Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“ URGENSI ISLAM WASATHIYYAH DALAM MEMBANGUN UKHUWAH ANTAR UMAT


BERAGAMA DI INDONESIA ”

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila

Dosen Pengampu
Muhammad Ulul Albab Musaffa, Lc., M.H.

Disusun oleh :
Fathor Rosi (22103080079)
Syawaludin Hamdi (22103080066)
Muhammad Hanif Kamal (22103080054)
Mohammad Falaq Khomeini (22103080051)

HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bismillahirrahmanirrahim

Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT dzat yang menggenggam
jiwa manusia dan seluruh ilmu pengetahuan alam, sehingga atas rahmat dan ridho-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan semaksimal mungkin. Sholawat serta salam tetap kita curahkan kepada
junjungan nabi agung kita Nabi Muhammad SAW, semoga kita mendapat syafa'atnya kelak di yaumil
qiyamah. Aamiin ya robbal 'alamiin.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak M. Ulul Albab selaku dosen
pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah membantu serta mendukung dalam proses
pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya. Kami juga menyadari
bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua
pihak akan sangat membantu demi tercapainya hasil yang lebih baik untuk kedepannya.
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................................................. 2
Daftar Isi ...................................................................................................................................... 3
BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................................................ 4
A. Latar Belakang .................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 5
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................. 5
BAB II: PEMBAHASAN ............................................................................................................. 6
A. Konsep Islam Wasathiyyah dalam Al-Qur’an dan Hadits ................................................ 6
B. Urgensi Islam Wasathiyyah di Indonesia .............................................................. 8
C. Implementasi Nilai-Nilai dan Ajaran Islam Wasathiyyah di Indonesia….……....12
BAB III: PENUTUP ................................................................................................................... 16
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 16
Daftar Pustaka ............................................................................................................................ 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang besar dan majemuk, dimulai dari keberagaman suku, ras, adat
istiadat dan juga agama. Pada dasarnya kemajemukan tersebut adalah sebuah nilai yang indah bagi
Indonesia bila keragaman tersebut dapat membuat Indonesia damai dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia, masyarakatnya juga saling bahu membahu dalam memajukan Indonesia. Namun,
keragaman justru membuat sebuah Negara menjadi terpecah belah dikarenakan penduduknya terus
saling bertikai dalam perbedaan bahkan cendrung saling bunuh membunuh. Perpecahan diakibatkan
berbeda paham antara masyarakat sering terjadi dalam masalah agama, dimana seharunya agama
tersebut menjadi pedoman masyarakat.
Sebagai agama samawi terakhir yang diturunkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW,
Islam dipersepsikan sebagai agama yang memiliki prinsip-prinsip moderat dalam ajarannya, yang
sering dikenal dengan istilah wasathiyah. Dalam struktur ajarannya, Islam selalu memadukan kedua
titik ekstrimitas yang saling berlawanan. Sebagai contoh, ajaran Islam itu menjaga keseimbangan
antara ruh dan jasad, antara `aqal dan naql, antara ijtihad dan nash, antara dunia dan akhirat, antara
sarana dan tujuan, antara ushul dan furu`. 1
Wasathiyyah merupakan ciri khas agama Islam yang merupakan perpaduan dan penyatuan dari
konsep ta`adul, tawazun, dan tawassuth. Wasathiyah diharapkan menjadi media untuk menggapai
perdamaian dan merajut persatuan. Bersikap moderat dalam beragama bisa menjadikan umat
beragama lebih memahami hakikat hidup dan kebersamaan.
Moderasi beragama sangat dibutuhkan dalam konteks Indonesia pada dewasa ini untuk menjaga
keutuhan dan keberlangsungan bangsa besar yang dicintai ini. Salah satu jalan untuk mewujudkan
moderasi agama tersebut maka umat Islam di Indonesia sebagai umat mayoritas harus mengamalkan
dan megimplementasikan ajaran tentang persaudaran yang ada di agama Islam atau dikenal dengan
istilah nilai-nilai dan ajaran tentang Islam wasathiyah yaitu paham Islam moderat. Dengan
pengimplementasian tersebut diharapkan dapat mewujudkan manusia yang sangat bertoleransi dalam
segala bidang, agama mapun yang lain. Kemudian pembahasan itulah yang akan menjadi konsen

1 Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat : Kajian Metodologis, (Situbondo: Tanwirul Afkar, 2018), hal. 5.

4
penulis dalam tulisan ini agar dengan harapan dapat memberi kontribusi untuk menjawab tantangan
masyarakat Indonesia pada saat ini.
Tentunya masih sangat banyak kekurangan dalam penulisan makalah yang berdasarkan study
literature ini, karenanya kami mohon maaf untuk segala bentuk kekurangan dalam penulisannya dan
meminta saran serta pengoreksian dari semua pihak. Kami juga berharap pelajaran yang dapat diambil
dari makalah ini dapat menambah wawasan teman teman sekalian.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan, kami merumuskan masalah dalam penulisan
makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep Islam wasathiyyah dalam Al-Qur’an dan Hadits?
2. Apa urgensi Islam wasathiyyah hadir di Indonesia?.
3. Bagaimana implementasi ajaran dan nilai-nilai Islam wasathiyyah dalam rangka membangun
ukhuwah antar umat beragama di Indonesia?.

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep Islam wasathiyyah dalam Al-Qur’an dan Hadits.
2. Untuk mengetahui urgensi Islam wasathiyyah di Indonesia.
3. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai dan ajaran Islam wasathiyyah dalam rangka
membangun ukhuwah antar umat beragama di Indonesia.

5
BAB 11
PEMBAHASAN

A. Konsep Islam Wasathiyyah dalam Al-Qur’an dan Hadits


Kata wasathiyyah merupakan kalimat yang diadopsi dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia
dengan asal kata ‫ وسط‬berarti jalan tengah.2 Dalam bahasa arab sinonim dari kata diatas adalah
‫ سواء‬berarti pertengahan.3 Kemudian kata wasathiyyah dengan berbagai variannya disebut dalam
Al-Qur-an sebanyak 5 kali , diantaranya dalam QS. Al-Baqarah/2: 143 dan QS. Al-Qalam/68:28
yang bermakna jalan dan orang yang berada ditengah-tengah.
Diantara ayat Al-Qur’an yang sangat sering digunakan untuk dalam memahami konsep
wasathiyyah adalah sebagai berikut:
َ ‫علَ ْيكُ ْم‬
ۗ ‫ش ِهيدا‬ ِ َّ‫علَى ٱلن‬
َّ ‫اس َويَكُونَ ٱ‬
َ ‫لرسُو ُل‬ َ ‫َو َك َٰذَلِكَ َجعَ ْل َٰنَكُ ْم أ ُ َّمة َو‬
َ ‫سطا ِلتَكُونُوا شُ َهدَآ َء‬
Artinya: “dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu . . . (QS. Al-Baqarah/143: 2).
Kata wasatha merupakan titik fokus sesuatu atau pusat sentral bulatan. 4 Dalam pengertian
para ulama sifat wasathiyyah merupak pilihan untuk berada di tengah dan adil pada porsinya,
sedangkan kaitanya dalam beragama yaitu sikap yang tidak ifrath (melebihkan ajaran agama)
juga tidak tafrith (mengurangi ajaran agama). 5 Dalam ayat tersebut kalau dikaji secara sepintas
kata wasatha sebenarnya disandarkan kepada umat atau sifat kelompok manusia. Akan tetapi
khithab ayat tersebut diperuntukkan kepada kaum muslimin pada waktu itu setelah arah kiblat
mereka dipalingkan dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, dimana tidak ada perbedaan yang harus
ditonjolkan antara keduanya dengan artian keduanya sama-sama mulia disisi Allah. Dengan
itulah Allah memberikan lebel pada umat muslim dengan umat wasatha yaitu umat pilhan yang
bersifat ‘adil baik dalam hal agama maupun dalam hal perkara dunia.
Konsep Islam wasathiyyah merupakan paham ke-Islaman yang berdasarkan atas nilai-nilai
keagamaan yang benar serta mengedepankan perdamaian antara sesama sehingga tidak ekstrim
kiri dan juga tidak ekstrim kanan. Dalam konsep pemahaman, Islam wasathiyyah harus

2 Abdul Munjid, Munjid (Beiret: Darul Masyriq, 1960), h. 213.


3 Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 250.
4 Al-Qusyairi, Tafsir Al-Qusyairi, Juz’ I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 2000), h. 200..
5 M. Ali as-Sabuni, Shafwatu at-Tafasir, Juz’ I, (Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1981), h. 368..

6
dipahami dalam tataran rasional yang berbasis pada metodologi. Khazanah Islam klasik telah
mewariskan segudang teori penalaran dalam rangka menjembatani antara teks wahyu yang
terbatas dan telah selesai, dengan realitas yang terus berkembang. Dengan dinamika logis dan
cara pandang inilah, Islam akan selalu update pada setiap zaman dan tempat. Keterputusan mata
rantai dalam memahami teks, maka Islam akan kehilangan momentum untuk bersanding dengan
keanekaragaman paham dan konsep.
Dalam salah satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Nabi menjelaskan tentag
makna Shirati Mustaqiman sebagai makna yang sepadan dengan wasath yaitu berada ditengah-
tengah antara kesesatan-kesesatan, seberkas cahaya diantara beberapa kegelapan, dan petunjuk
yang nyata di antara ketidakpastian.6
Beberapa hadits Nabi yang mengisyaratkan ajaran moderasi (wasathiyah) dalam berbagai
aspek kehidupan nabi, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Nabi juga tidak sedikit.
Salah satunya adalah hadits tentang larangan Nabi atas tindakan membujang salah seorang
sahabat: Menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, dari Ibrahim bin Saad, dari Ibn Sihab
ia mendengar said al-Musayyab berkata: “saya mendengar Saad Bin Abi Waqash berkata;
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam pernah melarang Utsman bin Mazh’un untuk
membujang selamanya, karena semata-mata hendak melakukan ibadah kepada Allah. Andaikan
beliau mengizinkannya, tentulah kami sudah mengebiri diri kami sendiri. (HR. Muslim)
Keinginan membujang dan mengebiri diri sendiri merupakan perbuatan yang tidak terpuji
meski dilakukan untuk tujuan ibadah yang lain kepada Allah, yaitu perbuatan tidak seimbang
antara kepentingan dunia dan akhirat, dimana saat itu kebutuhan untuk memperbanyak
keturunan sangat dianjurkan untuk menambah pengikut umat Islam. Dalam hadits yang lain
Nabi malah mengingatkan kepada kita agar tidak berlebihan dalam menjalankan agama, Nabi
SAW bersabda:”Jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama, karena
sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa karena sikap ghuluw (berlebihan) dalam
agama. (HR. Nasai).
Demikianlah perkataan, perbuatan maupun ketetapan Nabi Muhammad SAW mengenai
perilaku wasath (moderasi) mengambil jalan tengah dalam beberapa urusan dunia maupun
urusan beragama, dan tentu masih banyak lagi hadits lain yang mencerminkan ajaran Islam
tentang keberagamaan secara standar tanpa memperberat namun juga tidak menyepelekan atau

6 Abu al-Hasan Ali bin Muahmmad Al-Mawardi, Al-Nukat wa Al-‘Uyun, Jilid. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, ), h. 198.

7
mengentengkannya, karena keduanya sama-sama perbuatan yang tercela. Poinnya adalah
sebaik-baiknya perkara yang tengah-tengah.
B. Urgensi Islam Wasathiyyah di Indonesia
Indonesia Indonesia merupakan negara yang besar dan beragam, mulai dari banyaknya suku,
ras, adat istiadat dan juga agama, yang menjadikan keindahan tersendiri bagi Indonesia.
Keindahan akan tercapai apabila keragaman dapat membuat damai dalam bingkai Negara
kesatuan Republik Indonesia, dan juga masyarakatnya bisa saling membantu dalam memajukan
Indonesia. Namun, pada kenyataannya masih banyak pertikaian yang membuat negara terpecah
belah sebab problematika yang terjadi, terus saling bertikai dalam perbedaan, bahkan cenderung
saling bunuh membunuh, untuk itu perlunya Islam yang wasathiyyah dalam menjaga kerukunan
antar Umat beragama di Indonesia.
Mengapa wasathiyyah? Menjawab pertanyaan ini, kita perlu kembali memandang masa lalu
bagaimana Allah menciptakan alam raya dan manusia. Kita tidak perlu masuk terlalu jauh
keranah ilmiah yang di kemukakan ulama dan ilmuwan. Cukup kita bertolak dari Qs. Al- Anbiya’
(21):30 yang menginformasikan bahwa alam raya tadinya satu gumpalan, kemudian di pisahkan
oleh Allah.7 Kita pelajari bumi, bumi beradar pada sumbunya sekali setiap dua puluh empat jam,
atau sekitar seribu mil se-jam. Pada saat yang sama, ia mengelilingi matahari dengan kecepatan
sekitar 65.000 mil se-jam, kemudian bumi bersama matahari dan planet-planet tata surya lain
beredar juga dengan kecepatan 20 mil sejam menuju satu tempat, entah kemana. Kecepatan rotasi
bumi pada sumbunya itu menghasilkan pergantian terang dan gelap dalam waktu yang cukup
singkat, terjadi perubahan panas antara sisi gelap dan terang, jadi kita diangkut oleh bumi yang
bergerak sangat cepat, tetapi dengan kekuasaan Allah, kita tidak dapat merasakannya dan tidak
merasakan oleng olehnya. Karena yang mahakuasa menancapkan gunung-gunung agar
perjalanan kita Menjadi seimbang ( baca QS. An-Nahl [16] : 15 ) dan informasi ini di akui oleh
ilmuan.
Untuk mengatur keseimbangan alam raya, Allah antara lain menginformasikan dalam QS.
Yasin (36) : 40:
َ‫ار ۚ َوكُل فِى فَلَك يَ ْس َبحُون‬ َ ‫س يَ ۢنبَغِى لَ َها ٓ أَن تُد ِْركَ ٱ ْلقَ َم َر َو َل ٱلَّ ْي ُل‬
ِ ‫سابِقُ ٱلنَّ َه‬ َّ ‫َل ٱل‬
ُ ‫ش ْم‬

7 M. Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang moderasi Islam ( Lentera Hati , 2019) hal.121.

8
Artinya “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat
mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”
Ayat ini menyatakan bahwa semuanya telah di atur oleh Allah silih berganti dengan
jalannya masing-masing semua benda-benda langit melaju pada garis edarnya saja yang telah
Allah tentukan secara terus menerus peredaran yang menjadikannya bagaikan berenang di
samudera luas yakni beredar secara serasi, seimbang, dan harmonis tanpa dapat menyimpang
darinya.Itulah sedikit penjelasan tentang pentingnya keseimbangan yang melahirkan
ketertarikan satu sama lain demi kemaslahatan. Adanya kesinambungan dan kelestarian
manfaatnya. Alam raya membutuhkan keseimbangan/moderasi dan pada gilirannya akan
mengantar manusia menikmatinya sebagaimana yang di kehendaki Allah SWT. Menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Itulah sedikit penjelasan tentang pentingnya keseimbangan yang melahirkan ketertarikan
satu sama lain demi kemaslahatan. Adanya kesinambungan dan kelestarian manfaatnya. Alam
raya membutuhkan keseimbangan/ moderasi dan pada gilirannya akan mengantar manusia
menikmatinya sebagaimana yang di kehendaki Allah SWT. Menuju kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Sekali lagi, mengapa moderasi? Jawabannya karena alam tidak akan memberikan manfaat
buat makhluk kecuali dengan keseimbangan, bahkan tanpa keseimbangan alam akan punah.
Dengan demikian moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah di antara keberagaman
agama di Indonesia. Moderasi merupakan budaya Nusantara yang saling beriringan, dan tidak
saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal (local wisdom). Tidak saling
bertentangan namun saling mencari penyelesaian dengan toleran.
Dalam kontek beragama, memahami teks agama saat ini terjadi kecenderungan kesalah
pahaman pemeluk agama yang menyebabkan adanya kutub-kutub ekstrem. Pertama kutub
terlalu mengedepankan teks tanpa menghiraukan kemampuan akal/nalar. Teks Kitab Suci
dipahami kemudian diamalkan tanpa memahami konteks. Beberapa kalangan menyebut kutub
ini sebagai golongan konservatif. Kutub ekstrem yang lain, sebaliknya, yang sering disebut
kelompok liberal, terlalu mengedepankan akal pikiran sehingga mengabaikan teks itu sendiri.
Jadi terlalu liberal dalam memahami nilai-nilai ajaran agama juga sama ekstremnya. Maka
perlu adanya sikap moderat dalam pemikiran Islam yaitu mengedepankan sikap toleran dalam
perbedaan. Keterbukaan menerima keberagamaan (inklusivisme). Baik beragam dalam

9
mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak dijadikan halangan menjalin kerja
sama, dengan asas kemanusiaan. Meyakini agama Islam yang paling benar, tidak berarti harus
melecehkan agama orang lain. Sehingga akan terjadilah persaudaraan dan persatuan antar
agama, sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah di bawah komando Rasulullah SAW.
Moderasi harus dipahami ditumbuh-kembangkan sebagai komitmen bersama untuk menjaga
keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat dengan keberagaman suku,
etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya mau saling mendengarkan satu sama lain serta
saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara mereka.
Menurut Fahrudin, 2019, dalam upaya mewujudkan keharmonisan hidup berbangsa dan
beragama, maka membutuhkan moderasi beragama, yaitu sikap beragama yang sedang atau di
tengah-tengah dan tidak berlebihan. Tidak mengklaim diri atau kelompoknya yang paling
benar, tidak menggunakan legitimasi teologis yang ekstrem, tidak menggunakan paksaan
apalagi kekerasan, dan netral dan tidak ber-afiliasi dengan kepentingan politik atau kekuatan
tertentu. Sikap moderasi tersebut perlu disosialisasikan, dididikkan, ditumbuh-kembang-kan
dan dipraktekkan. Moderasi beragama tidak boleh di artikan bahwa mencampur adukkan
kebenaran dan menghilang-kan jati diri masing-masing, yang dapat menistakan kebenaran,
tetapi memiliki sikap yang jelas dalam suatu persoalan, tentang kebenaran, tentang hukum suatu
masalah, namun dalam moderasi beragama, kita lebih pada sikap keterbukaan menerima bahwa
di negara ini bukan hanya agama kita saja masih banyak saudara sebangsa yang juga memiliki
hak yang sama dengan kita sebagai masyarakat yang ber-daulat dalam bingkai kesatuan.
Masing-masing orang memiliki keyakinan di luar keyakinan atau agama yang mesti kita
hormati dan akui keberadaannya, untuk itu kita perlu terus menerus bertindak dan beragama
dengan cara moderat.
Sebagai orang Islam ada dua aspek yang harus di jaga dan di laksanakan antar hubungan
dalam kehidupannya, yaitu hubungan vertikal kepada Allah Swt. Dipelihara melalui ibadah-
ibadah, seperti shalat, zakat, dan lain-lain. Selanjutnya hubungan horizontal yaitu hubungan
dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat, menjaga keharmonisan dalam
bermasyarakat dengan cara berintraksi dengan baik antar sesama. Hal ini dilaksanakan dengan
keyakinan bahwa sesama manusia saling bersaudara.8

8 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), h. 357.

10
Dalam konteks Indonesia, wasathiyah meniscayakan keseimbangan antara ber-agama
menurut teks Kitab Suci dengan penerapannya secara kontekstual. Pertimbangan konteks dalam
beragama berangkat dari prinsip maqashid atau tujuan ditetapkannya hukum Islam (Syari’ah).
Menurut Kementrian Agama RI, 2015. Moderasi Islam menjadi paham keagamaan keislaman
yang mengejewantahkan ajaran Islam yang sangat esensial. Ajaran yang tidak hanya
mementingkan hubungan baik kepada Allah, tapi juga yang tak kalah penting adalah hubungan
baik kepada seluruh manusia. Bukan hanya pada saudara seiman tapi juga kepada saudara yang
beda agama.
Perpecahan diakibatkan berbeda paham antara masyarakat yang sering terjadi masalah
kepercayaan dalam beragama, dimana seharunya agama tersebut menjadi pedoman masyarakat
untuk hidup yang lebih baik di dalam negara yang majemuk. Hal itu dapat menjadi sorotan
terhadap masyarakat muslim Indonesia pada saat ini. Dimana ada sebagian umat Islam
memahami ajaran Islam tetapi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dan pada akhirnya
mereka menjadi Kaum yang ekstrim kanan atau ektrim kiri yang menyebabkan perpecahan
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pada saat ini perlu adanya pemahaman agama Islam
yang wasathiyyah sebagai jalan kemoderatan beragama di Indonesia atau moderasi dalam
beragama.
Konsep Islam wasathiyyah merupakan paham keislaman berdasarkan nilai-nilai keagamaan
yang baik serta megedepankan perdamaian antara sesama, sehingga tidak ada masyarakat yang
ekstrim kiri atau ekstrim kanan. Dalam konsep pemahaman, Islam wasathiyyah harus dipahami
dalam tataran rasional yang berbasis pada metodologi. Khazanah Islam klasik telah mewariskan
se-antero teori penalaran dalam rangka menjembatani antara teks wahyu yang terbatas, dengan
realitas yang terus berkembang. Dengan cara pandang inilah, Islam akan selalu update dimasa
sekarang maupun masa depan. Keterputusan mata rantai dalam memahami teks, maka disitulah
Islam akan kehilangan momentum untuk bersanding dengan keanekaragaman paham dan
konsep.9
Konflik yang sering terjadi di Indonesia merupakan sebuah bukti bahwa masyarakat
Indonesia belum begitu sempurna dalam memahami dan mengamalkan hidup baik dalam
berbangsa dan bernegara. Maka sangat dibutuhkan implementasi dari nilai dan ajaran yang bisa

9Junaidi, Nilai-Nilai Ukhuwah dan Islam Wasathiyyah Jalan Moderasi Beragama Indonesia, vol.1, 2021 Jurnal riset dan
pengabdian masyarakat hal. 94.

11
mempersatukan semua masyarakat Indonesia. Hal tersebut, bisa dilakukan dengan moderasi
beragama karena penyebab konflik masyarakat yang banyak kita ketahui terjadi akibat
sempitnya pemahaman agama pada mereka. Karenanya dalam tulisan ini menawarkan agar
terciptanya moderasi beragama di Indonesia melalui pengamalan, praktik dan implementasi dari
nilai-nilai dan ajaran dari Islam wasathiyyah. Dimana penjelasannya sudah penulis jelaskan
diatas.

C. Implementasi Nilai-Nilai dan Ajaran Islam Wasathiyyah di Indonesia

Menurut Said Agil Husin al-Munawwar rupa-rupanya Allah sendiri juga tidak berniat
mempersatukan secara mutlak elemen-elemen kelompok di dalam masayarakat (manusia).
Nampaknya Allah secara sengaja membiarkan pengelompokan dan perbedaan itu terjadi.10
Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut.
َ‫اس أ ُ َّمة َٰ َوحِ دَة ۖ َو َل يَزَ الُونَ ُم ْختَ ِلفِين‬
َ َّ‫شا ٓ َء َربُّكَ لَ َجعَ َل ٱلن‬
َ ‫َولَ ْو‬
Artinya: Dan jika Tuhanmu menginginkan, tentulah Dia jadikan manusia ummat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat). (QS. Hud /11:118)
Untuk mengatasi masalah konflik antar sesama anak bangsa yang selama ini terus
berlangsung, maka seharusnya paham-paham tentang nilai-nilai perasaudaraan dan ajaran Islam
wasathiyyah terus digemakan dan diimplementasikan sebagai jalan terbentuknya moderasi
beragama, dimana menurut para pakar, moderasi beragama merupakan jalan untuk membawa
ummat kepada perdamaian serta tidak saling sikut kiri dan kanan, tidak bertikai dan dalam
pemahaman tidak ekstrim kiri dan ekstrim kanan.
Setidaknya ada beberapa nila-nilai Islam Wasathiyyah yang ditawarkan dalam membangun
ukhuwah antar umat beragama sebagai berikut.
1. Ta’aruf
Ta’aruf merupakan kenal mengenal dengan sesama manusia, karena manusia diciptakan
beragam bangsa dan suku (QS. Al-Hujurat 35/10). Ada beberapa bentuk proses ta’aruf, yaitu:
a. Pengenalan jasadiyyah, yaitu tampilan fisik, seperti tubuh, wajah, gaya dan lain-lain.

10 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 169-200.

12
b. Pengenalan fikriyyah, yaitu pemikiran, hal tersebut dilakukan dengan cara berdialog,
pandangan terhadap suatu permasalahan, arah berfikir, tokoh yang dikagumi dan diikuti dan
lain-lain sebagainya.
c. Pengenalan nafsiyyah, yaitu kejiwaan yang ditekankan kepada usaha memahami psikologi,
karakter, emosi, dan tingkah laku.
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maragi dijadikannya manusia bersuku-bersuku, berkabilah-
kabilah supaya manusia itu saling mengenal antara satu dengan yang lain, tidak untuk saling
mengingkari, mengejek, memperolok-olok dan menggunjing.11 Karena hal tersebut hanya akan
membuat perpecahan ummat.
2. Tasamuh
Tasamuh merupakan proses saling menghargai atau toleransi antar sesama ummat manusia
dalam hal apa pun. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
‫َوقَالُوا لَنَا ٓ أَ ْع َٰ َملُنَا َولَكُ ْم أَ ْع َٰ َملُكُ ْم‬
“Dan mereka berkata bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahtraan atas
dirimu”. (QS. Al-Qashash /42: 55)
Menurut Imam Ibnu Katsir jika orang bodoh membodohi mereka dengan sesuatu yang tidak
layak mereka jawab, maka mereka berpaling dan tidak membalasnya dengan yang setimpal
berupa pembicaraan kotor, serta tidak ada yang keluar dari mulut mereka kecuali kata-kata yang
baik.12 dalam ayat tersebut bahkan mereka mengatakan kesejahteraan bagi kamu artinya
walaupun orang lain mengejek, tetap orang beriman tidak membalas ejekan tersebut bahkan
mendoakan mereka, menurut penulis yang demikian merupakan tasamuh yang ada dalam nilai-
nilai Islam wasathiyyah tentang ukhuwah. Tasamuh tidak hanya dalam agama yang sering
dikenal, tetapi Tasamuh disini melingkupi segala hal terutama dalam perbedaan pendapat.
3. Tarahum dan Ta’awun
Tarahum dan Ta’awun merupakan saling berkasih sayang dan saling tolong menolong dalam
kebaikan berupa kebaikan dalam agama, negara, dan bangsa. Tentang saling mengasihi dan
menyayangi ini sesama saudara sangat diperintahkan oleh Nabi Muhammad Saw.
‫ل يؤم ُن أحدُكم حتى يحبَّ ألخيه ما يحبُّ لنفسِه‬

11 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Juz. XXVI, (Mesir: Mustafa Al-babi Al-Halabi, 1974), h. 196.
12 Ibnu Katsir, Lubabut Tafssir Min Ibni Katsir, jld. VIII (Kairo: Dar Al-Muassasah), h. 90.

13
“Tidak sempurna iman salah satu kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadits Nabi di atas jelas bagaimana Nabi memerintahkan untuk saling mengasihi antar
sesama. Bahkan masalah ini Nabi kaitkan dengan iman, artinya tidak beriman apabila tidak
mengasihi saudaranya. Penulis melihat saudara disini tidak hanya saudara dalam artian sempit,
tetapi dalam artian umum juga yang mencakup saudara yang lain. setelah proses saling kasih
dan sayang maka dalam persaudaraan itu diperintahkan untuk saling tolong menolong.
Sebagaimana firman Allah berikut.
‫علَى ٱ ْلبِ ِر َوٱلت َّ ْق َو َٰى ۖ َو َل‬
َ ‫ع ِن ٱ ْل َمس ِْج ِد ٱ ْل َح َر ِام أَن تَ ْعتَدُوا ۘ َوتَعَ َاونُوا‬ َ ‫شنَـَٔا ُن قَ ْوم أَن‬
َ ‫صدُّوكُ ْم‬ َ ‫َو َل يَجْ ِر َمنَّكُ ْم‬
ِ ‫شدِيدُ ٱ ْل ِعقَا‬
‫ب‬ َ ‫ّلل‬ َ َّ ‫علَى ٱ ْ ِْلثْ ِم َوٱ ْلعُد َٰ َْو ِن ۚ َوٱتَّقُوا ٱ‬
َ َّ ‫ّلل ۖ ِإ َّن ٱ‬ َ ‫تَعَ َاونُوا‬
“Janganlah sekali-kali kebencianmu pada suatu kaum karena mereka menghalangi kamu dari
Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Tolong menolonglah kamu di
jalan mengerjakan kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran. Bertakwa kamu pada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS.
Al-Maidah /5:2)
Menurut Sayid Kutub orang-orang beriman dituntut untuk selalu mengesampingkan
kepentingan peribadi dan melupakan dirinya sendiri demi kemajuan bersama, serta menjadi
tauladan dalam mengaktualisasikan Islam didalam perilakunya, yaitu selalu saling tolong
menolong dalam segala hal untuk kebaikan bersama.13 Dari penjelasan tersebut jelas bahwa
untuk sama-sama maju kedepan harus saling bahu membahu dan tolong menolong, sama-sama
bekerja untuk yang terbaik pada bangsa dan negara, tanpa menghiraukan perbedaan ada.
Kemudian untuk beberapa langkah penting yang perlu diperhatikan dan diambil guna
tegaknya Islam wasathiyyah, dari sekian banyak yang telah dikemukan oleh para ahli, penulis
hanya menghimpun 3 dari keseluruhan, antara lain:
1. Tawassuth
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas tentang kata wasathiyyah yaitu merupakan sebuah
paham keagamaan yang tidak ekstrim kiri dan ekstrim kanan atau paham yang disebut dengan
istilah moderat. Maka tawassuth artinya mengamalkan ilmu moderasi Islam dengan penuh
semangat keagamaan, untuk menghindarkan permusuhan dan kebencian.

13 Sayyid Kutub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, jld.III (Beirut: Darus-Syuruq, 1992), h. 167.

14
Umat Islam merupakan umat mayoritas di Indonesia maka sikap tawassuth menjadi sebuah
keniscayaan yang mesti diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena umat Islam
sebagai pilar kedamaian di Indonesia membuka jalan moderasi beragama melalui pilar yang
terdapat dalam ajaran wasathiyyah. Dengan menjalankan itu, berarti umat Islam akan kembali
kefitrah penciptaanya sebagai ummat wasathiyyah seperti dalam QS. Al-Baqarah/2: 143.
2. I’tidal
I’tidal merupakan sikap adil dengan memberikan semua hak pada proporsionalnya tanpa
berat sebelah.14 Dalam al-Qur’an, Allah senantiasa menyuruh manusia agar bersikap i’tidal
sebagaimana dalam QS. Al-Maidah/9: 5.
ُ‫علَ َٰ ٓى أَ َّل تَ ْع ِدلُوا ۚ ٱ ْع ِدلُوا ه َُو أَ ْق َرب‬ ِ َّ ِ َ‫َٰ َيٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا كُونُوا قَ َٰ َّومِ ين‬
َ ‫ّلل شُ َه َدآ َء ِبٱ ْل ِقسْطِ ۖ َو َل َيجْ ِر َمنَّكُ ْم‬
َ ‫شنَـَٔا ُن قَ ْوم‬
َ‫ّلل َخ ِب ۢير ِب َما تَ ْع َملُون‬ َ َّ ‫لِلت َّ ْق َو َٰى ۖ َوٱتَّقُوا ٱ‬
َ َّ ‫ّلل ۚ ِإ َّن ٱ‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah/8: 5)
Imam Ali as-Ashabuni menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut manusia diperintahkan untuk
berbuat adil sekalipun terhadap orang yang tidak disenangi bahkan musuh sendiri. 15 Karena
sikap dan perbuatan tersebut lebih dekat dengan ketaqwaan.
Maka dalam konteks wasathiyyah sikap i’tidal merupakan sikap memandang segala
permasalahan dengan objektif tidak berat sebelah, akan tetapi yang dilihat adalah sebuah
kebenaran.
3. Syura
Sikap syura merupakan sikap penyelesaian masalah dengan jalan musyawarah serta
mengedepankan asas kepentingan bersama tidak berdasarkan kepentingan pribadi, keluarga,
dan golongan. Dalam konteks ke-Indonesia-an sebenarnya sikap ini diabadikan dalam rumusan
Pancasila pada sila ke-4, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan.

14 Ali Ibn Muhammad, At-Ta’rifat, (Haramain: al-Aqsha, tt), h. 143.


15 Imam Ali as-Shabuni, Shafwatu at-Tafasir…, h. 330..

15
Al-Qur’an juga memerintahkan agar seluruh keputusan yang diambil hendaknya dilakukan
dengan jalan musyawarah seperti dalam QS. Ali Imran/159: 03 dan QS. Asy-Syura/38: 26. Oleh
karena itu, untuk memutuskan sebuah perkara tentang keagamaan hendaknya dilakukan dengan
jalan mufakat oleh para ahlinya, tidak hanya masalah agama akan tetapi di semua lini yang
dipentingkan dalam kehidupan bernegara.
Indonesia sejak dari tahun 2014 menjadi negara yang rawan konflik. Masyarakat Indonesia
yang nampaknya belum begitu sempurna memahami dan mengamalkan hidup dalam berbangsa
dan bernegara secara utuh, maka sangat dibutuhkan sebuah praktik dan implementasi dari nilai
dan ajaran yang bisa mempersatukan semua elemen masyarakat Indonesia. hal tersebut, bisa
dilakukan dengan moderasi beragama karena sebagaimana telah diketahui salah satu yang
paling sentral menimbulkan konflik masyarakat adalah sempitnya pemahaman agama pada
mereka. Karenanya dalam tulisan ini penulis menawarkan agar terciptanya moderasi beragama
di Indonesia melalui pengamalan, praktik dan implementasi dari nilai-nilai dan pengetahuan
dari Islam wasathiyyah. Dimana penjelasannya sudah penulis paparkan di atas.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam wasathiyyah banyak mengandung nilai-nilai ukhuwah, sehingga dengan itu dapat
mewujudkan kedamaian dan kerukunan antara sesama se-aqidah, sesama masyarakat dan sesama
umat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa. Islam wasathiyyah juga menjadi
simbol semboyan hidup mukmin. Islam wasathiyyah juga membawa ajaran yang dinamis tidak
berat kiri dan kanan, memandang segala sesuatu dengan positif, tidak berlebihan dalam bertindak.
Nilai-nilai dan ajaran Islam wasathiyyah dapat mewujudkan jalan moderasi beragama di
Indonesia, karena memandang sesuatu dengan kasih, toleransi, saling tolong menolong, tidak
berlebihan dalam mengambil keputusan, dan selalu bermufakat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Junaidi. “Nilai-Nilai Ukhuwah dan Islam Wasathiyyah Jalan Moderasi Beragama di Indonesia.” Jurnal
Riset dan Pengabdian Masyarakat, 2021.
Kutub, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Beirut: Darus-Syuruq, 1992.
Katsir, Ibnu. Lubabut Tafssir Min Ibni Katsir, Kairo: Dar Al-Muassasah, 1994.
Muhajir, Afifuddin, Membangun Nalar Islam Moderat : Kajian Metodologis, (Situbondo: Tanwirul
Afkar, 2018).
Munjid, Abdul. Munjid , Beuiret: Darul Masyriq, 1960.
Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004.
Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad, Al-Nukat wa Al-‘Uyun, Jilid 1, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, tt.
Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-babi Al-Halabi. 1974.
Muhammad, Ali. At-Ta’rifat, Haramain: al-Aqsha, tt.
Qusyairi, Tafsir Al-Qusyairi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, 2000.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.
Shihab, M. Quraish. Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang moderasi Islam, Bandung :Lentera Hati, 2019.
Sabuni, M. Ali, Shafwatu at-Tafasir, Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1981.

18

Anda mungkin juga menyukai