Sunan Gunung Jati.37
Dari awal masuknya ke Keraton, Tarekat Syattariyah sudah
mempermainkan peranan pentingnya, sehingga memberikan warna dalam
kehidupan pemerintahan Kerajaan Cirebon tersebut.
Pemerintahan Cirebon pada masa awalnya sangat bersifat agamis.
Aspek agama menjadi perioritas utama dan mengenyampingkan aspek-aspek
lainnya dalam pemerintahan, termasuk aspek ekonomi. Kemajuan agama
sangat lebih dikedepankan, khususnya pada masa Caruban Nagari (awal
berdirinya Kerajaan Islam di Cirebon).38
Ketika Sultan Jalaluddin Kasepuhan wafat, tahtanya diganti oleh
puteranya, setelah dinobatkan bergelar Sultan Raja Tajul „Arifin. Ia adalah
seorang yang ahli kitab dan pandai berbahasa Arab. Pada masa inilah puncak
aspek keagamaan di Keraton Cirebon menjadi perioritas utama dari yang
lainnya. Ajaran sufi (tarekat), digalakkan, mengajari ilmu I‟tiqod, fikih,
termasuk kitab-kitab sufi karangan Haji Abdul Muhyi, Tasikmalaya, Ki Emas
Saparwardi dan Kyai Hamzah Fansuri. Oleh karena itu, ia tidak hanya sebagai

37
Hasil wawancara bersama Rama Guru Bambang Irianto di kediamannya, jln
Geriliawan, Drajat kotamadya Cirebon. Pada hari selasa, 06 Mei 2014
38
Hasil wawancara dengan Rama Guru Bambang Irianto yang keedua, di kediamannya.
15 Mei 2014
sultan, tetapi juga merangkap sebagai seorang Guru Ratu Mulia Wakil Allah.
Ia memperoleh gelah Tajul „Arifin di negara Pakungwati.39
Begitu pun dengan Keraton Kaprabonan. Telah dijelaskan diatas,
bahwasannya pembangunan Keraton Kaprabonan adalah awalnya dalam
rangka ingin mengembangkan Tarekat Syattariyah yang terpisah dengan
Keraton. Artinya, dunia Tarekat adalah menjadi sangat penting bagi
kehidupan keraton, sehingga perlu untuk tempat tersendiri dalam
pengajarannya.
Seluruh keraton (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan)
semuanya dipengaruhi oleh Tarekat Syattariyah, sehingga menjadikan tarekat
ini sebagai tarekat resmi yang danut oleh Keraton-keraton Cirebon. Dengan
kata lain pengaruh Tarekat Syattariyah dilingkungan Keraton adalah
sangatlah besar. Sehingga berbagai ritual-ritual kekeratonan pun memakai
ajaran Tarekat Syattariyah, antara lain adalah ritual ziarah ke makam Sunan
Gunung Jati, memakai dzikirnya Tarekat Syattariyah. Para Penghulu keraton
adalah sebagai mursyid dari Tarekat Syattariyah, yang salah satunya adalah
Mbah Muqoyyim yang mempunyai murid Sultan Kacirebonan.40
Pengaruh Tarekat Syattariyah mewarnai dinamika kehidupan Pesantren.
Yakni setelah para Penghulu Keraton (Kanoman) memutuskan untuk keluar
dari keraton dan lebih berminat mengembangkan ajaran Agama Islam.
Sekaitar abad 17 M, ketika masa penjajahan Belenda, pihak penjajah
(VOC) telah memonopoli kehidupan keraton, baik dari aspek ekonomi,
politik, maupun semacamnya, seketika itulah para penghulu keraton maupun
dari kalangan keluarga keraton sendiri sudah tidak betah lagi hidup di
lingkungan keraton. Ahirnya mereka memutuskan keluar keraton dan
mangasingkan diri sekalian untuk menyebarkan ajaran Agama Islam dengan
membangun pesantren-pesantren dan mengajarkan ketarekatan.41

39
R. Bambang Irianto dan Ki Tarka Sutaraharja. Sejarah Cirebon: Naskah Keraton
kacirebonan. Yogyakarta: Deepublish. 2013. Hal 129
40
Ibid.
41
Ibid.
Diantara salah satu dari penghulu keraton itu adalah Mbah Muqoyyim
yang berhasil mendirikan Pondok Pesantren Buntet. Sekalipun Mbah
Muqoyim sendiri sebagai pendiri Pesantren Buntet adalah juga penghulu
Kraton dan mursyid Syattariyah, tetapi Mbah Muqoyim tidak menyebarkan
tarekat ini di Buntet, adalah Kyai Anwaruddin Kriyani al-Malebari (Ki Buyut
Kriyan) yang menyebarkan Tarekat Syattariyah di Buntet. Berbeda dengan
Aceh (as-Singkili), Buyut Kriyan memperoleh Tarekat Syattariyah dari
Kaliwungu Jawa Tengah (Kyai Asy‟ari). Dari Buyut Kriyan tarekat ini
diteruskan Kyai Soleh Zamzami, Pesantren Benda Kerep (wilayah Kota
Cirebon), sementara Buntet dalam wilayah Kabupaten Cirebon. Hingga
penelitian Muhaimin usai, tarekat berada di tangan Kyai Abdullah Abbas,
Kyai Fuad Hasyim, dan Kyai Abbas Sobih (Kang Obih).42 Kini, tarekat
Syattariyah berkembang pesat di Pesantren Bendakerep di pinggir kota
Cirebon.
Selain di Buntet masih banyak lagi pesantren-pesanteren yang didirikan
oleh para penghulu dari keraton bahkan sampai di luar Cirebon, temasuk
pesantren di Madura, dan Gontor yang masih ada keturunan dari Keraton
Cirebon. Terlebih pesantren-pesantren yang terdapat di wilayah Cirebon
seperti, Buntet, Benda Kerep, Sangkan Urip Cilimus, Kroya, Wanasaba,
Mertasinga dll. Yang kesemuanya itu pendirinya adalah dari keraton.43
jelasnya, mereka para penyebar ajaran Tarekat Syattariyah adalah masih satu
rumpun dalam kekerabatan Keraton, khususnya Keraton Kanoman.
Pesantren-pesantren itulah yang merupakan basis utama dalam
penyebaran dan pengembangan Tarekat Syattariyah yang terdapat diluar
keraton. Sehingga banyak amalan-amalan ajaran Tarekat Syattariyah yang di
praktikkan dalam masyarakat sekitar pesantren tersebut.
Adapun para pengikut dari tarekat ini adalah dari berbagai kalangan,
ada yang dari Kyai, santri, pedagang, dan masyarakat umum pada umumnya.

42
syattariyah.blogspot.com/2012/05/sejarah-syattariyah-cirebon.htm 29 Juni 2014
43
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai