Disusun oleh:
Ayu Novia
Nurhadisah
Shinta Kemala Dewi
M. Sulthan Hanif
Nizar Ramadhani
M. Syekh Abdul Muhyi
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga
makalah ini dapat di selesaikan pada waktunya. Makalah ini di tulis demi untuk
memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama dengan judul “BAGAIMANA
MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA”.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari kesalahan-
kesalahan, maka dari itu kami mengharapkan syarat yang membangun dari para
pembaca. Dalam pembuatan makalah ini tidak luput dari banyak motifasi dari
teman-teman yang telah membantu.
Kami mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah banyak
memotifasi dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan
informasi kepada para pembaca .
Demikianlah pengantar dengan iringan serta harapan semoga tulisan
sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca dan pendengar. Atas
semua ini kami mengucapkan ribuan terimakasih yang tidak terhingga. Semoga
segala bantuan dari semua motivasi mudah-mudahan mendapat amal baik yang di
berikan oleh Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamin.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
2. Rumusan Masalah.........................................................................................1
3. Tujuan...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. PENGERTIAN ISLAM................................................................................2
KESIMPULAN..................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................23
ii
BAB I PENDAHULUAN
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apakah arti dari agama islam ?
2. mengapa diwajibkan atas umat islam untuk menyebarkan islam ?
3. bagaimana membumikan islam di Indonesia ?
3. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk :
1. Memahami arti islam yang sebenarnya
2. Memahami tentang kewajiban atas umat islam untuk menyebarkan
Islam
3. Memahami bagaimana membumikan islam di Indonesia
1
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISLAM
Islam pada suatu sisi dapat disebut sebagai high tradition, dan pada sisi
lain disebut sebagai low tradition. Dalam sebutan pertama islam adalah firman
Tuhan yang menjelaskan syariat-syariat-Nya yang dimaksudkan sebagai petunjuk
bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, termasuk dalam
nash (teks suci) kemudia dihimpun dalam shuhuf dan kitap suci (Al Quranul
Karim). Secara tegas dapat dikatakan hanya Tuhanlah yang paling mengetahui
seluruh maksud, arti, dan maknasetiap Firman-Nya. Oleh karena itu, kebenaran
islam dalam dataran high tradition ini adalah mutlak. Bandingakn dengan islam
pada sebutan kedua: Low tradition. Pada dataran ini islam yang mengandung
dalam nash ata teks –teks suci bergumul dengan realitas sosial pada berbagai
masyarakat yang dibaca, dimengerti, dipahami, kemudian ditafsirkan dan
dipraktikan dalam masyarakat yang situasi dan kondisinya berbeda-beda. Kata
rang, islam kahirnya tidak hanya melulu ajaran yang tercatum dalam teks-teks
suci melainkan juga telah mewujud dalam historisitas kemanusiaan.
Terjemahan :
2
“Dari Abu Hurairah ra ia berkata : Rosulullah SAW bersabda : “Barang siapa
yang hendak mengajak kepada kebaikan maka dia akan memperoleh pahala atas
perbuatan baiknya itu serta pahala orang yang mengikuti dan melaksanakan
kebaikan dengan tanoa dikurangi sedikitpun. Sebaliknya bagi siapa saja yang
mengajak kesesatan atau kemungkaran, maka dia mendapat dosa sebagai balasan
atas perbuatannya sendiri (ditambah) dosa sebanyak dosa orang yang
mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun” (HR Abu Dawud, Ahmad, Nasai,
Turmudzi dan Ibnu Majah)
– Sebagian dari para ulama ada yang menjelaskan makna hadits ini bahwa Allah
Ta’ala akan menetapkan bagi orang yang mengajarkan ilmu agama pengabulan
bagi semua permohonan ampun yang disampaikan oleh seluruh makhluk
untuknya.
– Tentu saja yang keutamaan dalam hadits ini khusus bagi orang yang
mengajarkan ilmu agama dengan niat ikhlas mengharapkan wajah Allah Ta’ala,
bukan untuk tujuan mencari popularitas atau imbalan duniawi.
– Para ulama yang menyebarkan ilmu agama adalah pewaris para Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena merekalah yang menggantikan tugas para
Nabi dan Rasul ‘alaihis salam, yaitu menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala dan
menyeru manusia ke jalan yang diridhai-Nya, serta bersabar dalam menjalankan
semua itu, maka merekalah orang-orang yang paling mulia kedudukannya di sisi
Allah Ta’ala setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam.
3
Pada dasarnya setiap Muslim dan Muslimah diwajibkan untuk
mendakwahkan Islam (membumikam islam ) kepada orang lain, baik Muslim
maupun Non Muslim.Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt,
dan berikut Dasar Dalil Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah
(Menyeru Kebaikan) di AL-Qur’an. :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ;
merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Al-Imran : 104),
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik” (TQS. Al-Imran : 110)
” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
4
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk ” (TQS. An-
Nahl : 125).
5
Dalam ajaran islam, wahyu Allah selain berbentuk tanda-tanda (ayat) yang
nirbahasa, juga bermanifestasi dalam bentuk tanda-tanda (ayat) yang difirmankan.
Untuk memudahkan pemahaman, kita bedakan antara istilah wahyu (dengan “w”
kecil) dan Wahyu (dengan “W” besar ). Wahyu dengan w kecil menyaran pada
tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, dan ketentuan Tuhan yang
nirbahasa, dan mewujudkan dalam alam semesta dan isinya, termasuk dinamika
sosial budaya yang terjadi didalamnya. Adapun Wahyu dengan W besar menyaran
pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, da ketentuan Tuhan yang
difirmankan melalui utusan-Nya (malaikat) dan diakses secara khusus oleh orang-
orang pilihan yang disebut sebagai nabi atau rasul (meskipun kedua istilah ini
sebenarnya berbeda, namun sementara ini dianggap sama).
Wahyu (dengan W besar) difirmankan untuk menjawab beberapa
permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam tanda-tanda Tuhan yang
terbentang, untuk memotivasi manusia agar makin detil dalam membaca dan
memahami alam yang terbentang, sehingga ia bisa memperoleh makna dari setiap
fenomena yang dialaminya. Tidak hanya itu, Wahyu difirmankan juga untuk
memperpendek proses pembacaan terhadap alam (wahyu yang terbentang).
Apabila manusia dieri kesempatan untuk membaca dan memahami alam dengan
segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan membutuhkan
waktu yang lama untuk mencapai jawaban final. Namun berkat Wahyu, proses
yang panjang dan yang berliku tersebut dapat disingkat sedemikian rupa sehingga
manusia tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan jawaban final kehidupan.
Islam telah membeli kontribusi yang amat signifikan bagi keindonesiaa dan
perabadan, baik dalam bentuk nilai-nilai maupun bengunan fisik. Islam Indonesia
ternyata tidak kalah penting dibandingkan dengan islam di Timur Tengah.
Fazhlurrahman bahkan mengatakan bahwa islam indonesia merupakan corak
islam masa depan. Sepak masa Wali Songo, silam di indonesia memiliki dua
model diatas. Kelompok formalis lebih mengutamakan aspek fisik dan poltik
kenegaraan, sedangkan kelompok esensialis memprioritaskan aspek nilai dan
kultur dalam berdakwah. Di era kemerdekaan sampai dengan era pascareformasi,
polemik antara kedua model keberagaman ini masih tetap ada. Coba anda telusuri
lebih lanjut kedua model diatas sejak masa kemerdekaan sampai pascareformasi,
lalu kenali karakteristik masing-masing model diatas.
Tuntutan modernitas dan globalisasi menuntut model pemahaman agama yang
saintifik, yang secara serius memperlihatkan berbagai pendekatan. Pendekatan
islam monodisiplin tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan zaman yang
dihadapi umat islam di berbagai tempat. Agar diperoleh pemahaman islam yang
saintifik diatas diperlukan pembacaan teks-teks agama (baca:Al Quran, Al Hadist,
dan turats) meminta maaf dan memaafkan adalah ajaran islam yang universal,
diJawa pemohonan maaf si anak kepada orang tua diekspresikan dengan
‘sungkem’ sedangkan komunitas Betawi tentunya tradisi tersebut tidak dikenal.
6
Uraian diatas menunjukkan bahwa ekspresi tentang islam tidak bisa tunggal. Hal
itu dikarenakan islam tidak lahir diruang hampa sejarah. Tabiat, karakter, tradisi,
budaya, lingkungan, dan lain-lain menjadi penentu dan pembeda corak berfikir,
cara bersikap, dan bentuk ekspresi seseorang, bahkan masyarakat. Islam
mengajarkan untuk bertutur kata halus dan penuh makna. Ini tidak berarti orang
Batak atau orang Arab harus berbicara dengan nada lembut seperti orang Jawa.
a. Corak Keberagaman Masyarakat Muslim Indonesia Sebagai Wujud Kekayaan
Alam Nusantara
7
pelaku pemerkosaan, perzinaan, pelecehan seksual, praktik gay, lesbian,
mesum, perjudian, mengonsumsi minum keras dan bermesraan dengan
pasangan bukan muhrim. Bukan hanya pelaku, orang yang ikut
menceritakan ulang perbuatan atau pengakuan pelaku jarimah secara
langsung atau melalui media juga dikenakan hukuman cambuk.
8
istilah orang Yasin juga digunakan bertukaran dengan orang
Perwiridan (muslim tradisionalis
Perbedaan
9
orang Indonesia. Karakter tersebut mewarnai hampir semua aspek sosial
masyarakat Indonesia baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Agama diyakini memiliki nilai-nilai transenden sehingga sering dipahami
sebagai satu dogma yang kaku. Namun, nilai-nilai budaya relatif dipandang
lebih fleksibel sesuai kesepakatan-kesepakatan komunitas untuk dijadikan
sebagai standar normatif. Karena adanya perbedaan karakter agama dan
budaya itulah maka sering kali nilai-nilai agama dipertentangkan dengan nilai-
nilai budaya lokal yang sebenarnya teah mempengaruhi perilaku sosial
seseorang. Waktu masuknya Islam ke Indonesia (Nusantara) masih
diperdebatkan. Ada yang berpendapat bahwa sejak sebelum hijrah telah ada
orang Arab yang tinggal di kepulauan ini. Lalu pada abad ke-13 muncullah
untuk pertama kali sebuah komunitas Islam, ang selanjutnya mengalami
perkembangan pesat pada abad ke-15. Pada abad ke-17/ke-18 bahkan
mayoritas penduduk Jawa da Sumatera telah memeluk Islam. Mulanya Islam
masuk ke Indonesia melalui pedagang dari Gujarat dan Malabar India. Lalu
belakangan masuk pula pedagang dan dai-dai Islam dari Hadramaut,
disamping saudagar-saudagar Islam dari Cina. Islam disebarkan dengan cara-
cara damai dengan aliansi politik dan pembiaran terhadap budaya-budaya lokal
yang sudah ada sebelumnya, selama sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
Unsur-unsur budaya lokal non-islam (Arab) bahkan melekat dalam karakter,
pemikiran, dan praktik keagamaan umat Islam sufistik yang memang memiliki
karakteristik terbuka, damai, dan ramah terhadap perbedaan.
Model akulturasi budaya lokal dengan Islam ini sering dianggap sebagai
penyebab munculnya karakter Islam abngan di kalangan mayarakat Jawa.
Sebagai orang bahkan menilai bahwa para Wali Songo sebagai ikon dai-dai
awal islam di Indonesia dianggap belum berhasil sepenhnya untuk
mengislamkan Jawa. Beberapa bukti disodorkan untuk memperkuat tesis
tersebut , diantarana paham sinkretisme yang tampak masi dominan dikalangan
masyarakat Jawa. Walaupun bagi pihal yang mendukung metde dakwah Wali
Songo di ats, praktik-praktik yang sering dituduh sebagai sinkretisme tersebut
bukan sepenuhnya amalan yang bertentangan dengan Islam dan dapat
siperjelaskamelalui perspektif mistiisme Islam.
3. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis tentang
Pribumisasi Islam
1. Menggali Sumber Historis
A. Indonesia Sebagai Modal Dasar
10
merupakan sebuah ruang dialog bagi adanya hal-hal keberbedaan. Ini dapat
dilihat, dari falsasah keberbangsaan yang berbunyi, bhineka tunggal ika.
Bukankah slogan itu merupakan hasil galian para founding father bangsa
Indonesia dari khazanah kebudayaan yang ada. Artinya, secara historis,
Indonesia merupakan bangsa yang mempu menyeleseikan keberbedaan itu
secara harmonis. Jadi, kekuatan harmonisasi keberagaman di Indonesia itu
melalui ruang budaya.
Dapat pula dijumpai dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara ini
melalui jalur kebudayaan. Hasilnya, Islam menyebar tidak lewat konflik.
Malah, pada gilirannya Islam dijalankan dengan formulasi baru yang khas
Indonesia. Inilah yang disebut dengan gagasan pribumisasi Islam. Di mana
islam didialogkan dengan konteks kebudayaan Indonesia. Maka, jadilah
format Islam-Indonesia.
Pada sisi yang lain, para pelaku tindak kekerasan atas nama agama tidak
terlihat sebagai kelompok yang mengakomodir budaya lokal asli
Indonesia. Alih-alih, dalam pandangannya, berbagai budaya asal Indonesia
dinilainya sebagai sesuatu yang tahayul, khurafat, bid’ah, klenik, dsb.
Maka dari itu, tulisan ini dapat dipahami sebagai upaya menengok kembali
relasi agama dan kebudayaan dalam menciptakan format keberagamaan di
Indonesia yang tanpa kekerasan, sebagimana halnya kerap terjadi pada
fenomena keberagamaan di masyarakat modern.
B. Menawarkan Gagasan Pribumisasi Islam
KH. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Gus Dur, telah berupaya menjawab tantangan itu sejak tahun 1980 yang
lalu, lewat konsepsi pemikirannya mengenai “Pribumisasi Islam”. Melalui
gagasannya ini, Gus Dur merespon secara intens dengan mengajukan
alternatif antitesa sebagai penyelesaian atau mungkin juga
‘wacana counter’ terhadap gejala keagamaan masyarakat modern yang
kering, paradoks, ahistoris, eksklusif, dlsb. sebagaimana yang telah
diuraikan di atas.
Ia masih melirik akan pentingnya tradisi, kebudayaan lokal Indonesia.
Karena itu, yang ditawarkan adalah lokalisasi Islam, bukannya artikulasi
dari keislaman yang harus serba seragam, apalagi serba arab. Dia seolah
yakin bahwa Islam akan lebih mudah dihayati oleh
masyarakat mad’u (objek dakwah), apabila para da’i atau muballigh
(penyebar agama) terlebih dahulu memperhatikan kebudayaan setempat
pada saat Islam disebar dan ditafsirkan ulang. Keberislaman yang
disampaikan dengan cara seperti ini akan lebih mampu mengakomodir
11
cipta, rasa, dan karsa para pemeluknya, sesuai dengan penghayatan
budayanya yang sudah terjadi selama berabad-abad.
Ide “Islam Pribumi” lahir untuk melawan gagasan otentifikasi Islam, yang
tidak jarang mengarah pada fundamentalisme keberagamaan. “Islam
Pribumi” meyakini tiga sifat, yaitu: sifat kontekstual, Islam dipahami
sebagai ajaran mengalami perubahan dan dinamika dalam merespon
perubahan zaman. Kedua, Islam dipahami sebagai agama yang progresif,
kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman penyimpangan
terhadap ajaran Islam melainkan sebagai pemicu untuk melakukan respon
kreatif secara intens. Ketiga, “Islam Pribumi” memiliki karakter
membebaskan, yaitu ajaran yang mampu menjawab problem-problem
kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnis
[14].
Gagasan “Pribumisasi Islam” benar-benar merangsang perlunya negosiasi
dan akulturasi antara agama, tradisi, lokalitas, dan kemodernan sekaligus.
Karena itu, keberislaman dipahami bukan hanya ritualisme, tetapi lebih
dari itu. Akomodasi tradisi dan kultur lokal melakukan “penafsiran
silang” yang saling menghargai dan menyempurnakan. Keberislaman
ditafsirkan untuk kerja kemanusiaan, kemaslahatan, kesetaraan, dan
keadaban [15] .
Karena itu Gus Dur dengan konsep “Pribumisasi Islam”nya tidak
sependapat kalau proses Islamisasi di Indonesia diarahkan pada proses
Arabisasi. Sebab, itu hanya akan membuat tercerabutnya masyarakat
Indonesia dari akar budayanya sendiri. Namun, “Prubumisasi Islam”,
menurut Gus Dur, bukan jawanisasi dan sinkritisme. Sebab, “Pribumisasi
Islam” hanya mempertimbangkan kebutuhan lokal dalam merumuskan
hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan
meninggalkan norma demi budaya. Tetapi agar norma-norma itu
menampung kebutuhan dari budaya, dengan menggunakan peluang yang
disediakan oleh variasi pemahaman nash (ketentuan) dengan tetap
memberikan peranan kepada ushul fiqih dan kaidah fiqih.
“Pribumisasi Islam” yang digagas Gus Dur pada akhir tahun 80-an itu
menggambarkan bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal
dari Tuhan diakomodasikan ke dalam budaya yang berasal dari manusia
tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. “Pribumi Islam”
menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan
berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil
bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan
jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya [16].
Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan antara agama dan budaya.
“Pribumisasi Islam” memberikan peluang bagi keanekaragaman
interpretasi dalam kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang
12
berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara
tunggal, melainkan majemuk. Tidak lagi ada anggapan bahwa Islam yang
di Timur-Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam
sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.
“Pribumisasi Islam” sesunggguhnya mengambil semangat yang telah
diajarkan walisongo dalam dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad
ke-15 dan ke-16 di pulau Jawa. Dalam hal ini walisongo telah berhasil
memasukan nilai-nilai lokal dalam Islam yang khas indonesia. Kreatifitas
walisongo ini melahirkan gagasan baru nalar Islam Indonesia yang tidak
harfiah meniru Islam di Arab. Tidak ada nalar Arabisasi yang melekat
dalam penyebaran Islam awal di Nusantara. Walisongo
mengakomodasikan Islam sebagai ajaran agama yang mengalami
historisasi dengan kebudayaan.
Sejarah terus berulang menjadi kesadaran-kesadaran baru. Pada era 1990-
an kritik terhadap model keberagamaan umat yang masih bercorak puritan
kembali menguat. Kiri Islam-nya Hassan Hanafi, dan gagasan post-
tradisionalisme Islam yang mengambil jalan pemikiran Muhammad Abed
al-Jabiri, Mohammad Arqoun, Nashr Hamid Abu Zayd, dan Muhammad
Shahrur telah menjadi rujukan utama dari kelompok Islam tradisional
untuk melakukan kritik nalar Islam, sekaligus menjadikan tradisi sebagai
jembatan emas menuju pemikiran Islam yang membebaskan. Pada
gilirannya, usaha-usaha ini melahirkan gagasan “Islam Pribumi” sebagai
kelanjutan dari pemikiran-pemikiran Islam yang telah berkembang dalam
denyut nadi perubahan [17].
Charley H. Dood yang mengungkapkan bahwa komunikasi antar budaya
meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili
pribadi, antar pribadi, antar kelompok dengan tekanan pada perbedaan
latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para
peserta. (Liliweri, 2003: 12).
Sampai di sini, “Pribumisasi Islam” dipahami menjadi sebuah kebutuhan
praksis (berupa keterampilan pada proses komunikasi/ dakwah/ tabligh
antar budaya), sekaligus sebagai kebutuhan paradigmatik pemikiran
(berupa kontekstualisasi paham keislaman untuk historisitas ruang dan
waktu yang berbeda, di mana syariah didialogkan dengan berbagai konteks
yang melingkupinya). Penulis merasa akan pentingnya konsep
“Pribumisasi Islam” ini. Sebab, konsepsi “Pribumisasi Islam” sepertinya
akan sangat membantu bagi berkembangnya pemahaman Islam yang
pantas untuk diterapkan dalam konteks Indonesia maupun keindonesiaan
itu sendiri. Dari situ, membangun masyarakat yang religius juga kultural
akan lebih mudah terwujud, tanpa kehilangan kebinekaannya, tetap
harmonis, toleran dan menganut pluralisme yang dewasa.
13
2. Menggali Sumber Sosiologis
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim
terbesar di dunia. Fenomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari jasa para
dai muslim sepanjang sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mereka
berasal dari Arab, Persia, India bahkan dari Cina. Kedatangan mereka ke
Indonesia tidak saja untuk memeperkenalkan Islam, tetapi juga dengan
membawa seperangkat keilmuan Islam yang sudah mengalami proses
pengembangan di tanah asalnya, Timur Tengah. Sebelum Islam datang,
penduduk Indonesia (baca. Nusantara) telah menganut agama, baik yang
masih primitif seperti animisme-dinamisme maupun yang sudah
berbentuk agama formal seperti Hindu atau Buddha. Namun demikian,
berdasarkan catatan sejarah yang ada, kedatangan Islam tidak disertai
dengan konflik sosial-keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan
islamisasi generasi awal setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu
faktor strategi dakwah dan faktor daya tarik ajaran Islam itu sendiri.
Gerakan Wahabi ternyata berimbas ke Indonesia. Jika pada masa lampau,
kaum Paderi di Sumatera Barat yang menjadi agennya, dan juga
Muhammadiyah, maka pada era sekarang ini, pengimpor utama paham
Wahabi adalah kelompok Salafiyun.
Secara sosiologis, potret Islam Indonesia sangat toleran dengan
tradisi dan komunitas lain yang berbeda keyakinan, menerima Bhineka
Tunggal Ika. Islam Indonesia menghargai pluralitas etnis, agama dan
gender. Membela kaum minoritas, kaum mustad’afin, dan kaum
terpinggirkan lainnya. Islam Indonesia sangat memahami sosio-kultural
kebangsaan, ketimbang memaksakan normatifitas teks yang verbalisitik.
Dalam masalah praktik sosial kemasyarakatan, Islam Indonesia bisa
menerima Pancasila sebagai Dasar Negara guna memersatukan segenap
entitas bangsa Indonesia. NKRI sudah final bagi Islam Indonesia.
Peningkatan Sumberdaya Manusia dan kedisiplinan yang perlu
ditingkatkan, punctuality (ketepatan),keteraturan, social justice,
pengorganisasian, kepekaan sosial, etos kerja, kompetisi positif,
sportivitas, komitmen, trust, dan lain-lain.
Islam Indonesia juga inhern dengan nasionalisme. Bahkan NU sebagai
cerminan Islam Indonesia terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan
dari penjajahan dan delegasinya KH.Wahid Hasyim, menjadi tokoh kunci
terbangunnya bangsa Indonesia, ketika terjadi perdebatan apakah negara
Indonesia akan berlandaskan Pancasila atau Islam. Ketika sekelompok
delegasi dari Islam Modernis menginginkan negara Islam, dan Soekarno
yang ingin Pancasila. Ketika perdebatan menegang, tiba-tiba warga di
Indonesia Timur bermaksud merdeka ketika Indonesia menjadikan Islam
sebagai dasar negara. KH. Wahid Hasyim, selaku anggota perumus dari
14
NU, pulang ke rumah menemui KH, Hasyim Asy’ari, dan hasilnya
diterima Pancasila sebagai dasar negara demi utuhnya NKRI yang baru
didirikan. Kelompok Islam Modernis walau jengkel dengan sikap tersebut
tetapi tidak bisa berbuat banyak karena yang akhirnya bisa menegangkan
perdebatan dasar negara.
Dari kejadian itu, ditemukanlah bagaimana komunitas NU mendefinisikan
kekuasaan, negara dan bangsa. Betapa nasionalisme NU sudah terbukti.
Bahkan, pada Muktamar NU tahun 1938 di Menes, Banten, ada dua
pertanyaan searah yang jawabannya saling kontradiksi. Pertanyaan
pertama adalah, bahwa penjajah Belanda menawari NU untuk masuk
menjadi anggota Volskraad, dengan itu maka NU akan menjadi bagian
dari struktur kekuasaan dan pemerintahan Belanda di Hindia-Belanda.
Namun ketika diadakan voting, hasilnya 54 menolak dan 4 setuju masuk
Volksraad. Jadi NU menolak masuk lembaga perwakilan rakyat versi
penjajah itu. Pertanyaan kedua adalah, apakah Hindia-Belanda wajib
dipertahankan dari serangan luar? Jawabannya adalah wajib karena
Hindia-Belanda, menurut hasil Muktamar itu, merupakan dar al-
islam (bukan daulah Islam). Yaitu, kawasan yang mayoritas penduduknya
pemeluk Islam, pernah dikuasai kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam
tidak dibatasi dan dilarang untuk menjalankan ibadahnya. Dari sini bisa
disimpulkan bahwa, keikutsertaan NU dalam Volksraad adalah masalah
politik dan kekuasaan, oleh karena itu bisa ditolak dan bisa juga diterima
seandainya hasil voting itu menghasilkan sebaliknya. Tetapi masalah
kawasan Hindia-Blanda adalah masalah negara dan bangsa, karena itu
harus dipertahankan dengan basis argumen Islam. Dalam konteks inilah
bisa dipahami ketika KH Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar PBNU
mengeluarkan fatwa “resolusi jihad” pada Oktober 1945 yang mewajibkan
kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia sebagai wajib ‘ain dalam
jarak tertentu dari Surabaya yang sedang berperang untuk
mempertahankan kemerdekaan seiring dengan masuknya tentara seklutu
(NICA) yang diboncengi Belanda. Masuknya tentara sekutu tersebut tentu
membahayakan Indonia yang baru belum ada dua bulan merdeka. Maka
terjadilah Perang 10 Nopember 1945 di Surabaya.
Dari uraian tersebut, jelaslah NU sebagai bagian penting dari Islam
Indonesia sudah mampu membangun definisi hubungan agama, bangsa
dan negara dalam Islam Indonesia yang kosmopolit. Dari catatan ini pula
adanya keterkaitan erat antara berdirinya NU dan proses terbangunnya
negara-bangsa Indonesia. Di era Gus Dur, Islam Indonesia juga mampu
menyeimbangkan ketegangan antara pemerintah rakyat, militer – sipil,
mayoritas – minoritas. Islam Indonesia juga sangat perhatian dengan isu-
isu demokrasi, HAM, gender, kemiskinan, ekonomi neo-liberal, civil
society, advokasi, misalnya, yang sudah dikembangkan oleh NU sejak
15
masa otoritarianisme Orde Baru, yang waktu itu gerakannya bahkan
dilakukan secara “undergorund.” Topik-topik tersebut tidak hanya
menjadi gerakan pemikiran tetapi juga gerakan praktis. Demikian juga
dengan masalah hak-hak perempuan, korupsi, dan hak-hak minoritas
muncul menjadi pergulatan intensif saat ini, sehubungan dengan kian
derasnya arus fundamentalisme yang anti kesetaraan perempuan dan anti
pluralisme dan multikulturalisme serta maraknya korupsi sejak Orde Baru.
Dengan kata lain, evolusi pemikiran Islam Indonesia akan terus mengikuti
arus perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Sejumlah isu juga sedang
diyang belum terangkum dalam disertasi ini, misalnya, gerakan tentang
pertanian, lingkungan, pengelolaan seumber daya alam dan tradisi lokal.
Semua ini menanti sebuah karya lanjutan berikutnya.
16
1. Membangun Argumen tentang Urgensi Pribumisasi Islam
Secara bahasa, Urgensi berasal dari bahasa Latin yaitu “urgere”
yang berarti mendorong. Adapun secara istilah, Urgensi yaitu menunjuk
pada sesuatu yang mendorong kita, yang memaksa kita untuk
menyelesaikan suatu hal. Urgensi dapat diartikan yaitu pentingnya.
Sebagai contoh, urgensi kepemimpinan berarti pentingnya
kepemimpinan.
Pribumisasi Islam adalah rekonsilasi antar budaya dan agama.
Rekonsilasi ini menuntut umat Islam memahami wahyu dengan
mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual termasuk kesadaran
hukum dan rasa keadilannya.
Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai
ajaran yang normatif berasal dari Tuhan yang diakomodasikan ke dalam
kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan kemurnian dari
Islam itu sendiri.
Gagasan Pribumisasi Islam secara geneologis dicetuskan pertama
kali oleh Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur) pada
tahun 1980-an kultur setempat. “sumber Islam adalh wahyu yang
mempunyai norma-norma sendiri, karena sifatnya permanen. Menurut
Gus Dur, Pribumisasi Islam adalah suatu pemahaman islam yang
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan
hukum-hukum negara. Sejak itu, Islam pribumi menjadi perdebatan
menarik dalam lingkungan para intelektual. Tujuan gagasan pribumisasi
Islam adalah agar terjadinya dialog Islam dan kebudayaan sehingga
keduanya dapat saling menerima dan memberi.
Menurut Gus Dur, metodologi pribumisasi Islam sesungguhnya
sederhana, yakni dengan ushul fiqh dan qaidah fiqhiyah seperti al-‘adah
muhakkamah (adat istiadat bias menjadi hukum) dan al-muhafazatu bi
qadimis ash-shalih wal-ahdzu bil jadid al-ashlah (memelihara hal lama
yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Pribumisasi Islam ini sangat berbeda dengan pola atau cara
berislam yang sangat berorientasi pada purifikasi atau pemurnian yang
mempunyai hasrat kuat pada keaslian dan masa lalu. Pribumisasi islam
tidak berorientasi pad masa lalu, namun berpijak pada tradisi, kelokalan
dan kekinian. Proses panjang penjumlahan Islam dengan budaya lokal
di nusantara juga telah melahirkan beragam ekspresi kebudayaan yang
khas nusantara seperti arsitektur bangunan,tari, dan perayaan
keagamaan, yang bagi sebagian orang kemudian dituduh sebagai
bid’ah. Dengan proses semacam itu Islam tidak hadir sebagai
17
pemberangus budaya lokal. Islam hadir di nusantara yang saat itu sudah
merupakan peradaban dengan khazanah dan keragaman yang begitu
kaya. Semua itu tidak dibumihanguskan atau dilenyapkian sebagaimana
Rasulullah yang juga tidak lantas melenyapkan budaya lokal Arab.
Proses pribumisasi islam semacam itulah yang kemudian
membentuk pola atau corak Islam Nusantara. Sebuah corak
keberislaman yang moderat, damai, ramah, dan terbuka. Singkatnya,
pribumisasi islam adalah caranya, Islam Nusantara adalah buahnya.
Dalam ranah tafsir, ungkapan yang mirip pernah di perkenalkan
oleh Quraish Shihab. Ungkapan yang dimaksud adalah “Membumikan
Al-Qur’an”. Orientasi penafsiran untuk masalah-masalah kemanusiaan
seperti kemiskinan, penyakit masyarakat, bencana alam, misalnya lebih
membumib daripada orientasi penafsiran tentang bahasa al-Qur’an,
kisah daam A-Qur’an, perdebatan teologis, dan lain sebagainya.
Orientasi yang terakhir memang mewarnai secara dominan produk-
produk tafsir klasik. Proyek pembumian Al-Qur’an seperti ini
sesungguhnya sudah digagas pertama kali oleh tokoh pembaharu dari
mesir, Muhammad Abdulh (1849-1905).
Dengan demikian, ada dua molekul pribumisasi Isalm dalam
tataran ontologis jika melihat gagasan kedua orang diatas. Jika Quraish
Shihab menekankan tataran orientasi atau penekanan penafsiran Al-
Qur’an/Islam, sedangkan Gus Dur lebih menelisik pada tataran kontruks
ajaran Islam itu sendiri. Pribumi islam model pertama nampaknya tidak
mendapat kendala otokritik dari kalangan umat Islam. Kita memang
sepakat bahwa tidak semua gagasan penafsiran terhadap Islam yang
diproduksi oleh ulama-ulama klasik relevan dengan konteks Indonesia
Kekinian. Oleh karena itu, harus ada ikhtiar untuk menggagas produk-
produk pemahaman baru terhadap Al-Qur’an/Islam dalam konteks
solusi terhadap problem-problem kemanusiaan, sehingga Islam terasa
membumi.
Dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai
ajaran normatif yang bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke dalam
kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya
masing-masing, sehingga tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses
menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat Muslim di Timur
Tengah. Bukankah arabisme atau proses mengidentifikasi diri dengan
budaya Timur Tengah berarti mencabut akar budaya kita sendiri?
Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya
perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, tetapi justru agar
budaya tersebut tidak hilang. Inti dari pribumisasi Islam adalah
18
kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan
budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.
19
Pribumisasi Islam juga bukan pembaharuan, karena pembaharuan
berarti hilangnya sifat asli agama, sementara Gus Dur menginginkan
agar islam tetap pada sifat Islamnya. Misalnya, Al-Qur’an harus tetap
dalam berbahasa Arab terutama dalam hal sholat, sebab hal itu
merupakan norma. Adapun terjemahan Al-Qur’an bukan menggantikan
Al-Qur’an, melainkan sekedar untuk mempermudah pemahaman
tehadap sholat.
1. Kontekstualisasi Islam
Islam Pribumi memiliki sifat-sifat berikut:
1. Islam Pribumi bersifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai
ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat.
2. Islam Pribumi bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan
dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran
dasar agama (Islam), tetapi didliaht sebagai pemicu untuk melakukan
respon kreatif secara intens.
3. Islam Pribumi bersifat karakter bebas, yakni Islam menjadi ajaran yang
dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa
nmelihat perbedaan agama dan etnik.
20
semangat kebangsaan dapat tumbuh dengan baik apabila latar belakang
sejarah bangsa dipahami denga baik.
Arus perubahan linagkungan yang terus terjadi senantiasa memiliki
aspek positif dan negatif tanpa disertai pemahaman wawasan kebangsaan
yang baik dan benar, perubahan lingkungan akn sulit dikelola dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kemajuan bangsa dan negara. Untuk
itu, perjalanan sejarah bangsa dan nilai-nilai dasar kebangsaan perlu tetap
menjadi acuan dalam menyikapi perubahan agar kita terus mampu
membangun bangsa Indonesia sebagai bangsa besar dan modern.
Pada konsep ukhuwah basyariyah, seseorang merasa saling
bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia
yang satu yang menyebar di berbagai penjuru umat dunia. Dalam konteks
ini, semua umat manusia sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan.
Hampir sama dengan ukhuwah basyariyah juga tidak dibatasi oleh baju
luar dan sekat-sekat primordial seperti agama, suku, ras, bahasa, jenis
kelamin, dan sebagainya.
Islam pribumi ini lahir dari sikap keterbukaan Islam dalam
berdialog dengan memanifestasikan diri kedalam budaya lokal Nusantara.
Sebagai pijakan dalam mengemukakan tawarannya, Gus Dur mencatat
adanya dua kecenderungan dalam menanifestasikan kebudayaan Islam ke
dalam kebudayaan Nusantara. Pertama, kecenderungan untuk formalisasi
ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua,
kecenderungan untuk menjauhi sebisa mungkin formalisasi ajaran Islam
dalam manifestasi kebudayaan bangsa. Kecenderungan pertama menurut
Gus Dur berkeinginan untuk memanifestasikan dimensi Islam ke dalam
kehidupam sehari-hari agar kebudayaan Indonesia diwarnai oleh ajaran
Islam. Mereka memulainya dari persoalan bahasa seperti ucapan salam
“assalamu’alaikum” dijadikan ganti dari ucapan “Selamat Pagi” hari
kelahiran diganti dengan yaum al-milad, istilah sahabat diganti dengan
ikhwan dan sebagainya. Kecenderungan seperti ini pada akhirnya
menghilangkan budaya lokal yang dinilai tidak Islami. Mereka
mencangkan budaya Islam sebagai budaya alternatif. Menurut Gus Dur,
sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan Islam harus
mengakomodasi kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan
identitasnya. Tumpang tindih antar agama dan budaya itu menurut Gus
Dur akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan
memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Namun,
perbedaan agama dan budaya tidak menghalangi kemungkinan menifestasi
kehidupan beragama dalam bentuk budaya seperti penggunaan seni dalam
mengekspresikan ritual keagamaan. Dalam rangka menifestasi budaya
21
Islam ke dalam budaya lokal itulah Gus Dur menawarkan gagasan
pribumisasi Islam.
Dengan kaidah itu, Gus Dur tidak berarti mengungkapkan bahwa
adat merubah norma-norma Islam, melainkan memanifestasi agama
kedalam budaya setempat, karena manifestasi norma Islam adalah bagian
dari budaya, seperti membangun masjid Demak. Mungkin saja, orang
berdalil bahwa dalam tradisi Islam, berpihak-pihak kominikator
menggunakan ungkapan salam berbahasa Arab “Assalamu’alaikum”
walaupun mereka bukan orang Arab tetapi kenyataannya pengertian salam
kini mengalami pergesekan makna. Kalau dulu hanya sebatas antar
seseorang Islam, kini mulai melebar terutama jika diucapkan oleh pejabat
di dalam sebuah forum terbuka. Karena itu, maka ucapan salam sudah
masuk ke dalam ranah budaya. Dalam konteks budaya, ucapan
“Assalamu’alaikum” sama dengan ucapan Shobakhul Khoir yang biasa
digunakan orang Arab ketika bertemu atau “Selamat Pagi” untuk konteks
Indonesia.
22
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad
Saw sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh
manusia hingga akhir zaman. Kewajiban sebagai umat islam untuk membumikan
Islam sudah tertera dalam berbagai hadist dan Surat di Alquran. Banyak cara yang
dapat ditempuh dalam membumikan Islam di Indonesia. Kebangkitan atau
kemajuan umat Islam, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama sungguh sangat
bergantung pada sejauh mana mereka berpedoman dan berpegang teguh pada
petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, aturan-aturan, etika-etika dan norma-norma
yang mencakup segala aspek dan segi kehidupan manusia di mana pun.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.gusdurian.net/id/article/kajian/Menimbang-Gagasan-Pribumisasi/
http://www.islammadani.net/kajian/dari-pribumisasi-islam-ke-islam-nusantara-
sebuah-tinjauan-kritis-1
Dody S Truna.dkk.2002.Pranata Islam Di Indonesia. Jakarta: Logos WacanaIlmu
https://muslim.or.id/4703-keutamaan-menyebarkan-ilmu-agama.html
http:/mutiarahaticieka.blogspot.com/Pribumisasi-Islam
23