Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

BAGAIMANA MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA

Dosen Penanggung Jawab :

Aih Dadan, S.Ag., M.H

Disusun oleh:
Ayu Novia
Nurhadisah
Shinta Kemala Dewi
M. Sulthan Hanif
Nizar Ramadhani
M. Syekh Abdul Muhyi

JURUSAN TEKNOLOGI INFORMATIKA

STTI SONY SUGEMA KARAWANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga
makalah ini dapat di selesaikan pada waktunya. Makalah ini di tulis demi untuk
memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama dengan judul “BAGAIMANA
MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA”.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari kesalahan-
kesalahan, maka dari itu kami mengharapkan syarat yang membangun dari para
pembaca. Dalam pembuatan makalah ini tidak luput dari banyak motifasi dari
teman-teman yang telah membantu.
Kami mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah banyak
memotifasi dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan
informasi kepada para pembaca .
Demikianlah pengantar dengan iringan serta harapan semoga tulisan
sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca dan pendengar. Atas
semua ini kami mengucapkan ribuan terimakasih yang tidak terhingga. Semoga
segala bantuan dari semua motivasi mudah-mudahan mendapat amal baik yang di
berikan oleh Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamin.

Purwasari, November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1. Latar belakang masalah.................................................................................1

2. Rumusan Masalah.........................................................................................1

3. Tujuan...........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. PENGERTIAN ISLAM................................................................................2

B. KEWAJIBAN SETIAP UMAT ISLAM UNTUK BERDAKWAH

(MEMBUMIKAN ISLAM )................................................................................2

C. BAGAIMANA MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA.......................5

BAB III PENUTUP...............................................................................................23

KESIMPULAN..................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................23

ii
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar belakang masalah

Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-rasul-Nya untuk di


ajarkan kepada manusia. Dibawa secara berantai (estafet) dari satu generasi ke
generasi selanjutnya dari satu angkatan ke angkatan berikutnya. Islam adalah
rahmat, hidayat, dan petunjuk bagi manusia dan merupakan manifestasi dari sifat
rahman dan rahim Allah swt. Mayoritas manusia di bumi ini memeluk agama
islam. Banyak juga yang memilih menjadi mualaf setelah mengetahui semua
kebenaran ajaran nabi Muhammad SAW. Ini yang tercantum dalam al-Quran.
Namun di masa kejayaan islam pada masa sekarang,semakin banyak pula
orang-orang yang beragama islam, tapi tidak mengerti arti islam itu sendiri.
Mereka hanya menjalankan syari’ah atau ajaran-ajaran islam tanpa mengerti
makna islam. Ada juga orang yang islam KTP atau islam hanya sebagai
menyempurnakan KTP dari pada tak tercantum agamanya.
Oleh karena itu di makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana
membumikan islam di Indonesia.

2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apakah arti dari agama islam ?
2. mengapa diwajibkan atas umat islam untuk menyebarkan islam ?
3. bagaimana membumikan islam di Indonesia ?

3. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk :
1. Memahami arti islam yang sebenarnya
2. Memahami tentang kewajiban atas umat islam untuk menyebarkan
Islam
3. Memahami bagaimana membumikan islam di Indonesia

1
BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ISLAM
Islam pada suatu sisi dapat disebut sebagai high tradition, dan pada sisi
lain disebut sebagai low tradition. Dalam sebutan pertama islam adalah firman
Tuhan yang menjelaskan syariat-syariat-Nya yang dimaksudkan sebagai petunjuk
bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, termasuk dalam
nash (teks suci) kemudia dihimpun dalam shuhuf dan kitap suci (Al Quranul
Karim). Secara tegas dapat dikatakan hanya Tuhanlah yang paling mengetahui
seluruh maksud, arti, dan maknasetiap Firman-Nya. Oleh karena itu, kebenaran
islam dalam dataran high tradition ini adalah mutlak. Bandingakn dengan islam
pada sebutan kedua: Low tradition. Pada dataran ini islam yang mengandung
dalam nash ata teks –teks suci bergumul dengan realitas sosial pada berbagai
masyarakat yang dibaca, dimengerti, dipahami, kemudian ditafsirkan dan
dipraktikan dalam masyarakat yang situasi dan kondisinya berbeda-beda. Kata
rang, islam kahirnya tidak hanya melulu ajaran yang tercatum dalam teks-teks
suci melainkan juga telah mewujud dalam historisitas kemanusiaan.

B. KEWAJIBAN SETIAP UMAT ISLAM UNTUK BERDAKWAH


(MEMBUMIKAN ISLAM )
Berikut ini Dasar Dalil Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah
(Membumikan Islam )dari hadits.

َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬


ً‫ال بَلِّ ُغوا َعنِّي َولَوْ آيَة‬ َّ ِ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,


“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” [HR. Bukhari]

ِ ‫ك َأضْ َعفُ اِإْل ي َم‬


‫ان‬ َ ِ‫َم ْن َرَأى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَِإ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَِإ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬

“Siapa saja yang melihat kemungkaran hendaknya ia mengubah dengan


tangannya. Jika dengan tangan tidak mampu, hendaklah ia ubah dengan lisannya;
dan jika dengan lisan tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya; dan ini adalah
selemah-lemah iman.” [HR. Muslim]

Terjemahan :

2
“Dari Abu Hurairah ra ia berkata : Rosulullah SAW bersabda : “Barang siapa
yang hendak mengajak kepada kebaikan maka dia akan memperoleh pahala atas
perbuatan baiknya itu serta pahala orang yang mengikuti dan melaksanakan
kebaikan dengan tanoa dikurangi sedikitpun. Sebaliknya bagi siapa saja yang
mengajak kesesatan atau kemungkaran, maka dia mendapat dosa sebagai balasan
atas perbuatannya sendiri (ditambah) dosa sebanyak dosa orang yang
mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun” (HR Abu Dawud, Ahmad, Nasai,
Turmudzi dan Ibnu Majah)

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

– Orang yang mengajarkan ilmu agama kepada manusia berarti telah


menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala yang merupakan sebab utama terwujudnya
kemakmuran dan kesejahteraan alam semesta beserta semua isinya, oleh karena
itu semua makhluk di alam semesta berterima kasih kepadanya dan mendoakan
kebaikan baginya, sebagai balasan kebaikan yang sesuai dengan perbuatannya.

– Sebagian dari para ulama ada yang menjelaskan makna hadits ini bahwa Allah
Ta’ala akan menetapkan bagi orang yang mengajarkan ilmu agama pengabulan
bagi semua permohonan ampun yang disampaikan oleh seluruh makhluk
untuknya.

– Tentu saja yang keutamaan dalam hadits ini khusus bagi orang yang
mengajarkan ilmu agama dengan niat ikhlas mengharapkan wajah Allah Ta’ala,
bukan untuk tujuan mencari popularitas atau imbalan duniawi.

– Para ulama yang menyebarkan ilmu agama adalah pewaris para Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena merekalah yang menggantikan tugas para
Nabi dan Rasul ‘alaihis salam, yaitu menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala dan
menyeru manusia ke jalan yang diridhai-Nya, serta bersabar dalam menjalankan
semua itu, maka merekalah orang-orang yang paling mulia kedudukannya di sisi
Allah Ta’ala setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam.

– Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menyampaikan/menyebarkan


sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia
lebih utama daripada menyampaikan (melemparkan) panah ke leher musuh
(berperang melawan orang kafir di medan jihad), karena menyampaikan panah ke
leher musuh banyak orang yang (mampu) melakukannya, sedangkan
menyampaikan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada umat manusia hanya (mampu) dilakukan oleh (para ulama) pewaris para
Nabi ‘alaihis salam dan pengemban tugas mereka di umat mereka, semoga Allah
Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan mereka dengan karunia dan
kemurahan-Nya”

3
Pada dasarnya setiap Muslim dan Muslimah diwajibkan untuk
mendakwahkan Islam (membumikam islam ) kepada orang lain, baik Muslim
maupun Non Muslim.Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt,
dan berikut Dasar Dalil Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah
(Menyeru Kebaikan) di AL-Qur’an. :

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ;
merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Al-Imran : 104),

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik” (TQS. Al-Imran : 110)

” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan

4
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk ” (TQS. An-
Nahl : 125).

Riwayat-riwayat di atas merupakan dalil yang sharih mengenai kewajiban


dakwah (membumikan islam ) atas setiap Mukmin dan Muslim. Bahkan, Allah
swt mengancam siapa saja yang meninggalkan dakwah Islam (membumikan
islam), atau berdiam diri terhadap kemaksiyatan dengan “tidak terkabulnya doa”.
Bahkan, jika di dalam suatu masyarakat, tidak lagi ada orang yang mencegah
kemungkaran, niscaya Allah akan mengadzab semua orang yang ada di
masyarakat tersebut, baik ia ikut berbuat maksiyat maupun tidak. Kenyataan ini
menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa hukum dakwah adalah wajib, bukan
sunnah. Sebab, tuntutan untuk mengerjakan yang terkandung di dalam nash-nash
yang berbicara tentang dakwah datang dalam bentuk pasti. Indikasi yang
menunjukkan bahwa tuntutan dakwah bersifat pasti adalah, adanya siksa bagi
siapa saja yang meninggalkan dakwah. Ini menunjukkan, bahwa hukum dakwah
adalah wajib.

C. BAGAIMANA MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA

1. Menelusuri Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak


Keberagamaan

Wahyu difirmankan untuk memperpendek proses pembacaan terhadap alam.


Apabila manusia diberi kesempatan untuk membaca dan memahami alam dengan
segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan membutuhkan
waktu yang lama untuk mencapai jawaban final. Namun berkat Wahyu, proses
yang panjang dan berliku tersebut dapat disingkat sedemikian rupa sehingga
manusia tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan jawaban final kehidupan.
Wahyu Allah yang terbentang dalam alam geografis dan sosial budaya Arab,
akan ditangkap oleh nabi berkebangsaan Arab dan dibesarkan dalam tradisi
intelektual Arab, otomatis akan menjadi Wahyu yang berbahasa Arab lengkap
dengan kultur Arab pada masa wahyu difirmankan. Contohnya AlQuran sangat
dipengaruhi oleh kultur Arab Nabi Muhammad karena ia diturunkan kepada Nabi
Muhammad yang berkebangsaan Arab. Namun seiring berjalannya waktu dan
ruang, Wahyu akan menyesuaikan dengan keadaan budaya pada suatu tempat dan
waktu tertentu sehingga munculnya keberagaman corak pemahaman agama.
Bila dalam sebutan pertama islam adalah agama wahyu yang seolah seolah
berada di langit dan keeradaannya bersifat mutlak, maka pada sebutan kedua
islam telah berada di bumi menjadi agama masyarakat dan kebenarannya pun
menjadi relatif. Implikasinya, pada dataran ini islam berubah menjadi “Islams”.

5
Dalam ajaran islam, wahyu Allah selain berbentuk tanda-tanda (ayat) yang
nirbahasa, juga bermanifestasi dalam bentuk tanda-tanda (ayat) yang difirmankan.
Untuk memudahkan pemahaman, kita bedakan antara istilah wahyu (dengan “w”
kecil) dan Wahyu (dengan “W” besar ). Wahyu dengan w kecil menyaran pada
tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, dan ketentuan Tuhan yang
nirbahasa, dan mewujudkan dalam alam semesta dan isinya, termasuk dinamika
sosial budaya yang terjadi didalamnya. Adapun Wahyu dengan W besar menyaran
pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, da ketentuan Tuhan yang
difirmankan melalui utusan-Nya (malaikat) dan diakses secara khusus oleh orang-
orang pilihan yang disebut sebagai nabi atau rasul (meskipun kedua istilah ini
sebenarnya berbeda, namun sementara ini dianggap sama).
Wahyu (dengan W besar) difirmankan untuk menjawab beberapa
permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam tanda-tanda Tuhan yang
terbentang, untuk memotivasi manusia agar makin detil dalam membaca dan
memahami alam yang terbentang, sehingga ia bisa memperoleh makna dari setiap
fenomena yang dialaminya. Tidak hanya itu, Wahyu difirmankan juga untuk
memperpendek proses pembacaan terhadap alam (wahyu yang terbentang).
Apabila manusia dieri kesempatan untuk membaca dan memahami alam dengan
segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan membutuhkan
waktu yang lama untuk mencapai jawaban final. Namun berkat Wahyu, proses
yang panjang dan yang berliku tersebut dapat disingkat sedemikian rupa sehingga
manusia tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan jawaban final kehidupan.
Islam telah membeli kontribusi yang amat signifikan bagi keindonesiaa dan
perabadan, baik dalam bentuk nilai-nilai maupun bengunan fisik. Islam Indonesia
ternyata tidak kalah penting dibandingkan dengan islam di Timur Tengah.
Fazhlurrahman bahkan mengatakan bahwa islam indonesia merupakan corak
islam masa depan. Sepak masa Wali Songo, silam di indonesia memiliki dua
model diatas. Kelompok formalis lebih mengutamakan aspek fisik dan poltik
kenegaraan, sedangkan kelompok esensialis memprioritaskan aspek nilai dan
kultur dalam berdakwah. Di era kemerdekaan sampai dengan era pascareformasi,
polemik antara kedua model keberagaman ini masih tetap ada. Coba anda telusuri
lebih lanjut kedua model diatas sejak masa kemerdekaan sampai pascareformasi,
lalu kenali karakteristik masing-masing model diatas.
Tuntutan modernitas dan globalisasi menuntut model pemahaman agama yang
saintifik, yang secara serius memperlihatkan berbagai pendekatan. Pendekatan
islam monodisiplin tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan zaman yang
dihadapi umat islam di berbagai tempat. Agar diperoleh pemahaman islam yang
saintifik diatas diperlukan pembacaan teks-teks agama (baca:Al Quran, Al Hadist,
dan turats) meminta maaf dan memaafkan adalah ajaran islam yang universal,
diJawa pemohonan maaf si anak kepada orang tua diekspresikan dengan
‘sungkem’ sedangkan komunitas Betawi tentunya tradisi tersebut tidak dikenal.

6
Uraian diatas menunjukkan bahwa ekspresi tentang islam tidak bisa tunggal. Hal
itu dikarenakan islam tidak lahir diruang hampa sejarah. Tabiat, karakter, tradisi,
budaya, lingkungan, dan lain-lain menjadi penentu dan pembeda corak berfikir,
cara bersikap, dan bentuk ekspresi seseorang, bahkan masyarakat. Islam
mengajarkan untuk bertutur kata halus dan penuh makna. Ini tidak berarti orang
Batak atau orang Arab harus berbicara dengan nada lembut seperti orang Jawa.
a. Corak Keberagaman Masyarakat Muslim Indonesia Sebagai Wujud Kekayaan
Alam Nusantara

Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan


lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum
Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas
nasional.
1. Corak islam di Aceh
Pembangunan masjid di Bali sejak abad XIV hingga sekarang
mengalami akulturasi dengan unsur arsitektur tradisional Bali atau
menyerupai stil wantilan. Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan
dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di Bali
tampak berbeda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya
di indonesia

Pemeluk agama Islam di Aceh merupakan mayoritas, dibandingkan


dengan agama-agama lain. Salah satu contoh corak keberagamaan
masyarakat muslim di Aceh terlihat dari Parlemen Aceh yang akhirnya
mengesahkan Qanun Hukum Jinayah sebagai pedoman baru pelaksanaan
syariat Islam. Penerapan hukum Islam berupa cambuk dan denda emas
bagi pelanggar syariat, termasuk non-muslim dan anak-anak, segera
berlaku di provinsi itu. Peraturan tersebut tentu berbeda dengan peraturan
yang ada di provinsi selain Aceh.
Dengan disahkannya Qanun Hukum Jinayah, maka di Aceh akan
berlaku hukuman cambuk atau denda dengan bayar emas murni bagi

7
pelaku pemerkosaan, perzinaan, pelecehan seksual, praktik gay, lesbian,
mesum, perjudian, mengonsumsi minum keras dan bermesraan dengan
pasangan bukan muhrim. Bukan hanya pelaku, orang yang ikut
menceritakan ulang perbuatan atau pengakuan pelaku jarimah secara
langsung atau melalui media juga dikenakan hukuman cambuk.

Sanksi cambuk bukan hanya berlaku bagi mereka yang beragama


Islam. Warga non-muslim, anak-anak dan badan usaha yang menjalankan
bisnisnya di Aceh, jika melakukan pelanggaran syariat, juga akan
dikenakan hukuman dalam qanun ini. Hanya saja bagi non-muslim diberi
kelonggaran yakni bisa memilih apakah diproses dengan qanun atau
hukum nasional yang berlaku.
Selain itu corak keberagamaan muslim di aceh terlihat dari tradisi orang
Aceh yang menganggap musholla lebih signifikan dibandingkan dengan
masjid. Menurut Andrew Beatty, karena hidup berkeluarga adalah arena
utama dari kehidupan social dan bidang di mana tindakan moral dibentuk
dan dinilai, maka musholla memiliki arti penting praktis yang lebih besar.
Sebuah desa di Aceh dapat bertahan tanpa masjid karena shalat Jumat
dilakukan di sebuah mesjid kemukiman. Tetapi tanpa mushalla
(Meunasah), maka kesalehan akan terhenti menjadi patokan normatik:
kewajiban skriptual tetap kewajiban, tetapi solidaritas sesame muslim akan
memudar.
2. Corak Islam di Sidodadi
Sidodadi merupakan salah satu gampong yang ada di kecamatan
Simoang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, Indonesia.
Kenyataannya muslim Sidodadi memang memiliki sebutan tersendiri
terkait orientasikeagamaan mereka, yakni orang Sunnah dan orang Yasin.
 Istilah orang Sunnah terkadang digunakan secara bertukaran
dengan istilah orang Pengajian

8
 istilah orang Yasin juga digunakan bertukaran dengan orang
Perwiridan (muslim tradisionalis

Perbedaan

Orang Sunnah Orang Yasin

Tidak menyelenggarakan tahlil Secara berkala membaca tahlil bersama,


termasuk tahlil untuk orang meninggal

Seorang muslim tidak membungkukkan Mentradisikan orang lebih muda


badan sedikitpun saat bersalaman mencium tangan orang lebih tua.

Bersalam-salaman tidak harus dilakukan Melakukan salaman setelah shalat


setelah selesai shalat

Kontestasi kesalehan antara kedua kelompok berlangsung dinamis,


dalam beberapa kasus memunculkan ketegangan sosial dan rekonsiliasi
antara kedua belah pihak.
·       Orang Yasin misalnya mendukung tradisi pesejeuk (kenduri) saat
mendirikan rumah, baca yasin bersama, tahlilan, membacakan talkin untuk
mayat yang barudikuburkan, sampai dengan pementasan orgen tunggal
dalam acara resepsi pernikahan.
·       Orang Sunnah menentang semua tradisi tersebut karena tidak
ditemukanlandasan hukumnya dalam al-Qur'an dan hadist. Tradisi baca
yasin bersama menurutorang sunnah sama bid'ahnya dengan pementasan
orgen tunggal saat resepsi pernikahan.
Meskipun orientasi keberagamaan orang Sunnah berbeda dari orang Yasin,
keduanya masih tetap berpijak pada landasan yang sama. Al-Quran dan
hadis tetap dijadikan acuan utama dalam membangun otoritas kehidupan
agama. Definisi serta wilayah cakupan agama juga diturunkan oleh
keduanya melalui dua sumber ajaran Islam ini. Tetapi masing-masing
pihak ingin merealisasikan ideal yang terkandung dalam teks suci ke
dalam kehidupan nyata dalam versinya masing-masing. Kedua belah pihak
menempuh jalan yang berbeda dalam menghampiri Islam.

2. Menanyakan Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan


Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi dinamika dan
struktur sosial masyarakat, yaitu agama dan budaya lokal. Dalam masyarakat
Indonesia, dua hal tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk
karakter dan perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai”jati diri”

9
orang Indonesia. Karakter tersebut mewarnai hampir semua aspek sosial
masyarakat Indonesia baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Agama diyakini memiliki nilai-nilai transenden sehingga sering dipahami
sebagai satu dogma yang kaku. Namun, nilai-nilai budaya relatif dipandang
lebih fleksibel sesuai kesepakatan-kesepakatan komunitas untuk dijadikan
sebagai standar normatif. Karena adanya perbedaan karakter agama dan
budaya itulah maka sering kali nilai-nilai agama dipertentangkan dengan nilai-
nilai budaya lokal yang sebenarnya teah mempengaruhi perilaku sosial
seseorang. Waktu masuknya Islam ke Indonesia (Nusantara) masih
diperdebatkan. Ada yang berpendapat bahwa sejak sebelum hijrah telah ada
orang Arab yang tinggal di kepulauan ini. Lalu pada abad ke-13 muncullah
untuk pertama kali sebuah komunitas Islam, ang selanjutnya mengalami
perkembangan pesat pada abad ke-15. Pada abad ke-17/ke-18 bahkan
mayoritas penduduk Jawa da Sumatera telah memeluk Islam. Mulanya Islam
masuk ke Indonesia melalui pedagang dari Gujarat dan Malabar India. Lalu
belakangan masuk pula pedagang dan dai-dai Islam dari Hadramaut,
disamping saudagar-saudagar Islam dari Cina. Islam disebarkan dengan cara-
cara damai dengan aliansi politik dan pembiaran terhadap budaya-budaya lokal
yang sudah ada sebelumnya, selama sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
Unsur-unsur budaya lokal non-islam (Arab) bahkan melekat dalam karakter,
pemikiran, dan praktik keagamaan umat Islam sufistik yang memang memiliki
karakteristik terbuka, damai, dan ramah terhadap perbedaan.
Model akulturasi budaya lokal dengan Islam ini sering dianggap sebagai
penyebab munculnya karakter Islam abngan di kalangan mayarakat Jawa.
Sebagai orang bahkan menilai bahwa para Wali Songo sebagai ikon dai-dai
awal islam di Indonesia dianggap belum berhasil sepenhnya untuk
mengislamkan Jawa. Beberapa bukti disodorkan untuk memperkuat tesis
tersebut , diantarana paham sinkretisme yang tampak masi dominan dikalangan
masyarakat Jawa. Walaupun bagi pihal yang mendukung metde dakwah Wali
Songo di ats, praktik-praktik yang sering dituduh sebagai sinkretisme tersebut
bukan sepenuhnya amalan yang bertentangan dengan Islam dan dapat
siperjelaskamelalui perspektif mistiisme Islam.
3. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis tentang
Pribumisasi Islam
1. Menggali Sumber Historis
A. Indonesia Sebagai Modal Dasar

Indonesia sebenarnya merupakan bangsa yang pada dasarnya telah


berhasil menahan gejolak kekerasan yang terjadi atas nama agama
tersebut. Indonesia memiliki kebudayaan adiluhung, di mana itu

10
merupakan sebuah ruang dialog bagi adanya hal-hal keberbedaan. Ini dapat
dilihat, dari falsasah keberbangsaan yang berbunyi, bhineka tunggal ika.
Bukankah slogan itu merupakan hasil galian para  founding father bangsa
Indonesia dari khazanah kebudayaan yang ada. Artinya, secara historis,
Indonesia merupakan bangsa yang mempu menyeleseikan keberbedaan itu
secara harmonis. Jadi, kekuatan harmonisasi keberagaman di Indonesia itu
melalui ruang budaya.
Dapat pula dijumpai dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara ini
melalui jalur kebudayaan. Hasilnya, Islam menyebar tidak lewat konflik.
Malah, pada gilirannya Islam dijalankan dengan formulasi baru yang khas
Indonesia. Inilah yang disebut dengan gagasan pribumisasi Islam. Di mana
islam didialogkan dengan konteks kebudayaan Indonesia. Maka, jadilah
format Islam-Indonesia.
Pada sisi yang lain, para pelaku tindak kekerasan atas nama agama tidak
terlihat sebagai kelompok yang mengakomodir budaya lokal asli
Indonesia. Alih-alih, dalam pandangannya, berbagai budaya asal Indonesia
dinilainya sebagai sesuatu yang tahayul, khurafat, bid’ah, klenik, dsb.
Maka dari itu, tulisan ini dapat dipahami sebagai upaya menengok kembali
relasi agama dan kebudayaan dalam menciptakan format keberagamaan di
Indonesia yang tanpa kekerasan, sebagimana halnya kerap terjadi pada
fenomena keberagamaan di masyarakat modern.
B. Menawarkan Gagasan Pribumisasi Islam
KH. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Gus Dur, telah berupaya menjawab tantangan itu sejak tahun 1980 yang
lalu, lewat konsepsi pemikirannya mengenai “Pribumisasi Islam”. Melalui
gagasannya ini, Gus Dur merespon secara intens dengan mengajukan
alternatif antitesa sebagai penyelesaian atau mungkin juga
‘wacana counter’ terhadap gejala keagamaan masyarakat modern yang
kering, paradoks, ahistoris, eksklusif, dlsb. sebagaimana yang telah
diuraikan di atas.
Ia masih melirik akan pentingnya tradisi, kebudayaan lokal Indonesia.
Karena itu, yang ditawarkan adalah lokalisasi Islam, bukannya artikulasi
dari keislaman yang harus serba seragam, apalagi serba arab. Dia seolah
yakin bahwa Islam akan lebih mudah dihayati oleh
masyarakat mad’u (objek dakwah), apabila para da’i atau muballigh
(penyebar agama) terlebih dahulu memperhatikan kebudayaan setempat
pada saat Islam disebar dan ditafsirkan ulang. Keberislaman yang
disampaikan dengan cara seperti ini akan lebih mampu mengakomodir

11
cipta, rasa, dan karsa para pemeluknya, sesuai dengan penghayatan
budayanya yang sudah terjadi selama berabad-abad.
Ide “Islam Pribumi” lahir untuk melawan gagasan otentifikasi Islam, yang
tidak jarang mengarah pada fundamentalisme keberagamaan. “Islam
Pribumi” meyakini tiga sifat, yaitu: sifat kontekstual, Islam dipahami
sebagai ajaran mengalami perubahan dan dinamika dalam merespon
perubahan zaman. Kedua, Islam dipahami sebagai agama yang progresif,
kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman penyimpangan
terhadap ajaran Islam melainkan sebagai pemicu untuk melakukan respon
kreatif secara intens. Ketiga, “Islam Pribumi” memiliki karakter
membebaskan, yaitu ajaran yang mampu menjawab problem-problem
kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnis
[14].
Gagasan “Pribumisasi Islam” benar-benar merangsang perlunya negosiasi
dan akulturasi antara agama, tradisi, lokalitas, dan kemodernan sekaligus.
Karena itu, keberislaman dipahami bukan hanya ritualisme, tetapi lebih
dari itu. Akomodasi tradisi dan kultur lokal melakukan “penafsiran
silang”  yang saling menghargai dan menyempurnakan. Keberislaman
ditafsirkan untuk kerja kemanusiaan, kemaslahatan, kesetaraan, dan
keadaban [15] .
Karena itu Gus Dur dengan konsep “Pribumisasi Islam”nya tidak
sependapat kalau proses Islamisasi di Indonesia diarahkan pada proses
Arabisasi. Sebab, itu hanya akan membuat tercerabutnya masyarakat
Indonesia dari akar budayanya sendiri. Namun, “Prubumisasi Islam”,
menurut Gus Dur, bukan jawanisasi dan sinkritisme. Sebab, “Pribumisasi
Islam” hanya mempertimbangkan kebutuhan lokal dalam merumuskan
hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan
meninggalkan norma demi budaya. Tetapi agar norma-norma itu
menampung kebutuhan dari budaya, dengan menggunakan peluang yang
disediakan oleh variasi pemahaman nash (ketentuan) dengan tetap
memberikan peranan kepada ushul fiqih dan kaidah fiqih.
“Pribumisasi Islam” yang digagas Gus Dur pada akhir tahun 80-an itu
menggambarkan bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal
dari Tuhan diakomodasikan ke dalam budaya yang berasal dari manusia
tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. “Pribumi Islam”
menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan
berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil
bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan
jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya [16].
Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan antara agama dan budaya.
“Pribumisasi Islam” memberikan peluang bagi keanekaragaman
interpretasi dalam kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang

12
berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara
tunggal, melainkan majemuk. Tidak lagi ada anggapan bahwa Islam yang
di Timur-Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam
sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.
“Pribumisasi Islam” sesunggguhnya mengambil semangat yang telah
diajarkan walisongo dalam dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad
ke-15 dan ke-16 di pulau Jawa. Dalam hal ini walisongo telah berhasil
memasukan nilai-nilai lokal dalam Islam yang khas indonesia. Kreatifitas
walisongo ini melahirkan gagasan baru nalar Islam Indonesia yang tidak
harfiah meniru Islam di Arab. Tidak ada nalar Arabisasi  yang melekat
dalam penyebaran Islam awal di Nusantara. Walisongo
mengakomodasikan Islam sebagai ajaran agama yang mengalami
historisasi dengan kebudayaan.
Sejarah terus berulang menjadi kesadaran-kesadaran baru. Pada era 1990-
an kritik terhadap model keberagamaan umat yang masih bercorak puritan
kembali menguat. Kiri Islam-nya Hassan Hanafi, dan gagasan post-
tradisionalisme Islam yang mengambil jalan pemikiran Muhammad Abed
al-Jabiri, Mohammad Arqoun, Nashr Hamid Abu Zayd, dan Muhammad
Shahrur telah menjadi rujukan utama dari kelompok Islam tradisional
untuk melakukan kritik nalar Islam, sekaligus menjadikan tradisi sebagai
jembatan emas menuju pemikiran Islam yang membebaskan. Pada
gilirannya, usaha-usaha ini melahirkan gagasan “Islam Pribumi” sebagai
kelanjutan dari pemikiran-pemikiran Islam yang telah berkembang dalam
denyut nadi perubahan [17].
Charley H. Dood yang mengungkapkan bahwa komunikasi antar budaya
meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili
pribadi, antar pribadi, antar kelompok dengan tekanan pada perbedaan
latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para
peserta. (Liliweri, 2003: 12).
Sampai di sini, “Pribumisasi Islam” dipahami menjadi sebuah kebutuhan
praksis (berupa keterampilan pada proses komunikasi/ dakwah/ tabligh
antar budaya), sekaligus sebagai kebutuhan paradigmatik pemikiran
(berupa kontekstualisasi paham keislaman untuk historisitas ruang dan
waktu yang berbeda, di mana syariah didialogkan dengan berbagai konteks
yang melingkupinya). Penulis merasa akan pentingnya konsep
“Pribumisasi Islam” ini. Sebab, konsepsi “Pribumisasi Islam” sepertinya
akan sangat membantu bagi berkembangnya pemahaman Islam yang
pantas untuk diterapkan dalam konteks Indonesia maupun keindonesiaan
itu sendiri. Dari situ, membangun masyarakat yang religius juga kultural
akan lebih mudah terwujud, tanpa kehilangan kebinekaannya, tetap
harmonis, toleran dan menganut pluralisme yang dewasa.

13
2. Menggali Sumber Sosiologis
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim
terbesar di dunia. Fenomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari jasa para
dai muslim sepanjang sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mereka
berasal dari Arab, Persia, India bahkan dari Cina. Kedatangan mereka ke
Indonesia tidak saja untuk memeperkenalkan Islam, tetapi juga dengan
membawa seperangkat keilmuan Islam yang sudah mengalami proses
pengembangan di tanah asalnya, Timur Tengah. Sebelum Islam datang,
penduduk Indonesia (baca. Nusantara) telah menganut agama, baik yang
masih primitif seperti animisme-dinamisme maupun yang sudah
berbentuk agama formal seperti Hindu atau Buddha. Namun demikian,
berdasarkan catatan sejarah yang ada, kedatangan Islam tidak disertai
dengan konflik sosial-keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan
islamisasi generasi awal setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu
faktor strategi dakwah dan faktor daya tarik ajaran Islam itu sendiri.
Gerakan Wahabi ternyata berimbas ke Indonesia. Jika pada masa lampau,
kaum Paderi di Sumatera Barat yang menjadi agennya, dan juga
Muhammadiyah, maka pada era sekarang ini, pengimpor utama paham
Wahabi adalah kelompok Salafiyun.
Secara sosiologis, potret Islam Indonesia sangat toleran dengan
tradisi dan komunitas lain yang berbeda keyakinan, menerima Bhineka
Tunggal Ika. Islam Indonesia menghargai pluralitas etnis, agama dan
gender. Membela kaum minoritas, kaum mustad’afin, dan kaum
terpinggirkan lainnya. Islam Indonesia sangat memahami sosio-kultural
kebangsaan, ketimbang memaksakan normatifitas teks yang verbalisitik.
Dalam masalah praktik sosial kemasyarakatan, Islam Indonesia bisa
menerima Pancasila sebagai Dasar Negara guna memersatukan segenap
entitas bangsa Indonesia. NKRI sudah final bagi Islam Indonesia.
Peningkatan Sumberdaya Manusia dan kedisiplinan yang perlu
ditingkatkan, punctuality (ketepatan),keteraturan, social justice,
pengorganisasian, kepekaan sosial, etos kerja, kompetisi positif,
sportivitas, komitmen, trust, dan lain-lain.
Islam Indonesia juga inhern dengan nasionalisme. Bahkan NU sebagai
cerminan Islam Indonesia terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan
dari penjajahan dan delegasinya KH.Wahid Hasyim, menjadi tokoh kunci
terbangunnya bangsa Indonesia, ketika terjadi perdebatan apakah negara
Indonesia akan berlandaskan Pancasila atau Islam. Ketika sekelompok
delegasi dari Islam Modernis menginginkan negara Islam, dan Soekarno
yang ingin Pancasila. Ketika perdebatan menegang, tiba-tiba warga di
Indonesia Timur bermaksud merdeka ketika Indonesia menjadikan Islam
sebagai dasar negara. KH. Wahid Hasyim, selaku anggota perumus dari

14
NU, pulang ke rumah menemui KH, Hasyim Asy’ari, dan hasilnya
diterima Pancasila sebagai dasar negara demi utuhnya NKRI yang baru
didirikan. Kelompok Islam Modernis walau jengkel dengan sikap tersebut
tetapi tidak bisa berbuat banyak karena yang akhirnya bisa menegangkan
perdebatan dasar negara.
Dari kejadian itu, ditemukanlah bagaimana komunitas NU mendefinisikan
kekuasaan, negara dan bangsa. Betapa nasionalisme NU sudah terbukti.
Bahkan, pada Muktamar NU tahun 1938 di Menes, Banten, ada dua
pertanyaan searah yang jawabannya saling kontradiksi. Pertanyaan
pertama adalah, bahwa penjajah Belanda menawari NU untuk masuk
menjadi anggota Volskraad, dengan itu maka NU akan menjadi bagian
dari struktur kekuasaan dan pemerintahan Belanda di Hindia-Belanda.
Namun ketika diadakan voting, hasilnya 54 menolak dan 4 setuju masuk
Volksraad. Jadi NU menolak masuk lembaga perwakilan rakyat versi
penjajah itu. Pertanyaan kedua adalah, apakah Hindia-Belanda wajib
dipertahankan dari serangan luar? Jawabannya adalah wajib karena
Hindia-Belanda, menurut hasil Muktamar itu, merupakan dar al-
islam (bukan daulah Islam). Yaitu, kawasan yang mayoritas penduduknya
pemeluk Islam, pernah dikuasai kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam
tidak dibatasi dan dilarang untuk menjalankan ibadahnya. Dari sini bisa
disimpulkan bahwa, keikutsertaan NU dalam Volksraad adalah masalah
politik dan kekuasaan, oleh karena itu bisa ditolak dan bisa juga diterima
seandainya hasil voting itu menghasilkan sebaliknya. Tetapi masalah
kawasan Hindia-Blanda adalah masalah negara dan bangsa, karena itu
harus dipertahankan dengan basis argumen Islam. Dalam konteks inilah
bisa dipahami ketika KH Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar PBNU
mengeluarkan fatwa “resolusi jihad” pada Oktober 1945 yang mewajibkan
kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia sebagai wajib ‘ain dalam
jarak tertentu dari Surabaya yang sedang berperang untuk
mempertahankan kemerdekaan seiring dengan masuknya tentara seklutu
(NICA) yang diboncengi Belanda. Masuknya tentara sekutu tersebut tentu
membahayakan Indonia yang baru belum ada dua bulan merdeka. Maka
terjadilah Perang 10 Nopember 1945 di Surabaya.
Dari uraian tersebut, jelaslah NU sebagai bagian penting dari Islam
Indonesia sudah mampu membangun definisi hubungan agama, bangsa
dan negara dalam Islam Indonesia yang kosmopolit. Dari catatan ini pula
adanya keterkaitan erat antara berdirinya NU dan proses terbangunnya
negara-bangsa Indonesia. Di era Gus Dur, Islam Indonesia juga mampu
menyeimbangkan ketegangan antara pemerintah rakyat, militer – sipil,
mayoritas – minoritas. Islam Indonesia juga sangat perhatian dengan isu-
isu demokrasi, HAM, gender, kemiskinan, ekonomi neo-liberal, civil
society, advokasi, misalnya, yang sudah dikembangkan oleh NU sejak

15
masa otoritarianisme Orde Baru, yang waktu itu gerakannya bahkan
dilakukan secara “undergorund.” Topik-topik tersebut tidak hanya
menjadi gerakan pemikiran tetapi juga gerakan praktis. Demikian juga
dengan masalah hak-hak perempuan, korupsi, dan hak-hak minoritas
muncul menjadi pergulatan intensif saat ini, sehubungan dengan kian
derasnya arus fundamentalisme yang anti kesetaraan perempuan dan anti
pluralisme dan multikulturalisme serta maraknya korupsi sejak Orde Baru.
Dengan kata lain, evolusi pemikiran Islam Indonesia akan terus mengikuti
arus perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Sejumlah isu juga sedang
diyang belum terangkum dalam disertasi ini, misalnya, gerakan tentang
pertanian, lingkungan, pengelolaan seumber daya alam dan tradisi lokal.
Semua ini menanti sebuah karya lanjutan berikutnya.

3. Menggali Sumber Teologis dan Filosofis


Secara filosofis pribumisasi Islam didasari oleh paradigma sufistik
tentang substansi keberagaman. Dalam paradigma sufistik, agama
memiliki dua wajah yaitu aspek esoteris (aspek dalam) dan aspek eksoterik
(aspek luar). Dalam tataran esoteris, semua agama adalah sama karena ia
berasal dari Tuhan Yang Tunggal. Dalam pandangan sufistik, bahkan
dikatakan semua yang maujud di alam ini pada hakikatnya berasal dari
Wujud Yang Satu (Tuhan Yang Maha Esa). Alam ciptaan dengan
pluralitas manifestasinya pada hakikatnya diikat oleh sebuah kebenaran
universal yang berasal dari Sang Pencipta Yang Tunggal. Perbedaan
maujud dalam ciptaan Tuhan semuanya dibingkai dalam keesaan wujud.
Tuhanlah satu-satunya wujud (la wujud illa Allah). Perbedaan hanya
tampak pada aspek eksoterik, yaitu unsur lahir dan amalan kasat mata saja.
Sejalan dengan pemahaman ini, maka substansi keagamaan adalah satu,
cara manusia dapat menyembah (tunduk, patuh, dan berserah diri) kepada
Tuhan sebagai kebenaran universal. Adapun ekspresi keberagaman atau
aksentuasi paham keagamaan pasti berbeda-beda karena perbedaan
kebutuhan dan tuntutan fisik dan materi yang berbeda pula.
Secara teologis, tauhid bukan sekedar pengakuan atau persaksian
bahwa tiada illah selain Allah, tapi pemaknaan terhadap tauhid melampaui
dari sekedar pengakuan atas eksistensinya yang tunggal. Jika kita tarik
pemaknaan tauhid dalam ranah realitas ciptaan (makhluk), maka tauhid
berarti pengakuan akan pluralitas atas selain Dia (makhluk-Nya). Hanya
Dia yang tunggal, dan selain Dia adalah plural. Al-Qur’an juga
mengemukakan, bahwa Allah menakdirkan pluralitas sebagai karakteristik
makhluk ciptaan-Nya. Tuhan tidak menakdirkan pluralitas dalam ciptaan
untuk mendorong ketidakharmonisan dan perang. Pluralitas sekaligus
menjadi bukti relativitas makhluk.

16
1. Membangun Argumen tentang Urgensi Pribumisasi Islam
Secara bahasa, Urgensi berasal dari bahasa Latin yaitu “urgere”
yang berarti mendorong. Adapun secara istilah, Urgensi yaitu menunjuk
pada sesuatu yang mendorong kita, yang memaksa kita untuk
menyelesaikan suatu hal. Urgensi dapat diartikan yaitu pentingnya.
Sebagai contoh, urgensi kepemimpinan berarti pentingnya
kepemimpinan.
Pribumisasi Islam adalah rekonsilasi antar budaya dan agama.
Rekonsilasi ini menuntut umat Islam memahami wahyu dengan
mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual termasuk kesadaran
hukum dan rasa keadilannya.
Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai
ajaran yang normatif berasal dari Tuhan yang diakomodasikan ke dalam
kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan kemurnian dari
Islam itu sendiri.
Gagasan Pribumisasi Islam secara geneologis dicetuskan pertama
kali oleh Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur) pada
tahun 1980-an kultur setempat. “sumber Islam adalh wahyu yang
mempunyai norma-norma sendiri, karena sifatnya permanen. Menurut
Gus Dur, Pribumisasi Islam adalah suatu pemahaman islam yang
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan
hukum-hukum negara. Sejak itu, Islam pribumi menjadi perdebatan
menarik dalam lingkungan para intelektual. Tujuan gagasan pribumisasi
Islam adalah agar terjadinya dialog Islam dan kebudayaan sehingga
keduanya dapat saling menerima dan memberi.
Menurut Gus Dur, metodologi pribumisasi Islam sesungguhnya
sederhana, yakni dengan ushul fiqh dan qaidah fiqhiyah seperti al-‘adah
muhakkamah (adat istiadat bias menjadi hukum) dan al-muhafazatu bi
qadimis ash-shalih wal-ahdzu bil jadid al-ashlah (memelihara hal lama
yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Pribumisasi Islam ini sangat berbeda dengan pola atau cara
berislam yang sangat berorientasi pada purifikasi atau pemurnian yang
mempunyai hasrat kuat pada keaslian dan masa lalu. Pribumisasi islam
tidak berorientasi pad masa lalu, namun berpijak pada tradisi, kelokalan
dan kekinian. Proses panjang penjumlahan Islam dengan budaya lokal
di nusantara juga telah melahirkan beragam ekspresi kebudayaan yang
khas nusantara seperti arsitektur bangunan,tari, dan perayaan
keagamaan, yang bagi sebagian orang kemudian dituduh sebagai
bid’ah. Dengan proses semacam itu Islam tidak hadir sebagai

17
pemberangus budaya lokal. Islam hadir di nusantara yang saat itu sudah
merupakan peradaban dengan khazanah dan keragaman yang begitu
kaya. Semua itu tidak dibumihanguskan atau dilenyapkian sebagaimana
Rasulullah yang juga tidak lantas melenyapkan budaya lokal Arab.
Proses pribumisasi islam semacam itulah yang kemudian
membentuk pola atau corak Islam Nusantara. Sebuah corak
keberislaman yang moderat, damai, ramah, dan terbuka. Singkatnya,
pribumisasi islam adalah caranya, Islam Nusantara adalah buahnya.
Dalam ranah tafsir, ungkapan yang mirip pernah di perkenalkan
oleh Quraish Shihab. Ungkapan yang dimaksud adalah “Membumikan
Al-Qur’an”. Orientasi penafsiran untuk masalah-masalah kemanusiaan
seperti kemiskinan, penyakit masyarakat, bencana alam, misalnya lebih
membumib daripada orientasi penafsiran tentang bahasa al-Qur’an,
kisah daam A-Qur’an, perdebatan teologis, dan lain sebagainya.
Orientasi yang terakhir memang mewarnai secara dominan produk-
produk tafsir klasik. Proyek pembumian Al-Qur’an seperti ini
sesungguhnya sudah digagas pertama kali oleh tokoh pembaharu dari
mesir, Muhammad Abdulh (1849-1905).
Dengan demikian, ada dua molekul pribumisasi Isalm dalam
tataran ontologis jika melihat gagasan kedua orang diatas. Jika Quraish
Shihab menekankan tataran orientasi atau penekanan penafsiran Al-
Qur’an/Islam, sedangkan Gus Dur lebih menelisik pada tataran kontruks
ajaran Islam itu sendiri. Pribumi islam model pertama nampaknya tidak
mendapat kendala otokritik dari kalangan umat Islam. Kita memang
sepakat bahwa tidak semua gagasan penafsiran terhadap Islam yang
diproduksi oleh ulama-ulama klasik relevan dengan konteks Indonesia
Kekinian. Oleh karena itu, harus ada ikhtiar untuk menggagas produk-
produk pemahaman baru terhadap Al-Qur’an/Islam dalam konteks
solusi terhadap problem-problem kemanusiaan, sehingga Islam terasa
membumi.
Dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai
ajaran normatif yang bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke dalam
kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya
masing-masing, sehingga tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses
menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat Muslim di Timur
Tengah. Bukankah arabisme atau proses mengidentifikasi diri dengan
budaya Timur Tengah berarti mencabut akar budaya kita sendiri?
Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya
perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, tetapi justru agar
budaya tersebut tidak hilang. Inti dari pribumisasi Islam adalah

18
kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan
budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.

Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling


mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang
tidak lagi mengambil bentuk autentik dari agama, serta berusaha
mempertemukan jembatan yang selama ini melintas antara agama dan
budaya. Islam Pribumi justru memberi keanekaragaman interpretasi
dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang
berbeda-beda. Dengan demikian Islam tidak lagi dipandang secara
tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak lagi ada anggapan Islam
yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan yang paling benar,
karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.
Sebagai contoh, dapat dilihat dari praktik ritual dalam budaya
populer di Indonesia sebagaimana yang digambarkan oleh
Kuntowijoyo, menunjukkan perkawinan antara Islam dengan budaya
lokal cukup erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat sebagai salah
satunya dimaksudkan agar manusia dapat menjadi wiwoho yang mulia.
Berangkat dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan
kelahiran, kematian, perkawinan, dan lain sebagainya. Semua ritual ini
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat
mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini jelas-jelas
diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluk
yang mulia.

Islam pribumi yang telah dicetuskan Gus Dur ini sesungguhnya


mengambil semangat yang telah diajarkan oleh Wali Songo dalam
dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad 15 dan 16 M di pulau
Jawa. Dalam hal ini, Wali Songo telah berhasil memasukkan nilai-nilai
lokal dalam Islam yang khas keindonesiaan. Kreatifitas Wali Songo ini
melahirkan gugusan baru bagi nalar Islam yang tidak harfiyah meniru
Islam di Arab. Tidak ada nalar arabisme yang melekat dalam
penyebaran Islam awal di Nusantara. Para Wali Songo justru
mengakomodir dalam Islam sebagai ajaran agama yang mengalami
historisasi dengan kebudayaan. Misalnya ytang dilakukan sunan
Bonang dengan mengubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan
estetika Hindu menjadi bernuansa dzikir yang mendorong kecintaan
pada kehidupan trascendental. Tombo Ati salah satu karya Sunan
Bonang dalam pentas perwayangan, Sunan Bonang mengubah lakon
dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.

19
Pribumisasi Islam juga bukan pembaharuan, karena pembaharuan
berarti hilangnya sifat asli agama, sementara Gus Dur menginginkan
agar islam tetap pada sifat Islamnya. Misalnya, Al-Qur’an harus tetap
dalam berbahasa Arab terutama dalam hal sholat, sebab hal itu
merupakan norma. Adapun terjemahan Al-Qur’an bukan menggantikan
Al-Qur’an, melainkan sekedar untuk mempermudah pemahaman
tehadap sholat.
1. Kontekstualisasi Islam
Islam Pribumi memiliki sifat-sifat berikut:
1. Islam Pribumi bersifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai
ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat.
2. Islam Pribumi bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan
dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran
dasar agama (Islam), tetapi didliaht sebagai pemicu untuk melakukan
respon kreatif secara intens.
3. Islam Pribumi bersifat karakter bebas, yakni Islam menjadi ajaran yang
dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa
nmelihat perbedaan agama dan etnik.

2. Mendeskripsikan dan Mengkomunikasikan Pribumisasi Islam


sebagai Upaya Membumikan Islam di Indonesia

Belakangan ini muncul tawaran hermeneutika agar dapat dilakukan


proses kontekstualisasi atau pribumisasi Islam di Indonesia khususnya dan
di seluruh penjuru dunia umumnya. Tawara hermeneutika meliputi tiga
metode pembacaan terhadap teks-teks keagamaan. Pertama adalah
“pembacaan historisis”, yaitu upaya untuk merekonstruksi konteks psiko-
sosio-historisis yang melingkupi turunnya Al-Qur’an dan munculnya sunah
sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang situasi yang
melatarbelakangi sebuah wacana keagamaan. Kedua “pembacaan eiditik”,
yaitu pengkajian secara mendalam teks-teks suci tersebut dengan
menerapkan prinsip kajian teks secara komprehensif. Dan ketiga adalah
“pembacaan praksis”, yaitu upaya mentransedenkan gagasan, nilai, dan
prinsip yang terdapt dalam teks suci untuk kemudian diproyeksikan dalam
konteks waktu, geografis, dan sosial-budaya saat ini.
Dinamika kehidupan yang semakin banter disertai perbedaan dan
benturan karena berbagai macam kepentingan dan persaingan, baik dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu disertai
dengan kesadaran kebangsaan yang terpelihara baik. Sebab, kesadaran dan

20
semangat kebangsaan dapat tumbuh dengan baik apabila latar belakang
sejarah bangsa dipahami denga baik.
Arus perubahan linagkungan yang terus terjadi senantiasa memiliki
aspek positif dan negatif tanpa disertai pemahaman wawasan kebangsaan
yang baik dan benar, perubahan lingkungan akn sulit dikelola dan
dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kemajuan bangsa dan negara. Untuk
itu, perjalanan sejarah bangsa dan nilai-nilai dasar kebangsaan perlu tetap
menjadi acuan dalam menyikapi perubahan agar kita terus mampu
membangun bangsa Indonesia sebagai bangsa besar dan modern.
Pada konsep ukhuwah basyariyah, seseorang merasa saling
bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia
yang satu yang menyebar di berbagai penjuru umat dunia. Dalam konteks
ini, semua umat manusia sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan.
Hampir sama dengan ukhuwah basyariyah juga tidak dibatasi oleh baju
luar dan sekat-sekat primordial seperti agama, suku, ras, bahasa, jenis
kelamin, dan sebagainya.
Islam pribumi ini lahir dari sikap keterbukaan Islam dalam
berdialog dengan memanifestasikan diri kedalam budaya lokal Nusantara.
Sebagai pijakan dalam mengemukakan tawarannya, Gus Dur mencatat
adanya dua kecenderungan dalam menanifestasikan kebudayaan Islam ke
dalam kebudayaan Nusantara. Pertama, kecenderungan untuk formalisasi
ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua,
kecenderungan untuk menjauhi sebisa mungkin formalisasi ajaran Islam
dalam manifestasi kebudayaan bangsa. Kecenderungan pertama menurut
Gus Dur berkeinginan untuk memanifestasikan dimensi Islam ke dalam
kehidupam sehari-hari agar kebudayaan Indonesia diwarnai oleh ajaran
Islam. Mereka memulainya dari persoalan bahasa seperti ucapan salam
“assalamu’alaikum” dijadikan ganti dari ucapan “Selamat Pagi” hari
kelahiran diganti dengan yaum al-milad, istilah sahabat diganti dengan
ikhwan dan sebagainya. Kecenderungan seperti ini pada akhirnya
menghilangkan budaya lokal yang dinilai tidak Islami. Mereka
mencangkan budaya Islam sebagai budaya alternatif. Menurut Gus Dur,
sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan Islam harus
mengakomodasi kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan
identitasnya. Tumpang tindih antar agama dan budaya itu menurut Gus
Dur akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan
memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Namun,
perbedaan agama dan budaya tidak menghalangi kemungkinan menifestasi
kehidupan beragama dalam bentuk budaya seperti penggunaan seni dalam
mengekspresikan ritual keagamaan. Dalam rangka menifestasi budaya

21
Islam ke dalam budaya lokal itulah Gus Dur menawarkan gagasan
pribumisasi Islam.
Dengan kaidah itu, Gus Dur tidak berarti mengungkapkan bahwa
adat merubah norma-norma Islam, melainkan memanifestasi agama
kedalam budaya setempat, karena manifestasi norma Islam adalah bagian
dari budaya, seperti membangun masjid Demak. Mungkin saja, orang
berdalil bahwa dalam tradisi Islam, berpihak-pihak kominikator
menggunakan ungkapan salam berbahasa Arab “Assalamu’alaikum”
walaupun mereka bukan orang Arab tetapi kenyataannya pengertian salam
kini mengalami pergesekan makna. Kalau dulu hanya sebatas antar
seseorang Islam, kini mulai melebar terutama jika diucapkan oleh pejabat
di dalam sebuah forum terbuka. Karena itu, maka ucapan salam sudah
masuk ke dalam ranah budaya. Dalam konteks budaya, ucapan
“Assalamu’alaikum” sama dengan ucapan Shobakhul Khoir yang biasa
digunakan orang Arab ketika bertemu atau “Selamat Pagi” untuk konteks
Indonesia.

22
BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT  kepada Nabi Muhammad
Saw sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh
manusia hingga akhir zaman. Kewajiban sebagai umat islam untuk membumikan
Islam sudah tertera dalam berbagai hadist dan Surat di Alquran. Banyak cara yang
dapat ditempuh dalam membumikan Islam di Indonesia. Kebangkitan atau
kemajuan umat Islam, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama sungguh sangat
bergantung pada sejauh mana mereka berpedoman dan berpegang teguh pada
petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, aturan-aturan, etika-etika dan norma-norma
yang mencakup segala aspek dan segi kehidupan manusia di mana pun.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.gusdurian.net/id/article/kajian/Menimbang-Gagasan-Pribumisasi/
http://www.islammadani.net/kajian/dari-pribumisasi-islam-ke-islam-nusantara-
sebuah-tinjauan-kritis-1
Dody S Truna.dkk.2002.Pranata Islam Di Indonesia. Jakarta: Logos WacanaIlmu

Noer Derlier.1995.Gerakan Modern Islam Di Indonesia1900-1942. Jakata: PT


Pustaka LP3ES Indonesia

https://muslim.or.id/4703-keutamaan-menyebarkan-ilmu-agama.html

http:/mutiarahaticieka.blogspot.com/Pribumisasi-Islam

23

Anda mungkin juga menyukai