Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bila seorang pembawa dakwah mengayunkan langkah, tentu akan bermacam corak
manusia yang akan dijumpainya, masing-masing corak itu harus dihadapi dengan cara yang
sepadan, tingkat kecerdasan sepadan dengan alam pikiran dan tabiat masing-masing.
Manusia diciptakan oleh Allah dengan kesempurnaannya yaitu diberinya akal pikiran untuk
melengkapi kekhalifahannya di muka bumi. Namun Allah memberinya pula potensi nafsu
yang membuat manusia menjadi khilaf dan salah. Oleh karenanya manusia senantiasa
memerlukan peringatan dan nasihat dari orang lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
antara lain adalah:
1. Apa maksud dari Nasihat, Wasiat, Tabsyir wa Tandzir serta Qashash
2. Bagaimana kriteria seorang penasihat?
3. Bentuk wasiat apa saja yang digunakan dalam Dakwah?
4. Apa tujuan Qashash?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. NASIHAT
Kata nasihat berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja “Nashaha” yang berarti
khalasha yaitu murni dan bersih dari segala kotoran, juga berarti “khatta” yaitu
menjahit. Dan dikatakan bahwa kata nasihat berasal dari kata yang artinya “orang itu
menjahit pakaiannya”. Apabila dia menjahitnya, maka mereka mengumpamakan
perbuatan penasehat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya
dengan jalan memperbaiki pakaiannya yang robek.
Sebagian ahli ilmu berkata nasihat adalah perhatian hati terhadap yang
dinasihati siapa pun dia. Nasihat adalah salah satu cara dari al-mau’izah hasanah yang
bertujuan mengingatkan bahwa segala perbuatan pasti ada sangsi dan akibat.
Al-Asfahani memberikan pemahaman terhadap term tersebut dengan makna al-
mau’idzah merupakan tindakan mengingatkan seseorang dengan baik dan lemah
lembut agar dapat melunakkan hatinya. Dan apabila ditarik suatu pemahaman bahwa
al-mau’idzah hasanah merupakan salah satu manhaj dalam dakwah untuk mengajak ke
jalan Allah dengan cara memberikan nasihat.
1. Kriteria Seorang Penasihat
Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang da’i
yang mengajak kepada perbuatan ma’ruf dan melarang orang lain berbuat mungkar,
haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma’ruf, mungkar dan dapat membedakan
antara keduanya serta harus memiliki ilmu tentang keadaan orang yang diperintah dan
yang dilarang. Dan yang dimaksud dengan ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa
Rasulullah dari apa-apa yang Allah utuskan kepadanya. Jadi, berdakwah tanpa didasari
ilmu menyalahi peraktek Nabi SAW.
Pentingnya seorang da’i berbekal ilmu yang benar berdasarkan nash Al-Qur’an
memiliki kualitas akademik tentang Islam, konsistensi antara amal dan ilmunya, santun
dan lapang dada dan lain-lain sangat mendukung dalam memberikan pesona kepada
mad’u, karena bagaimana mungkin seorang da’i berdakwah menyeru kepada manusia
kepada dien Allah sedangkan da’i tidak mengetahui jalan menuju-Nya, tidak
mengetahui syariat-Nya.
2. Untuk Siapakah Nasihat itu?
Memberikan nasihat merupakan salah satu cara seseorang dalam menuntun
orang lain menuju kepada jalan yang baik. Dalam kaitannya dengan nasihat Rasulullah
SAW., bersabda:
Dari Abi Ruqoyyah Tamin bin Aus Addari r.a berkata: Bersabda Nabi
Muhammad SAW: “Agama itu adalah nasihat”, sahabat bertanya: “untuk
siapa?” Nabi menjawab: “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, Rasul-Nya, para
pemimpin serta kaum muslimin pada umumnya.” (H.R. Muslim).

2
Syekh Muhammad Hayyat as-Sindi dalam kitabnya Syarah al-Abrahin dan an-
Nawawiyah menjelaskan hadits tersebut yaitu, bahwasanya nasihat kepada Allah
adalah menjauhi larangannya dan melaksanakan segala perintahnya dengan seluruh
kemampuan yang ada pada seseorang, apabila ia tidak mampu menjalankan
kewajibannya karena suatu alasan tertentu seperti sakit atau terhalang sesuatu atau
sebab-sebab lainnya, maka ia tetap berniat dengan sungguh-sungguh melaksanakan
kewajiban tersebut apabila penghalang tadi telah hilang.
Adapun nasihat kepada kitab-Nya ialah dengan meyakini bahwasanya Al-
Qur’an itu kalamullah, wajib mengimani apa yang ada di dalamnya, mengamalkan,
memuliakan dan membacanya dengan sebenar-benarnya, mengutamakan diri yang lain,
dan penuh perhatian untuk mendapatkan ilmu-ilmunya serta ia merupakan teman dekat
orang-orang yang berjalan menempuh jalan Allah, wasilah bagi orang-orang yang
berhubungan dengan Allah, sebagai penyejuk mata bagi orang-orang yang berilmu dan
barangsiapa yang ingin sampai pada tujuan hidup harus menempuh jalannya, jika tidak
maka ia akan sesat.
Nasihat kepada Rasul-Nya yaitu dengan meyakini bahwa beliau seutama-utama
makhluk dan kekasih Allah. Allah mengutusnya kepada hamba-hambanya agar beliau
mengeluarkan mereka dari segala kegelapan kepada cahaya yang terang dan
menjelaskan kepada mereka jalan Allah yang lurus agar mereka mendapat kenikmatan
surga dan terhindar dari api neraka dengan mencintainya, memuliakannya, dan
mengikutinya.
Nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin yaitu kepada para penguasa
mereka, mendengar dan taat kepada mereka dalam hal yang bukan maksiat kepada
Allah dikarenakan tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat, seperti yang
disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam hal
maksiat kepada Allah”.
Sedangkan nasihat kepada kaum muslimin pada umumnya menolong mereka
dalam hal kebaikan, dan melarang mereka berbuat keburukan, membimbing mereka
kepada petunjuk dan mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan, mencintai
kebaikan untuk mereka sebagaimana ia mencintainya untuk hamba-hamba Allah, maka
haruslah bagi mereka seorang hamba untuk memandang mereka dengan kacamata yang
satu yaitu kacamata kebenaran.
3. Nasihat Dalam Perspektif Al-Qur’an
Perintah saling menasihati ini dapat kita lihat pada Firman Allah sebagai
berikut:

(2)‫سانَ لَ ِفي ُخسإر‬


َ ‫اْل إن‬ ‫َو إال َع إ‬
ِ ‫( ِإ َّن إ‬1)‫ص ِر‬
(3)‫صب ِإر‬
َّ ‫ص إوا بِال‬ ِ ‫ص إوا بِ إال َح‬
َ ‫ق َوت ََوا‬ َ ‫ت َوت ََوا‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫إِ ََّّل الَّذِينَ آ َمنُوا َو‬
َّ ‫ع ِملُوا ال‬
Artinya: “Demi masa(1) Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian(2) Kecuali
orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal saleh dan saling menasihati tentang
kebenaran serta menasihati tentang kesabaran(3)” (Q.S. Al-‘Ashr:1-3).

3
Dalam ayat ini ada dua hal yang diminta untuk diwasiatkan yaitu al-haq dan
ashhabru.
Al-haq dari segi bahasa berarti sesuatu yang mantap tidak berubah apa pun yang
terjadi. Allah adalah al-haq karena tidak mengalami perubahan. Nilai-nilai agama juga
adalah al-haq. Seperti Nabi mengatakan: agama itu adalah nasihat. Allah SWT adalah
al-haq, karena itu sebagian para pakar tafsir, memahami kata al-haq dalam ayat ini
dengan arti yakni bahwa manusia hendaknya saling ingat mengingatkan tentang
keberadaan, kekuasaan, keesaan Allah serta sifat-sifat lain-Nya.
Dalam surah ini pada urutan yang terakhir terdapat kata-kata wa tawa
showbisshobri dan saling menasihati dalam kesabaran. Menurut imam al-Ghazali lebih
dari tujuh puluh kali Allah menguraikan masalah sabar dalam al-Qur’an.
4. Nasihat Dalam Perspektif As-Sunnah
Rasulullah sebagai seorang pengajar, pendidik dan pendakwah pertama umat
ini, adalah pendidik yang sangat memperhatikan sisi perbedaan individu baik secara
teori maupun praktek.
Dalil-dalil dan bukti bahwa Rasulullah telah melakukan ini adalah sebagai
berikut:
- Perbedaan nasihatnya terhadap beberapa orang yang berbeda latar
belakangnya
- Perbedaan jawaban dan fatwanya pada pertanyaan yang diajukan oleh
beberapa orang yang berbeda
- Perbedaan sikap dan perilakunya terhadap beberapa orang yang berinteraksi
dengan mereka
- Perbedaan perintah dan pembebanan terhadap orang yang berbeda serta
dengan kemampuan dan kapasitas yang berbeda
- Penerimaannya terhadap sebagian sikap atau perilaku seseorang yang tidak
dia terima dari orang yang berbeda.

B. TABSYIR WA TANDZIR
Tabsyir secara bahasa berasal dari kata basyara yang mempunyai arti
memperhatikan, merasa senang. Menurut Quraish Shihab basyara berarti penampakan
sesuatu dengan baik dan indah. Maka basyar dalam bahasa Arab sering diartikan kulit,
karena kulitlah yang membuat kelihatan indah, demikian pula kata tabsyir
diterjemahkan dengan berita gembira karena membawa kebaikan dan keindahan.
Kenapa manusia sering disebut basyar, karena bagian yang terbesar yang bisa dilihat
adalah kulitnya serta yang bisa membuat kelihatan indah.
Adapun tabsyir dalam istilah dakwah adalah penyampaian dakwah yang berisi
kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang yang mengikuti dakwah.
Menurut penulis terminologi tabsyir dalam kontek dakwah adalah informasi,
berita yang baik dan indah sehingga bisa membuat orang lain gembira untuk
menguatkan keimanan sekaligus sebagai sebuah harapan dan menjadi motivasi dalam
beribadah serta beramal shalih.

4
Di dalam Al-Quran kata tabsyir banyak disebutka,menurut Muhammad Abdul
Baqi' kata tabsyir atau mubasyir disebutkan sebanyak 18 kali. Dari sekian banyak kata
tabsyir, semuanya diartikan dengan "kabar gembira atau berita pahala", hanya saja
bentuk kabar gembiranya beragam, antara lain kabar gembira dengan syariat Islam,
kabar gembira dengan kedatangan Rasul, kabar gembira tentang akan turunnya Al-
Quran dan kabar gembira tentang Surga. Dalam kontek dakwah,sesungguhnya bentuk
kabar gembira tidak harua menggunakan kata basyir tetapi apa saja yang bisa membawa
rasa gembira bagi orang yang mendengarnya sehingga bisa dijadikan motivasi untuk
meningkatkan beribadah dan beramal shaleh.
1. Tujuan Tabsyir
Kegiatan dakwah sesungguhnya mempunyai orientasi yang jelas, yaitu
mengajak mengarahkan orang untuk mengikuti yang benar, baik dalam kehidupan
dunia maupun akhirat. Karena nya target yang amat panjang ini akan selalu
mendapatkan kesulitan-kesulitan yang akan menimbulkan sifat pesimis dan keputusa
asaan, maka konsep tabsyir ini diharapkan bisa membantu menghilangkan sifat-sifat di
atas. Adapun tujuan tabsyir antara lain:
 Menguatkan atau memperkokoh keimanan
 Memberikan harapan
 Menumbuhkan semangat untuk beramal
 Menghilangkan sifat keragu-raguan

Tujuan diatas diharapkan menjadi sebuah motivasi di dalam melaksanakan


ajaran-ajaran Agama.
2. Bentuk-bentuk Tandzir
Kata tandzir atau indzar secara bahasa berasal dari kata na-dza-ra, menurut
Ahmad bin Faris adalah suatu kata yang menunjukkan untuk penakutan (takhwif).
Adapun tandzir menurut istilah dakwah adalah penyampaian dakwah dimana
isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan
segala konsekuensinya.
Di dalam Al-Quran, istilah tandzir biasanya dilawankan dengan kata tabsyir.
(Dalam surat al-Baqarah : 119) yang artinya :
"Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan dan kamu tidak akan diminta
(pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka."
Menurut Mustafa Malaikah dalam hasil penelitiannya tentang Manhaj dakwah
Yusuf al-Qardhawi, bahwa sebagai seorang da'i hendaknya beramal dengan seimbang
antara rasa harap dan takut dan seimbang dalam menyampaikan kabar gembira dan
ancaman,karena dalam agama islam terdapat "tawazun dan tawasut" atau
keseimbangan dan pertengahan. Jangan sampai seorang da'i melebihkan dengan
peringatan memberikan rasa takut kepada umatnya sehingga justru akan
mengakibatkan sesorang merasa putus asa dari rahmat Allah.

5
Sebaliknya juga da'i tidak seyogyanya terlalu berlebihan dalam memberikan
kabar gembira, sehingga seseorang merasa aman dan tenang dari murka Allah SWT.
Sikap berlebihan dalam Islam dianggap sebagai sifat yang tidak terpuji, maka
berkaitan dengan pemberian tabsyir dan tandzir pun harus diterapkan secara
propesional sehingga kedua konsep itu mampu memberikan arah yang jelas bagi umat.
Hasjmy dalam buku dustur dakwah menurut al-Quran mengutip pendapatnya
Muhammad al-Ghazali bahwa rumusan bentuk-bentuk tandzir sebagai berikut :
1. Penyebutan Nama Allah
2. Menunjukkan keburukan
3. Pengungkapan Bahayanya
4. Penegasan Adanya Bencana Segera

C. WASIAT
Secara etimologi kata wasiat berasal dari bahasa Arab dari kata Washa-
Washiya-Washiatan, yang berarti pesan penting berhubungan dengan sesuatu hal.
Secara terminology wasiat adalah sarana untuk mencapai tujuan dakwah. Bila dikaitkan
dengan kebenaran, wasiat adalah profil paling cemerlang untuk tegak menjaga
kebenaran dan kebaikan. Bila dikaitkan dengan kesabaran, wasiat mampu mengerakkan
potensi umat untuk semakin kuat dan tegar dalam kebenaran, dalam mencapai tujuan
kesatuan perjalanan solidariti umat dalam semangat pantang menyerah. Pengertian
wasiat dalam konteks dakwah adalah ucapan berupa arahan (taujih) kepada orang lain
(mad’u) terhadap sesuatu yang belum dan akan terjadi.

1. Bentuk Wasiat yang Mempunyai Internalisasi dengan Dakwah


- Bentuk wasiat dalam Al-Qur’an

‫ب‬ َ ‫ض ۗ َو ل َ ق َ د أ َو صه يأ ن َا ال ه َذ ي َن أ ُو ت ُوا الأ َك ت َا‬ َ ‫اْل َ أر‬


‫ت َو َم ا ف َ ي أ‬ َ ‫او ا‬ ‫َو َ ه‬
َ ‫ّلِل َ َم ا ف َ ي ال س ه َم‬
‫ت َو َم ا ف َ ي َم أن‬ َ ‫او ا‬ ُ ‫أ‬ ُ ‫ه‬ َ ُ
‫َو إ َ ي ها ك أم أ َن ا ت ق وا َّللاه َ ۚ َو إ َ أن ت َك ف ُر وا ف َ إ َ هن َ ه‬
َ ‫ّلِل َ َم ا ف َ ي ال س ه َم‬
‫ض ۚ َو كَ ا َن َّللاه ُ غَ ن َ ي ًّا َح َم ي د ًا‬ َ ‫أ‬
َ ‫اْل أر‬
Artinya: ”Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan
sungguh kami Telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum
kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah”. (Q.S An-Nisa:131)

Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah melalui para nabi dan kitab suci yang
telah diturunkan kepada mereka telah mewasiatkan kepada orang-orang yang telah
diberi kitab suci sebelum ummat Islam, yaitu para umat nabi Ibrahim, Daud, Musa, dan
Isa. Dan Allah juga mewasiatkan kepada umat Islam agar bertaqwa kepada Allah.
Kandungan wasiat diatas adalah takwa. Jadi, bila dikaitkan dengan dakwah maka
wasiat dalam konteks ini adalah ucapan seorang da’i kepada mad’u yang bermuatan
perintah tentang sesuatu yang bermanfaat dan mencakup kebaikan di masa yang akan
datang.

6
- Bentuk wasiat dalam Hadits

a. Anjuran Berwasiat kepada Kitab Allah

Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Tidak pantas bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang
ingin ia wasiatkan untuk melewati dua malamnya melainkan wasiatnya itu
tertulis di sisinya.”

b. Wasiat Nabi untuk Para Ulama

Artinya: “Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman
Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau
berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan
menghapuskan (keburukan). Dan pergauilah manusia dengan akhlak yang
mulia.” (HR. At-Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits Hasan Shahih).

c. Wasiat Nabi untuk Para Wanita

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir,


janganlah ia menganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita.
Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling
bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau
mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh
karena itu, berbuat baiklah kepada wanita.”

- Bentuk Wasiat Ulama Salaf

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S.Al-Baqarah:180)

Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya

7
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S.An-nisa:11-12)
Abu Daud, Ibnu Hazm dan Ulama Salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya
fardhu ‘ain. Mereka beralasan bahwa Al-Qur’an dan surat Al-Baqarah (2) ayat (180)
dan surat An-Nisa’ (4) ayat (11)-(12) Allah Swt. mewajbkan hamba-hamba-Nya untuk
mewariskan sebagian hartanya kepada ahli waris yang lain dan mewajibkan wasiat
didahulukan pelaksanaannya dari pada pelunasan hutang. Adapun maksud kepada
orang tua dan kerabat, dipahami karena mereka itu tidak menerima warisan. Jadi,
merupakan kompromi dari ayat wasiat dan ayat warisan. Hal ini sejalan dengan hadis
yang diriwayatkan oleh Daruquthni yang menyatakan bahwa hak menerima wasiat bagi
ahli waris yang menerima warisan tidak diperkenankan kecuali apabila ahli waris lain
memperbolehkannya. Dalam perkembangan selanjutnya ketentuan ini dikembangan
dalam bentuk wasiat wajibah, yang saat ini banyak dipergunakan oleh negara-negara
Islam, termasuk di negara Indonesia sebagaimana tersebut dalam Kompilasi Hukum
Islam. Meskipun hal yang terakhir ini mengalami perobahan makna dan nuansa.
2. Konsepsi Wasiat dalam Metode Dakwah

Tantangan bagi aktivis dakwah adalah tuntutan untuk merumuskan konsep


secara professional. Tuntutan tersebut bagi da’I dalam medan dakwah sudah diingatkan
oleh nabi SAW, lewat sabdanya yang berbunyi: sesungguhnya Allah sangat senang jika
salah seorang diantara kamu melakukan sesuatu dengan cara yang tekun
(professional). Diantar unsur tersebut adalah esensi wasiat dalam dakwah, kapan wasiat
diberikan kepada mad’u, materi apa yang harus diberikan dalam wasiat, dan apa efek
wasiat terhadap mad’u.

a. Esensi wasiat dalam dakwah adalah : “ucapan seorang da'i berupa pesan penting
dalam upaya mengarahkan (taujih) mad’u tentang sesuatu yang bermanfaat dan
bermuatan kebaikan. Dan persoalan yang akan disampaikan dalam wasiat
berkaitan dengan sesuatu yang belum dan akan terjadi.”

b. Waktu pelaksanaan wasiat


Imam Malik mengatakan bahwa qabul dari orang yang menerima wasiat
merupakan syarat sahnya wasiat, karena hal ini disamakan dengan hibah. Tetapi
Imam Syafi’i mengatakan bahwa qabul dalam pelaksanaan wasiat bukanlah suatu
syarat sahnya wasiat. Abu Hanifah dan murid-muridnya seperti Abu Yusuf, Hasan
al-Syaibani memandang bahwa qabul itu harus ada dalam pelaksanaan wasiat,
sebab tindakan wasiat itu merupakan ikhtiariah. Oleh karena itu, pernyataan qabul
sangatlah penting artinya dalam pelaksanaan wasiat sebagaimana juga dalam
transaksi lainnya.
c. Materi Wasiat
- Materi Umum : Materi yang berupa menggiring mad'u menuju ketakwaan
- Materi Khusus : Materi yang secara khusus dijelaskan dalam satu pokok
bahasan, misalnya : larangan syirik, perintah berbakti kepada orangtua.

8
d. Efek Bagi Mad'u
- Arahkan mad’u tuk realisasikan keterkaitan yang erat antara materi dakwah
yang disampaikan dengan pengamalan MENUJU KETAKWAAN
- Berdayakan nalar intelektual mad’u untuk memahami ajaran-ajaran islam
- Bangun daya ingat mad’u secara kontinyu karena ada persoalan agama yang
sulit dianalisa
- Kembalikan mad’u kepada eksistensi ajaran islam untuk selalu menjaga
amal islami.
D. KISAH

Secara epistemologis lafazh qashash merupakan bentuk jamak dari kata


Qishash, lafazh ini merupakan bentuk jamak dari kata qassa ya qussu.

Dari lafazh qassas dapat diklasifikasikan ke dalam 2 makna : 1. Qashash berarti


menceritakan, 2. Lafazh Qashash mengandung arti menelusuri/mengikuti jejak.

Secara terminologis qashash berarti, 1) kisah-kisah al-Quran adalah berita al-


Quran tentang umat terdahulu [Abdul Karim Al-Khatib], 2) kisah-kisah dalam al-Quran
yang menceritakan ihwal umat-umat terdahulu dan nabi-nabi mereka serta peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.

1.Macam-macam Kisah

Manna Khalil al-Qatthan membagi kisah-kisah al-Quran ke dalam tiga bentuk:

- Kisah para nabi menyangkut dakwah mereka dan tahapan-tahapan serta


perkembangannya, mukjizat mereka, posisi para penentang, akibat orang-
orang yang percaya dan yang mendustakan mereka dan lain-lain

- Kisah peristiwa-peristiwa masa lalu dan pribadi-pribadi yang tidak


diketahui secara pasti apakah mereka nabi atau bukan, misalnya kisah
Thalut vs Jalut.

- Kisah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, seperti perang
badar, uhud, khandak dan lain-lain.

2.Maksud dan Tujuan Kisah

Tujuan dengan terdapatnya beberapa Qashash, sangatlah banyak tak terlepas dari
diturunkannya al-Quran itu sendiri, ayat-ayat yang menyatakan secara eksplisit tentang tujuan
pemaparan kisah ini hanya sedikit, namun yang secara tegas menyatakan antara lain adalah,
seperti yang difirmankan Allah dalam surat Yusuf ayat 111,

9
Artinya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-
orang yang beriman”

Manna Khalil al-Qatthan memberikan pemaparan tersendiri tentang tujuan adanya kisah-
kisah tersebut:

1) Menjelaskan prinsip dakwah agama Allah dan keterangan pokok-pokok syaria’at yang
dibawa oleh masing-masing nabi dan rasul.

2) Memantapkan hati Rasulullah serta umatnya serta memperkuat keyakinan kaum


muslimin terhadap kebenaran yang benar dan kehancuran yang fatal.

3) Mengoreksi pendapat para ahlul Kitab yang suka menyembunyikan keterangan dan
petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan argumentasi-argumentasi yang
terdapat pada kitab-kitab sucinya sebelum diubah mereka sendiri.

4) Lebih meresapi pendengaran dan memantapkan keyakinan dalam jiwa pendengarnya,


karena kisah-kisah itu merupakan salah satu dari bentuk peradaban.

5) Untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Quran dan kebenaran Rasulullah di dalam


dakwah dan pemberitaannya mengenai umat-umat yang terdahulu ataupun keterangan
beliau yang lain.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang da’i yang
mengajak kepada perbuatan ma’ruf dan melarang orang lain berbuat mungkar, haruslah
memiliki ilmu tentang hal yang ma’ruf, mungkar dan dapat membedakan antara keduanya
serta harus memiliki ilmu tentang keadaan orang yang diperintah dan yang dilarang.
Menurut penulis terminologi tabsyir dalam kontek dakwah adalah informasi, berita
yang baik dan indah sehingga bisa membuat orang lain gembira untuk menguatkan
keimanan sekaligus sebagai sebuah harapan dan menjadi motivasi dalam beribadah serta
beramal shalih.
Sedangkan salah satu tujuan dari Qashash adalah untuk memperlihatkan kemukjizatan
al-Quran dan kebenaran Rasulullah di dalam dakwah dan pemberitaannya mengenai umat-
umat yang terdahulu ataupun keterangan beliau yang lain.

11

Anda mungkin juga menyukai