Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH AGAMA ISLAM

MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA

Disusun Oleh : Kelompok 5


Anhar C1L016010
Arya Sangka Langit
Muhammad Jaelani
Muhammad Randi Pranata
Muhammad Sukron
Muhammad Syahkha Al Hafidz S.
Muliadi
Reza Maulana
Rezkyka Wibhi Andrarista
Rizky Aji Setyawan
Syarif Hidayatullah Zain

TAHUN AKADEMIK 2018/2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga
makalah ini dapat diselesaikan pada waktunya. Makalah ini di tulis demi untuk
memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama dengan judul “BAGAIMANA
MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA”.

Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari kesalahan
- kesalahan, maka dari itu kami mengharapkan syarat yang membangun dari para
pembaca. Dalam pembuatan makalah ini tidak luput dari banyak motivasi dari
teman-teman yang telah membantu.

Kami mengucapkan terimakasih kepada teman - teman yang telah banyak


memotivasi dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan
informasi kepada para pembaca .

Demikianlah pengantar dengan iringan serta harapan semoga tulisan


sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca dan pendengar. Atas
semua ini kami mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga. Semoga segala
bantuan dari semua motivasi semoga mendapat amal baik yang di berikan oleh
Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamin.

Mataram, November 2018

Penyusun
BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul – rasul
-Nya untuk diajarkan kepada manusia. Dibawa secara berantai dari satu
generasi kegenerasi selanjutnya dari satu angkatan ke angkatan berikutnya.
Islam adalah rahmat, hidayat, dan petunjuk bagi manusia dan merupakan
manifestasi dari sifat rahman dan rahim Allah swt. Mayoritas manusia di
bumi ini memeluk agama islam. Banyak juga yang memilih menjadi
mualaf setelah mengetahui semua kebenaran ajaran nabi Muhammad
SAW. Ini yang tercantum dalam al-Quran.
Namun di masa kejayaan islam pada masa sekarang,semakin
banyak pula orang - orang yang beragama islam, tapi tidak mengerti arti
islam itu sendiri. Mereka hanya menjalankan syari’ah atau ajaran - ajaran
islam tanpa mengerti makna islam. Ada juga orang yang islam KTP atau
islam hanya sebagai menyempurnakan KTP dari pada tak tercantum
agamanya. Oleh karena itu di makalah ini akan dibahas mengenai
bagaimana membumikan islam di Indonesia.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana menelusuri transformasi wahyu dan implikasinya


terhadap corak keberagaman ?
2. Apa alasan perbedaan ekspresi dan praktik keberaggaman ?
3. Apa sumber historis, sosiologis, teologis, dan fisiologis tentang
pribumu islam ?
4. Apa argument tentang urgensi pribumi islam ?
5. Bagaimana corak islam di Indonesia ?
3. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk :

1. Dapat menelusuri transformasi wahyu dan implikasinya terhadap


corak keberagaman.
2. Untuk mengetahui alasan perbedaan ekspresi dan praktik
keberaggaman.
3. Mengetahui sumber historis, sosiologis, teologis, dan fisiologis
tentang pribumu islam.
4. Mengetahui argument tentang urgensi pribumi islam.
5. Mengetahui corak islam di Indonesia.
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Islam
Islam pada suatu sisi dapat disebut sebagai high tradition, dan pada
sisilain disebut sebagai low tradition. Dalam sebutan pertama islam adalah
firman Tuhan yang menjelaskan syariat – syariat-Nya yang dimaksudkan
sebagai petunjuk bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat, termasuk dalamnash (teks suci) kemudian dihimpun dalam shuhuf
dan kitap suci (Al Quranul Karim). Secara tegas dapat dikatakan hanya
Tuhanlah yang paling mengetahui seluruh maksud, arti, dan makna setiap
Firman-Nya. Oleh karena itu, kebenaran islam dalam dataran high
tradition ini adalah mutlak. Bandingakan dengan islam pada sebutan
kedua, low tradition. Pada dataran ini islam yang mengandung dalam nash
atau teks – teks suci bergumul dengan realitas sosial pada berbagai
masyarakat yang dibaca, dimengerti, dipahami, kemudian ditafsirkan dan
dipraktikan dalam masyarakat yang situasi dan kondisinya berbeda-beda.
Kata orang, islam akhirnya tidak hanya melulu ajaran yang tercatum dalam
teks-teks suci melainkan juga telah mewujud dalam historisitas
kemanusiaan.

B. Kewajiban Umat Islam untuk Berdakwah (Membumikan Islam)


Berikut ini Dasar Dalil kewajiban Setiap umat Islam untuk
berdakwah (Membumikan Islam ) dari hadits.
‫سغغللبم قبغغاَبل ببللغغغغوُا‬ ‫اه يبهن بعيمررو أبلن النلبهلي ب‬
‫صللىَّ ل‬
‫اغ بعلبييغغهه بو ب‬ ‫بعين بعيبهد ل‬
‫بعلني بولبيوُ آيبةة‬
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” [HR. Bukhari].
Pada dasarnya setiap Muslim dan Muslimah diwajibkan untuk
mendakwahkan Islam (membumikam islam) kepada orang lain, baik
Muslim maupun Non Muslim. Ketentuan semacam ini didasarkan pada
firman Allah SWT. dan berikut Dasar Dalil Kewajiban Setiap Umat Islam
Untuk Berdakwah di AL-Qur’an Surat Ali – Imran Ayat 104:
‫وُلعفتفركفنفف َ فمفعنفركف فمفف َ أرفمف فةفف َ يف فعدفعرففوُمنفف َ إففلمففىَ َا لعفمخفيف ففرفف َ وُيف فأعفمفروُمنفف َ بفففاِ لعفمفعفروُ ف‬
‫فف‬ ‫م عر‬ ‫ع مم رر‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫م م ع‬

‫موُيمف عن فمهفعوُمنفف َ معففنفف َا لعفرمفعنفمكففرفف َ ۚ موُأفرفوُللمفئففمكفرهفرمففاِ لعفرمفعفففلفرحففوُمنف‬


Artinya :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Imran : 104).

C. Bagaimana Membumikan Islam di Indonesia


1. Menelusuri Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap
Corak Keberagaman
Wahyu difirmankan untuk memperpendek proses
pembacaan terhadap alam. Apabila manusia diberi kesempatan
untuk membaca dan memahami alam dengan segenap potensi
nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan membutuhkan waktu
yang lama untuk mencapai jawaban final. Namun berkat Wahyu,
proses yang panjang dan berliku tersebut dapat disingkat
sedemikian rupa sehingga manusia tidak perlu bersusah payah
untuk mendapatkan jawaban final kehidupan.
Wahyu Allah yang terbentang dalam alam geografis dan
sosial budaya Arab,akan ditangkap oleh nabi berkebangsaan Arab
dan dibesarkan dalam tradisi intelektual Arab, otomatis akan
menjadi Wahyu yang berbahasa Arab lengkap dengan kultur Arab
pada masa wahyu difirmankan. Contohnya Al – Qur’an sangat
dipengaruhi oleh kultur Arab Nabi Muhammad karena ia
diturunkan kepada Nabi Muhammad yang berkebangsaan Arab.
Namun seiring berjalannya waktu dan ruang, Wahyu akan
menyesuaikan dengan keadaan budaya pada suatu tempat dan
waktu tertentu sehingga munculnya keberagaman corak
pemahaman agama.
Bila dalam sebutan pertama islam adalah agama wahyu
yang seolah – olah berada di langit dan keeradaannya bersifat
mutlak, maka pada sebutan kedua islam telah berada di bumi
menjadi agama masyarakat dan kebenarannyapun menjadi relatif.
Implikasinya, pada dataran ini islam berubah menjadi “Islams”.
Dalam ajaran islam, wahyu Allah selain berbentuk tanda-
tanda (ayat) yang nirbahasa, juga bermanifestasi dalam bentuk
tanda - tanda (ayat) yang difirmankan. Untuk memudahkan
pemahaman, kita bedakan antara istilah wahyu (dengan “w” kecil)
dan Wahyu (dengan “W” besar ). Wahyu dengan w kecil menyaran
pada tanda – tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, dan
ketentuan Tuhan yang nirbahasa, dan mewujudkan dalam alam
semesta dan isinya, termasuk dinamika sosial budaya yang terjadi
di dalamnya. Adapun Wahyu dengan W besar menyaran pada tanda
- tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, da ketentuan Tuhan
yang difirmankan melalui utusan-Nya (malaikat) dan diakses
secara khusus oleh orang – oran pilihan yang disebut sebagai nabi
atau rasul (meskipun kedua istilah ini sebenarnya berbeda, namun
sementara ini dianggap sama).
Wahyu (dengan W besar) difirmankan untuk menjawab
beberapa permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam
tanda - tanda Tuhan yang terbentang, untuk memotivasi manusia
agar makin detail dalam membaca dan memahami alam yang
terbentang, sehingga ia bisa memperoleh makna dari setiap
fenomena yang dialaminya.
Islam telah memberi kontribusi yang amat signifikan bagi
keindonesiaan dan peradaban, baik dalam bentuk nilai - nilai
maupun bangunan fisik. Islam Indonesia ternyata tidak kalah
penting dibandingkan dengan Islam di Timur Tengah.
Di sisi lain, Islam yang telah menyebar ke seluruh penjuru
dunia, mau tidak mau, harus beradaptasi dengan nilai - nilai budaya
lokal (kearifan lokal). Sebagai substansi, Islam merupakan nilai -
nilai universal yang dapat berinteraksi dengan nilai - nilai lokal
(localwisdom) untuk menghasilkan suatu norma dan budaya
tertentu. Islam sebagai raḫmatan lil „āīamin terletak pada nilai
-nilai dan prinsip – prinsip kemanusiaan universal yang dibangun
atas dasar kosmologi tauhid. Nilai - nilai tersebut selanjutnya
dimanifestasikan dalam sejarah umat manusia melalui lokalitas
ekspresi penganutnya masing – masing. Artinya, pemahaman dan
ekspresi keberagamaan seseorang tidak terlepas dari ruang waktu,
pengetahuan dan geografis yang dimilikinya. Ruang - ruang inilah
yang membentuk tipologi, corak, atau model keberagamaan sebuah
komunitas Islam. Ajaran Islam memang sama karena menyaran
pada substansi nilai dan prinsip - prinsip hukum yang bersifat
universal, namun budaya muslim belum tentu sama.
Menghormati orang tua misalnya adalah nilai universal
yang diajarkan Islam, namun cara manifestasi penghormatan orang
muda kepada yang lebih tua bisa saja berbeda antara satu
komunitas dengan komunitas muslim lainnya. Apabila Anda
tinggal di Jawa, salah satu ekspresi penghormatan anak muda
kepada yang lebih tua adalah dengan menyalami dan mencium
tangannya. Berbeda dengan di Maroko, penghormatan anak muda
kepada yang lebih tua dengan memegang tengkuk orang tua
tersebut lalu mencium keningnya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ekspresi tentang Islam
tidak bisa tunggal. Hal itu dikarenakan Islam tidak lahir di ruang
hampa sejarah. Tabiat, karakter, tradisi, budaya, lingkungan, dan
lain – lain menjadi penentu dan pembeda corak berpikir, cara
bersikap, danbentuk ekspresi seseorang, bahkan masyarakat. Islam
mengajarkan untuk bertutur kata halus dan penuh makna. Ini tidak
berarti orang Batak atau orang Arab harus berbicara dengan nada
lembut seperti orang Jawa.

2. Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keagamaan

Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi


dinamika dan struktur sosial masyarakat, yaitu agama dan budaya
lokal. Dalam masyarakat Indonesia, dua hal tersebut memiliki
peranan penting dalam membentuk karakter dan perilaku sosial
yang kemudian sering disebut sebagai ”jati diri” orang Indonesia.
Karakter tersebut mewarnai hampir semua aspek sosial masyarakat
Indonesia baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.

Agama diyakini memiliki nilai - nilai transenden sehingga


sering dipahami sebagai suatu dogma yang kaku. Namun, nilai
-nilai budaya relatif dipandang lebih fleksibel sesuai kesepakatan –
kesepakatan komunitas untuk dijadikan sebagai standar normatif.
Karena adanya perbedaan karakter agama dan budaya itulah maka
sering kali nilai – nilai agama dipertentangkan dengan nilai - nilai
budaya lokal yang sebenarnya telah mempengaruhi perilaku sosial
seseorang.

Model akulturasi budaya lokal dengan Islam ini sering


dianggap sebagai penyebab munculnya karakter Islam abangan di
kalangan mayarakat Jawa. Sebagian orang bahkan menilai bahwa
para Wali Songo sebagai ikon dai - dai awal islam di Indonesia
dianggap belum berhasil sepenhnya untuk mengislamkan Jawa.
Beberapa bukti disodorkan untuk memperkuat tesis tersebut ,
diantarana paham sinkretisme yang tampak masih dominan
dikalangan masyarakat Jawa. Walaupun bagi pihak yang
mendukung metode dakwah Wali Songo di atas, praktik - praktik
yang sering dituduh sebagai sinkretisme tersebut bukan
sepenuhnya amalan yang bertentangan dengan Islam dan dapat
diperjelaskan melalui perspektif mistiisme Islam.

Rasul telah mencontohkan cara melakukan akulturasi antara


ajaran Islam dan tradisi bangsa Arab pada abad ke-7. Ada tiga
mekanisme yang dilakukan beliau untuk menyikapi tradisi yang
telah berkembang kala itu. Pertama, menerima dan melestarikan
tradisi yang dianggap baik, seperti tradisi musyawarah, kumpul-
kumpul pada hari Jumat, dan khitan. Kedua, menerima dan
memodifikasi tradisi yang secara substansi sudah baik, tetapi
dalam beberapa aspek implementasinya bertentangan dengan
semangat tauhid, misalnya ritus haji dan umroh, kurban, dan
poligami. Ketiga menolak tradisi yang dianggap melanggengkan
nilai, moralitas, dan karakter jahiliah, dan menggantikannya
dengan tradisi baru yang mengembangkan dan memperkuat nilai,
moralitas, dan karakter islami, seperti tradisi berjudi,berhala,
minum - minuman keras, dan kawin kontrak.

3. Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Fisiologis tentang


Pribumi Islam
Pribumisasi Islam menyaran pada transformasi nilai - nilai
Islam universal dalam wadah budaya, geografis, dan ruang waktu
tertentu. Melalui pribumisasi, Islam diharapkan dapat hadir dalam
dinamika kehidupan kekinian dan menjawab berbagai
problematika sosial budaya yang berkembang dalam sebuah ruang,
waktu dan geografis tertentu.
a) Historis
Istilah pribumisasi Islam diperkenalkan oleh Gus
Dur (KH Abdurrahman Wahid) sebagai alternatif dalam
upaya pencegahan praktik radikalisme agama. Penghargaan
Gus Dur terhadap metamorfosis Islam Nusantara yang
menempatkan Islam secara kontekstual sebagai bagian dari
proses budaya. Kalau boleh disadari, meskipun sedikit
terlambat, tempo itu dapat ditempatkan sebagai cara
pandang futuristik Gus Dur perihal Islam Indonesia depan
agar tidak terperangkap dalam radikalisme dan terorisme.
Dua hal yang mencerabut Islam dari akar Nusantara.
Ide “Islam Pribumi” lahir untuk melawan gagasan
otentifikasi Islam, yang tidak jarang mengarah pada
fundamentalisme keberagamaan. “Islam Pribumi” meyakini
tiga sifat, yaitu: sifat kontekstual, Islam dipahami sebagai
ajaran mengalami perubahan dan dinamika dalam merespon
perubahan zaman. Kedua, Islam dipahami sebagai agama
yang progresif, kemajuan zaman bukan dipahami sebagai
ancaman penyimpangan terhadap ajaran Islam melainkan
sebagai pemicu untuk melakukan respon kreatif secara
intens. Ketiga, “Islam Pribumi” memiliki karakter
membebaskan, yaitu ajaran yang mampu menjawab
problem – problem kemanusiaan secara universal tanpa
melihat perbedaan agama dan etnis.
Apabila kita lihat sejarah perkembangan Islam
diIndonesia, dakwah yang dilakukan oleh para dai yang
membawa Islam ke Indonesia selalu mempertimbangkan
kearifan lokal (localwisdom) yang menjadi realitas
kebudayaan dalam masyarakat Indonesia. Keberagaman
suku, budaya, dan adat – istiadat mendorong
keanekaragaman ekspresi keislaman di Indonesia.
Pribumisasi Islam adalah psikologi indigenos yang
mengembangkan spiritualitas keberagamaan berangkat dari
akar kearifan lokal. Khazanah kearifan lokal itu ditafsirkan
membentuk variasi keberagamaan yang dapat dimaknai ke
dalam berbagai unsur budaya. Ia mampu menggubah
substansi spiritualitas (tauhid) tanpa mengubah bentuknya.
Ketika tauhid mampu dibangun bersama narasi - narasi
lokalitas, Islam dapat menyatu ke jantung masyarakat yang
beragam latar budaya. Di sinilah Islam raḫmatan
lillāīamin dipraktikkan tanpa menyakiti.

b) Sosiologis
Indonesia merupakan negara dengan jumlah
penduduk muslim terbesar di dunia. Fenomena ini tentu
tidak bias dilepaskan dari jasa para dai muslim sepanjang
sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mereka berasal dari
Arab, Persia, India,bahkan dari Cina. Kedatangan mereka
ke Indonesia tidak saja untuk memperkenalkan Islam, tetapi
juga dengan membawa seperangkat keilmuan Islam yang
sudah mengalami proses pengembangan di tanah asalnya,
Timur Tengah.
Dilihat dari strategi dakwah, para dai muslim
berhasil melakukan pendekatan persuasif, kultural, dan
politik terhadap penduduk Indonesia. Para dai tersebut
menggunakan strategi pribumisasi sebagaimana telah
disinggung di atas sehingga Islam masuk ke dalam jiwa
bangsa Indonesia secara tidak disadari.
Ajaran tentang kesamaan derajat yang dibawa Islam
tentu menarik kalangan pribumi, terutama di kalangan yang
selama ini hidup dalam strata atau kasta rendah yang sering
menjadi objek eksploitasi oleh kasta di atasnya. Pada sisi
lain, corak Islam sufistik juga menarik perhatian penduduk
pribumi karena adanya titik - titik persamaan dengan
kepercayaan dan agama mereka. Islam sufistik yang sarat
dengan ajaran moral dan kontemplatif tidak begitu asing
bagi tradisi masyarakat setempat. Itulah sebabnya, Islam
bisa diterima secara damai oleh penduduk pribumi atau
setidaknya bisa hidup berdampingan dengan agama lain
selama berabad-abad.
Pada tataran wacana, sebenarnya perbedaan dalam
memahami ajaran Islam sudah menjadi hal yang biasa.
Yang menjadi masalah adalah ketika terjadi pemaksaan
pendapat dengan cara - cara yang tidak santun dan
cenderung menyalahkan pihak lain. Ketika hal ini terjadi,
maka ketegangan di antara berbagai varian Islam tidak bisa
dihindari. Bahwa Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari
pengaruh Arab (Timur Tengah) adalah kenyataan social -
historis, mengingat posisi Indonesia yang merupakan
wilayah pinggiran. Namun, ketika pengaruh itu berlangsung
secara masif dan sangat kuat, maka yang terjadi justru
“Arabisasi” Islam Indonesia, yakni peniruan secara total
tradisi berpikir dan tradisi budaya Arab oleh umat Islam
Indonesia.

c) Teologis dan Fisiologis


Secara filosofis, pribumisasi Islam didasari oleh
paradigma sufistik tentang substansi keberagamaan. Dalam
paradigma sufistik, agama memiliki dua wajah yaitu aspek
esoteric (aspek dalam) dan aspek eksoterik (aspek luar).
Dalam tataran esoteris, semua agama adalah sama karena ia
berasal dari Tuhan Yang tunggal. Dalam pandangan
sufistik, bahkan dikatakan semua yang maujud di alam ini
pada hakikatnya berasal dari Wujud Yang satu (Tuhan Yang
Maha Esa). Alam ciptaan dengan pluralitas manifestasinya
pada hakikatnya diikat oleh sebuah kebenaran universal
yang berasal dari Sang Pencipta Yang tunggal. Perbedaan
maujud dalam ciptaan Tuhan semuanya dibingkai dalam
keesaan wujud. Tuhanlah satu - satunya wujud (lāwujūd
illā Allāh).
Perbedaan hanya tampak pada aspek eksoterik,
yaitu unsur lahir dan amalan kasat mata saja. Sejalan
dengan pemahaman ini, maka substansi keagamaan adalah
satu, cara manusia dapat menyembah (tunduk, patuh, dan
berserah diri) kepada Tuhan sebagai kebenaran universal.
Adapun ekspresi keberagamaan atau aksentuasi paham
keagamaan pasti berbeda – beda karena perbedaan
kebutuhan dan tuntutan fisik dan materiyang berbeda pula.
Secara teologis, tauhid bukan sekedar pengakuan
atau persaksian bahwa tiada illah selain Allah, tapi
pemaknaan terhadap tauhid melampaui dari sekedar
pengakuan atas eksistensinya yang tunggal. Jika kita tarik
pemaknaan tauhid dalam ranah realitas ciptaan (makhluk),
maka tauhid berarti pengakuan akan pluralitas atas selain
Dia (makhluk-Nya). Hanya Dia yang tunggal, dan selain
Dia adalah plural. Al-Qur ’an juga mengemukakan, bahwa
Allah menakdirkan pluralitas sebagai karakteristik makhluk
ciptaan-Nya. Tuhan tidak menakdirkan pluralitas dalam
ciptaan untuk mendorong ketidakharmonisan dan perang.
Pluralitas sekaligus menjadi bukti relativitas makhluk.

4. Argumen tentang Urgensi Pribumi Islam


Pada kondisi saat dunia mulai mengarah kepada peradaban
global dan keterbukaan, maka ajaran agama perlu kembali dirujuk
untuk ditransformasikan nilai - nilai luhurnya sehingga dapat
memunculkan sebuah pemahaman agama dan sikap keberagamaan
yang bebas dari fanatisme sektarian, stereotip radikal, dan spirit
saling mengafirkan antara sesama umat seagama, atau antara umat
yang berbeda agama. Apabila kita kembali melihat contoh rasul
dengan masyarakat madaninya, maka kita dapati bahwa potensi -
potensi konflik akan dapat dielimininasi dengan mengedepankan
persamaan dalam keragaman. Artinya, Islam mengajarkan bahwa
perbedaan itu adalah fitrah (given) dari Tuhan, tetapi dalam
menjalani hidup ini hendaknya kita tidak mempertajam perbedaan
tersebut. Sebaliknya, justru kita harus mencari unsure - unsur
persamaan di antara kita. Sebagai ilustrasi, bisa saja kita berbeda
suku bangsa, adat, dan bahasa, tetapi kita harus mengedapankan
kesadaran bahwa ada satu persamaan yang mengikat kita semua,
yaitu kesadaran bahwa kita adalah bangsa Indonesia.
Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam
sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan yang
diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia
tanpa kehilangan kemurnian dari Islam itu sendiri. Menurut Gus
Dur, Pribumisasi Islam adalah suatu pemahaman islam yang
mempertimbangkan kebutuhan - kebutuhan lokal di dalam
merumuskan hukum - hukum negara. Sejak itu, Islam pribumi
menjadi perdebatan menarik dalam lingkungan para intelektual.
Tujuan gagasan pribumisasi Islam adalah agar terjadinya dialog
Islam dan kebudayaan sehingga keduanya dapat saling menerima
dan memberi.
Islam pribumi yang telah dicetuskan Gus Dur ini
sesungguhnya mengambil semangat yang telah diajarkan oleh Wali
Songo dalam dakwahnya kewilayah Nusantara sekitar abad 15 dan
16 M di pulau Jawa. Dalam hal ini, WaliSongo telah berhasil
memasukkan nilai - nilai lokal dalam Islam yang khas
keindonesiaan. Kreatifitas Wali Songo ini melahirkan gugusan baru
bagi nalar Islam yang tidak harfiyah meniru Islam di Arab. Tidak
ada nalar arabisme yang melekat dalam penyebaran Islam awal di
Nusantara. Para Wali Songo justru mengakomodir dalam Islam
sebagai ajaran agama yang mengalami historisasi dengan
kebudayaan.

5. Corak Islam di Indonesia


Dalam perkembangannya, Islam mendapat respons positif
dari masyarakat Indonesia sehingga Islam mengalami
perkembangan yang pesat sekali hingga mampu mengambil alih
posisi dan peran dua agama raksasa Hindu - Budha, sebagai
pertanda kemenangan Islam yang menakjubkan dalam persaingan
merebut kepercayaan masyarakat. Ahmad Syafii Maarif
menyatakan bahwa kemenangan Islam itu sangat fenomenal, dua
raksasa agama tua yang telah eksis berabad - abad di Nusantara
tersingkir sedemikian rupa, kecuali Hindu di Bali yang masih
bertahan. Karena para penyebar Islam dulu belum sempat
berdakwah dan merayu penguasa di Bali sehingga di sana
merupakan wilayah yang belum beradaptasi dengan agama Islam.
Aneka Ragam Identitas Islam
1) Islam Nusantara
Islam Nusantara ini memiliki karakteristik tertentu
yang membedakan dengan karakteristik Islam di kawasan
lainnya. Abdul Moqsith Ghozali menjabarkan bahwa wilayah
Nusantara ini memiliki sejumlah keunikan yang berbeda
dengan keunikan di negeri-negeri lain, mulai keunikan
geografis, sosial politik dan tradisi peradaban. Keunikan
-keunikan ini menjadi pertimbangan para ulama ketika
menjalankan Islam di Nusantara. Akhirnya, keunikan
-keunikan ini membentuk warna Islam Nusantara yang
berbeda dengan warna Islam di Timur Tengah. Zainul Milal
Bizawie merinci bahwa Islam Nusantara merupakan Islam
yang ramah, terbuka, inklusif dan berpotensi memberikan
pemecahan terhadap masalah - masalah bangsa dan negara. Di
samping itu, Islam Nusantara sebagai Islam yang dinamis dan
bersahabat dengan lingkungan kultur, subkultur dan agama
yang beragam. Islam bukan hanya dapat diterima masyarakat
Nusantara, tetapi juga layak mewarnai budaya Nusantara
untuk mewujudkan sifat akomodatifnya, yakni rahmatan li
al-‘alamin. Pesan rahmatan li al-‘alamin ini menjiwai
karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah yang moderat,
toleran, cinta damai dan menghargai keberagaman. Intinya
adalah Islam yang merangkul, bukan memukul; Islam yang
membina, bukan menghina; Islam yang memakai hati, bukan
memaki-maki; Islam yang mengajak tobat, bukan menghujat;
dan Islam yang memberi pemahaman, bukan memaksakan
(Azyumardi, 2002).
2) Islam Indonesia
Identitas Islam Indonesia ini sepintas mirip dengan
Islam Nusantara karena bahasan Islam Nusantara yang
didominasi kajian tentang Islam Indonesia. Sebenarnya
Islam Nusantara lebih luas daripada Islam Indonesia karena
Islam Nusantara itu sebangun dengan Islam Asia Tenggara
sehingga Islam Indonesia hanya bagian integral dari Islam
Nusantara (Rahardjo, 1989).
3) Islam Kejawen
Istilah Islam Jawa mengesankan perkembangan
Islam yang berlangsung di pulau Jawa. Ternyata bukan
sekadar itu, Islam Jawa menunjukkan perpaduan kedua
tradisi antara Islam dan tradisi lokal Jawa (Hariwijaya,
2006).
4) Islam Sasak
Identitas Islam ini disosialisasikan oleh Erni
Budiwanti dan dipublikasikan melalui karyanya yang
berjudul Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima.
Sebagaimana tiga macam identitas Islam sebelumnya,
Islam Sasak juga didasarkan pada kawasan Sasak, tetapi
lebih dari itu, identitas Islam Sasak ini memiliki
karakteristik yang sangat menarik perhatian para peneliti
karena keunikannya, terlepas akidah dan ibadahnya
khususnya bagi komunitas Wetu Telu masih jauh dari Islam
(Budiwanti, 2000).
5) Islam Syariat dan Adat Hatuhaha
Rumahuru menjelaskan bahwa di kalangan
masyarakat negeri Pelauw, terdapat penafsiran dan praktik
yang berbeda terkait relasi adat dengan agama sehingga
terdapat pemisahan antara kelompok Islam adat dan
kelompok Islam syariah (Rumahuhu, 2012).
6) Islam Bubuhan Kumai
Islam Bubuhan Kumai dapat dibagi menjadi tiga
kelompok: Awam, Nahu dan Hakikat. Ketiganya
mengekpresikan keagamaan baik dalam pemikiran,
tindakan/perbuatan dan kepengikutan dalam kehidupan
sehari - hari. Kelompok Awam cenderung mencampur
adukkan agama dengan tradisi lama, seperti mempercayai
makhluk - makhluk halus memiliki kekuatan mistis;
kelompok Nahu menekankan praktik - praktik keagamaan
yang merujuk al-Qur’an, hadis dan pendapat ulama
Ahlussunnah waljama’ah; adapun kelompok Hakikat
menekankan aspek batiniah dalam beragama (Al – Kumayi,
2011).

7) Islam Pesisir
Bagi masyarakat pesisir, Islam dijadikan referensi
tindakan sehingga seluruh tindakannya merupakan ekpresi
ajaran Islam yang telah adaptif dengan budaya lokal.
Sedangkan sinkretisasi dalam masyarakat pedalaman
tercermin dari sikap memilah - milah ajaran Islam yang
sesuai dengan budaya kemudian memadukannya sehingga
menjadi rumusan budaya yang sinkretik (Syam, 2005).
BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan persentasi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1. Wahyu difirmankan untuk memperpendek proses pembacaan terhadap alam.


Apabila manusia diberi kesempatan untuk membaca dan memahami alam
dengan segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan
membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai jawaban final. Namun berkat
Wahyu, proses yang panjang dan berliku tersebut dapat disingkat sedemikian
rupa sehingga manusia tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan
jawaban final kehidupan.
2. Ekpresi Islam yang berasal dari persentuhan ajaran - ajaran Islam dengan
budaya (tradisi) lokal telah melahirkan berbagai identitas baru yang melekat
pada Islam. Identitas Islam yang baru ini menimbulkan kebingungan bagi
orang-orang awam, melahirkan penolakan dari kalangan Islam skripturalis
maupun formalis, tetapi menumbuhkan rasa simpati bagi kalangan Islam
moderat, bahkan sangat menarik perhatian bagi para ilmuwan sosial untuk
mengamati dan mencermati keunikannya masing - masing. Mereka berusaha
menangkap kekhasan masing - masing identitas Islam itu sehingga dapat
dibadingkan satu sama lain. Sebab keberagaman ekpresi ini merupakan
keniscayaan sosiologis.
3. Pribumisasi Islam menyaran pada transformasi nilai - nilai Islam universal
dalam wadah budaya, geografis, dan ruang waktu tertentu. Melalui
pribumisasi, Islam diharapkan dapat hadir dalam dinamika kehidupan
kekinian dan menjawab berbagai problematika sosial budaya yang
berkembang dalam sebuah ruang, waktu dan geografis.
4. Pada kondisi saat dunia mulai mengarah kepada peradaban global dan
keterbukaan, maka ajaran agama perlu kembali dirujuk untuk
ditransformasikan nilai - nilai luhurnya sehingga dapat memunculkan sebuah
pemahaman agama dan sikap keberagamaan yang bebas dari fanatisme
sektarian, stereotip radikal, dan spirit saling mengafirkan antara sesama umat
seagama, atau antara umat yang berbeda agama.
5. Dari penelusuran dan penelitian hingga penulisan artikel ini, penulis
menemukan identitas Islam yang dipengaruhi kawasan - kawasan tertentu di
Indonesia antara lain Islam Nusantara, Islam Indonesia, Islam Jawa/Islam
Kejawen, Islam Sasak, Islam Syariah dan Islam Adat Hatuhaha, Islam
Bubuhan Kumai dan Islam Pesisir.
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2002. Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal. Bandung:

Mizan.

Al Kumayi, Sulaiman. 2011. Islam Bubuhan Kumai Perspektif Varian Awam,


Nahu, dan Hakikat. Jakarta : Kementerian Agama RI.

Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta:

LKiS, 2000.

Hariwijaya, M. 2006. Islam Kejawen. Yogyakarta : Gelombang Pasang.

Rahardjo, M. Dawam. 1989. “Melihat ke Belakang, Merancang Masa Depan:

Pengantar”, dalam Muntaha Azhari (eds.), Islam Indonesia Menatap

Masa Depan. Jakarta : Perhimpungan Pengembangan Pesantren dan

Masyarakat.

Rumahuru, Yance Zadrak. 2012. Islam Syariah dan Islam Adat (Konstruksi

Identitas Keagamaan dan Perubahan Sosial di Kalangan Komunitas

Muslim Hatuhaha di Negeri Pelauw. Jakarta: Kementerian Agama RI.

Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta : LKiS.

Anda mungkin juga menyukai