Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH AGAMA ISLAM

MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA

Disusun Oleh:

ELENG CIPTO GUMONO


NIM : 12192461

Program Studi Sistem Informasi Kampus Kota Surakarta


Universitas Bina Sarana Informatika
Surakarta
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga

makalah ini dapat di selesaikan pada waktunya. Makalah ini di tulis demi untuk

memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama dengan judul “BAGAIMANA

MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA”.

Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari kesalahan-

kesalahan, maka dari itu kami mengharapkan syarat yang membangun dari para

pembaca. Dalam pembuatan makalah ini tidak luput dari banyak motifasi dari

teman-teman yang telah membantu.

Kami mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah banyak

memotifasi dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan

informasi kepada para pembaca .

Demikianlah pengantar dengan iringan serta harapan semoga tulisan

sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca dan pendengar. Atas

semua ini kami mengucapkan ribuan terimakasih yang tidak terhingga. Semoga

segala bantuan dari semua motivasi mudah-mudahan mendapat amal baik yang di

berikan oleh Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamin.

Surakarta,13 April 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................3
BAB I................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................5
BAB II..............................................................................................................................6
PEMBAHASAN...............................................................................................................6
2.1 Pengertian Islam.................................................................................................6
2.2 Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah...............................................6
2.3 Bagaimana Membumikan Islam Di Indonesia...................................................10
2.4 Menanyakan Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan.............17
2.5 Menggali Sumber Historis................................................................................19
BAB III...........................................................................................................................37
PENUTUP.......................................................................................................................37
3.1 KESIMPULAN................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................38

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-rasul-Nya untuk di

ajarkan kepada manusia. Dibawa secara berantai (estafet) dari satu generasi ke

generasi selanjutnya dari satu angkatan ke angkatan berikutnya. Islam adalah

rahmat, hidayat, dan petunjuk bagi manusia dan merupakan manifestasi dari sifat

rahman dan rahim Allah swt. Mayoritas manusia di bumi ini memeluk agama

islam. Banyak juga yang memilih menjadi mualaf setelah mengetahui semua

kebenaran ajaran nabi Muhammad SAW. Ini yang tercantum dalam al-Quran.

Namun di masa kejayaan islam pada masa sekarang,semakin banyak pula

orang-orang yang beragama islam, tapi tidak mengerti arti islam itu sendiri.

Mereka hanya menjalankan syari’ah atau ajaran-ajaran islam tanpa mengerti

makna islam. Ada juga orang yang islam KTP atau islam hanya sebagai

menyempurnakan KTP dari pada tak tercantum agamanya.

Oleh karena itu di makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana

membumikan islam di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, rumusan masalah dari makalah ini adalah :

1. Apakah arti dari agama islam ?

2. mengapa diwajibkan atas umat islam untuk menyebarkan islam ?

3. bagaimana membumikan islam di Indonesia ?

4
1.3 Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk :

1. Memahami arti islam yang sebenarnya

2. Memahami tentang kewajiban atas umat islam untuk menyebarkan

Islam

3. Memahami bagaimana membumikan islam di Indonesia

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Islam

Islam pada suatu sisi dapat disebut sebagai high tradition, dan pada sisi

lain disebut sebagai low tradition. Dalam sebutan pertama islam adalah firman

Tuhan yang menjelaskan syariat-syariat-Nya yang dimaksudkan sebagai petunjuk

bagi manusia untuk mencapai kebahagiaandi dunia dan akhirat, termasuk dalam

nash (teks suci) kemudia dihimpun dalam shuhuf dan kitap suci (Al Quranul

Karim). Secara tegas dapat dikatakan hanya Tuhanlah yang paling mengetahui

seluruh maksud, arti, dan maknasetiap Firman-Nya. Oleh karena itu, kebenaran

islam dalam dataran high tradition ini adalah mutlak. Bandingakn dengan islam

pada sebutan kedua: Low tradition. Pada dataran ini islam yang mengandung

dalam nash ata teks –teks suci bergumul dengan realitas sosial pada berbagai

masyarakat yang dibaca, dimengerti, dipahami, kemudian ditafsirkan dan

dipraktikan dalam masyarakat yang situasi dan kondisinya berbeda-beda. Kata

rang, islam kahirnya tidak hanya melulu ajaran yang tercatum dalam teks-teks

suci melainkan juga telah mewujud dalam historisitas kemanusiaan.

2.2 Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah

Berikut ini Dasar Dalil Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah

(Membumikan Islam )dari hadits.

ً‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل بَلِّ ُغوا َعنِّي َولَوْ آيَة‬ َّ ِ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” [HR. Bukhari]

ِ ‫ك َأضْ َعفُ اِإْل ي َم‬


‫ان‬ َ ِ‫َم ْن َرَأى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَِإ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَِإ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬

6
“Siapa saja yang melihat kemungkaran hendaknya ia mengubah dengan

tangannya. Jika dengan tangan tidak mampu, hendaklah ia ubah dengan lisannya;

dan jika dengan lisan tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya; dan ini adalah

selemah-lemah iman.” [HR. Muslim]

Terjemahan :

“Dari Abu Hurairah ra ia berkata : Rosulullah SAW bersabda : “Barang siapa

yang hendak mengajak kepada kebaikan maka dia akan memperoleh pahala atas

perbuatan baiknya itu serta pahala orang yang mengikuti dan melaksanakan

kebaikan dengan tanoa dikurangi sedikitpun. Sebaliknya bagi siapa saja yang

mengajak kesesatan atau kemungkaran, maka dia mendapat dosa sebagai balasan

atas perbuatannya sendiri (ditambah) dosa sebanyak dosa orang yang

mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun” (HR Abu Dawud, Ahmad, Nasai,

Turmudzi dan Ibnu Majah)

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

– Orang yang mengajarkan ilmu agama kepada manusia berarti telah

menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala yang merupakan sebab utama terwujudnya

kemakmuran dan kesejahteraan alam semesta beserta semua isinya, oleh karena

itu semua makhluk di alam semesta berterima kasih kepadanya dan mendoakan

kebaikan baginya, sebagai balasan kebaikan yang sesuai dengan perbuatannya.

– Sebagian dari para ulama ada yang menjelaskan makna hadits ini bahwa Allah

Ta’ala akan menetapkan bagi orang yang mengajarkan ilmu agama pengabulan

bagi semua permohonan ampun yang disampaikan oleh seluruh makhluk

untuknya.

7
– Tentu saja yang keutamaan dalam hadits ini khusus bagi orang yang

mengajarkan ilmu agama dengan niat ikhlas mengharapkan wajah Allah Ta’ala,

bukan untuk tujuan mencari popularitas atau imbalan duniawi.

– Para ulama yang menyebarkan ilmu agama adalah pewaris para Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena merekalah yang menggantikan tugas para

Nabi dan Rasul ‘alaihis salam, yaitu menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala dan

menyeru manusia ke jalan yang diridhai-Nya, serta bersabar dalam menjalankan

semua itu, maka merekalah orang-orang yang paling mulia kedudukannya di sisi

Allah Ta’ala setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam.

– Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menyampaikan/menyebarkan

sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia

lebih utama daripada menyampaikan (melemparkan) panah ke leher musuh

(berperang melawan orang kafir di medan jihad), karena menyampaikan panah ke

leher musuh banyak orang yang (mampu) melakukannya, sedangkan

menyampaikan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

kepada umat manusia hanya (mampu) dilakukan oleh (para ulama) pewaris para

Nabi ‘alaihis salam dan pengemban tugas mereka di umat mereka, semoga Allah

Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan mereka dengan karunia dan

kemurahan-Nya”

Pada dasarnya setiap Muslim dan Muslimah diwajibkan untuk

mendakwahkan Islam (membumikam islam ) kepada orang lain, baik Muslim

maupun Non Muslim.Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt,

dan berikut Dasar Dalil Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah

(Menyeru Kebaikan) di AL-Qur’an. :

8
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ;

merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Al-Imran : 104),

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh

kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.

Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara

mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang

fasik” (TQS. Al-Imran : 110)

” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang

baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu

Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan

Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk ” (TQS. An-

Nahl : 125).

9
Riwayat-riwayat di atas merupakan dalil yang sharih mengenai kewajiban

dakwah (membumikan islam ) atas setiap Mukmin dan Muslim. Bahkan, Allah

swt mengancam siapa saja yang meninggalkan dakwah Islam (membumikan

islam), atau berdiam diri terhadap kemaksiyatan dengan “tidak terkabulnya doa”.

Bahkan, jika di dalam suatu masyarakat, tidak lagi ada orang yang mencegah

kemungkaran, niscaya Allah akan mengadzab semua orang yang ada di

masyarakat tersebut, baik ia ikut berbuat maksiyat maupun tidak. Kenyataan ini

menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa hukum dakwah adalah wajib, bukan

sunnah. Sebab, tuntutan untuk mengerjakan yang terkandung di dalam nash-nash

yang berbicara tentang dakwah datang dalam bentuk pasti. Indikasi yang

menunjukkan bahwa tuntutan dakwah bersifat pasti adalah, adanya siksa bagi

siapa saja yang meninggalkan dakwah. Ini menunjukkan, bahwa hukum dakwah

adalah wajib.

2.3 Bagaimana Membumikan Islam Di Indonesia

Wahyu difirmankan untuk memperpendek proses pembacaan terhadap alam.

Apabila manusia diberi kesempatan untuk membaca dan memahami alam dengan

segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan membutuhkan

waktu yang lama untuk mencapai jawaban final. Namun berkat Wahyu, proses

yang panjang dan berliku tersebut dapat disingkat sedemikian rupa sehingga

manusia tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan jawaban final kehidupan.

Wahyu Allah yang terbentang dalam alam geografis dan sosial budaya Arab,

akan ditangkap oleh nabi berkebangsaan Arab dan dibesarkan dalam tradisi

intelektual Arab, otomatis akan menjadi Wahyu yang berbahasa Arab lengkap

dengan kultur Arab pada masa wahyu difirmankan. Contohnya AlQuran sangat

10
dipengaruhi oleh kultur Arab Nabi Muhammad karena ia diturunkan kepada Nabi

Muhammad yang berkebangsaan Arab. Namun seiring berjalannya waktu dan

ruang, Wahyu akan menyesuaikan dengan keadaan budaya pada suatu tempat dan

waktu tertentu sehingga munculnya keberagaman corak pemahaman agama.

Bila dalam sebutan pertama islam adalah agama wahyu yang seolah seolah

berada di langit dan keeradaannya bersifat mutlak, maka pada sebutan kedua

islam telah berada di bumi menjadi agama masyarakat dan kebenarannya pun

menjadi relatif. Implikasinya, pada dataran ini islam berubah menjadi “Islams”.

Dalam ajaran islam, wahyu Allah selain berbentuk tanda-tanda (ayat) yang

nirbahasa, juga bermanifestasi dalam bentuk tanda-tanda (ayat) yang difirmankan.

Untuk memudahkan pemahaman, kita bedakan antara istilah wahyu (dengan “w”

kecil) dan Wahyu (dengan “W” besar ). Wahyu dengan w kecil menyaran pada

tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, dan ketentuan Tuhan yang

nirbahasa, dan mewujudkan dalam alam semesta dan isinya, termasuk dinamika

sosial budaya yang terjadi didalamnya. Adapun Wahyu dengan W besar menyaran

pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, da ketentuan Tuhan yang

difirmankan melalui utusan-Nya (malaikat) dan diakses secara khusus oleh orang-

orang pilihan yang disebut sebagai nabi atau rasul (meskipun kedua istilah ini

sebenarnya berbeda, namun sementara ini dianggap sama).

Wahyu (dengan W besar) difirmankan untuk menjawab beberapa

permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam tanda-tanda Tuhan yang

terbentang, untuk memotivasi manusia agar makin detil dalam membaca dan

memahami alam yang terbentang, sehingga ia bisa memperoleh makna dari setiap

fenomena yang dialaminya. Tidak hanya itu, Wahyu difirmankan juga untuk

11
memperpendek proses pembacaan terhadap alam (wahyu yang terbentang).

Apabila manusia dieri kesempatan untuk membaca dan memahami alam dengan

segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan membutuhkan

waktu yang lama untuk mencapai jawaban final. Namun berkat Wahyu, proses

yang panjang dan yang berliku tersebut dapat disingkat sedemikian rupa sehingga

manusia tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan jawaban final kehidupan.

Islam telah membeli kontribusi yang amat signifikan bagi keindonesiaa dan

perabadan, baik dalam bentuk nilai-nilai maupun bengunan fisik. Islam Indonesia

ternyata tidak kalah penting dibandingkan dengan islam di Timur Tengah.

Fazhlurrahman bahkan mengatakan bahwa islam indonesia merupakan corak

islam masa depan. Sepak masa Wali Songo, silam di indonesia memiliki dua

model diatas. Kelompok formalis lebih mengutamakan aspek fisik dan poltik

kenegaraan, sedangkan kelompok esensialis memprioritaskan aspek nilai dan

kultur dalam berdakwah. Di era kemerdekaan sampai dengan era pascareformasi,

polemik antara kedua model keberagaman ini masih tetap ada. Coba anda telusuri

lebih lanjut kedua model diatas sejak masa kemerdekaan sampai pascareformasi,

lalu kenali karakteristik masing-masing model diatas.

Tuntutan modernitas dan globalisasi menuntut model pemahaman agama yang

saintifik, yang secara serius memperlihatkan berbagai pendekatan. Pendekatan

islam monodisiplin tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan zaman yang

dihadapi umat islam di berbagai tempat. Agar diperoleh pemahaman islam yang

saintifik diatas diperlukan pembacaan teks-teks agama (baca:Al Quran, Al Hadist,

dan turats) meminta maaf dan memaafkan adalah ajaran islam yang universal,

diJawa pemohonan maaf si anak kepada orang tua diekspresikan dengan

12
‘sungkem’ sedangkan komunitas Betawi tentunya tradisi tersebut tidak dikenal.

Uraian diatas menunjukkan bahwa ekspresi tentang islam tidak bisa tunggal. Hal

itu dikarenakan islam tidak lahir diruang hampa sejarah. Tabiat, karakter, tradisi,

budaya, lingkungan, dan lain-lain menjadi penentu dan pembeda corak berfikir,

cara bersikap, dan bentuk ekspresi seseorang, bahkan masyarakat. Islam

mengajarkan untuk bertutur kata halus dan penuh makna. Ini tidak berarti orang

Batak atau orang Arab harus berbicara dengan nada lembut seperti orang Jawa.

A. Corak Keberagaman Masyarakat Muslim Indonesia Sebagai Wujud Kekayaan

Alam Nusantara

Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal,

maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia

merdeka pada tahun 1945.

Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas

nasional.

1. Corak islam di Aceh

Pembangunan masjid di Bali sejak abad XIV hingga sekarang mengalami

akulturasi dengan unsur arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan.

Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid

menjadikan tempat suci umat Islam di Bali tampak berbeda dengan bangunan

masjid di Jawa maupun daerah lainnya di indonesia

13
Pemeluk agama Islam di Aceh merupakan mayoritas, dibandingkan

dengan agama-agama lain. Salah satu contoh corak keberagamaan masyarakat

muslim di Aceh terlihat dari Parlemen Aceh yang akhirnya mengesahkan Qanun

Hukum Jinayah sebagai pedoman baru pelaksanaan syariat Islam. Penerapan

hukum Islam berupa cambuk dan denda emas bagi pelanggar syariat, termasuk

non-muslim dan anak-anak, segera berlaku di provinsi itu. Peraturan tersebut tentu

berbeda dengan peraturan yang ada di provinsi selain Aceh.

Dengan disahkannya Qanun Hukum Jinayah, maka di Aceh akan berlaku

hukuman cambuk atau denda dengan bayar emas murni bagi pelaku pemerkosaan,

perzinaan, pelecehan seksual, praktik gay, lesbian, mesum, perjudian,

mengonsumsi minum keras dan bermesraan dengan pasangan bukan

muhrim. Bukan hanya pelaku, orang yang ikut menceritakan ulang perbuatan atau

pengakuan pelaku jarimah secara langsung atau melalui media juga dikenakan

hukuman cambuk.

14
            Sanksi cambuk bukan hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam.

Warga non-muslim, anak-anak dan badan usaha yang menjalankan bisnisnya di

Aceh, jika melakukan pelanggaran syariat, juga akan dikenakan hukuman dalam

qanun ini. Hanya saja bagi non-muslim diberi kelonggaran yakni bisa memilih

apakah diproses dengan qanun atau hukum nasional yang berlaku.

Selain itu corak keberagamaan muslim di aceh terlihat dari tradisi orang

Aceh yang menganggap musholla lebih signifikan dibandingkan dengan masjid.

Menurut Andrew Beatty, karena hidup berkeluarga adalah arena utama dari

kehidupan social dan bidang di mana tindakan moral dibentuk dan dinilai, maka

musholla memiliki arti penting praktis yang lebih besar. Sebuah desa di Aceh

dapat bertahan tanpa masjid karena shalat Jumat dilakukan di sebuah mesjid

kemukiman. Tetapi tanpa mushalla (Meunasah), maka kesalehan akan terhenti

menjadi patokan normatik: kewajiban skriptual tetap kewajiban, tetapi solidaritas

sesame muslim akan memudar.

2. Corak Islam di Sidodadi

Sidodadi merupakan salah satu gampong yang ada di kecamatan Simoang

Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, Indonesia. Kenyataannya muslim

15
Sidodadi memang memiliki sebutan tersendiri terkait orientasikeagamaan mereka,

yakni orang Sunnah dan orang Yasin.

§  Istilah orang Sunnah terkadang digunakan secara bertukaran dengan istilah orang

Pengajian

§  istilah orang Yasin juga digunakan bertukaran dengan orang Perwiridan (muslim

tradisionalis

Perbedaan

Orang Sunnah Orang Yasin

Tidak menyelenggarakan tahlil Secara berkala membaca tahlil bersama,

termasuk tahlil untuk orang meninggal

Seorang muslim tidak membungkukkan Mentradisikan orang lebih muda

badan sedikitpun saat bersalaman mencium tangan orang lebih tua.

Bersalam-salaman tidak harus Melakukan salaman setelah shalat

dilakukan setelah selesai shalat

Kontestasi kesalehan antara kedua kelompok berlangsung dinamis, dalam

beberapa kasus memunculkan ketegangan sosial dan rekonsiliasi antara kedua

belah pihak.

·       Orang Yasin misalnya mendukung tradisi pesejeuk (kenduri) saat mendirikan

rumah, baca yasin bersama, tahlilan, membacakan talkin untuk mayat yang

barudikuburkan, sampai dengan pementasan orgen tunggal dalam acara resepsi

pernikahan.

16
·       Orang Sunnah menentang semua tradisi tersebut karena tidak ditemukanlandasan

hukumnya dalam al-Qur'an dan hadist. Tradisi baca yasin bersama menurutorang

sunnah sama bid'ahnya dengan pementasan orgen tunggal saat resepsi pernikahan.

Meskipun orientasi keberagamaan orang Sunnah berbeda dari orang Yasin,

keduanya masih tetap berpijak pada landasan yang sama. Al-Quran dan hadis

tetap dijadikan acuan utama dalam membangun otoritas kehidupan agama.

Definisi serta wilayah cakupan agama juga diturunkan oleh keduanya melalui dua

sumber ajaran Islam ini. Tetapi masing-masing pihak ingin merealisasikan ideal

yang terkandung dalam teks suci ke dalam kehidupan nyata dalam versinya

masing-masing. Kedua belah pihak menempuh jalan yang berbeda dalam

menghampiri Islam.

2.4 Menanyakan Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan

Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi dinamika dan struktur

sosial masyarakat, yaitu agama dan budaya lokal. Dalam masyarakat Indonesia,

dua hal tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk karakter dan

perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai”jati diri” orang Indonesia.

Karakter tersebut mewarnai hampir semua aspek sosial masyarakat Indonesia baik

secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.

Agama diyakini memiliki nilai-nilai transenden sehingga sering dipahami

sebagai satu dogma yang kaku. Namun, nilai-nilai budaya relatif dipandang lebih

fleksibel sesuai kesepakatan-kesepakatan komunitas untuk dijadikan sebagai

standar normatif. Karena adanya perbedaan karakter agama dan budaya itulah

maka sering kali nilai-nilai agama dipertentangkan dengan nilai-nilai budaya lokal

yang sebenarnya teah mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Waktu masuknya

17
Islam ke Indonesia (Nusantara) masih diperdebatkan. Ada yang berpendapat

bahwa sejak sebelum hijrah telah ada orang Arab yang tinggal di kepulauan ini.

Lalu pada abad ke-13 muncullah untuk pertama kali sebuah komunitas Islam, ang

selanjutnya mengalami perkembangan pesat pada abad ke-15. Pada abad

ke-17/ke-18 bahkan mayoritas penduduk Jawa da Sumatera telah memeluk Islam.

Mulanya Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang dari Gujarat dan Malabar

India. Lalu belakangan masuk pula pedagang dan dai-dai Islam dari Hadramaut,

disamping saudagar-saudagar Islam dari Cina. Islam disebarkan dengan cara-cara

damai dengan aliansi politik dan pembiaran terhadap budaya-budaya lokal yang

sudah ada sebelumnya, selama sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur

budaya lokal non-islam (Arab) bahkan melekat dalam karakter, pemikiran, dan

praktik keagamaan umat Islam sufistik yang memang memiliki karakteristik

terbuka, damai, dan ramah terhadap perbedaan.

Model akulturasi budaya lokal dengan Islam ini sering dianggap sebagai

penyebab munculnya karakter Islam abngan di kalangan mayarakat Jawa. Sebagai

orang bahkan menilai bahwa para Wali Songo sebagai ikon dai-dai awal islam di

Indonesia dianggap belum berhasil sepenhnya untuk mengislamkan Jawa.

Beberapa bukti disodorkan untuk memperkuat tesis tersebut , diantarana paham

sinkretisme yang tampak masi dominan dikalangan masyarakat Jawa. Walaupun

bagi pihal yang mendukung metde dakwah Wali Songo di ats, praktik-praktik

yang sering dituduh sebagai sinkretisme tersebut bukan sepenuhnya amalan yang

bertentangan dengan Islam dan dapat siperjelaskamelalui perspektif mistiisme

Islam.

18
2.5 Menggali Sumber Historis

1. Indonesia Sebagai Modal Dasar

Indonesia sebenarnya merupakan bangsa yang pada dasarnya telah

berhasil menahan gejolak kekerasan yang terjadi atas nama agama tersebut.

Indonesia memiliki kebudayaan adiluhung, di mana itu merupakan sebuah ruang

dialog bagi adanya hal-hal keberbedaan. Ini dapat dilihat, dari falsasah

keberbangsaan yang berbunyi, bhineka tunggal ika. Bukankah slogan itu

merupakan hasil galian para  founding father bangsa Indonesia dari khazanah

kebudayaan yang ada. Artinya, secara historis, Indonesia merupakan bangsa yang

mempu menyeleseikan keberbedaan itu secara harmonis. Jadi, kekuatan

harmonisasi keberagaman di Indonesia itu melalui ruang budaya.

Dapat pula dijumpai dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara ini melalui

jalur kebudayaan. Hasilnya, Islam menyebar tidak lewat konflik. Malah, pada

gilirannya Islam dijalankan dengan formulasi baru yang khas Indonesia. Inilah

yang disebut dengan gagasan pribumisasi Islam. Di mana islam didialogkan

dengan konteks kebudayaan Indonesia. Maka, jadilah format Islam-Indonesia.

Pada sisi yang lain, para pelaku tindak kekerasan atas nama agama tidak terlihat

sebagai kelompok yang mengakomodir budaya lokal asli Indonesia. Alih-alih,

dalam pandangannya, berbagai budaya asal Indonesia dinilainya sebagai sesuatu

yang tahayul, khurafat, bid’ah, klenik, dsb.

Maka dari itu, tulisan ini dapat dipahami sebagai upaya menengok kembali relasi

agama dan kebudayaan dalam menciptakan format keberagamaan di Indonesia

yang tanpa kekerasan, sebagimana halnya kerap terjadi pada fenomena

keberagamaan di masyarakat modern.

19
2. Menawarkan Gagasan Pribumisasi Islam

KH. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus

Dur, telah berupaya menjawab tantangan itu sejak tahun 1980 yang lalu, lewat

konsepsi pemikirannya mengenai “Pribumisasi Islam”. Melalui gagasannya ini,

Gus Dur merespon secara intens dengan mengajukan alternatif antitesa sebagai

penyelesaian atau mungkin juga ‘wacana counter’ terhadap gejala keagamaan

masyarakat modern yang kering, paradoks, ahistoris, eksklusif, dlsb. sebagaimana

yang telah diuraikan di atas.

Ia masih melirik akan pentingnya tradisi, kebudayaan lokal Indonesia.

Karena itu, yang ditawarkan adalah lokalisasi Islam, bukannya artikulasi dari

keislaman yang harus serba seragam, apalagi serba arab. Dia seolah yakin bahwa

Islam akan lebih mudah dihayati oleh masyarakat mad’u (objek dakwah), apabila

para da’i atau muballigh (penyebar agama) terlebih dahulu memperhatikan

kebudayaan setempat pada saat Islam disebar dan ditafsirkan ulang. Keberislaman

yang disampaikan dengan cara seperti ini akan lebih mampu mengakomodir cipta,

rasa, dan karsa para pemeluknya, sesuai dengan penghayatan budayanya yang

sudah terjadi selama berabad-abad.

Ide “Islam Pribumi” lahir untuk melawan gagasan otentifikasi Islam, yang

tidak jarang mengarah pada fundamentalisme keberagamaan. “Islam Pribumi”

meyakini tiga sifat, yaitu: sifat kontekstual, Islam dipahami sebagai ajaran

mengalami perubahan dan dinamika dalam merespon perubahan zaman. Kedua,

Islam dipahami sebagai agama yang progresif, kemajuan zaman bukan dipahami

sebagai ancaman penyimpangan terhadap ajaran Islam melainkan sebagai pemicu

untuk melakukan respon kreatif secara intens. Ketiga, “Islam Pribumi” memiliki

20
karakter membebaskan, yaitu ajaran yang mampu menjawab problem-problem

kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnis [14].

Gagasan “Pribumisasi Islam” benar-benar merangsang perlunya negosiasi dan

akulturasi antara agama, tradisi, lokalitas, dan kemodernan sekaligus. Karena itu,

keberislaman dipahami bukan hanya ritualisme, tetapi lebih dari itu. Akomodasi

tradisi dan kultur lokal melakukan “penafsiran silang”  yang saling menghargai

dan menyempurnakan. Keberislaman ditafsirkan untuk kerja kemanusiaan,

kemaslahatan, kesetaraan, dan keadaban [15] .

Karena itu Gus Dur dengan konsep “Pribumisasi Islam”nya tidak

sependapat kalau proses Islamisasi di Indonesia diarahkan pada proses Arabisasi.

Sebab, itu hanya akan membuat tercerabutnya masyarakat Indonesia dari akar

budayanya sendiri. Namun, “Prubumisasi Islam”, menurut Gus Dur, bukan

jawanisasi dan sinkritisme. Sebab, “Pribumisasi Islam” hanya mempertimbangkan

kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah

hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma demi budaya. Tetapi agar

norma-norma itu menampung kebutuhan dari budaya, dengan menggunakan

peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash (ketentuan) dengan tetap

memberikan peranan kepada ushul fiqih dan kaidah fiqih.

“Pribumisasi Islam” yang digagas Gus Dur pada akhir tahun 80-an itu

menggambarkan bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari

Tuhan diakomodasikan ke dalam budaya yang berasal dari manusia tanpa

kehilangan identitasnya masing-masing. “Pribumi Islam” menjadikan agama dan

budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar

keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta

21
berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama

dan budaya [16]. Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan antara agama dan

budaya. “Pribumisasi Islam” memberikan peluang bagi keanekaragaman

interpretasi dalam kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-

beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan

majemuk. Tidak lagi ada anggapan bahwa Islam yang di Timur-Tengah sebagai

Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami

historisitas yang terus berlanjut.

“Pribumisasi Islam” sesunggguhnya mengambil semangat yang telah

diajarkan walisongo dalam dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad ke-15

dan ke-16 di pulau Jawa. Dalam hal ini walisongo telah berhasil memasukan nilai-

nilai lokal dalam Islam yang khas indonesia. Kreatifitas walisongo ini melahirkan

gagasan baru nalar Islam Indonesia yang tidak harfiah meniru Islam di Arab.

Tidak ada nalar Arabisasi  yang melekat dalam penyebaran Islam awal di

Nusantara. Walisongo mengakomodasikan Islam sebagai ajaran agama yang

mengalami historisasi dengan kebudayaan.

Sejarah terus berulang menjadi kesadaran-kesadaran baru. Pada era 1990-

an kritik terhadap model keberagamaan umat yang masih bercorak puritan

kembali menguat. Kiri Islam-nya Hassan Hanafi, dan gagasan post-

tradisionalisme Islam yang mengambil jalan pemikiran Muhammad Abed al-

Jabiri, Mohammad Arqoun, Nashr Hamid Abu Zayd, dan Muhammad Shahrur

telah menjadi rujukan utama dari kelompok Islam tradisional untuk melakukan

kritik nalar Islam, sekaligus menjadikan tradisi sebagai jembatan emas menuju

pemikiran Islam yang membebaskan. Pada gilirannya, usaha-usaha ini melahirkan

22
gagasan “Islam Pribumi” sebagai kelanjutan dari pemikiran-pemikiran Islam yang

telah berkembang dalam denyut nadi perubahan [17].

Charley H. Dood yang mengungkapkan bahwa komunikasi antar budaya

meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,

antar pribadi, antar kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang

kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. (Liliweri,

2003: 12).

Sampai di sini, “Pribumisasi Islam” dipahami menjadi sebuah kebutuhan

praksis (berupa keterampilan pada proses komunikasi/ dakwah/ tabligh antar

budaya), sekaligus sebagai kebutuhan paradigmatik pemikiran (berupa

kontekstualisasi paham keislaman untuk historisitas ruang dan waktu yang

berbeda, di mana syariah didialogkan dengan berbagai konteks yang

melingkupinya). Penulis merasa akan pentingnya konsep “Pribumisasi Islam” ini.

Sebab, konsepsi “Pribumisasi Islam” sepertinya akan sangat membantu bagi

berkembangnya pemahaman Islam yang pantas untuk diterapkan dalam konteks

Indonesia maupun keindonesiaan itu sendiri. Dari situ, membangun masyarakat

yang religius juga kultural akan lebih mudah terwujud, tanpa kehilangan

kebinekaannya, tetap harmonis, toleran dan menganut pluralisme yang dewasa.

3. Menggali Sumber Sosiologis

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di

dunia. Fenomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari jasa para dai muslim

sepanjang sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mereka berasal dari Arab, Persia,

India bahkan dari Cina. Kedatangan mereka ke Indonesia tidak saja untuk

23
memeperkenalkan Islam, tetapi juga dengan membawa seperangkat keilmuan

Islam yang sudah mengalami proses pengembangan di tanah asalnya, Timur

Tengah. Sebelum Islam datang, penduduk Indonesia (baca. Nusantara) telah

menganut agama, baik yang masih primitif seperti animisme-dinamisme maupun

yang sudah berbentuk agama formal seperti Hindu atau Buddha. Namun

demikian, berdasarkan catatan sejarah yang ada, kedatangan Islam tidak disertai

dengan konflik sosial-keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan islamisasi

generasi awal setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor strategi dakwah

dan faktor daya tarik ajaran Islam itu sendiri. Gerakan Wahabi ternyata berimbas

ke Indonesia. Jika pada masa lampau, kaum Paderi di Sumatera Barat yang

menjadi agennya, dan juga Muhammadiyah, maka pada era sekarang ini,

pengimpor utama paham Wahabi adalah kelompok Salafiyun.

Secara sosiologis, potret Islam Indonesia sangat toleran dengan tradisi dan

komunitas lain yang berbeda keyakinan, menerima Bhineka Tunggal Ika. Islam

Indonesia menghargai pluralitas etnis, agama dan gender. Membela kaum

minoritas, kaum mustad’afin, dan kaum terpinggirkan lainnya. Islam Indonesia

sangat memahami sosio-kultural kebangsaan, ketimbang memaksakan

normatifitas teks yang verbalisitik. Dalam masalah praktik sosial kemasyarakatan,

Islam Indonesia bisa menerima Pancasila sebagai Dasar Negara guna

memersatukan segenap entitas bangsa Indonesia. NKRI sudah final bagi Islam

Indonesia. Peningkatan Sumberdaya Manusia dan kedisiplinan yang perlu

ditingkatkan, punctuality (ketepatan),keteraturan, social justice, pengorganisasian,

kepekaan sosial, etos kerja, kompetisi positif, sportivitas, komitmen, trust, dan

lain-lain.

24
Islam Indonesia juga inhern dengan nasionalisme. Bahkan NU sebagai

cerminan Islam Indonesia terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan dari

penjajahan dan delegasinya KH.Wahid Hasyim, menjadi tokoh kunci

terbangunnya bangsa Indonesia, ketika terjadi perdebatan apakah negara

Indonesia akan berlandaskan Pancasila atau Islam. Ketika sekelompok delegasi

dari Islam Modernis menginginkan negara Islam, dan Soekarno yang ingin

Pancasila. Ketika perdebatan menegang, tiba-tiba warga di Indonesia Timur

bermaksud merdeka ketika Indonesia menjadikan Islam sebagai dasar negara. KH.

Wahid Hasyim, selaku anggota perumus dari NU, pulang ke rumah menemui KH,

Hasyim Asy’ari, dan hasilnya diterima Pancasila sebagai dasar negara demi

utuhnya NKRI yang baru didirikan. Kelompok Islam Modernis walau jengkel

dengan sikap tersebut tetapi tidak bisa berbuat banyak karena yang akhirnya bisa

menegangkan perdebatan dasar negara.

Dari kejadian itu, ditemukanlah bagaimana komunitas NU mendefinisikan

kekuasaan, negara dan bangsa. Betapa nasionalisme NU sudah terbukti. Bahkan,

pada Muktamar NU tahun 1938 di Menes, Banten, ada dua pertanyaan searah

yang jawabannya saling kontradiksi. Pertanyaan pertama adalah, bahwa penjajah

Belanda menawari NU untuk masuk menjadi anggota Volskraad, dengan itu maka

NU akan menjadi bagian dari struktur kekuasaan dan pemerintahan Belanda di

Hindia-Belanda. Namun ketika diadakan voting, hasilnya 54 menolak dan 4 setuju

masuk Volksraad. Jadi NU menolak masuk lembaga perwakilan rakyat versi

penjajah itu. Pertanyaan kedua adalah, apakah Hindia-Belanda wajib

dipertahankan dari serangan luar? Jawabannya adalah wajib karena Hindia-

Belanda, menurut hasil Muktamar itu, merupakan dar al-islam (bukan daulah

25
Islam). Yaitu, kawasan yang mayoritas penduduknya pemeluk Islam, pernah

dikuasai kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam tidak dibatasi dan dilarang untuk

menjalankan ibadahnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa, keikutsertaan NU

dalam Volksraad adalah masalah politik dan kekuasaan, oleh karena itu bisa

ditolak dan bisa juga diterima seandainya hasil voting itu menghasilkan

sebaliknya. Tetapi masalah kawasan Hindia-Blanda adalah masalah negara dan

bangsa, karena itu harus dipertahankan dengan basis argumen Islam. Dalam

konteks inilah bisa dipahami ketika KH Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar

PBNU mengeluarkan fatwa “resolusi jihad” pada Oktober 1945 yang mewajibkan

kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia sebagai wajib ‘ain dalam jarak

tertentu dari Surabaya yang sedang berperang untuk mempertahankan

kemerdekaan seiring dengan masuknya tentara seklutu (NICA) yang diboncengi

Belanda. Masuknya tentara sekutu tersebut tentu membahayakan Indonia yang

baru belum ada dua bulan merdeka. Maka terjadilah Perang 10 Nopember 1945 di

Surabaya.

Dari uraian tersebut, jelaslah NU sebagai bagian penting dari Islam

Indonesia sudah mampu membangun definisi hubungan agama, bangsa dan

negara dalam Islam Indonesia yang kosmopolit. Dari catatan ini pula adanya

keterkaitan erat antara berdirinya NU dan proses terbangunnya negara-bangsa

Indonesia. Di era Gus Dur, Islam Indonesia juga mampu menyeimbangkan

ketegangan antara pemerintah rakyat, militer – sipil, mayoritas – minoritas. Islam

Indonesia juga sangat perhatian dengan isu-isu demokrasi, HAM, gender,

kemiskinan, ekonomi neo-liberal, civil society, advokasi, misalnya, yang sudah

dikembangkan oleh NU sejak masa otoritarianisme Orde Baru, yang waktu itu

26
gerakannya bahkan dilakukan secara “undergorund.” Topik-topik tersebut tidak

hanya menjadi gerakan pemikiran tetapi juga gerakan praktis. Demikian juga

dengan masalah hak-hak perempuan, korupsi, dan hak-hak minoritas muncul

menjadi pergulatan intensif saat ini, sehubungan dengan kian derasnya arus

fundamentalisme yang anti kesetaraan perempuan dan anti pluralisme dan

multikulturalisme serta maraknya korupsi sejak Orde Baru. Dengan kata lain,

evolusi pemikiran Islam Indonesia akan terus mengikuti arus perkembangan

bangsa Indonesia itu sendiri. Sejumlah isu juga sedang diyang belum terangkum

dalam disertasi ini, misalnya, gerakan tentang pertanian, lingkungan, pengelolaan

seumber daya alam dan tradisi lokal. Semua ini menanti sebuah karya lanjutan

berikutnya.

4. Menggali Sumber Teologis dan Filosofis

Secara filosofis pribumisasi Islam didasari oleh paradigma sufistik tentang

substansi keberagaman. Dalam paradigma sufistik, agama memiliki dua wajah

yaitu aspek esoteris (aspek dalam) dan aspek eksoterik (aspek luar). Dalam tataran

esoteris, semua agama adalah sama karena ia berasal dari Tuhan Yang Tunggal.

Dalam pandangan sufistik, bahkan dikatakan semua yang maujud di alam ini pada

hakikatnya berasal dari Wujud Yang Satu (Tuhan Yang Maha Esa). Alam ciptaan

dengan pluralitas manifestasinya pada hakikatnya diikat oleh sebuah kebenaran

universal yang berasal dari Sang Pencipta Yang Tunggal. Perbedaan maujud

dalam ciptaan Tuhan semuanya dibingkai dalam keesaan wujud. Tuhanlah satu-

satunya wujud (la wujud illa Allah). Perbedaan hanya tampak pada aspek

eksoterik, yaitu unsur lahir dan amalan kasat mata saja. Sejalan dengan

pemahaman ini, maka substansi keagamaan adalah satu, cara manusia dapat

27
menyembah (tunduk, patuh, dan berserah diri) kepada Tuhan sebagai kebenaran

universal. Adapun ekspresi keberagaman atau aksentuasi paham keagamaan pasti

berbeda-beda karena perbedaan kebutuhan dan tuntutan fisik dan materi yang

berbeda pula.

Secara teologis, tauhid bukan sekedar pengakuan atau persaksian bahwa

tiada illah selain Allah, tapi pemaknaan terhadap tauhid melampaui dari sekedar

pengakuan atas eksistensinya yang tunggal. Jika kita tarik pemaknaan tauhid

dalam ranah realitas ciptaan (makhluk), maka tauhid berarti pengakuan akan

pluralitas atas selain Dia (makhluk-Nya). Hanya Dia yang tunggal, dan selain Dia

adalah plural. Al-Qur’an juga mengemukakan, bahwa Allah menakdirkan

pluralitas sebagai karakteristik makhluk ciptaan-Nya. Tuhan tidak menakdirkan

pluralitas dalam ciptaan untuk mendorong ketidakharmonisan dan perang.

Pluralitas sekaligus menjadi bukti relativitas makhluk.

5. Membangun Argumen tentang Urgensi Pribumisasi Islam

Secara bahasa, Urgensi berasal dari bahasa Latin yaitu “urgere” yang

berarti mendorong. Adapun secara istilah, Urgensi yaitu menunjuk pada sesuatu

yang mendorong kita, yang memaksa kita untuk menyelesaikan suatu hal. Urgensi

dapat diartikan yaitu pentingnya. Sebagai contoh, urgensi kepemimpinan berarti

pentingnya kepemimpinan.

Pribumisasi Islam adalah rekonsilasi antar budaya dan agama. Rekonsilasi

ini menuntut umat Islam memahami wahyu dengan mempertimbangkan faktor-

faktor kontekstual termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya.

28
Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran

yang normatif berasal dari Tuhan yang diakomodasikan ke dalam kebudayaan

yang berasal dari manusia tanpa kehilangan kemurnian dari Islam itu sendiri.

Gagasan Pribumisasi Islam secara geneologis dicetuskan pertama kali oleh

Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut Gus Dur) pada tahun 1980-an kultur

setempat. “sumber Islam adalh wahyu yang mempunyai norma-norma sendiri,

karena sifatnya permanen. Menurut Gus Dur, Pribumisasi Islam adalah suatu

pemahaman islam yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam

merumuskan hukum-hukum negara. Sejak itu, Islam pribumi menjadi perdebatan

menarik dalam lingkungan para intelektual. Tujuan gagasan pribumisasi Islam

adalah agar terjadinya dialog Islam dan kebudayaan sehingga keduanya dapat

saling menerima dan memberi.

Menurut Gus Dur, metodologi pribumisasi Islam sesungguhnya sederhana,

yakni dengan ushul fiqh dan qaidah fiqhiyah seperti al-‘adah muhakkamah (adat

istiadat bias menjadi hukum) dan al-muhafazatu bi qadimis ash-shalih wal-ahdzu

bil jadid al-ashlah (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang

lebih baik).

Pribumisasi Islam ini sangat berbeda dengan pola atau cara berislam yang

sangat berorientasi pada purifikasi atau pemurnian yang mempunyai hasrat kuat

pada keaslian dan masa lalu. Pribumisasi islam tidak berorientasi pad masa lalu,

namun berpijak pada tradisi, kelokalan dan kekinian. Proses panjang penjumlahan

Islam dengan budaya lokal di nusantara juga telah melahirkan beragam ekspresi

kebudayaan yang khas nusantara seperti arsitektur bangunan,tari, dan perayaan

keagamaan, yang bagi sebagian orang kemudian dituduh sebagai bid’ah. Dengan

29
proses semacam itu Islam tidak hadir sebagai pemberangus budaya lokal. Islam

hadir di nusantara yang saat itu sudah merupakan peradaban dengan khazanah dan

keragaman yang begitu kaya. Semua itu tidak dibumihanguskan atau dilenyapkian

sebagaimana Rasulullah yang juga tidak lantas melenyapkan budaya lokal Arab.

Proses pribumisasi islam semacam itulah yang kemudian membentuk pola

atau corak Islam Nusantara. Sebuah corak keberislaman yang moderat, damai,

ramah, dan terbuka. Singkatnya, pribumisasi islam adalah caranya, Islam

Nusantara adalah buahnya.

Dalam ranah tafsir, ungkapan yang mirip pernah di perkenalkan oleh

Quraish Shihab. Ungkapan yang dimaksud adalah “Membumikan Al-Qur’an”.

Orientasi penafsiran untuk masalah-masalah kemanusiaan seperti kemiskinan,

penyakit masyarakat, bencana alam, misalnya lebih membumib daripada orientasi

penafsiran tentang bahasa al-Qur’an, kisah daam A-Qur’an, perdebatan teologis,

dan lain sebagainya. Orientasi yang terakhir memang mewarnai secara dominan

produk-produk tafsir klasik. Proyek pembumian Al-Qur’an seperti ini

sesungguhnya sudah digagas pertama kali oleh tokoh pembaharu dari mesir,

Muhammad Abdulh (1849-1905).

Dengan demikian, ada dua molekul pribumisasi Isalm dalam tataran

ontologis jika melihat gagasan kedua orang diatas. Jika Quraish Shihab

menekankan tataran orientasi atau penekanan penafsiran Al-Qur’an/Islam,

sedangkan Gus Dur lebih menelisik pada tataran kontruks ajaran Islam itu sendiri.

Pribumi islam model pertama nampaknya tidak mendapat kendala otokritik dari

kalangan umat Islam. Kita memang sepakat bahwa tidak semua gagasan

penafsiran terhadap Islam yang diproduksi oleh ulama-ulama klasik relevan

30
dengan konteks Indonesia Kekinian. Oleh karena itu, harus ada ikhtiar untuk

menggagas produk-produk pemahaman baru terhadap Al-Qur’an/Islam dalam

konteks solusi terhadap problem-problem kemanusiaan, sehingga Islam terasa

membumi.

Dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran

normatif yang bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang

berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing, sehingga tidak

ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan

masyarakat Muslim di Timur Tengah. Bukankah arabisme atau proses

mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti mencabut akar budaya

kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya

perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, tetapi justru agar budaya

tersebut tidak hilang. Inti dari pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk

menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian

memang tidak terhindarkan.

Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling

mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi

mengambil bentuk autentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan

yang selama ini melintas antara agama dan budaya. Islam Pribumi justru memberi

keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap

wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian Islam tidak lagi dipandang secara

tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak lagi ada anggapan Islam yang di Timur

Tengah sebagai Islam yang murni dan yang paling benar, karena Islam sebagai

agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.

31
Sebagai contoh, dapat dilihat dari praktik ritual dalam budaya populer di

Indonesia sebagaimana yang digambarkan oleh Kuntowijoyo, menunjukkan

perkawinan antara Islam dengan budaya lokal cukup erat. Upacara Pangiwahan di

Jawa Barat sebagai salah satunya dimaksudkan agar manusia dapat menjadi

wiwoho yang mulia. Berangkat dari pemahaman ini, masyarakat harus

memuliakan kelahiran, kematian, perkawinan, dan lain sebagainya. Semua ritual

ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia.

Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur

Islam yang memandang manusia sebagai makhluk yang mulia.

Islam pribumi yang telah dicetuskan Gus Dur ini sesungguhnya

mengambil semangat yang telah diajarkan oleh Wali Songo dalam dakwahnya ke

wilayah Nusantara sekitar abad 15 dan 16 M di pulau Jawa. Dalam hal ini, Wali

Songo telah berhasil memasukkan nilai-nilai lokal dalam Islam yang khas

keindonesiaan. Kreatifitas Wali Songo ini melahirkan gugusan baru bagi nalar

Islam yang tidak harfiyah meniru Islam di Arab. Tidak ada nalar arabisme yang

melekat dalam penyebaran Islam awal di Nusantara. Para Wali Songo justru

mengakomodir dalam Islam sebagai ajaran agama yang mengalami historisasi

dengan kebudayaan. Misalnya ytang dilakukan sunan Bonang dengan mengubah

gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu menjadi bernuansa

dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan trascendental. Tombo Ati salah

satu karya Sunan Bonang dalam pentas perwayangan, Sunan Bonang mengubah

lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.

Pribumisasi Islam juga bukan pembaharuan, karena pembaharuan berarti

hilangnya sifat asli agama, sementara Gus Dur menginginkan agar islam tetap

32
pada sifat Islamnya. Misalnya, Al-Qur’an harus tetap dalam berbahasa Arab

terutama dalam hal sholat, sebab hal itu merupakan norma. Adapun terjemahan

Al-Qur’an bukan menggantikan Al-Qur’an, melainkan sekedar untuk

mempermudah pemahaman tehadap sholat.

Kontekstualisasi Islam

Islam Pribumi memiliki sifat-sifat berikut:

1. Islam Pribumi bersifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang

terkait dengan konteks zaman dan tempat.

2. Islam Pribumi bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami

sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama

(Islam), tetapi didliaht sebagai pemicu untuk melakukan respon kreatif secara

intens.

3. Islam Pribumi bersifat karakter bebas, yakni Islam menjadi ajaran yang dapat

menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa nmelihat

perbedaan agama dan etnik.

6. Mendeskripsikan dan Mengkomunikasikan Pribumisasi Islam sebagai

Upaya Membumikan Islam di Indonesia

Belakangan ini muncul tawaran hermeneutika agar dapat dilakukan proses

kontekstualisasi atau pribumisasi Islam di Indonesia khususnya dan di seluruh

penjuru dunia umumnya. Tawara hermeneutika meliputi tiga metode pembacaan

terhadap teks-teks keagamaan. Pertama adalah “pembacaan historisis”, yaitu

33
upaya untuk merekonstruksi konteks psiko-sosio-historisis yang melingkupi

turunnya Al-Qur’an dan munculnya sunah sehingga diperoleh gambaran yang

utuh tentang situasi yang melatarbelakangi sebuah wacana keagamaan. Kedua

“pembacaan eiditik”, yaitu pengkajian secara mendalam teks-teks suci tersebut

dengan menerapkan prinsip kajian teks secara komprehensif. Dan ketiga adalah

“pembacaan praksis”, yaitu upaya mentransedenkan gagasan, nilai, dan prinsip

yang terdapt dalam teks suci untuk kemudian diproyeksikan dalam konteks waktu,

geografis, dan sosial-budaya saat ini.

Dinamika kehidupan yang semakin banter disertai perbedaan dan benturan

karena berbagai macam kepentingan dan persaingan, baik dalam kehidupan

pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu disertai dengan kesadaran

kebangsaan yang terpelihara baik. Sebab, kesadaran dan semangat kebangsaan

dapat tumbuh dengan baik apabila latar belakang sejarah bangsa dipahami denga

baik.

Arus perubahan linagkungan yang terus terjadi senantiasa memiliki aspek

positif dan negatif tanpa disertai pemahaman wawasan kebangsaan yang baik dan

benar, perubahan lingkungan akn sulit dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya

bagi kemajuan bangsa dan negara. Untuk itu, perjalanan sejarah bangsa dan nilai-

nilai dasar kebangsaan perlu tetap menjadi acuan dalam menyikapi perubahan

agar kita terus mampu membangun bangsa Indonesia sebagai bangsa besar dan

modern.

Pada konsep ukhuwah basyariyah, seseorang merasa saling bersaudara

satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia yang satu yang

menyebar di berbagai penjuru umat dunia. Dalam konteks ini, semua umat

34
manusia sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Hampir sama dengan

ukhuwah basyariyah juga tidak dibatasi oleh baju luar dan sekat-sekat primordial

seperti agama, suku, ras, bahasa, jenis kelamin, dan sebagainya.

Islam pribumi ini lahir dari sikap keterbukaan Islam dalam berdialog

dengan memanifestasikan diri kedalam budaya lokal Nusantara. Sebagai pijakan

dalam mengemukakan tawarannya, Gus Dur mencatat adanya dua kecenderungan

dalam menanifestasikan kebudayaan Islam ke dalam kebudayaan Nusantara.

Pertama, kecenderungan untuk formalisasi ajaran Islam dalam seluruh

manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua, kecenderungan untuk menjauhi sebisa

mungkin formalisasi ajaran Islam dalam manifestasi kebudayaan bangsa.

Kecenderungan pertama menurut Gus Dur berkeinginan untuk memanifestasikan

dimensi Islam ke dalam kehidupam sehari-hari agar kebudayaan Indonesia

diwarnai oleh ajaran Islam. Mereka memulainya dari persoalan bahasa seperti

ucapan salam “assalamu’alaikum” dijadikan ganti dari ucapan “Selamat Pagi”

hari kelahiran diganti dengan yaum al-milad, istilah sahabat diganti dengan

ikhwan dan sebagainya. Kecenderungan seperti ini pada akhirnya menghilangkan

budaya lokal yang dinilai tidak Islami. Mereka mencangkan budaya Islam sebagai

budaya alternatif. Menurut Gus Dur, sebagai ajaran normatif yang berasal dari

Tuhan Islam harus mengakomodasi kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa

kehilangan identitasnya. Tumpang tindih antar agama dan budaya itu menurut

Gus Dur akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya

kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Namun, perbedaan agama dan budaya

tidak menghalangi kemungkinan menifestasi kehidupan beragama dalam bentuk

budaya seperti penggunaan seni dalam mengekspresikan ritual keagamaan. Dalam

35
rangka menifestasi budaya Islam ke dalam budaya lokal itulah Gus Dur

menawarkan gagasan pribumisasi Islam.

Dengan kaidah itu, Gus Dur tidak berarti mengungkapkan bahwa adat

merubah norma-norma Islam, melainkan memanifestasi agama kedalam budaya

setempat, karena manifestasi norma Islam adalah bagian dari budaya, seperti

membangun masjid Demak. Mungkin saja, orang berdalil bahwa dalam tradisi

Islam, berpihak-pihak kominikator menggunakan ungkapan salam berbahasa Arab

“Assalamu’alaikum” walaupun mereka bukan orang Arab tetapi kenyataannya

pengertian salam kini mengalami pergesekan makna. Kalau dulu hanya sebatas

antar seseorang Islam, kini mulai melebar terutama jika diucapkan oleh pejabat di

dalam sebuah forum terbuka. Karena itu, maka ucapan salam sudah masuk ke

dalam ranah budaya. Dalam konteks budaya, ucapan “Assalamu’alaikum” sama

dengan ucapan Shobakhul Khoir yang biasa digunakan orang Arab ketika bertemu

atau “Selamat Pagi” untuk konteks Indonesia.

36
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT  kepada Nabi Muhammad

Saw sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh

manusia hingga akhir zaman. Kewajiban sebagai umat islam untuk membumikan

Islam sudah tertera dalam berbagai hadist dan Surat di Alquran. Banyak cara yang

dapat ditempuh dalam membumikan Islam di Indonesia. Kebangkitan atau

kemajuan umat Islam, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama sungguh sangat

bergantung pada sejauh mana mereka berpedoman dan berpegang teguh pada

petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, aturan-aturan, etika-etika dan norma-norma

yang mencakup segala aspek dan segi kehidupan manusia di mana pun.

37
DAFTAR PUSTAKA

http://www.gusdurian.net/id/article/kajian/Menimbang-Gagasan-Pribumisasi/

http://www.islammadani.net/kajian/dari-pribumisasi-islam-ke-islam-nusantara-

sebuah-tinjauan-kritis-1

Dody S Truna.dkk.2002.Pranata Islam Di Indonesia. Jakarta: Logos WacanaIlmu

Noer Derlier.1995.Gerakan Modern Islam Di Indonesia1900-1942. Jakata: PT

Pustaka LP3ES Indonesia

https://muslim.or.id/4703-keutamaan-menyebarkan-ilmu-agama.html

http:/mutiarahaticieka.blogspot.com/Pribumisasi-Islam

38

Anda mungkin juga menyukai