Anda di halaman 1dari 18

Bekal Para Da’i

Disusun Oleh:

Kelompok 6

Khoiruddin Harahap 2230100019


Seltina Putri 2230100012
Siti Jamilah Hutabarat 2230100033

Dosen Pengampu:

Ali Syahbana Siregar, M.Sos,

PROGRAM KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

ALI HASAN AHMAD AD-DARYY PADANGSIDIMPUAN

1444 H/ 2023M

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah Swt. yang telah


melimpahkan nikmat, rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah mengenai “Bekal Para Da‟i” dengan
tepat waktu. Shalawat dan salam kami limpahkan kepada Nabi
Muhammad Saw. yang telah menjadi suri tauladan bagi umat Islam di
seluruh dunia dan semoga kita termasuk orang yang memperoleh syafa‟at-
Nya di hari akhir.

Kami ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Bapak Ali


Syahbana Siregar M.Sos, selaku dosen mata kuliah Fiqih Dakwah. Selain
itu, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini.

Kami berharap makalah ini bermanfaat untuk kita semua dalam


rangka menambah wawasan dan ilmu pengetahuan agar menjadi
mahasiswa yang berguna bagi agama, bangsa dan negara. Dan kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca agar tercipta makalah yang lebih baik kedepannya.

Padangsidimpuan, 24 September 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1

C. Tujuan Masalah .................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 2

A. Mengawali dari yang Terpenting .......................................................................... 2

B. Berdakwah dengan Hikmah .................................................................................. 3

C. Tidak Malu Mengatakan “Saya Tidak Tahu” ........................................................ 7

D. Memiliki Akhlak yang Mulia ................................................................................ 9

E. Menampakkan Kemudahan Islam dan Menyampaikan Byusraa ......................... 11

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 14

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 14

B. Saran .................................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Da‟wah berasal dari kata: Da‟aa, Yad‟uu, Du‟aa, Da‟wah. Suka
berhimpun, memeberin nama, sumpah, panggilan/seruan dan permohonan.
Secara istilah Da‟iyah adalah orang islam yang secara syari‟ah mendapat
beban dakwah mengajak kepada agama Allah mencakup seluruh lapisan
dari Rasul, ulama, penguasa, dan seluruh muslim.

Para Dai mengajak sesama manusia ke jalan Allah dengan hikmah


dan kebijaksanaan serta dengan usaha-usaha yang terpuji. Hal ini
dilakukan, agar obyek dakwah dapat menerima ajakan itu dengan
keinsafan dan kesadaran.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mengawali dari yang terpenting?
2. Bagaimana berdakwah dengan hikmah?
3. Bagaimana tidak malu mengatakan “saya tidak tahu”?
4. Bagaimana memiliki akhlak yang mulia?
5. Bagaimana menampakkan kemudahan islam dan menyampaikan
Busyraa?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami mengawali dari yang terpenting
2. Untuk mengetahui dan memahami berdakwah dengan hikmah
3. Untuk mengetahui dan memahami tidak malu mengatakan “saya tidak
tahu”
4. Untuk mengetahui dan memahami memiliki akhlak yang mulia
5. Untuk mengetahui dan memahami menampakkan kemudahan islam
dan menyampaikan Busyraa

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mengawali dari yang terpenting

Di antara tanda-tanda manhaj yang benar dalam berdakwah kepada


Allah, adalah berdakwah kepada perbaikan akidah, mengikhlaskan ibadah
hanya kepada Allah, dan melarang kesyirikan, kemudian memerintahkan
manusia untuk menegakkan shalat, menunaikan berbagai kewajiban dan
meninggalkan hal-hal yang diharamkan, dengan kata lain yang paling
penting lalu lebih penting.1

Dakwah kepada tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada


Allah, adalah landasan dakwah para Rasul, dan pokok yang merupakan
awal dan akhir dari dakwah mereka.

Allah berfirman yang berbunyi,

َّ ‫َّللاَ َٔاخْ خَُِبُٕا ان‬


ُ ‫طا‬
‫غٕث‬ َّ ‫ًٕل أ َ ٌِ ا ْعبُدُٔا‬
‫س ا‬ُ ‫َٔنَمَدْ بَعَثَُْا فًِ ُك ِّم أ ُ َّي ٍت َز‬

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), „Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” (An-Nahl:
36).

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan tugas para Rasul,

‫ فَاخْ خ َانَخْ ُٓى عٍ دٌُٓى‬، ٍٍُْ ‫اط‬ َّ ‫ َٔ ِإََّ ُٓ ْى أَحَخْ ُٓ ُى ان‬، ‫ٔإَّی َخهَ ْمجُ ِعبَادِي ُحَُفَا َء ُكهَّ ُٓ ْى‬
ِ ٍَ‫ش‬

"Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hambaKu dalam ke- adaan


lurus, lalu setan mendatangi mereka, lalu mengalihkan me- reka dari
agama mereka."

Allah berfirman tentang para Ulul Azmi,

1
Sarbeni, B. Usus Manhaj as-Salaf fi ad-Da’wah Ilallah. (Jakarta: Darul Haq,
2013)

2
ٌْ َ‫سى أ‬
َ ٍ‫سى َٔ ِع‬
َ ٕ‫ٍِى َٔ ُي‬ َ َٔ ‫صى بِ ِّ َُٕ احا َٔانَّرِي أ َ ْٔ َح ٍَُْا إِنٍَْكَ َٔ َيا‬
َ ْ‫ض ٍَُْا بِ ِّ إِب َْسا‬ َّ َٔ ‫ٌٍِ َيا‬ِ ّ‫ع نَ ُكى ِ ّيٍَ اند‬َ ‫ش ََس‬
ِّ ٍْ َ‫أَلٍِ ًُٕا اندٌٍَِّ َٔ ًَل حَخَفَ َّسلُٕا فً َكب َُس َعهَى ْان ًُ ْش ِسكٍٍَِ َيا ََدْعُٕ ُْ ْى إِن‬

Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat -bagi orang-orang musyrik- agama yang mana
kamu seru mereka kepadanya.” (Asy-Syura: 13).

Itulah dakwah para Nabi, yang para pokoknya adalah Ulul Azmi.
Mereka semua menempuh jalan dakwah dengan manhaj dan landasan yang
sama, yaitu tauhid. Ia adalah masalah dan dasar paling utama yang dipikul
manusia, pada setiap generasi mereka, dan berbagai lingkungan, daerah,
dan zaman mereka. Ini semua menunjukkan bahwa tauhid adalah satu-
satunya jalan yang mesti ditempuh ketika berdakwah kepada Allah, dan
salah satu sunnah yang telah digambarkan oleh Allah untuk para Nabi, dan
para pe ngikutnya, tidak dibenarkan mengganti dan menyimpang dari jalan
tersebut.”

Maka wajib kepada para da‟i agar benar-benar memahami dasar


Islam, yaitu tauhid secara dakwah dan pengajaran, karena setiap amalan
tidak mungkin diterima kecuali dengan dasar ini.

B. Berdakwah dengan Hikmah

Sebagai metode dakwah, al-Hikmah diartikan bijaksana, akal budi


yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian
orang kepada agama atau Tuhan.

Ibnu Qoyim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling tepat


adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang
mendefinisikan bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan
pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan pengamalannya. Hal ini

3
tidak bisa dicapai kecuali dengan memahami Al-Qur'an, dan mendalami
Syariat-syariat Islam serta hakikat iman.

Al-hikmah termanifestasikan ke dalam empat hal yaitu kecakapan


manajerial, kecermatan, kejernihan pikiran dan ketajaman pikiran.

Menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud An-Nasafi, arti hikmah,


yaitu:

ِ َٕ ًُ ‫ص ِحٍ َح ِت ْان ًُحْ َك ًَ ِت َْٔ َُٕ اندَّ ِنٍ ُم ْان‬


‫ض ُح ”“بانحكًت‬ َّ ‫ي ْان ًَمَانَ ِت ان‬
ْ َ ‫”أ‬

َّ ‫ك ْان ًُ ِز ٌْ ُم ِنه‬
‫شبٓت‬ ِ ‫ْنه َح‬

“Dakwah bil-hikmah” adalah dakwah dengan menggunakan perkataan


yang benar dan pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan
menghilangkan keraguan.

Menurut Syekh Zamakhsyari dalam kitabnya "al-Kasyaf", al-


Hikmah adalah perkataan yang pasti dan benar. Ia adalah dalil yang
menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran.
Selanjutnya, Syekh Zamakhsyari mengatakan hikmah juga diartikan
sebagai Al-Qur'an yakni ajaklah mereka (manusia) mengikuti kitab yang
memuat hikmah.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa al-hikmah


adalah merupakan kemampuan dan ketepatan da'i dalam memilih,
memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif
mad'u. Al-hikmah merupakan kemampuan da'i dalam menjelaskan
doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan
bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, al-hikmah sebagai sebuah
sistem yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam
berdakwah.2

2
Munir, M. (2009). METODE DAKWAH. Jakarta: Kencana.

4
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hikmah
dalam dunia dakwah mempunyai posisi yang sangat penting, yaitu dapat
menentukan sukses tidaknya dakwah. Dalam menghadapi mad‟u yang
beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya, para
da‟i memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam mampu memasuki ruang
hati para mad‟u dengan tepat. Oleh karena itu, para da‟i dituntut untuk
mampu mengerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar
belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai sesuatu
yang menyentuh dan menyejukkan kalbunya.

Rada satu saat boleh jadi diamnya da‟i menjadi efektif dan berbicara
membawa bencana, tetapi di saat lain terjadi sebaliknya, diam malah
mendatangkan bahaya besar dan berbicara men-datangkan hasil yang
gemilang. Kemampuan da‟i me-nempatkan dirinya, kapan harus berbicara
dan kapan harus memilih diam, juga termasuk bagian dari hikmah dalam
dakwah.

Da‟i juga akan berhadapan dengan beragam pendapat dan warna di


masyarakat. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan.

Dalam pemakaian sehari-hari, kita sering mendengar istilah hikmah


yang secara umum dapat diartikan sebagai suatu sikap batin untuk
mengambil pelajaran yang positif terhadap suatu situasi buruk atau suatu
kejadian yang terjadi diluar kemampuan seseorang.

Kita sering mendengar suatu ungkapan: “marilah kita ambil


hikmahnya dari musibah ini”. Dengan demikian, pengertian Hikmah juga
merupakan suatu konotasi agar seseorang tersebut merasa optimis, dengan
suatu prasangka yang baik (husnudzan) bahwa apa yang terjadi secara
buruk (negatif) pada saat itu, akan merupakan modal untuk mendapatkan
kebaikan (positif) dikemudian hari apabila kita mampu mengambil
pelajaran (hikmah dari peristiwa tersebut.

Pengertian hikmah seperti ini, adalah sejalan dengan yang tertulis


dalam Al Qur-an dinyatakan

5
... ًٌَُٕ ‫َّللاُ ٌَ ْعهَ ُى َٔأََخ ُ ْى ًل ح َ ْع َه‬
َّ َٔ ‫سى أٌَ ححبٕا شٍا ا َْٔ َُٕ ش ٌَّس نَ ُك ْى‬
َ ‫شٍْا َْٔ َُٕ خَ ٍْس نَ ُك ْى َٔ َع‬
َ ‫َٔ َعسى أٌ حكسْٕا‬

(٦١٢ ‫)انبمسة‬.

“Jangan engkau sangka apa yang buruk menurut pandanganmu itu adalah
merugikanmu, padahal dimata Allah justru itu akan membawa kebaikan
bagimu. Jangan pula engkau sangka apa yang baik dalam pandanganmu itu
menguntung kan, pada hal dimata Allah justru yang engkau sangka baik
itu akan merugikan bagimu”. (Q.S. Al-Baqarah: 216)

Dalam praktek dakwah, pengertian hikmah seringkali di terjemahkan


dengan arti bijaksana yang dapat ditafsirkan sebagai suatu cara pendekatan
sedemikian rupa sehingga orang lain tidak merasa tersinggung atau
merasakan bahwa dirinya dipaksa untuk menerima suatu gagasan atau idea
tertentu.

Pengertian hikmah dalam arti bijaksana atau menghindari Rasa


tersinggung atau paksaan, tercermin dari ayat Al Qur-an Yang
menyatakan:

١۸۱( ٌ‫ ( آل عًسا‬... َ‫َّللاِ ِن ُْجَ نَ ُٓ ْى َٔنٕ كُج فظا غهٍظ انماب انًصٕا ِي ٍْ َح ْٕنِك‬
َّ ٍَ‫)فَ ًَا َزحْ ًَ ٍت ِ ّي‬

“Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu berlaku lemah- Artinya:


lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.... “ (QS. Ali-Imran:
159). 3

Hikmah dalam pengertian di atas, merupakan cara yang khas


dalam kegiatan dakwah, dimana setiap aktivitas harus mengarah kepada
pertimbangan manusiawi dalam segala aspeknya. Sikap lemah lembut
(affection) menghindari sikap keras hati (egoisme) adalah warna yang
tidak terpisahkan dalam cara seseorang melancarkan idea-ideanya untuk
mempengaruhi orang lain. Cara yang seperti ini, dalam kegiatan
komunikasi dikenal dengan cara persuasive sebagai lawan dari coersive =

3
Tasmara, T. Komunikasi Dakwah. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hal 65.

6
memaksa. Dengan demikian pengertian hikmah dilihat dari komunikasi
berarti suatu pendekatan persuasive yang artinya :

“Suatu teknik tertentu untuk mempengaruhi manusia dengan


memanfaatkan latar belakang pengalaman dan pandangannya sehingga
idea-idea yang diterima dirasakan sebagai sesuatu yang wajar dan
bermanfaat bagi dirinya”.

C. Tidak malu mengatakan “saya tidak tahu”


Menurut para Ulama ketidaktahuan yang dibarengi dengan perkataan
la/ma adriy (aku tidak tahu) adalah satu ilmu itu sendiri. Dalam artian
seseorang telah mengenali kadar kemampuan dirinya sendiri, sehingga ia
tidak malu mengakui bahwa ia tidak tahu. Meski sepele justru nilai penting
ini yang kadang sering diabaikan.

Dalam kitab I‟lamul Mauqi‟in anggitan Ibn Qoyyim al-Jauziy,


menurut Ibn Mas‟ud, mengatakan “aku tidak tahu” merupakan sepertiga
ilmu. Sedangkan dalam kitab Jami‟ Bayani al-„Ilm, Abu Darda‟
menyebutkan bahwa mengikrarakan diri dengan mengatakan “aku tidak
tahu” termasuk separuh dari ilmu. Sehingga dengan sikap begitu sejatinya
seseorang telah menjaga separuh dari ilmu.

Senada dengan ungkapan Abu Darda‟, diceritakan oleh Yahya bin


Adam dalam kitab Tarikh Baghdad, satu kali Imam Abu Hanifah
menuturkan bahwa mengatakan “aku tidak tahu” merupakan separuh dari
ilmu, maka dari itu sebutkanlah dua kali supaya sempurna (utuh) ilmu
tersebut.

Lebih lanjut, Yahya bin Adam menafsirkan, yang namanya ilmu


kalau tidak mengetahui, ya mengetahui, sehingga salah satu dari keduanya
dihitung separuhnya.

7
Seorang Imam Malik saja pendiri madzhab Maliki yang kealimannya
sudah terakui di seantero jagat, ketika disodori lima puluh masalah beliau
dengan rendah hati menjawab, “tidak ada daya dan upaya selain Allah
SWT”.

Tidak satupun dari sekian pertanyaan tersebut yang bisa beliau


jawab. Lagi-lagi ini adalah ilmu dan teladan dari para ulama terdahulu.
Lisan mereka sangat dikunci rapat dari menjawab masalah yang belum
diketahui duduk permasalahannya. Beliau menjaga diri dari keburukan dan
bahaya fitnah yang mungkin terjadi.

Kali lain, Kholid bin Khodas datang jauh-jauh dari Irak menghadap
Imam Malik, ia menyetorkan empat puluh kasus, dan hanya lima yang bisa
dijawab, selebihnya beliau berkata la adri (aku tidak tahu). Kesaksian ini
dikuatkan juga oleh Abu Nuaim al-Fadhl:

“Tidak seorangpun yang lebih banyak berkata la adriy (aku tidak


tahu) ketimbang Imam Malik bin Annas ra.”

Saking menaruh kehati-hatian, Imam Malik ra sempat marah ketika


ada seorang penanya yang malah balik menyanggah dengan dalih ini
pertanyaan ringan. Beliau lantas menyergah, apanya yang mudah, tidak
ada ilmu yang mudah. Seluruhnya ilmu itu berat karena besok akan
dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat. Tidakkah kamu mendengar
firman Allah yang berbunyi:
‫َّ َ ُ ْ ْ َ َ َ ا َ ا‬
‫ق َعل ْيك ق ْوًل ث ِق ْيل‬
‫ِانا سنل ِ ي‬

“Sesungguhnya kami akan menurugkan perkataan yang berat


kepadamu.” [Surah Al-Muzammil: 5]

Imam Syafi‟i juga tidak jauh beda, dikisahkan dalam kitab


Tadzkirotus Sami‟, Muhammad bin Abdul Hakam saat berjumpa dengan

8
Imam Syafi‟i menanyakan kasus fiqih terkait mut‟ah, adakah perlu talak,
hak waris, kewajiban menafkahi dan butuh saksi. Imam Syafi‟i hanya
menjawab pendek, La, Wa Allahi ma adriy (demi Allah, saya tidak
mengetahuinya).

Lain kisah namun dengan muatan nilai yang sama datang dari cerita
Imam Ahmad bin Hambal. Tidak terhitung sudah beliau ditanya perihal
masalah khilafiyah, tetapi beliau hanya membalas singkat la adriy (aku
tidak tahu). Momen lain, Imam Ahmad berkata, tanyakanlah kepada
selainku (orang lain), adukanlah keapada para ulama yang lain.

D. Memiliki akhlak yang mulia

Di samping wawasan dan kekuatan intelektual seperti ditekankan


Qardhawi di atas, Sayyid Quthub menekankan tiga kekuatan lain yang
juga penting dan wajib dimiliki oleh para dai dan aktivis pergerakan Islam,
yaitu kekuatan moral (quwwat al-akhlaq), kekuatan spiritual (quwwat al-
aqidah wa al-'ibadah), dan kekuatan perjuangan (quwwat al-jihad) 10
Kedua kekuatan yang disebut terakhir ini, yakni kekuatan iman dan jihad
diidentifikasi oleh Musthafa Masyhur sebagai karakter dan ciri dari
dakwah pergerakan (dakwah harakah).

Dengan merujuk kepada dai pertama, yaitu Rasulullah saw, dan dai
dari generasi Tabi'in seperti imam Hasan al- Bashri, pakar ilmu dakwah,
Abu Bakar Zakri menegaskan bahwa seorang dai harus melengkapi diri
dengan ilmu dan sifat-sifat mulia atau akhlak yang terpuji. Di antara sifat-
sifat itu, ialah sifat memelihara diri dari keburukan ('iffah), be- nar atau
jujur (shidq), berani (syaja 'ah), tulus (ikhlash), ren- dah hati (tawadlu '),
bersih hati, adil, luwes, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Seorang dai, menurut Zakri, harus memiliki kualifikasi moralitas dan
keluhuran budi pekerti seperti Rasulullah saw atau paling tidak
mendekatinya. Tidak bisa tidak!"

9
Keluhuran budi pekerti ini menjadi salah satu pendorong yang
memungkinkan masyarakat (mad'u) dapat meng- ikuti jalan kebenaran
yang diserukan sang dai. Sifat-sifat yang mulia itu adalah sifat-sifat yang
harus dimiliki semua kaum muslim. Namun bagi seorang dai, sifat-sifat ini
haruslah memiliki nilai lebih. Dengan perkataan lain, sifat-sifat yang mulia
itu bagi seorang dai harus tampak lebih mantap, lebih sempurna, dan lebih
menonjol, sehingga ia dapat menjadi dakwah yang hidup dan menjadi
teladan yang bergerak.4

Jadi, dalam soal ini, ada semacam tuntutan yang lebih tinggi
kepada seorang dai dibandingkan dengan kaum mus- limin pada
umumnya. Tuntutan ini logis, karena dai adalah orang yang berusaha
mewujudkan sistem Islam bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga
untuk orang lain (umat). Untuk itu, keimanan seorang dai harus memiliki
semangat melimpah. Dalam jiwanya harus ada kadar yang melimpah dari
keyakinan, komitmen keislaman, dan kemuliaan, yang dapat mengalir
kepada orang lain. Dengan begitu, orang lain dapat mengambil manfaat
dan faedah daripadanya.

Ini berarti, keluhuran budi pekerti (al-akhlaq al-kari- mah)


merupakan salah satu unsur penting dari kualifikasi yang secara mutlak
harus dimiliki seorang dai.

Berbudi pekerti yang baik (akhlaqul karimah) syarat mutlak yang


harus dimiliki oleh siapapun, apabila seseorang da‟i. Bahkan Prof. Dr.
Hamka pernah mengatakan di dalam bukunya Prinsip dan Kebijaksanaan
Dakwah Islam halaman 153, ialah: “Alat dakwah sangat utama ialah
akhlak”. Yang Rasulullah saw sendiri secara tegas bersabda:

ِ ‫َاز َو ْاأل َ ْخ ََل‬


‫ق زٔاِ أحًد‬ ِ ‫اََِّ ًَا بُ ِعثْجُ ألُح َ ًَ َى َيك‬
ِ ‫َاز َو األَخ نك‬

4
Ismail, I & Prio, H. Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam.
(Jakarta: Rendy, 2013), hal 79.

10
Artinya :

“Sesungguhnya aku (Rasulullah) diutus (oleh Allah di dunia ini) tak lain
hanyalah untuk menyempurnakan akhlak (budi pekerti) yang Mulia”
(hadist riwayat Ahmad).

Itulah sebabnya seorang penyair Arab berkata dalam syairnya :

‫ج أ َ ْخ ََلَُ ُٓ ْى ذْبٕا‬
ْ َ‫ َٔإِ ٌْ ًُْٕ ذَ َْب‬: ‫ج‬
ْ ٍَ ‫األخَلف َيا بَ ِم‬
ُ ‫اًَا األيى‬

“Sebenarnya suatu ummat akan tetap jaya dan terhormat selama memiliki
akhlak yang luhur”.

Seorang da‟i dapat jaya (berhasil), jika ia memiliki akhlak yang


mulia. Sebaliknya jika ia berakhlak yang jelek, tunggulah kegagalannya. 5

E. Menyampaikan kemudahan islam dan menyampaikan Busyraa

Satu hal penting yang mesti diingat di jalan dakwah adalah


hendaknya seorang dai menjadikan jalan mudah, dan menyingkirkan
kesulitan sebagai a metodenya dalam berdakwah kepada Allah. Jangan
sampai terjadi munculnya Sependapat yang menentang dan keras, sebagai
pertanda bahwa dakwah yang dia em lakukan tidak mendapatkan respon.
Agama ini datang dengan mudah dan van menyingkirkan kesulitan-
kesulitan yang dihadapi umat ini. Sebagaimana se Allah berfirman,"Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. " (Al-Baqarah: 185).

ِ ّ‫ْ َُٕ اخْ خَبَُ ُك ْى َٔ َيا َخعَ َم َعهَ ٍْ ُك ْى فًِ اند‬


)٨۸:‫ (انحح‬: ‫ٌٍِ ِي ٍْ َح َسج‬

"Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan dalam
agama suatu kesempitan. " (Al-Hajj: 78). Rasulullah bersabda,

ّ ‫فَإََِّ ًَا بُ ِعثْخ ُ ْى ُيٍَس ِِسٌٍَ َٔنَ ْى ح ُ ْبعَثُٕا ُي َع‬.


ٌٍَ‫س ِِس‬

5
Syukir, A. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983),
hal 44.

11
"Sesungguhnya kamu sekalian diutus untuk memberikan kemudahan dan
bukan untuk membuat kesulitan."

Sebuah kemustahilan jika Tuhan Yang Maha tahu, Maha bijaksana,


Maha baik untuk menurunkan wahyu kepada nabi pamungkas-Nya,
dengan sebuah syariat yang umum dan abadi dengan sebuah agama yang
menyempitkan, dan menyempitkan gerak dunia mereka, sehingga mereka
tidak mampu menghadapi semua hal-hal baru yang datang di hadapan
mereka. Allah yang telah menurunkan syariat itu telah menyifatinya
dengan kesempurnaan, dan Dia menginginkan rahmat dan kemudahan dan
meniadakan darinya kesukaran dan kesempitan.

Tidak ada satu sunnah Nabi pun yang menyempitkan dan


menyulitkan manusia, atau membuat mereka kegerahan dalam urusan
dunia mereka. Bahkan Rasulullah menyatakan tentang dirinya sendiri,
"Sesungguhnya aku adalah sebagai rahmat yang mendapat petunjuk.
"Hadits ini adalah bentuk penafsiran dari firman Allah yang berbunyi,

Tidaklah Kamu utus engkau kecuali sebagai rahmat bagi sekalian


alam. " (Al-Anbiyaa': 107). Rasulullah juga bersabda,

‫ ِإ ٌَّ هللاَ نَ ْى ٌَعًُ يعُا َٔ ًَل ُيخ َ َعخُا ٔنكٍ َب َعثَ ًُِ ُي َع ِهًّا يٍسسا‬.

Sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk menyusahkan dan me-


nyengsarakan, tapi sebagai pendidik yang memudahkan.” (HR. Muslim)6

Tatkala Rasulullah Saw. Mengutus Abu Musa Al-„Asyari dan Mu‟adz bin
Jabal ke Yaman, dia memberikan nasihat yang sangat pendek namun
padat.

“Permudahlah, dan jangan kalian berdua mempersulit, berilah kabar


gembira dan jangan buat orang menjauhi kalian, sepakatlah dan jangan
berselisih. “

6
Rahman, S. MANHAJ DAKWAH YUSUF AL-QARADHAWI. (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2001), hal 54.

12
Dia bersabda dan memberi pelajaran kepada umatnya,

“Sesungguhnya Allah menyukai supaya kemudahannya (rukhshah) di-


ambil, sebagaimana dia benci dilakukan maksiat atas-Nya.”.

Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Hendaknya kalian Mengambil


kemudahan yang Allah berikan kepada kalian.”

Salah satu petunjuknya adalah bahwa jika dihadapkannya pada dua


perkara, maka dia akan memilih yang lebih gampang dari keduanya,
sepanjang pilihan itu termasuk dosa. Allah Swt.Berfirman dalam Surat Al-
Ahzab [33]: 21.7

7
Saputra, W. Pengantar Ilmu Dakwah. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), hal 267.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Seorang da‟i harus bisa menyampaikan ilmu, dengan begitu sangat
dibutuhkannya bekal. Da‟i pun akan berperan sebagai seorang pemimpin
di tengah masyarakat walau tidak pernah disebut secara resmi sebagai
pemimpin. Sebelum da‟i memberi petunjuk maka ia mesti mengerti dan
memahami terlebih dahulu mana jalan yang benar atau pun salah untuk
dilalui oleh seorang muslim. Ini yang menyebabkan kedudukan seorang
da‟i di tengah masyarakat menempati posisi penting.

B. Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami siapkan sesuai dengan batas


kemampuan yang sudah kami usahakan sebaik-baiknya. Dengan harapan
semoga apa yang kami sajikan pada makalah yang berjudul "Bekal Para
Da‟‟i” ini memberikan manfaat dan menambah wawasan, sehingga
menjadi bahan pembelajaran yang dapat kita gunakan sebaik mungkin.

Semoga kedepannya pembaca dapat menerapkan serta mengamalkan


bekal dai‟ dalam kehidupan sehari-hari.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, I & Prio, H. (2013). Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban


Islam. Jakarta: Rendy.

Munir, M. (2009). METODE DAKWAH. Jakarta: Kencana.

Rahman, S. (2001). MANHAJ DAKWAH YUSUF AL-QARADHAWI.


Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Saputra, W. (2011). Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Sarbeni, B. (2013). Usus Manhaj as-Salaf fi ad-Da’wah Ilallah. Jakarta:


Darul Haq.

Syukir, A. (1983). Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-


Ikhlas.

Tasmara, T. (1997). Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

15

Anda mungkin juga menyukai