Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


“Taqwa Hubungan Manusia dengan Allah Hubungan Manusai dengan Diri
Sendiri Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia dan Hubungan Manusia
dengan Alam Sekitarnya”

Disusun Oleh:
Jefrialdi (210130004)
Selvi Diana Br. Tarigan (210130014)
Muhammad Rizki (210130022)

DEPARTEMEN TEKNIK INDUSTRI


F A K U L T A S T E K N I K
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Taqwa Hubungan Manusia dengan Allah
Hubungan Manusai dengan Diri Sendiri Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia dan
Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya" dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan agama islam. Selain
itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang taqwa hubungan manusia dengan Allah
dan dengan seluruh aspek kehidupan, bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Zarkasyi,S.HI.,M.HI selaku Dosen
mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Lhokseumawe, 10 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB HALAMAN
LEMBAR JUDUL ......................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................. iii

I DEFINISI TAQWA........................................................................ 1
1.1. Pengertian Taqwa..................................................................... 1
1.2. Ciri-Ciri Orang Bertaqwa ......................................................... 1

II HAKIKAT TAQWA DAN HUBUNGANNYA ........................... 2


2.1. Taqwa Hubungan Manusia dengan Allah ................................ 2
2.2. Taqwa Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri ...................... 4
2.3. Taqwa Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia .............. 4
2.4. Taqwa Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya .............. 5

III KESIMPULAN ............................................................................... 9


BAB I
DEFINISI TAQWA

1.1. Pengertian Taqwa


Taqwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam
pengertian itu terkandung seluruh aspek ajaran Islam yang tercermin dalam perilaku taqwa.
Ibadah puasa berfungsi untuk mendidik dan melatih diri agar dapat mencapai derajat takwa.
Orang yang takwa digambarkan Allah dalam Alquran:
Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan salat dan
menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang
beriman kepada kitab (Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (QS. Albaqarah,
2:3-4).

1.2. Ciri-Ciri Orang Bertaqwa


Ciri-ciri orang yang bertaqwa telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Imran pada
ayat berikut :
Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat 109 kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiayan diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain darpada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui. QS.3:134-135.
Melihat ciri-ciri orang yang takwa di atas, tampaklah bahwa ketakwaan itu merupakan
keseluruhan sikap yang terdiri dari aspek keimanan, yaitu beriman kepada adanya yang gaib,
kitab-kitab Allah dan hari akhirat. Aspek ritual, yaitu salat. Aspek sosial yaitu zakat dan infaq.
Aspek emosional yaitu menahan amarah dan memberi maaf, dan adanya sikap sadar akan dosa.
Dengan demikian takwa merupakan akumulasi dari hubungan dengan Allah, sesama manusia
dan hubungan dengan diri sendiri.

1
BAB II
HAKIKAT TAQWA DAN HUBUNGANNYA

2.1. Taqwa Hubungan Manusia dengan Allah


Melihat ciri-ciri orang yang takwa di atas, tampaklah bahwa ketakwaan itu merupakan
keseluruhan sikap yang terdiri dari aspek keimanan, yaitu beriman kepada adanya yang gaib,
kitab-kitab Allah dan hari akhirat. Aspek ritual, yaitu salat. Aspek sosial yaitu zakat dan infaq.
Aspek emosional yaitu menahan amarah dan memberi maaf, dan adanya sikap sadar akan dosa.
Dengan demikian takwa merupakan akumulasi dari hubungan dengan Allah, sesama manusia
dan hubungan dengan diri sendiri.
Artinya:
“Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada ku.”

Secara garis besar, ibadah kepada Allah itu ada dua macam, yaitu ibadah yang bentuk
dan tata caranya telah di tentukan oleh Allah SWT, dan ibadah dan bentuk tata caranya yang
tidak di tentukan oleh Allah SWT. Ibadah jenis pertama adalah Mahdhoh, yaitu ibadah dalam
arti ritual khusus, dan tidak bisa diubah-ubah sejak dulu hingga sekarang, misalnya sholat,
puasa, dan haji: cara melakukan ruku’ dan sujud dan lafal-lafal apa saja yang harus dibaca
dalam melakukan sholat telah ditentukan oleh Allah SWT.
Demikian pula cara melakukan thawaf dan sa’i dalam haji beserta lafal bacaannya telah
ditentukan oleh Allah SWT. Inti ibadah jenis ini sebenarnya adalah permohonan ampun dan
mohan pertolongan dari Allah SWT. Jenis ibadah yang kedua disebut ibadah ghairu mahdoh
atau ibadah dalam pengetahuan umum, yaitu segala bentuk perbuatan yang ditujukan untuk
kemaslahatan, kesuksesan, dan keuntungan

(QS Al-Ankabut: 45) Artinya:

“Sesungguhnya salat itu pencegah perbuatan fahsya’ dan munkar.”

Melalui ayat tersebut dapat diketahui bahwa ruh salat adalah ‘inna shalati wa-nusuki‘,
salatku, ibadahku. Penyebutan salat dan nusuk dalam ayat tersebut bertujuan untuk
membedakan bahwa salat itu adalah ibadah mahdhah, sementara nusuk adalah ibadah ghairu

2
mahdhah. Para mufassir mengatakan kata nusuk tersebut diterjemahkan dengan insyithatu al-
hayat, artinya segala aktivitas hidup kita.
Contoh dari ibadah semacam ini adalah menyingkirkan duri dari jalan, membantu orang
yang kesusahan, mendidik anak, berusaha, bekerja, menjenguk orang sakit, memaafkan dan
sebagainya. Semua perbuatan tersebut, asalkan diniatkan karena Allah SWT dan bermanfaat
bagi kepentingan umum, adalah pengabdian atau ibadah kepada Allah SWT.
Jika inti hubungan manusia dengan Allah adalah pengabdian atau ibadah, maka inti
hubungan Tuhan dengan manusia adalah aturan, yaitu perintah dan larangan. Manusia
diperintahkan berbuat menurut aturan yang telah ditetapkan Allah. Jika manusia menyimpang
dari aturan itu, maka ia akan tercela, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Aturan
itupun ada dua macam, pertama aturan yang dituangkan dalam bentuk hukum-hukum alam
(sunnatullah) dan aturan yang dituangkan dalam kitab suci Al-Quran dan hadis Nabi
Muhammad SAW.
Aturan yang dituangkan dalam kitab suci Al-Quran dan hadis Nabi, misalnya tentang
perintah sholat, perintah zakat, perintah puasa, perintah haji, larangan berzina, larangan
mencuri, larangan meminum arak, larangan memakan daging babi, dan lain-lain. Dalam hal
ini, manusia diperintahkan menaati segala perintah dan menjauhi segala larangan. Adapun
aturan yang dituangkan dalam hukum alam adalah, misalnya, api itu bersifat membakar. Oleh
karena itu, jika orang mau selamat, maka ia harus menjauhkan dirinya dari api. Sebagai contoh
lain, benda yang berat jenisnya lebih berat dari air akan tenggelam dalam air.
Dengan demikian, manusia akan celaka (tenggelam) jika masuk ke dalam air laut tanpa
pelampung, sebab berat jenisnya lebih berat dari air. Demikianlah aturan yang dituangkan
dalam kitab suci (āyah qur’āniyah) dan yang dituangkan dalam hukum alam (āyah kawniyah).
Keduanya harus dipatuhi agar orang dapat hidup selamat dan sejahtera, baik di dunia maupun
di akhirat.
Begitulah prinsip dasar ajaran Islam mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya.
Intinya adalah pengabdian dan penyembahan kepada Allah (ibadah). Berpegang teguh pada
tali agama Allah, lebih tepatnya menyelamatkan diri dari kemunafikan. Memegang tali agama
Allah berarti kesetiaan melaksanakan semua ajaran agama dan mendakwahkannya. Selalu
meningkatkan amal saleh, mengikatkan hati kepada Allah, serta ikhlas dalam beribadah.

3
2.2. Taqwa Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri

Takwa dalam kaitan dengan diri sendiri adalah menjaga keseimbangan atas dorongan-
dorongan nafsu dan memelihara diri dengan baik. Nafsu yang dimiliki manusia merupakan
bagian yang harus dikelola dan dikendalikan dengan baik, sehingga menjadi kekuatan yang
mendorong ke arah kebaikan.
Taqwa dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri melahirkan sikap –sikap tertentu
antara lain:
a. Al-amanah, yaitu setia dan dapat dipercaya
b. Al-shidiq, yaitu benar dan jujur
c. Al-adil, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya
d. Al-‘iffah, yaitu menjag dan memelihara kehormatan diri
e. Al- haya, yaitu merasamalu terhadap Allah dan diri sendiri, apabila membuat pelanggaran
hukum
f. Al-quwwah, yaitu kekuatan fisik, jiwa, semangat
g. Al-shabr, yaitu sabar ketika harus melaksanakan perintah, menghindari larangan, dan
ketika ditimpa musibah.

2.3. Taqwa Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia


Pada hakikatnya, tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan
orang lain. Manusia memiliki naluri untuk hidup berkelompok dan berinteraksi dengan orang
lain. Karena pada dasarnya, setiap manusia memiliki kemampuan dasar yang berbeda-beda dan
memiliki ciri khas tersendiri yang dapat dijadikan sebagai alat tukar menukar pemenuhan
kebutuhan hidup Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk
bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat
dikembangkan.
Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup
bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu
menampakan dirinya dalam berbagai bentuk. karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu
bermasyarakat dalam kehidupannya manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena
pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang
lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah
manusia.

4
Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak.
Dengan bantuan orang lain, manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau
bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya. Selain itu, manusia
diciptakan dari berbagai karakteristik, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling
mengenal satu sama lain.

(Al-Hujurat: 13) Artinya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetetahui lagi Maha
Mengenal.”

Baldatun Thoyyibah berarti mengacu kepada tepat, bukan kepada kumpuln orang.
Namun, Ali Nurdin, dalam bukunya Menelusuri Masyarakat Ideal dalam Alquran memasukkan
ungkapan tersebut dalam istilah masyarakat ideal dengan faktor kebahasaan sebagai salah satu
pertimbangan utama. Alquran tidak menyatakan secara tegas tentang kriteria dan ambaran dari
negeri yang baik (baldah thoyyibah), untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap, kita
bisa melihat kepada sejarah kerajaan Saba’. Poin-poin penting yang menyebabkan Saba’
disebut sebagai negeri yang baik, disamping faktor geografis (adanya bendungan ‘Arim)
adalah, merakyatnya sikap musyawarah dan anti kekerasan.

2.4. Taqwa Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya


Islam menempatkan manusia dalam konteks ruang dan waktu, karena itu Islam mengatur
hubungan manusia dengan dua aspek tersebut. Dalam konteks keruangan, Islam menata
hubungan manusia dengan alam secara harmonis dan seimbang dengan meletakan Allah
sebagai sumber dan pemilik mutlak. Penempatan Allah sebagai Pemilik Mutlak menjadikan
pemilikan alam oleh manusia menjadi relatif dan sementara yang mengandung konsekuensi
dalam bentuk tanggung jawab. Alam disediakan Allah sebagai bekal agar manusia dapat
bertahan dan mempertahankan hidupnya di tengah alam semesta. Karena manusia sebagai
makhluk fisik perlu memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makan dan minum dari bahan-
bahan yang terdapat di alam.

5
Manusia mengolah alam dengan menggunakan potensi akal yang dimilikinya sehingga
kebutuhannya dapat terpenuhi. Akan tetapi akal manusia tidak bisa memecahkan segalanya,
karena itu ia memerlukan petunjuk Tuhan. Akal mendorong manusia mengembangkan
kemampuan mengolah dan memanfaatkan alam untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya,
sedangkan wahyu difungsikan sebagai pembimbing dan pengarah agar manusia tidak
melampaui batas-batas pemilikannya sesuai dengan peraturan Allah. Pelanggaran terhadap
peraturan Allah bukan saja melahirkan dosa secara spiritual, tetapi juga 113 mengakibatkan
kecelakaan dan kebinasaan manusia itu sendiri di tengah alam.
Melalui wahyu, Allah menggariskan batas pemanfaatan alam agar manusia tetap mampu
mempertahankan hidupnya secara lestari dari generasi ke generasi secara terus menerus. Dasar
pemanfaatan alam dalam ajaran Islam tidak terlepas dari misi risalah, yaitu rahmatan lil’alamin;
memberikan rahmat kepada seluruh alam. Memberikan rahmat kepada alam diaplikasikan
dengan cara memandang alam bukan semata-mata untuk kepentingan manusia saja, tetapi juga
untuk kepentingan alam itu sendiri sehingga keutuhan dan kelestariannya dapat terjaga dengan
baik.
Dalam hubungannya dengan alam, Ishlah diaplikasikan dalam bentuk perbaikan
(rehabilitasi) dan pemeliharaan (konservasi) alam sebagai wujud tanggung jawabnya.
Pemanfaatan alam oleh manusia mengakibatkan kerusakan pada alam, karena itu tanggung
jawabnya adalah dengan melakukan perbaikan terhadap kerusakan yang ditimbulkannya,
seperti penanaman kembali hutan yang gundul dan sebagainya. Demikian pula pemeliharaan
terhadap alam dilakukan dengan memelihara dan mempertahankan keutuhannya, seperti
mengembalikan hewan-hewan yang ditangkap kepada habitatnya.
Sebagian makna islah dalam Alquran berkaitan dengan memperbaiki suatu kesalahan
yang dilakukan terhadap lingkungan, termasuk diantaranya lingkungan alam. Manusia sebagai
makhluk fisik, memiliki kebutuhan untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya di muka
bumi. Kebutuhan hidup tersebut menyangkut makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan
sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, alam menyediakan bahan- 114 bahan dasar
yang dapat diolah untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan manusia. Dalam hubungan
inilah biasanya terjadi kontak manusia dengan alam lingkungannya dengan memanfaatkan dan
membudidayakannya.
Sebagai makhluk yang berakal, manusia memiliki kemampuan untuk membuat
perubahan-perubahan terhadap lingkungannya sehingga bahan-bahan yang disediakan alam
dirubah menjadi barang keperluan hidup. Dalam kontak manusia dengan alam, terjadi
perubahan-perubahan pada manusia dan alam itu sendiri. Setiap perubahan membawa

6
konsekuensi-konsekuensi tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif. Perubahan yang
bersifat positif adalah perubahan yang saling menguntungkan antara manusia dengan alam.
Karena itu, hubungan baik dengan alam adalah hubungan antara manusia dengan alam yang
ditata secara seimbang antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan kebutuhan alam itu
sendiri. Alam merupakan sistem yang telah ditata menurut hukum-hukum yang telah
ditetapkan Allah atas alam (sunnatullah) secara seimbang (tawazun) sehingga terjadi suatu
kesatuan yang sistemik di antara unsur-unsur alam itu.
Dalam kontak manusia dengan alam, kesatuan sistemik dalam alam itu seringkali
terganggu sehingga menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada alam yang dapat
merugikan manusia dan alam itu sendiri. Dalam hubungan ini, manusia dengan alam
memerlukan hubungan yang harmonis dan seimbang sehingga kedua belah pihak dapat
memperoleh keuntungan. Manusia yang memandang alam semata-mata sebagai obyek akan
memanfaatkan alam tanpa memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkannya berupa kerusakan
alam. Karena itu, 115 hubungan manusia dengan alam menjadi penting dan menentukan masa
depan manusia dan alam itu sendiri. Perubahan yang dilakukan oleh manusia apabila
direncanakan dengan baik, dipikirkan secara sistematis, dan dilaksanakan secara konsisten,
maka perubahan tersebut dapat berakibat positif dan seringkali disebut sebagai proses
pembangunan.
Pembangunan adalah perubahan yang berorientasi kepada kebaikan untuk manusia dan
alam. Kebaikan untuk manusia dalam bentuk peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup,
sedangkan kebaikan untuk alam adalah terpelihara dan lestarinya sumber daya alam. Hubungan
antara manusia dengan lingkungan alam tempat tinggalnya digambarkan para ahli lingkungan
sebagai hubungan yang saling menunjang dan mempengaruhi. Manusia memperoleh manfaat
dari lingkungan alam seperti udara yang sehat, hutan yang lebat, dan air yang jernih dan sehat.
Sumber daya alam apabila digunakan secara bertanggung jawab manfaatnya akan berlangsung
lama. Sikap yang bertanggung jawab terhadap lingkungan merupakan realisasi dari islah
terhadap alam.
Taqwa dalam kaitan hubungan dengan alam berkaitan pula dengan perbaikan alam yang
telah rusak sebagai akibat kesalahan manusia dalam memanfaatkannya, seperti hutan yang
gundul akibat ekploitasi hutan yang tanpa batas. Taqwa di sini, diwujudkan dalam bentuk
reboisasi dan renovasi lingkungan sehingga lingkungan alam kembali berfungsi seperti semula
dan mendatangkan manfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Berdasarkan pemahaman di atas, nampaklah bahwa perilaku taqwa dalam hubungan
dengan lingkungan alam, baik melalui konservasi maupun renovasi akan mendatangkan

7
kesejahteraan bagi manusia. 116 Dalam kaitan dengan alam, perilaku taqwa dapat dilawankan
dengan fasid yang berarti rusak, baik dalam konteks kerusakan fisik maupun non-fisik. Allah
menganjurkan agar manusia menjaga dan memelihara lingkungan alam yang ada di
sekelilingnya, baik di daratan maupun lautan.
Kerusakan lingkungan alam lebih banyak disebabkan karena manusia tidak mampu
membatasi keinginannya atau menahan hawa nafsunya untuk menguasai atau memiliki
sesuatu. Dominasi manusia terhadap lingkungan alam tidak terjadi sama dan merata di
permukaan bumi, karena dipengaruhi oleh seberapa jauh kelompok manusia itu telah
mengembangkan budaya dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). IPTEK
dapat meningkatkan kesejahteraan manusia, tetapi bersamaan dengan itu membawa pula
dampak bagi kelestarian alam.
Kerusakan lingkungan telah diisyaratkan Alquran sebagai akibat perbuatan manusia yang
tanpa batas:
.
(QS. Ar-Rum, 30:41) Artinya :
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali
(ke jalan yang benar)”.

Allah telah mengatur tata kehidupan ini dengan harmonis, tetapi manusia tidak puas
dengan keadaan itu. Adanya kerakusan dan ketamakan dalam mencapai kepuasan material,
manusia tidak segan-segan membuat kerusakan terhadap alam sekitarnya. Berpacunya
teknologi seiring dengan tumbuhnya industri yang membutuhkan sumber alam yang langka
117 (terbatas) telah meninggalkan dampak kerugian bagi umat manusia sekarang dan generasi
yang akan datang.
Pengurasan sumber alam, polusi udara, air dan udara adalah indikator teknologi saat ini
yang merupakan biaya kemanusiaan yang tidak bisa diukur secara kuantitatif. Dengan
demikian taqwa dalam hubungan dengan alam diungkapkan dalam bentuk kepedulian terhadap
lingkungan hidup, memelihara dan melestarikannya. Pemanfaatan alam sebagai pemenuhan
kebutuhan manusia dilakukan secara bertanggung jawab. Hal ini merupakan amanat Allah
yang melekat pada kekhalifahan manusia di muka bumi.

8
BAB III
KESIMPULAN

1. Taqwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam


pengertian itu terkandung seluruh aspek ajaran Islam yang tercermin dalam perilaku
taqwa.
2. Ketakwaan itu merupakan keseluruhan sikap yang terdiri dari aspek keimanan, yaitu
beriman kepada adanya yang gaib, kitab-kitab Allah dan hari akhirat. Aspek ritual, yaitu
salat. Aspek sosial yaitu zakat dan infaq. Aspek emosional yaitu menahan amarah dan
memberi maaf, dan adanya sikap sadar akan dosa. Dengan demikian takwa merupakan
akumulasi dari hubungan dengan Allah, sesama manusia dan hubungan dengan diri
sendiri.
3. Ibadah kepada Allah itu ada dua macam, yaitu ibadah yang bentuk dan tata caranya telah
di tentukan oleh Allah SWT, dan ibadah dan bentuk tata caranya yang tidak di tentukan
oleh Allah SWT.
4. Takwa dalam kaitan dengan diri sendiri adalah menjaga keseimbangan atas dorongan-
dorongan nafsu dan memelihara diri dengan baik. Nafsu yang dimiliki manusia merupakan
bagian yang harus dikelola dan dikendalikan dengan baik, sehingga menjadi kekuatan
yang mendorong ke arah kebaikan.
5. Hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama
dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu
menampakan dirinya dalam berbagai bentuk. karena itu dengan sendirinya manusia akan
selalu bermasyarakat dalam kehidupannya manusia dikatakan sebagai makhluk sosial,
juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi)
dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup
di tengah-tengah manusia.
6. Allah menggariskan batas pemanfaatan alam agar manusia tetap mampu mempertahankan
hidupnya secara lestari dari generasi ke generasi secara terus menerus. Dasar pemanfaatan
alam dalam ajaran Islam tidak terlepas dari misi risalah, yaitu rahmatan lil’alamin;
memberikan rahmat kepada seluruh alam.

Anda mungkin juga menyukai