Dosen Pengampu:
Casram
Soheh
Disusun Oleh:
Kelompok 06
Rizko Pambudi 1201020072
Salvira Dewi Nurhasanah 1201020075
Shanaa Putri Fadhilah 1201020076
Tina Septiana 1201020077
Waladal Habibul Mustofa 1201020080
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................ 2
BAB I ..................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 4
1.3 Tujuan ......................................................................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ....................................................................................................................................... 5
2.1 Definisi Modernisasi Beragama ............................................................................................. 5
2.2 Tolak Ukur Modernisasi Beragama ....................................................................................... 6
2.3 Pentingnya Modernisasi Beragaba bagi Indonesia ............................................................... 7
BAB III ................................................................................................................................................... 8
PENUTUPAN.......................................................................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................ 8
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keragaman budaya (multikultural) merupakan peristiwa alami karena bertemunya berbagai
budaya, berinteraksinya beragam individu dan kelompok dengan membawa perilaku
budaya, memiliki cara hidup berlainan dan spesifik. Keragaman seperti keragaman budaya,
latarbelakang keluarga, agama, dan etnis tersebut saling berinteraksi dalam komunitas
masyarakat. Moderasi Beragama adalah cara hidup untuk rukun, saling menghormati,
menjaga dan bertoleransi tanpa harus menimbulkan konflik karena perbedaan yang ada.
Dengan penguatan moderasi beragama diharapkan agar umat beragama dapat
memposisikan diri secara tepat dalam masyarakat multireligius, sehingga terjadi
harmonisasi sosial dan keseimbangan kehidupan sosial.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi modernisasi beragama?
2. Bagaimana tolak ukur modernisasi beragama?
3. Apa penting nya modernisasi beragama bagi Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami definisi moderenisasi beragama
2. Untuk memahami tolak ukur beragama
3. Untuk memahami pentingnya modernisasi beragama bagi Indonesia
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Penguasa
2. penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”,
kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-¬biasa saja, dan tidak
ekstrem.
dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang
memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-¬tengah), i’tidal (adil), dan
tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith.
Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai “pilihan terbaik”. Apa pun kata
yang dipakai, semuanya menyiratkan satu makna yang sama, yakni adil, yang dalam
konteks ini berarti memilih posisi jalan tengah di antara berbagai pilihan ekstrem.
Secara Istilah pertama, moderasi adalah sikap dan pandangan yang tidak berlebihan,
tidak ekstrem dan tidak radikal (tatharruf). Q.s. al-Baqarah: 143 yang dirujuk untuk
pengertian moderasi di sini menjelaskan keunggulan umat Islam dibandingkan umat lain.
Al-Qur'an mengajarkan keseimbangan antara hajat manusia akan sisi spritualitas atau
tuntutan batin akan kemahadiran Tuhan, juga menyeimbangkan tuntutan manusia akan
kebutuhan materi.
Disebutkan dalam hadits, ada sekelompok orang mendatangi Nabi Muhammad untuk
menunjukkan bahwa mereka adalah orang kuat beribadah, sampai tidak menikah. Nabi
menjawab, yang benar adalah keseimbangan antara ibadah dan pemenuhan materi. Itulah
sunnah beliau.
Dalam hal moral, al-Qur'an mengajarkan juga keseimbangan, sikap tidak berlebihan
juga ditekankan. Seseorang tidak perlu terlalu dermawan dengan menyedekahkan hartanya
sehingga dia sendiri menjadi bangkrut. Tapi, ia juga jangan kikir, sehingga ia hanya
menjadi kaya sendiri, harta yang terkonsentrasi di kalangan orang-orang berpunya.
Demikian, pesan ini disarikan dari ayat al-Qur'an sendiri.
Kedua, moderasi adalah sinergi antara keadilan dan kebaikan. Inti pesan ini ditarik dari
penjelasan para penafsir al-Qur'an terhadap ungkapan ummatan wasathan. Menurut
mereka, maksud ungkapan ini adalah bahwa umat Islam adalah orang-orang yang mampu
berlaku adil dan orang-orang baik.
5
2.2 Tolak Ukur Modernisasi Beragama
Kemajemukan di Indonesia tidak bisa hanya disikapi dengan prinsip keadilan,
melainkan juga dengan prinsip kebaikan. Keadilan adalah keseimbangan dan
ketidakberpihakan dalam menata kehidupan dengan asas hukum dan kepastian di
dalamnya. Akan tetapi, keadilan atas adanya hukum formalitas hitam-putih secara rigid
juga tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kebaikan, yaitu unsur yang juga melandasi
prinsip keadilan.
Hukum bisa saja hanya menyentuh aspek permukaan dan tidak memenuhi rasa
keadilan sesungguhnya, sehingga perlu ada sentuhan kebaikan. Keadilan adalah dimensi
hukum, sedangkan kebaikan adalah dimensi etik. Dalam QS. al-Baqarah: 143, dijelaskan
bahwa Allah menyatakan bahwa kaum muslimin dijadikan ummatan wasathan.
ش ِهيدا ۗ َو َما َج َع ْلنَا ا ْل ِق ْبلَةَ الَّتِي َ علَ ْيكُ ْمَ الرسُو ُل َّ َاس َو َيكُون ِ َّعلَى النَ سطا ِلتَكُونُوا شُ َهدَا َء َ َو َك َٰذَلِكَ َج َع ْلنَاكُ ْم أ ُ َّمة َو
َّ علَى الَّذِينَ َهدَى
َّللاُ ۗ َو َما َكان َ يرة إِ َّّل َ َِت لَ َكب َ علَ َٰى
ْ ع ِقبَ ْي ِه ۚ َوإِ ْن كَان َّ علَ ْي َها إِ َّّل ِلنَ ْعلَ َم َم ْن يَتَّبِ ُع
َ ُالرسُو َل ِم َّم ْن يَ ْنقَلِب َ َكُ ْنت
اس ل َر ُءوف َرحِ يمَ ِ َّّللا بِالن ُ
َ َّ ُضي َع إِي َمانَك ْم ۚ إِ َّن َّ
ِ ّللاُ ِلي
Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat
yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa
yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah
tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia”. (QS. al-Baqarah: 143)
Berikut adalah tolak ukur modernisasi beragama:
1. Seberapa kuat kembalinya penganut agama kembali pada inti pokok ajaran, yaitu
nilai kemanusiaan. Melalui kemanusiaan maka perbedaan agama di tengah
masyarakat bukan menjadi persoalan mengganggu keharmonisan.
3. Ketertiban umum. Manusia yang beragam latar belakang agar bisa tertib yang bisa
memicu suasana beragama yang moderat. Tujuan agama dihadirkan agar tercipta
ketertiban umum di tengah kehidupan bersama yang beragam.
6
2.3 Penting nya Modernisasi Beragama di Indonesia
Ya sangat penting, karena Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat religius
dan sekaligus majemuk. Meskipun bukan negara berdasar agama tertentu, masyarakat kita
sangat lekat dengan kehidupan beragama. Nyaris tidak ada satu pun urusan sehari-hari yang
tidak berkaitan dengan agama. Itu mengapa, kemerdekaan beragama juga dijamin oleh
konstitusi kita. Nah, tugas kita adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kebebasan
beragama itu dengan komitmen kebangsaan untuk menumbuhkan cinta tanah air.
Mungkin ada yang bertanya, memangnya cara pandang, sikap, dan praktik beragama
seperti apa yang dianggap ekstrem atau melebihi batas?
Lihat saja, ada tiga ukuran yang bisa menjadi patokan. Pertama, dianggap ekstrem kalau
atas nama agama, seseorang melanggar nilai luhur dan harkat mulia kemanusiaan, karena
agama kan diturunkan untuk memuliakan manusia. Kedua, dianggap ekstrem kalau atas
nama agama, seseorang melanggar kesepakatan bersama yang dimaksudkan untuk
kemaslahatan; dan ketiga, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang kemudian
melanggar hukum. Jadi, orang yang atas nama menjalankan ajaran agamanya tapi
melanggar ketiga batasan ini, bisa disebut ekstrem dan melebihi batas.
Logikanya, kemuliaan agama itu tidak bisa ditegakkan dengan cara merendahkan
harkat kemanusiaan. Nilai moral agama juga tidak bisa diwujudkan melalui cara yang
bertentangan dengan tujuan kemaslahatan umum. Begitu pula esensi agama tidak akan bisa
diajarkan dengan cara melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang sudah disepakati
bersama sebagai panduan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Masyarakat perlu tahu bahwa moderasi beragama adalah cara kita, umat beragama,
menjaga Indonesia. Kita tentu tidak mau mengalami nasib seperti saudara-saudara kita di
negara yang kehidupan masyarakatnya carut marut, dan bahkan negaranya terancam bubar,
akibat konflik sosial-politik berlatar belakang perbedaan tafsir agama. Kita harus belajar
dari pengalaman yang ada.
hasil, moderasi beragama itu sesungguhnya adalah jati diri kita sendiri, jati diri bangsa
Indonesia. Kita adalah negeri yang sangat agamis, umat beragama kita amat santun, toleran,
dan terbiasa bergaul dengan berbagai latar keragaman etnis, suku, dan budaya. Toleransi
ini pekerjaan rumah (PR) bersama kita, karena kalau intoleransi dan ekstremisme dibiarkan
tumbuh berkembang, cepat atau lambat keduanya akan merusak sendi-sendi ke-Indonesia-
an kita. Itulah mengapa moderasi beragama menjadi sangat penting dijadikan sebagai cara
pandang, sikap, dan perilaku, dalam beragama dan bernegara.
7
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama. Menjadi moderat
bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika ada
anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak memiliki
militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Oleh karena pentingnya keberagamaan yang moderat bagi kta umat beragama, serta
menyebarluaskan gerakan ini. Jangan biarkan Indonesia menjadi bumi yang penuh dengan
permusuhan, kebencian, dan pertikaian. Kerukunan baik dalam umat beragama maupun
antarumat beragama adalah modal dasar bangsa ini menjadi kondusif dan maju.