Anda di halaman 1dari 61

MAKALAH

MISI KEAGAMAAN DAN KEMANUSIAAN DALAM DAKWAH


KAJIAN TAFSIR DAN HADITS
Disusun untuk Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah Studi Tafsir dan Hadits Dakwah

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Sri Astutik, M. Si

Disusun Oleh :
Moch. Ainul Yaqin
NIM : 02040723018

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan limpahan karunia
yang tidak terhingga sehingga penyusunan makalah ini terselesaikan dengan baik
dan tepat waktu. Shalawat dan salam kepada junjungan alam Nabi besar
Muhammad SAW. Rasulullah sebagai teladan hidup yang terang bagi umat
manusia di dunia dan di akhirat.
Makalah ini membahas tentang “Misi Keagamaan dan Kemanusiaan
dalam Dakwah Kajian Tafsir dan Hadits”. Saya sadar bahwa penyusun makalah
ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, maka dari ini saya sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca serta menjadi amal sholeh dan diterima disisi Allah SWT. Amiin.

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................5
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6
A. Korelasi Keagamaan dan Kemanusiaan...............................................6
B. Misi Keagamaan dan Kemanusiaan dalam Qur’an dan Hadits.........7
BAB III PENUTUP..............................................................................................56
A. Kesimpulan............................................................................................56

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam setiap aspek kehidupan diperlukan tujuan. Dengan kita memiliki
tujuan hidup, maka kita tidak hanya ikut dalam suatu arus tanpa memiliki suatu
targetan-targetan tertentu dalam hidup. Jika kita memiliki komitmen dan tujuan
serta mengetahui makna dari hidup tentu menjadi lebih terarah.
Tidak terkecuali dalam aspek keagamaan juga terkandung di dalamnya visi
dan misi. Agama Islam melalui media Al-Qur’an dan hadits yang datang sebagai
penyempurna ajaran sebelumnya bukan tanpa tujuan. Selain menjadi pedoman
hidup manusia dalam menyikapi setiap keadaan. Islam datang sebagai rahmatan
lil alamin.
Masih sering kita jumpai banyak orang yang memeluk agama Islam hanya
sekedar ikut-ikutan, tanpa didasarkan pada argumentasi yang kuat. Baik itu karena
ikut agama orang tua (islam nasab) namun tanpa dibekali kesadaran dan
pemahaman akidah yang kuat atau para muallaf yang masih belum melepas
kehidupan jahiliyah-nya. Perlunya pengetahuan dan wawasan keislaman
menjadikan kita lebih tenang dan yakin dalam berpegang teguh pada risalah ini.
Oleh karena itu, sangat penting dan perlu untuk memahami tujuan dari
agama Islam serta pengaruhnya dalam mengangkat derajat manusia dengan nilai-
nilai keislaman yang berdampingan dengan misi kemanusiaan. Makalah ini dibuat
dengan tujuan menyadarkan umat manusia bahwa semakin kita mengamalkan
ajaran Islam secara tidak langsung kita juga turut membantu menjaga nilai
kemanusiaan tetap ada dan berkembang. Agama Islam menjadi ajaran kebaikan
yang menuntun manusia kembali kepada hakekat kemanusiaannya.
Fenomena menggelisahkan kehidupan beragama akhir-akhir ini, berimbas
pada kekhawatiran keretakan sosial berbangsa dan bernegara. Yakni adalah
rentetan peristiwa manifestasi nilai-nilai agama yang berujung pada doktrin
kebenaran sepihak bukan “maslahah ammah”, cendrung membenarkan dan
memaksakan untuk pendapatnya diakui benar dan diikuti kebenarannya. Padahal
pendapat itu belum teruji secara empiris dalam situasi dan kondisi tertentu. Ini
semakin memperkuat salah satu keterangan dalam Al-Qur’an bahwa tanda
perpecahan adalah ketika setiap golongan merasa paling benar, “Kullu Hizbin
Bimaa Ladaihim Farihuun”.
Jabatan atau kedudukan manusia sebagai pemimpin bumi yang diberikan
Tuhan sebenarnya sudah sangat menunjukkan bahwa Tuhan dan agama sangat
peduli terhadap manusia. Manusia bukan spesies yang sama dengan yang lain,
manusia berbeda, manusia sempurna, dan istimewa.
Agama sangat menghormati kemanusiaan dan memberikan kedudukan
yang sangat tinggi kepada manusia. Lantas mengapa sekarang orang banyak

4
membenturkan agama dengan kemanusiaan? Tidakkah kemanusiaan adalah salah
satu dari misi agama?
B. Rumusan Masalah
- Apa Misi Keagamaan dan Kemanusiaan dalam Dakwah Menurut Kajian
Tafsir dan Penjelasan Hadis, terkait dengan Penafsiran QS Al Baqarah:
208; QS al-A’raf: 172; QS Shad: 26; QS al-Baqarah: 256?
C. Tujuan Penelitian
- Untuk mengetahui Misi Keagamaan dan Kemanusiaan dalam Dakwah
Menurut Kajian Tafsir dan Penjelasan Hadis, terkait dengan Penafsiran QS
Al Baqarah: 208; QS al-A’raf: 172; QS Shad: 26; QS al-Baqarah: 256

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Korelasi Keagamaan dan Kemanusiaan
Agama adalah sebuah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Tujuannya untuk menjauhkan manusia dari tindak kekacauan atau kerusakan
menuju keteraturan dan kedamaian.
Manusia sebagai makhluk sosial yang menghendaki interaksi
memunculkan perbedaan pendapatan atas pembenaran keyakinan dapat
menyebabkan terjadinya konflik. Agama hadir mengatur kemanusiaan. Mulai dari
hubungan sosial bertetangga, hingga hubungan antara pemimpin dan rakyatnya.
Semuanya diatur. Dan aturan antara manusia dengan manusia tentu memiliki
tujuan yaitu kemanusiaan.
Berbicara mengenai Islam, tentu kurang sempurna kalau kita belum
mengetahui apa alasan Allah Swt. menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama
yang Ia ridhai. Sesuai pengertian bahasa, kata Islam dari huruf Sin Lam dan Mim
bermakna dasar salama artinya Islam datang menjadi penyelamat dunia dan
akhirat bagi siapa saja yang berpedoman padanya. Selain itu, jika mengacu pada
Q.S Al Anfal: 61 makna Salmu dalam Lissalmi bermakna damai yang tentu sangat
erat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam pendapat lain, Islam mashdar dari kata Aslama yang artinya
berserah diri penuh kepada Allah Swt. (konsep tawakkal) sehingga muslim
(seorang yang berserah diri) tentu berusaha sebisa dan semaksimal mungkin untuk
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (konsep taqwa) agar
mencapai tujuan ridha Allah Swt. yang sebelumnya telah ada pada agama Islam
juga mengalir kepada para pemeluknya (muslim).
Sehingga dapat disimpulkan visi agama Islam adalah menjadikan siapapun
yang mengamalkan ajaran Islam mendapatkan ridha dari Allah Swt. Serta
keselamatan mengiringi setiap langkahnya baik di dunia maupun di akhirat dan
terhindar dari siksa neraka. Sesuai do’a yang terdapat pada Q.S Al Baqarah: 201.
Dari definisi agama Islam di atas jelas mengarah kepada kesimpulan
bahwa Islam menghadirkan keselamatan, kedamaian, dan tuntunan hidup dunia
dan akhirat melalui teladan Rasulullah SAW. Jika teladan kita ada Rasulullah
SAW, mengutamakan kemaslahatan, menolak kemadhorotan, beliau mampu
mendudukkan Agama dan Negara secara berdampingan, saling menyempurnakan
dalam bentuk “Piagam Madinah”.
Islam terdapat tahapan konsep implementasi ajaran Islam yang
mengarahkan kematangan seseorang dalam menjalankan ajaran Islam sehingga
menemukan ‘rasa esensial’ dalam membangun hubungan dengan Allah Swt.

6
dalam praktek ritual ibadah, yang seharusnya menumbuhkan jiwa humanis dan
harmonis pada sesamanya (hablun minannas).
Dari berbagai uraian mendasar tentang agama, Islam, tuntunan Al-Qur’an,
dan teladan Rasulullah SAW jelas sekali bahwa esensi ajaran agama Islam penuh
dengan nilai kemanusiaan. Menghindari kemafsadatan diutamakan, dari pada
mendapatkan kemaslahatan. “dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholikh”.
Pemahaman ajaran agama yang dangkal berdampak pada implementasinya
yang tidak bisa menyentuh pada ranah Ihsan. Ajaran agama Islam yang
seharusnya menjadi pendamai “ummatan wasathon”. Islam memberikan tuntunan
dakwah secara bertahap dengan isyarat ayat “ud’u Ilaa sabili rabbika bil hikmati
wa mau’idzotil hasanah”, pada ayat lain disebutkan “wajaadilhum billati hiya
ahsan”, dan berdakwahlah dengan cara yang bijaksana dan pitutur yang baik.
Jika sudah Islam dan Iman, maka menyempurnakan untuk sampai tahap
Ihsan menjadi penting. Karena dengan pemahaman ajaran agama Islam yang
komprehensif akan berbuah pada manifestasi nilai kemanusiaan dalam beragama.
Jalur menuju tahapan Ihsan untuk menghadirkan nilai kemanusiaan bisa dilakukan
dengan pendalaman ajaran agama Islam tidak sekedar tekstual, tapi juga harus
kontekstual. Kebenaran yang diyakini harus diuji secara empiris dan historis,
sehingga keberadaannya menjadi “sholihun fi kulli zamanin wa makanin”, adaptif
dalam semua waktu dan tempat.
Referensi keyakinan dan kebenaran harus diteliti orisinalitas matan dan
perawinya dari segala perspektif baik dari keilmuan, maupun pola implementasi
amaliyah keagamaanya. Akhirnya, keyakinan bahwa memunculkan nilai
kemanusiaan dalam beragama adalah bagian dari menjaga kelestarian dan
menagakkan ajaran agama.
B. Misi Keagamaan dan Kemanusiaan dalam Qur’an dan Hadits
A. Al Baqarah ayat 208
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫ِا‬ ‫ِت‬ ‫ِذ‬
‫ٰٓيَاُّيَه ا اَّل ْيَن ٰاَم ُنوا اْد ُخ ُلْوا ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّفًة ۖ َّواَل َتَّتِبُعْوا ُخ ُطٰو الَّش ْيٰطِۗن َّٗنه َلُك ْم َعُد ٌّو ُّم ِبٌنْي‬
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian)
secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia
musuh yang nyata bagimu.” Al-Baqarah [2]:2081
Tafsir ibnu katsir
Allah Ta'ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman
kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, agar berpegang kepada seluruh tali
Islam dan syari'atnya, mengerjakan perintah-Nya, serta menjauhi semua larangan-
Nya sekuat tenaga.

1
https://quran.kemenag.go.id/quran/per-kata/surah/2?from=208&to=208

7
Mengenai firman Allah Swt. ( ‫ )اْد ُخ ُلْو ا ىِف الِّس ْلِم‬al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, Mujahid, Thawus, adh-Dhahhak, Qatadah, as-Suddi, dan Ibnu Zaid, "Yaitu
Islam."
Masih mengenai firman-Nya tersebut di atas, adh-Dhahhak meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah, dan Rabi' bin Anas, "Yakni ketaatan." Qatadah
juga mengatakan: "Yaitu perdamaian."

Dan firman-Nya (‫ )َك ۤاَّفًة‬Ibnu Abbas, Mujahid, Abu al-Aliyah, Ikrimah, Rabi'
bin Anas, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Qatadah, dan adh-Dhahhak
mengatakan," (‫ )َك ۤاَّفًة‬berarti jami'an (keseluruhan)."

Mujahid menuturkan: "Artinya, kerjakanlah semua amal shalih dan segala


macam kebajikan."

Di antara para mufassir ada yang menjadikan firman Allah Swt., ( ‫)َك ۤاَّف ًة‬
berkedudukan sebagai haal (yang menerangkan keadaan) dari orang-orang yang
masuk. Maksudnya, masuklah kalian semua ke dalam Islam. Dan yang benar
adalah pendapat pertama, yaitu bahwa mereka seluruhnya diperintahkan untuk
mengerjakan semua cabang iman dan syari’at Islam, yang jumlahnya sangat
banyak, sesuai dengan kemampuan mereka.
Sedangkan firman-Nya, (‫“ )َواَل َتَّتِبُع وا ُخ ُط َواِت الَّش ْيَطان‬Dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan.” Laksanakanlah segala ketaatan dan hindari
apa yang diperintahkan setan kepada kalian. Karena, sebagaimana firman Allah
Ta'ala: ( ‫ )ِإَمَّنا َي ْأُمُرُك م بالُّس وِء َواْلَف ْح َش اء وأن َتُقوُل وا َعَلى اهلل َم ا ال َتْعَلُم وَن‬Sesungguhnya setan itu hanya
menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang
tidak kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah: 169). Untuk itu Allah berfirman, ( ‫ِاَّنهٗ َلُك ْم َعُد ٌّو‬

‫“ )ُّم ِبٌنْي‬Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.”


Muthraf berkata: “Hamba Allah yang paling lihai menipu hamba-hamba-
Nya yang lain adalah setan.”2
Totalitas dalam memeluk islam
Ayat ini berisi penegasan tentang totalitas dalam memeluk Islam. Artinya,
ketika seseorang telah memeluk agama Islam, hendaknya dia melakukan semua
ketentuan yang telah digariskan dalam Islam, yaitu melaksanakan semua perintah
Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal itu menjadi konsekuensi yang harus
ditaati setiap pemeluk Islam. Itulah makna yang dikandung ayat berikut ini.

‫ٰٓيَاُّيَه ا اَّلِذْيَن ٰاَم ُنوا اْد ُخ ُلْوا ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّفًة‬

2
Tafsir Ibnu Katsir Juz 2, hal. 405-406

8
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhan….”
Menurut sebagian ulama, seperti Mujahid, Dhahhak, Ikrimah, Qatadah,
dan As Suddi, kata ( ‫ )الِّس ْلِم‬berarti ‘Islam’, sedangkan kata (‫ )َك ۤاَّفًة‬berarti ‘semua’.

Menurut Mujahid, ayat ini berisi perintah untuk melakukan berbagai


bentuk kebaikan. Perintah ini lebih khusus ditujukan kepada Ahlul Kitab. Ibnu
Abi Hatim menegaskan bahwa ayat ini ditujukan kepada Ahlul Kitab agar
bersikap total ketika memeluk agama Islam. Mereka tidak boleh bersikap setengah
hati dengan memilah dan memilih dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam.
Meskipun sebelumnya mereka telah memeluk agama samawi yang juga sama-
sama datang dari Allah Swt. (Taurat), mereka harus menjalankan syariat Islam
secara keseluruhan. Hal itu karena ajaran Islam menyempurnakan dan merevisi
beberapa ketentuan hukum yang dipandang sudah tidak relevan dengan
perkembangan zaman. Dengan kata lain, konsekuensi mereka masuk Islam harus
ditunjukkan dengan melaksanakan semua ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
Saw. Sikap memilah dan memilih ajaran-ajaran Islam dianggap menyalahi syariat-
Nya.
Dalam ayat (‫ )َواَل َتَّتِبُعوا ُخ ُطَواِت الَّش ْيَطان‬ditegaskan bahwa mereka hendaknya selalu
waspada terhadap bujuk rayu setan. Hal itu karena setan selalu berusaha
menjerumuskan umat manusia ke dalam jurang kesesatan. Setan selalu menyeru
manusia untuk melakukan kemaksiatan. Disebutkan dalam firman-Nya berikut ini.

‫ِإَمَّنا َيْأُمُرُك م ِبالُّس وِء َواْلَف ْح َش اِء َوَأن َتُقوُلوا َعَلى الَّلِه َم ا اَل َتْع َلُم وَن‬
"Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan
keji dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah." (QS Al
Baqarah, 2: 169).3
Tafsir Al Maraghi
Penafsiran Kata-Kata Sulit
‫الِّس ْلِم‬

As-Silm: asal katanya (At-Taslim) dan (Al-Inqiyad). Terkadang diartikan


damai dan kadang kala bermakna agama Islam.
‫ُط اِت‬
‫ُخ َو‬
Al-Khutuwat: bentuk tunggalnya 'Khutwah' berarti langkah.
Pengetian Umum
Sesudah Allah menjelaskan pada ayat-ayat yang lalu perihal pembagian manusia
menjadi dua golongan yaitu ada yang baik dan yang rusak golongan pertama
3
Misbahul Munir Fi Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir, hal. 301

9
hanya mengharapkan keridaan dari Allah atas amal perbuatannya, sedangkan
golongan kedua mereka yang selalu menimbulkan kerusakan di muka bumi
dengan merusak tanaman dan membunuh hewan ternak. Maka pada ayat ini, Allah
memberi nasehat kepada kita, bahwa ciri khas orang- orang mukmin ialah bersatu
dan bersepakat bukan pecah belah dan terbagi-bagi.
Penjelasan

‫ٰٓيَاُّيَه ا اَّلِذْيَن ٰاَم ُنوا اْد ُخ ُلْوا ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّفًة‬
Kaaffatan, artinya menuruti hukum-hukum Allah secara keseluruhan,
dilandasi dengan berserah diri, tunduk dan ikhlas kepada Allah. Di antara pokok-
pokok berserah diri kepada Allah ialah cinta damai dan meninggalkan
pertempuran di antara orang-orang yang sehidayah. Perintah yang terdapat pada
ayat ini, menunjukkan arti tetap dan abadi. Tetaplah kalian berserah diri kepada
Allah sepenuhnya. Hal ini senada dengan firman Allah :

‫ياهتا الَّنُّيِب اَّتِق اهلل‬


"Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah..." (Al-Ahzab, 33: 1)
Makna ayat; Wahai orang-orang yang beriman dengan sepenuh hati dan
tingkah laku, tetaplah kalian menjalankan ajaran-ajaran islam sejak hari ini dan
seterusnya, jangan sekali-kali kalian melepaskan salah satu dari syariat-
syariatnya. Bahkan ambillah Islam secara keseluruhan dan fahamilah maksud
Islam yang sebenarnya. Dalam setiap tingkah laku dan menghadapi setiap
masalah, pakailah nash-nash Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasulullah, lalu
amalkanlah setiap anjurannya. Jangan mengambil satu dalil nash atau dalil sunnah
saja tanpa memperdulikan dalil-dalil nash atau sunnah lainnya, sebab mungkin
berselisih faham dengan hujjah yang dipakainya. Dan hal ini bisa menimbulkan
perpecahan dan percekcokan yang semakin seru di antara kalian dan akhirnya
kehancuranlah bagi kalian semua. Sudah seharusnyalah bagi kita kaum muslimin,
berpegangan pada tali persatuan Islam yang telah diperintahkan oleh Allah
melalui firman-Nya :

‫َواْعَتِص ُم وا َحِبْبِل الَّلِه ِمَج يًعا َواَل َتَفَّرُقوا‬


"Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai..." (Ali Imran, 3:103)
Dan la melarang keras kepada kita untuk tidak berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan apa yang telah la perintahkan, sebagaimana firman-Nya
dalam ayat berikut ini:

‫َواَل َتَناَزُعوا َفَتْف َش ُلوا‬


"... dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu
menjadi gentar ..." (Al-Anfaal, 8:46)

10
Dan Rasulullah sendiri pernah bersabda:

‫َال َتْرِج ُعوا َبْع ِد ي ُك َّفاًرا َيْض ِرُب َبْع ُضُك ْم َأْعَناَق َبْع ٍض‬

"Janganlah kalian kembali menjadi kufur setelahku, di mana sebagian di


antara kamu memukul leher sebagian lainnya."
Tetapi, kaum muslimin telah menyimpang dari anjuran ini. Kini mereka
berpecah belah dan saling baku hantam, sebagian memusuhi sebagian lainnya.
Mereka mendirikan mazhab-mazhab yang saling berlainan. Setiap mazhab
memusuhi mazhab lainnya dengan anggapan bahwa mereka sendirilah yang
menegakkan agama. Padahal, hakikatnya mereka menghina agama, kerena
membuat perpecahan di kalangan kaum muslimin. Yang bermazhab Sunni
menghantam saudaranya sendiri yang bermazhab Syi'ah, yang bermazhab Syafei
menghina bangsa Tar-Tar, oleh karena mereka menganut mazhab Abu Hanifah,
dan mereka yang mengikuti mazhab ulama Khalaf (mutaakhirin) mengecam
pengikut-pengikut mazhab ulama Salaf, demikian seterusnya.

‫َواَل َتَّتِبُعوا ُخ ُطَواِت الَّش ْيَطان‬


Janganlah kalian mengikuti jalan setan, yaitu menimbulkan perpecahan
dalam agama atau pertentangan dan persengketaan. Sebab, hal-hal tersebut adalah
langkah-langkah setan guna menyesatkan manusia, meskipun tampak
mengandung manfaat dan maslahat, tetapi hakikatnya adalah sebaliknya. Umat
Yahudi pada mulanya adalah umat yang bersatu dan berpegangan dengan satu
kitab, kemudian datanglah hembusan setan menggoda mereka, sehingga pecahlah
kesatuan mereka dan bercerai-berai menjadi beberapa sekte dan aliran. Mereka
menambahkan pada kitab suci mereka hal-hal yang mereka buat-buat dan
merubah hukum-hukum yang ada padanya sesuai dengan kemauan mereka. Lalu
Allah menguasai mereka melalui musuh-musuh mereka yang menghancurkan dan
memporak-porandakan mereka. Demikianlah, apa yang diperbuat setan terhadap
penganut-penganut agama lain. Setan pandai menggoda mereka.
Digambarkannya, seolah-olah agama mereka masih banyak hal-hal yang kurang,
sehingga mereka menyempurnakannya sendiri. Setan juga memberi gambaran
kepada mereka seolah-olah peraturan-peraturan agama mereka terlalu sedikit
sehingga mereka menambahkannya sendiri, sampai mereka merasa keberatan
sendiri, lalu mereka tinggalkan begitu saja. Akhirnya. Allah melenyapkan
persatuan mereka, sehingga meskipun jumlah mereka banyak, mereka sudah tidak
berdaya sama sekali, oleh karena musuh-musuh mereka telah siap untuk
menurunkan siksaan dan tindasan kepada mereka.
Kemudian Allah menjelaskan sebab dilarangnya mengikuti langkah-
langkah setan, untuk itu Allah berfirman dalam ayat berikut ini:
‫ِا‬
‫َّنهٗ َلُك ْم َعُد ٌّو ُّم ِبٌنْي‬

11
Sesungguhnya setan itu musuh kalian yang jelas, dan semua ajakannya
batil pula dan membahayakan bagi orang-orang yang mau berpikir dan merenungi
akibatnya. Barangsiapa yang tidak mengetahui bahayanya pada langkah awalnya,
kelak ia akan menemuinya pada akhir tujuan, tatkala merasakan pahitnya buah
mengikuti langkah setan. Sekarang, tidak ada alasan bagi orang- orang yang masih
tetap berada pada jalan yang sesat, sesudah datang peringatan dari Allah dan
sesudah turunnya hidayah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang
menunjukkan kepada jalan kebaikan, serta adanya peringatan dari Allah agar
jangan mengikuti jalan kejahatan dan kejelekan.4
Tafsir Al misbah
Hai orang-orang yang beriman, dengan ucapannya, baik yang sudah,
maupun yang belum dibenarkan imannya oleh perbuatannya, masuklah kamu
dalam kedamaian (Islam) secara menyeluruh.

Kata ‫ الِّس ْلِم‬as-silm yang diterjemahkan dengan kedamaian atau Islam,


makna dasarnya adalah damai atau tidak mengganggu. Kedamaian oleh ayat ini
diibaratkan berada suatu wadah yang dipahami dari kata (‫ )ِفي‬fi, yakni dalam;
orang yang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya ke dalam wadah
itu secara menyeluruh, sehingga semua kegiatannya berada dalam wadah atau
koridor kedamaian. Ia damai dengan dirinya, keluarganya, dengan seluruh
manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan serta alam raya, wal hasil ( ‫ )َك ۤاَّفًة‬kaffah,
yakni secara menyeluruh tanpa kecuali.
Ayat ini menuntut setiap yang beriman agar melaksanakan seluruh Islam,
jangan hanya percaya dan mengamalkan sebagian ajarannya ajaran dan menolak
atau mengabaikan sebagian yang lain. Ia dapat juga bermakna masuklah kamu
semua kaffah tanpa kecuali, jangan seorang pun di antara kamu yang tidak
masuk ke dalam kedamaian/Islam.
Karena setan selalu menggoda manusia, baik yang durhaka apalagi yang
taat, maka Allah melanjutkan pesannya, dan janganlah kamu ikuti langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang permusuhannya nyata bagimu atau tidak
menyembunyikan permusuhannya kepadamu.

Kata (‫ )ُخ ُط َواِت الَّش ْيَطان‬khuthuwat asy-syaithân/ langkah-langkah setan,


mengandung isyarat bahwa setan dalam menjerumuskan manusia menempuh jalan
bertahap, langkah demi langkah, menyebabkan yang dirayu tidak sadar bahwa
dirinya telah terjerumus ke jurang kebinasaan.5
Tafsir Al Azhar
Setelah pada ayat-ayat yang lalu Allah membicarakan dari hal orang-orang
yang beriman, dan dibicarakan pula orang-orang yang musyrik, kafir dan

4
Tafsir Al Maraghi. Juz 2 Hal. 196-200
5
Tafsir Al Misbah. Jilid 1 Hal. 449

12
dibicarakan pula dari hal ahlul-kitab dan juga orang munafik, maka sekarang
datanglah ayat da'wah kepada semua golongan itu:
"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam keseluruhannya."
(pangkal ayat 208).
Menurut penafsiran Imam as-Syaukani, pada lubuk hati sekalian golongan
yang tersebut di atas, baik dia disebut kafir atau musyrik ataupun dia ahlul kitab,
ataupun bahkan dia orang munafik, namun didalam lubuk hati mereka tetap ada
iman kepada Allah. Orang musyrik dalam hati mereka masih tetap mengakui
percaya kepada Allah. Ahlul-Kitab, baik Yahudi atau Nasrani telah diajar oleh
agama mereka percaya kepada Allah, cuma pusaka tua menyembah berhala itu
berat sekali melepaskan. Orang munafik, lidah mereka mengakui beriman, namun
hati mereka tidak mau percaya. Tetapi kalau dikaji-kaji lebih mendalam,
merekapun merasakan salah mereka menjadi munafik itu. Maka menurut ayat ini,
Tuhan menyeru kepada seluruhnya, lebih baik masuk sajalah ke dalam Islam,
jangan lagi berpecah-pecah juga dibawa hawa nafsu dan kehendak masing-
masing.
Di sini terdapat dua kalimat yang seyogyanya kita ketahui benar-benar apa
maksudnya. Pertama kalimat As-Silmi. Kedua perkataan Kaaffatan.
As-Silmi, menurut penafsiran dari al-Kisa'i, pada asal loghatnya boleh
dibaca dengan huruf sin yang difathahkan, (garis di atas) jadi As Salmi. Dan boleh
dibaca As-Silmi, sebagai yang masyhur yang kita baca ini. Arti kedua bacaan itu
ialah satu saja yaitu Islam yang berarti menyerah diri dengan tulus ikhlas. Dan
berarti juga ‫( ا َس اَلَم ُة‬Al Musalamatu) yang berarti suasana perdamaian di antara dua
‫ُمل‬
pihak yang selama ini belum damai. Maka jika dituruti tafsiran As-Syaukani tadi,
berartilah orang yang beriman atau ahlul-kitab atau munafik itu, yang selama ini
seakan-akan masih menentang Tuhan dan Tuhanpun murka kepada mereka, agar
mereka rujuk kembali kepada Allah, berdamai terhadap Tuhan, supaya Tuhanpun
memberi ampun mereka.
Lalu datang kalimat Kaaffatan yang berarti semuanya atau seluruhnya.
Kalau kita anggap dia sebagai hal daripada orang-orang yang telah dianggap
beriman tadi, maka yang dimaksud dengan keseluruhan ialah seluruh kafir,
musyrik, munafik dan orang-orang yang telah masuk lslam lebih dahulu itu,
supaya mulai saat ini lebih baik mereka seluruhnya bersatu di dalam Islam. Tetapi
kalau Kaaffatan kita jadikan hal dari As-Silmi atau Islam itu sendiri, berartilah dia
sebagai seruan kepada sekalian orang yang telah mengaku beriman kepada Allah
supaya kalau mereka Islam janganlah masuk separoh-separoh, sebahagian-
sebahagian, bahkan masukilah keseluruhannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, bahwasanya lbnu Abbas menafsirkan
ayat ini ialah mengenai orang-orang ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah
beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w. berkata: "Ya Rasulullah, hari sabtu
adalah hari yang sangat kami muliakan, bolehkanlah kiranya kami tetap

13
memuliakan hari itu. Dan Kitab Taurat pun Kitab Allah juga, sebab itu biarkanlah
kami kalau malam-malam tetap sembahyang secara Taurat.” Maka turunlah ayat
ini mengatakan kalau masuk Islam hendaklah memasuki keseluruhannya, jangan
separoh-separoh.
Kita akan dapat lebih faham penafsiran yang kedua ini, bahwa maksud
ayat ialah Kaaffatan menjadi hal dari As-Silmi itu sendiri, yaitu tafsir yang kedua.
Apatah lagi jika kita ingat ayat yang sebelumnya, yang menerangkan bahwa ada
manusia yang telah menjual diri kepada Allah, karena mengharapkan ridha Allah.
Menjual diri kepada Allah niscaya tidak boleh tanggung-tanggung, melainkan
keseluruhannya.
Maka dapatlah kita tafsirkan ayat ini, bahwasanya kita kalau telah
mengakui beriman, dan telah menerima Islam sebagai agama, hendaklah seluruh
isi al-Quran dan tuntunan Nabi diakui dan diikuti.
Semuanya diakui kebenarannya, dengan mutlak. Meskipun misalnya
belum dikerjakan semuanya, sekali-kali jangan dibantah! Sekalikali janganlah
diakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari peraturan Islam. Dalam pada
itu hendaklah kita melatih diri, agar sampaipun kita menutup mata yang terakhir,
meninggal dunia, hendaknya kita telah menjadi orang Islam yang 100%
" Janganlah kamu meninggal, melainkan adalah hendaknya kamu Muslim sejati."
(ali Imran: 102)
Sebagai bangsa, sebelum nenek-moyang kita memeluk Islam, kita telah
mempunyai peraturan-peraturan pusaka nenek-moyang yang terdahulu.
Seumpama orang Tapanuli dengan adat patriarchat dan orang Minangkabau telah
mempunyai adat matriarchat, yang keduanya mempunyai peraturan-peraturan
warisan yang berbeda sama sekali daripada hukum yang ditentukan Islam. Orang
Minangkabau telah Islam tetapi kadang-kadang harta pencaharian seorang laki-
laki dirampas juga dari anaknya, karena menurut adat. Demikian juga orang
Tapanuli, yang mewariskan harta kepada saudara laki laki, sehingga isteripun dia
wariskan pula dan tidak mendapat bahagian.
Maka belumlah sempurna, belumlah "masuk Islam keseluruhannya" di
Minangkabau dan Mandailing, kalau peraturan warisnya masih belum menurut
peraturan al-Quran walaupun di tempat itu telah berdiri mesjid-mesjid yang
megah perkasa. Kitapun dapat memahami hukum-hukum Sosiologi, bahwasanya
merobah dari orde yang lama kepada orde yang baru tidaklah dapat secepat kilat.
Inipun tidak mengapa, asal saja dimengerti bahwasanya peraturan Islam lebih baik
daripada peraturan adat lama itu.
Demikian juga dalam pendirian negara yang modern dan bcrdasarkan
demokrasi. Hendaklah di negeri-negeri Islam, agar ummatnya menjalankan
peraturan-peraturan Islam. Jangan sampai peraturan-peraturan dan hukum yang
berasal dari Islam ditinggalkan, lalu diganti dengan hukum barat yang bersumber
dan latar-belakangnya kalau tidak dari Kristen, tentu Hukum Romawi Kuno. Dan

14
di dalam negara yang penduduknya sebahagian besar ummat Islam, dan ada pula
pemeluk agama yang lain, agar terhadap golongan yang besar Muslim itu
dibiarkan berlaku hukum syariat Islam.
Pendeknya kita wajib berikhtiar agar Islam dalam keseluruhannya berlaku
pada masing-masing peribadi kita, lalu kepada masyarakat kita, lalu kepada
negara kita. Selama hayat dikandung badan, kita harus berjuang terus agar Islam
dalam keseluruhannya dapat berdiri dalam kehidupan kita. Dan jangan sampai kita
mengakui bahwa ada satu peraturan lain yang lebih baik daripada peraturan Islam.
Demikianlah misalnya tentang percakapan saya dengan seorang sahabat
saya yang telah lama sekali mendapat pendidikan secara barat, tetapi masih
niengakui dirinya seorang Muslim. Lalu, Iantaran pendidikan dan pergaulan itu,
dia susah sekali melepaskan dirinya daripada kebiasaan yang buruk, yaitu
meminum minuman keras. Lalu dia berkata kepadaku bahwa dia seorang Islam.
Dia banyak membaca terjemah al-Quran menghasung dan mengajak seorang
Islam memakai akal dan fikirannya. Menurut fikirannya, minuman keras
diharamkan Tuhan, karena dia menjadikan manusia mabok. Dia setuju sekali
dengan larangan itu. Sebab itu kalau dia minum, dia berusaha supaya jangan
mabok.
Lalu saya jawab, bahwa dalam mempergunakan akal dan fikiran, saudara
telah menuruti al-Quran. Sayangnya saudara mempergunakan akal fikiran itu ialah
buat mempertahankan diri, karena saudara telah melanggar larangan Allah yang
tertulis di dalam al-Quran sendiri. Saya sendiri, oleh karena saya bukan mendapat
didikan barat, jangankan meminum minuman keras, mendengar sajapun perasaan
saya telah menolaknya. Oleh sebab itu akal kita yang merdeka itu hendaklah kita
latih pula didalam kepatuhan kepada Allah. Sebab hasil akal dan fikiran itupun
kadang-kadang dipengaruhi oleh lingkungan kita dan sikap jiwa yang telah
mempengaruhi kita.
Ada seorang kiyai membolehkan seorang perempuan yang sedang haidh
masuk mesjid, padahal al-Quran melarangnya. Kiyai itu menghalalkan karena
katanya, di zaman sekarang sudah ada celana perempuan yang khusus untuk
haidh, sehingga darah tidak akan menetes lagi ke bawah. Kiyai itu
mempergunakan akalnya membuka pintu yang ditutup Allah, sebab kebetulan ada
beberapa ibu, nyonya-nyonya menteri yang ingin masuk mesjid Baitur-Rahim di
Istana Merdeka Jakarta. Maka untuk menunjukkan bahwa dia adalah kiyai
progressif dikeluarkannya fatwa itu. Padahal kalau akalnya masih murni, belum
dipengaruhi oleh keinginan dapat julukan progressif dia tidak akan sampai hati
meringankan larangan al-Quran yang senyata itu.
Kitapun mengakui dan melihat bahwa tidak ada orang Islam zaman
sekarang yang 100% dapat menjadi orang Islam, akan ada yang masih kekurangan
dan tidak pula ada satu negeri Islam, yang di sana hukum lslam telah berjalan
100%. Tetapi belum adanya itu bukanlah menunjukkan bahwa Islam boleh kita
pegang separoh-separoh. Kita selalu wajib berusaha mencapai puncak

15
kesempurnaan hidup menurut kemauan Islam, sampai kita mencapai Husnul
Khatimah.
Kita mengakui bahwa kita manusia mempunyai banyak kelemahan,
sehingga hasil cita-cita yang bulat tidaklah dapat dicapai sekaligus. Dia kadang-
kadang menghendaki tenaga, turunan demi turunan. Tetapi dengan adanya tujuan
cita-cita, jelaslah apa yang diperjuangankan. Jangan hanya merasa puas dengan
apa yang telah dicapai. "Dan janganlah kamu turut jejak-jejak syaitan;
sesungguhnya dia bagi kamu adalah musuh yang nyata." (ujung ayat 208).
Niscaya syaitan, baik yang halus maupun yang kasar, senantiasa berusaha
hendak membelokkan perhatian orang yang beriman daripada tujuan yang telah
ditentukan itu. Niscaya syaitan-syaitan tidak merasa senang kalau tercapai tujuan
itu. Sebab itu gangguan syaitan akan mengemukakan pula rencana-rencana lain,
jejak dan pengaruh lain, sehingga bukan sedikit negeri Islam atau orang yang
terkemuka beragama Islam tidak merasa yakin, bahkan ada yang menolak
kebenaran kehendak Islam. Seumpama negeri Turki di bawah pimpinan Kemal
Attaturk, karena merasa sulit menggabungkan beberapa ijtihad ulama Islam untuk
hukum pidana dan perdata negerinya, lalu diambilnya saja secara langsung
undang-undang Swizerland untuk pengganti undang-undang negerinya. Di
Indonesia ini pemerintah jajahan Belanda, untuk menghilangkan pengaruh hukum
Islam, sengaja menonjolkan beberapa hukum adat. Dan hukum-hukum adat itu
dicari-cari pada tiap-tiap daerah, sehingga timbul lah berbagai rona corak hukum,
karena perbedaan adat. Belanda lebih suka hukum adat yang berpecah-belah,
daripada penduduk negeri golongan terbesar (mayoritas) beragama Islam itu
bersatu hukumnya menurut agamanya, padahal hukum itu memang ada.
Tetapi lucunya, di negeri yang hukum Islam telah dijadikan hukum adat,
mereka tidak pula mau mengakui hukum itu. Seumpama di dalam negeri Kerajaan
Buton (Pulau Buton, Sulawesi) telah dijadikan hukum adat merajam orang yang
kedapatan berzina dengan disaksikan oleh saksi menurut ketentuan al-Quran, dan
telah pernah dipotong tangan orang yang mencuri. Di samping istana raja Buton
masih didapati batu hampar tempat orang menjalani hukum rajam dan potong
tangan itu. Pemerintah Belanda tidak mau mengakui hukum adat yang demikian,
sebab "katanya" melanggar perikemanusiaan yang amat dijaga dan dipertahankan
oleh pemerintah Hindia-Belanda! Seakan-akan hanya mereka yang
mempertahankan kemanusiaan, dan rakyat jajahan tidak.
Negara-negara penjajah dan negara besar yang berpengaruh telah berusaha
dengan jalan pendidikan atau propaganda memasukkan jejak-jejak syaitan ke
dalam jiwa kaum Muslimin pada negeri-negeri Islam yang mereka jajah atau
pengaruhi, agar orang Islam memakai peraturan lain untuk mengatur pergaulan
hidup mereka. Sehingga meskipun mereka masih mengaku Islam, tetapi mereka
menolak tiap-tiap cita Islam untuk memperbaiki masyarakat.
Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, menyelinaplah syaitan
memasukkan pengaruh, menunjukkan jalan dan meninggalkan jejak-jejak

16
sehingga akhirnya kelak Islam itu hanya tinggal menjadi nama dan sebutan, tetapi
telah menempuh berbagai jalan yang bersimpang-siur di dalam menghadapi serba-
serbi kehidupan. Kadang-kadang timbul perpecahan di antara Muslimin, masing-
masing mendakwakan dirinya yang benar, kawan yang lain kawan salah belaka.
Setanpun memasukkan rasa permusuhan kepada masing-masing pihak sehingga
sukar dipertemukan. Maka terjuallah diri mereka kepada setan, bukan lagi
menjual diri kepada Allah.6
Tafsir At Thabari
Penakwilan firman Allah
‫ِا‬ ‫ِت‬ ‫ِذ‬
‫ٰٓيَاُّيَه ا اَّل ْيَن ٰاَم ُنوا اْد ُخ ُلْوا ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّفًة ۖ َّواَل َتَّتِبُعْوا ُخ ُطٰو الَّش ْيٰطِۗن َّٗنه َلُك ْم َعُد ٌّو ُّم ِبٌنْي‬
(Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya)

Ahli tafsir berbeda pendapat tentang arti ( ‫ )الِّس ْلِم‬dalam ayat ini. Sebagian
mereka berkata: Artinya adalah islam. Sebagaimana riwayat berikut:
1. Muhammad bin Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Ashim
menceritakan kepada kami, dari Isa, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid tentang
firman Allah (‫ )اْد ُخ ُلْو ا ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّفًة‬ia berkata: masuklah ke dalam Islam.

2. Al Hasan bin Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: Aabdurrazaq


memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ma’mar memberitahukan kepada kami,
dari Qatadah dalam firman Allah ( ‫ )اْد ُخ ُلْو ا ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّفًة‬ia berkata: masuklah ke dalam
Islam.
3. Muhammad bin Sa'd menceritakan kapadaku, ia berkata: Bapakku
menceritakan kepadaku ia berkata: Pananku menceritakan kepadaku, ia berkata:
Bapakku menceritakan kapadaku, dari bapaknya, dari lbnu Abbas
(‫ )اْد ُخ ُلْو ا ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّفًة‬ia berkata: ‫ الِّس ْلِم‬: Islam.

4. Musa bin Harun menceritakan kepadaku, ia berkata: Amr memberitahukan


kepada kami, ia berkata: Asbath menceritakan kepada kami, dari As-Suddi
( ‫ )اْد ُخ ُلْو ا ىِف الِّس ْلِم‬ia berkata: ke dalam lslam.

5. Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Waki’ menceritakan kepada


kami, dari Nathar bin Arabi, dari Mujahid: masuklah ke dalam Islam.
6. Yunus menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Wahhab memberitahukan
kepada kami, ia berkata: Ibnu Zaid berkata mengenai firman Allah
( ‫ )اْد ُخ ُلْو ا ىِف الِّس ْلِم‬ia berkata: ‫ الِّس ْلِم‬yakni Islam.

6
Tafsir Al-Azhar, hal. 483-487

17
7. Aku telah diberitahu dari AI Husain bin Faraj, ia berkata: aku mendengar Abu
Muadz bin Fadl bin Khalid, ia berkata: Ubaid bin Sulaiman, ia berkata: aku
mendengar Adh-Dhahhak berkata: ( ‫ )اْد ُخ ُلْو ا ىِف الِّس ْلِم‬ke dalam lslam.

Yang lainnya berpendapat: maknanya adalah masuklah ke dalam ketaatan.


Sebagaimana riwayat berikut:
1. Aku telah diberitahu dari Amar, ia berkata: Ibnu Abi Ja'far menceritakan kepada
kami, dari bapaknya, dari Ar-Rabi' (‫ )اْد ُخ ُل ْو ا ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّف ًة‬ia berkata: masuklah ke
dalam ketaatan.
Para qurra’ berbeda bacaan dalam qiraat ayat tersebut. Kebanyakan qurra`
ahli Hijaz membacanya ‫ اْد ُخ ُلْو ا ىِف الِّس ْلِم‬dengan memfathahkan huruf siin. Sedangkan
ahli Kufah membacanya dengan mengkasrahkan siin. . Sedangkan yang membaca
‫ الِّس ْلِم‬dengan fathah merreka menakwilkan ayat tersebut dengan makna yaitu
penyerahan, yang artinya: masuklah dalam perdamaian, perbaikan, meninggalkan
perang, dan membayar upeti.
Abu Amr bin Ala membaca semua kalimat yang ada dalam Al Qur`an
dengan fathah kecuali yang terdapat pada surat al Baqarah. Dia mengkhususkan
membacanya dengan fathah karena dia menafsirkannya dengan makna islam dan
bukan lainnya.

Dan tafsiran yang lebih utama tentang firman Allah: ‫ اْد ُخ ُل ْو ا ىِف الِّس ْلِم‬adalah
pendapat yang mengatakan: bahwa maknanya adalah masuklah ke dalam Islam.
Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk
mengamalkan semua syariat islam, masuk di dalamnya orang-orang yang beriman
dan membenarkan dengan Muhammad Saw. Serta apa yang datang bersamanya
dan orang-orang yang beriman dengan para nabi sebelum Muhanmad Saw dan apa
yang mereka bawa, Allah telah menyeru kedua golongan tersebut untuk
mengamalkan syar'iat lslam dan ketentuan-ketentuannya, menjaga kewajiban yang
telah Allah bebankan kapada mereka, dan melarang untuk meninggalkan satupun
dari ajaran tersebut, ayat ini umum masuk di dalamnya semua yang beriman, tidak
ada kekhususan antara yang satu dengan yang lain. Dan penafsiran kami
sebagaimana dikatakan oleh Mujahid, dalam riwayat berikut:
Muhammad bin Amr menceritakan kapadaku, ia berkata: Abu Ashim
menceritakan kepada kami, dari Isa,dari lbnu Abi Najih, dari Mujahid tentang
firman Allah: (‫ )اْد ُخ ُل ْو ا ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّف ًة‬ia berkata masuklah kedalam Islam secara
menyeluruh, laksanakanlah amalan dengan menyeluruh.

Penakwilan firman Allah: ‫( َك ۤاَّفًة‬keseluruhannya)

18
Abu Ja'far berkata: Maksud dari firman Allah ‫ َك ۤاَّف ًة‬menyeluruh dan
kesemuanya. Sebagaimana:
1. Al Hasan bin Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdurrazaq
memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ma'mar memberitahukan kepada kami,
dari Qatadah dalam firman Allah: ‫ ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّفًة‬ia berkata: menyeluruh.

2. Musa menceritakan kepada kami, ia berkata: Amr menceritakan kepada kami,


ia berkata: Asbath menceritakan kapada kami, dari As-Suddi: ‫ ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّف ًة‬ia
berkata: menyeluruh.
3. Aku telah diberitahu dari Ammar, ia berkata: Ibnu Abi Ja'far menceritakan
kapada kami, dari bapaknya dari Ar-Rabi’: ‫ ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّفًة‬ia berkata: menyeluruh, dan
dari bapaknya, dari Qatadah, seperti itu.
4. Abu Kuraib menceritakan kapada kami, iaberkata: Waki’ bin Al Jarrah
menceritakan kepada kami, dari Nadhar, dari Mujahid, masuklah dalam lslam
secara menyeluruh.
5. Al Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: Al Husain menceritakan
kapada kami, ia berkata: Hajjaj menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Juraij
berkata: Ibnu Abbas berkata: ‫ َك ۤاَّفًة‬menyeluruh.

6. Yunus menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahhab memberitahukan


kepada kami, iaberkata: Ibnu Zaid berkata: ‫( َك ۤاَّف ًة‬Qs. At-Taubah[9]:36)
menyeluruh, kemudian membaca menyeluruh.
7. Aku telah diberitahu dari Al Husain, ia berkata: Aku mendengar Abu Mu’adz
bin Fadl bin Khalid, ia berkata: Ubaid bin Sulaiman memberitahukan kepada
kami, ia berkata: aku mendengar Adh-Dhahhak berkata tentang firman Allah:
(‫ )اْد ُخ ُلْو ا ىِف الِّس ْلِم َك ۤاَّفًة‬berkata: menyeluruh.

Penakwilan firman Allah: ‫( َّواَل َتَّتِبُعْو ا ُخ ُطٰو ِت الَّش ْيٰطِۗن ِاَّنهٗ َلُك ْم َعُد ٌّو ُّم ِبٌنْي‬dan janganlah
kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagimu)
Abu Ja'far berkata: Maksud Allah dalam fiman tersebut: Wahai orang-orang yang
beriman amalkanlah syariat lslam dengan menyeluruh, yakin kebenarannya
dengan perkataan dan amalan, tinggalkanlah jalan-jalan setan dan setiap jejaknya
dan janganlah kamu sekali-kali mengikutinya, sesungguhnya dia adalah musuh
yang nyata bagi kamu, jelas dalam pemusuhannya, dan jalan-jalan setan yang
dilarang darimu untuk mengikutinya adalah semua yang menyelisihi hukum Islam
dan syariatnya, temasuk merayakan hari sabtu, dan semua jalan pengikut agama
yang menyelisihi agama lslam.7
7
Tafsir At Thabari, hal. 513-520

19
Poin Analisis, Konklusi, dan Kesimpulan
Setelah pemaparan beberapa tafsir diatas, dapat diambil poin-poin pokok
pembahasan mengenai Q.S Al Baqarah ayat 208, antara lain:
Dalam ayat ini mengingatkan kepada kita konsep takwa, Imtitsalu awamirillah
wajtinabu nawahihi.
1. Seruan (Al ashlu fil amri lilwujub) kepada orang orang yang telah beriman
(apapun kondisi keimanannya) untuk selalu berusaha menerapkan ajaran islam
secara menyeluruh, tidak setengah-setengah.
Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berusaha
memperdalam ilmu dan wawasan keislaman sebagai salah satu misi keagamaan
agama islam. Kitapun mengakui dan melihat bahwa tidak ada orang Islam zaman
sekarang yang 100% dapat menjadi orang Islam, akan ada yang masih kekurangan
dan tidak pula ada satu negeri Islam, yang di sana hukum lslam telah berjalan
100%. Tetapi belum adanya itu bukanlah menunjukkan bahwa Islam boleh kita
pegang separuh-separuh. Kita selalu wajib berusaha mencapai puncak
kesempurnaan hidup menurut kemauan Islam, sampai kita mencapai Husnul
Khatimah.
2. Jangan tinggalkan atau abaikan sedikitpun padahal kita mengetahuinya.
Seperti yang dilakukan orang-orang ahli kitab yang mempercayai sebagian
isi kitab suci mereka dan mengingkari sebagian isinya yang lain. Allah yang
menjaga Al Qur’an dari tangan manusia yang ingin merubahnya, seperti yang
dilakukan manusia pada kitab samawi sebelumnya, namun setan tidak kehabisan
cara yakni mempengaruhi manusia untuk mengambil hukum dan hujjah sebagian
yang dia senangi dan mengabaikan yang lain.
3. Seruan kepada orang yang masih menerapkan budaya-budaya jahiliyah,
sehingga tercampur antara haq dan yang bathil
Orang musyrik dalam hati mereka mengakui percaya kepada Allah tetapi
mereka masih mengakui keberadaan makhluk lain yang memiliki pengaruh seperti
Allah Swt. Ahlul-Kitab, baik Yahudi atau Nasrani telah dijelaskan oleh agama
mereka percaya kepada Allah, tetapi mereka malah menganggap Allah
mempunyai anak. Orang munafik, lidah mereka mengakui beriman, namun hati
mereka tidak mau percaya. Dalam hati, merekapun merasakan salah mereka
menjadi munafik itu.
4. Seruan (Al ashlu finnahyi littahrim) kepada orang orang yang telah beriman
(apapun kondisi keimanannya) untuk tidak mengikuti langkah-langkah setan.
Kita dilarang oleh Allah Swt berdiri di belakang setan dan mentaati apa
yang dia perintahkan berupa melakukan perbuatan syubhat dan maksiat. Semua
yang menyelisihi hukum Islam dan syariatnya untuk menyesatkan dan
menghinakan. Serta kita sesegera mungkin mengobati nafsu dan hati yang telah
terdampak bujuk rayu setan. Dari sisi kemanusian dapat disimpulkan

20
bahwasannya yang tidak berperikemanusiaan adalah mereka yang mengikuti
langkah-langkah setan.
5. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata permusuhannya kepada kalian
Setan adalah satu-satunya musuh. Dari kita dilahirkan hingga ajal
menjemput mereka akan selalu berusaha bagaimanapun caranya menghalangi kita
dari ridha Allah Swt.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‫ِاَّن الَّش ْيٰطَن َلُك ْم َعُد ٌّو َفاِخَّت ُذ ْوُه َعُد ًّوۗا ِاَمَّنا َيْد ُعْوا ِح ْزَبهٗ ِلَيُك ْو ُنْوا ِم ْن َاْص ٰح ِب الَّس ِعْي‬

Sesungguhnya setan itu musuh bagimu. Maka, perlakukanlah ia sebagai


musuh! Sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka
menjadi penghuni (neraka) Sa‘ir (yang menyala-nyala). QS. Fathir: 6.
B. Al A’raf ayat 172
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‫َوِاْذ َاَخ َذ َرُّبَك ِم ْۢن َبِن ٰاَدَم ِم ْن ُظُهْوِرِه ْم ُذِّرَّيَتُه ْم َوَاْش َه َد ُه ْم َعٰٓلى َاْنُف ِس ِه ْۚم َاَلْس ُت ِبَرِّبُك ْۗم َقاُلْوا َبٰل ۛى َش ِه ْدَناۛ َاْن َتُقْو ُلْوا‬
‫َيْوَم اْلِق ٰي َم ِة ِاَّنا ُك َّنا َعْن ٰه َذ ا ٰغ ِفِلْي‬

(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu


Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri
mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya)
agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah
terhadap hal ini.” Al-A‘rāf [7]:1728
1. Tafsir Ibnu Katsir
Allah Ta'ala memberitahukan, bahwasanya Allah mengeluarkan anak
keturunan Adam dari tulang sulbi mereka, dalam keadaan mereka bersaksi
terhadap diri mereka sendiri, bahwa Allah adalah Rabb dan Penguasa mereka, dan
bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak untuk diibadahi) melainkan hanya Dia,
sebagaimana Allah telah memfitrahkan mereka dan mentabi'atkan dalam keadaan
seperti itu. Allah berfirman:

‫َفَأِقۡم َوۡج َه َك ِللِّدیِن َح ِنیࣰفۚا ِفۡط َرَت ٱلَّلِه ٱَّلِتی َفَطَر ٱلَّناَس َعَل ۡی َهۚا اَل َت ۡب ِدی َخِل ۡل ِق ٱلَّلِۚه‬
‫ࣰف‬ ‫َل‬
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai)
fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.Tidak
ada perubahan pada ciptaan Allah. [Surat Ar-Rum: 30]
Dan dalam ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Muslim), diriwayatkan
dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda:

8
https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/7?from=172&to=174

21
‫ َك َم ا ُتوَلُد ِهِبْيَم ٌة‬،‫ َوَمُيِّج َس اِنِه‬،‫ َو ُيَنِّص َراِنِه‬،‫ َويِف ِرَواَيٍة َعَلى َه ِذِه اْلِم َّلِة – َفَأَبَواُه ُيَه ِّوَد اِنِه‬- ‫ُك ُّل َمْو ُلوِد ُيوَلُد َعَلى اْلِف ْطَرِة‬
‫ َه ْل ِحُت ُّس ْو َن ِفْيَه ا ِم ْن َج ْد َعاَء ؟‬،‫ْمَجَعاَء‬
“Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah.” -dalam riwayat lain
disebutkan: “Dalam keadaan memeluk agama ini.- Maka kedua orang tuanyalah
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana seekor binatang
dilahirkan dalam keadaan utuh (sempurna), apakah kalian mendapatinya dalam
keadaan terpotong (cacat)?"
Dan dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari 'Iyadh bin Himar, ia berkata,
Rasulullah bersabda:
‫ِه‬ ‫ِد ِنِه‬ ‫ِط‬ ‫ِع ِد‬ ‫ِإ‬
‫ َوَح َّرَم ْت َعَلْي ْم َم ا َأْح َلْلُت ُهَلْم‬، ‫ َفَج اَءْتُه ُم الَّش َيا ُني َفاْج َتاَلْتُه ْم َعْن ي ْم‬،‫ يِّن َخ َلْق ُت َبا ي ُح َنَف اَء‬:‫َيُقوُل اُهلل‬
“Allah berfirman, sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku
dalam keadaan hanif (lurus). Maka datanglah syaitan-syaitan kepada mereka, lalu
menyimpangkan mereka dari agamanya dan mengharamkan bagi mereka apa yang
telah Aku halalkan bagi mereka.” (HR. Muslim).
Ada beberapa hadits tentang pengambilan anak keturunan manusia ini dari
tulang sulbi Adam dan mereka dibedakan menjadi Ash-haabul Yamiin (golongan
kanan atau ahli Surga) dan Ash-haabusy Syimaal (golongan kiri atau ahli Neraka).
Pada sebagian hadits itu disebutkan adanya pengambilan ke- saksian terhadap
mereka, bahwa Allah adalah Rabb mereka. Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas
bin Malik, dari Nabi beliau bersabda:

‫ َأَرَأْيَت َلْو َك اَن َلَك َم ا َعَلى اَأْلْر ِض ِم ْن َش ْي ٍء َأُكْنَت ُمْف َتِدًيا ِبِه؟ َقاَل‬: ‫ُيَق اُل ِللَّرُج ِل ِم ْن َأْه ِل الَّناِر َيْوَم اْلِق َياَم ِة‬
،‫ َقْد َأَخ ْذ ُت َعَلْيَك يِف َظْه ِر آَدَم َأْن اَل ُتْش ِرَك يِب َش ْيًئا‬، ‫ َقْد َأَرْد ُت ِم ْنَك َأْه َوَن ِم ْن َذِلَك‬: ‫ َفَيُقوُل‬، ‫ َنَعْم‬: ‫َفَيُقوُل‬
‫َفَأَبْيَت ِإاَّل َأْن ُتْش ِرَك يِب‬

“Ditanyakan kepada salah seorang penghuni Neraka pada hari Kiamat


kelak: ‘Bagaimana pendapatmu jika engkau mempunyai sesuatu di atas bumi,
apakah engkau bersedia untuk menjadikannya sebagai tebusan?’ Maka ia
menjawab: Ya, bersedia. Kemudian Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku telah
menghendaki darimu, sesuatu yang lebih ringan dari itu. Aku telah mengambil
perjanjian darimu ketika masih berada di punggung Adam, yaitu agar engkau
tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu pun, tetapi engkau menolak, dan tetap
mempersekutukan-Ku." (Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhari dan Muslim
dalam ash-Shahihain).
Ada hadits lain, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Muslim bin Yasar al-
Juhani, bahwa 'Umar bin al-Khaththab pernah ditanya mengenai ayat ini, Maka
'Umar pun menjawab, aku mendengar Rasulullah ditanya mengenai ayat tersebut,
maka beliau menjawab:

22
)‫ َخ َلْق ُت َه ُؤاَل ِء ِلْلَج َّنِة َو ِبَعَم ِل َأْه ِل اَجْلَّنِة‬: ‫ َقاَل‬،‫ َفاْس َتْخ َرَج ِم ْنُه ُذِّرَّيًة‬،‫ َّمُث َمَسَح َظْه َرُه ِبَيِم يِنِه‬،‫ِإَّن اَهلل َخ َلَق آَدَم‬
‫ َيا‬:‫ َخ َلْق ُت َه ُؤاَل ِء ِللَّناِر َو ِبَعَم ِل َأْه ِل الَّناِر َيْع َم ُلوَن ) َفَق اَل الَّرُج ُل‬: ‫ َقاَل‬،‫ َّمُث َمَسَح َظْه َرُه َفاْس َتْخ َرَج ِم ْنُه ُذِّرَّيٌة‬، ‫َيْع َم ُلوَن‬
‫ ِاْس َتْع َم َلُه ِبَأْع َم اِل َأْه ِل اَجْلَّنِة َح ىَّت‬،‫ ِإَذا َخ َلَق الَّلُه اْلَعْبَد ِلْلَج َّنِة‬:‫َرُس وَل اهلل َفِق يَم اْلَعَم ُل؟ َقاَل َرُس وُل الَّلِه ﷺ‬
‫ َح ىَّت‬، ‫ ِإْس َتْع َم َلُه ِبَأْع َم اِل َأْه ِل الَّناِر‬، ‫ َو ِإَذا َخ َلَق اْلَعْبَد ِللَّناِر‬.‫ َفُيْد ِخ ُلُه ِبِه اَجْلَّنَة‬،‫ُمَيْو َت َعَلى َعَم ٍل ِم ْن َأْع َم اِل َأْه ِل اَجْلَّنِة‬
‫ِخ ِبِه‬ ‫ِل‬ ‫ِم‬
‫ َفُيْد ُلُه الَّناَر‬، ‫ُمَيْو َت َعَلى َعَم ِل ْن َأْع َم ا َأْه ِل الَّناِر‬
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam, lalu Allah mengusap
punggungnya dengan tangan kanan-Nya, maka keluarlah darinya keturunannya
dan Allah berfirman: ‘Aku telah menciptakan mereka sebagai ahli Surga dan
dengan amalan ahli Surga mereka beramal.’ Lalu mengusap lagi punggungnya dan
mengeluarkan darinya keturunan yang lain, Allah pun berfirman: ‘Aku telah
menciptakan mereka sebagai ahli Neraka dan dengan amalan ahli Neraka mereka
beramal.’ Kemudian ada seseorang yang bertanya: ‘Ya Rasulullah, lalu untuk apa
kita beramal?’ Maka beliau menjawab: ‘Sesungguhnya, jika Allah menciptakan
seorang hamba sebagai penghuni Surga, maka Allah menjadikannya berbuat
dengan amalan penghuni Surga, sehingga ia meninggal dunia di atas amalan dari
amalan-amalan penghuni Surga lalu ia dimasukkan ke dalam Surga karenanya.
Dan jika Allah menciptakan seorang hamba sebagai penghuni Neraka, maka la
akan menjadikannya berbuat dengan amalan penghuni Neraka, sehingga ia
meninggal dunia di atas amalan dari amalan-amalan penghuni Neraka lalu ia
dimasukkan ke dalam Neraka karenanya.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu
Dawud, an-Nasa'i dan at- Tirmidzi dalam tafsir keduanya, juga dikeluarkan oleh
Ibnu Hibban dalam Shabihnya, semuanya bersumber dari Imam Malik bin Anas.
At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).
Beberapa ulama salaf dan khalaf mengatakan bahwa maksud dari
pengambilan kesaksian itu adalah, penciptaan mereka atas fitrah tauhid,
sebagaimana telah diuraikan dalam hadits Abu Hurairah dan 'Iyadh bin Himar al-
Mujasyi'i dan riwayat al-Hasan al-Bashri, dari al-Aswad bin Sari', dan al-Hasan
al-Bashri sendiri telah menafsiran demikian terhadap ayat tersebut.
Allah menciptakan mereka dalam keadaan bersaksi atas hal itu, dalam
keadaan mengatakan kepada-Nya melalui tindakan dan ucapan.
Mereka (para ulama salaf dan khalaf) mengatakan, “Di antara dalil yang
menunjukkan, bahwa yang dimaksudkan (dari kata isyhad ini) adalah penciptaan
manusia atas fitrah tauhid, yaitu dijadikannya hal itu sebagai hujjah atas diri
mereka dalam mempersekutukan Allah.” Maka seandainya pengambilan
kesaksian itu sendiri benar-benar pernah terjadi, sebagaimana dikatakan oleh
sebagian orang, niscaya setiap orang menyebutkannya untuk dijadikan hujjah bagi
dirinya. Dan jika ada orang yang mengatakan, pemberitaan tentang hal ini dari
Rasulullah cukup menjadi dalil keberadaannya, maka hal itu dapat dijawab,
bahwa orang-orang yang mendustakan dari kalangan orang-orang musyrik itu,
mendustakan semua yang dibawa oleh para Rasul, baik mengenai hal itu maupun

23
hal-hal lainnya. Sedangkan hal ini dijadikan hujjah tersendiri atas mereka,
karenanya hal itu menunjukkan bahwa maksudnya adalah, pen- ciptaan mereka
atas fitrah pengakuan terhadap tauhid.

Untuk itu, Allah berfirman, ‫(“ َاْن َتُقْو ُلْو ا َيْوَم اْلِق ٰي َم ِة‬Kami lakukan yang demikian
itu) agar pada hari Kiamat kamu tidak mengatakan.” Maksudnya, agar pada hari
Kiamat kelak kalian tidak mengatakan, ‫“ ِاَّنا ُك َّن ا َعْن ٰه َذ ا‬Sesungguhnya kami (bani
Adam) adalah orang-orang yang terhadap hal ini,” yaitu tauhid, ‫ “ ٰغ ِفِلْي‬orang-orang
yang lalai/lengah.9
2. Tafsir Al Maragi
(172). "Dan (Ingatlah) tatkala Tuhanmu keluarkan anak cucu Adam dari tulang-
tulang belakang mereka, dan la jadikan mereka saksi atas diri mereka, 'Bukankah
Aku Tuhan kamu ?' Mereka berkata, 'Betul! Kami menyaksikan.' Yang demikian
itu supaya kamu (tidak) berkata pada hari kiamat, 'Sesunguhnya kami lalai dari
ini," "
(173). "Atau supaya kamu tidak berkata, ‘Hanya yang musyrik itu ialah bapak-
bapak kami dari dahulu, dan adalah kami ini anak cucu sesudah mereka, oleh
karena itu apakah Engkau hendak binasakan kami lantaran apa yang dikerjakan
oleh orang-orang yang berbuat kesalahan?’ "
(174). "Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, dan supaya mereka
kembali."
Penafsiran Kata-kata Sulit
‫ ُظُه ْوِر‬Az-Zuhur: jamak dari zahr (punggung), yaitu bagian badan yang terdapat
padanya tulang belakang dari kerangka manusia yang merupakan tiang dari
bangunan tubuhnya. Oleh karenaya zahr, bisa dipakai untuk menyatakan seluruh
tubuh.

‫ الُذ رية‬Az-Zuriyyah: keturunan manusia, baik lelaki maupun perempuan.

‫ الشهادة‬Asy-Syahadah: (kesaksian) bisa berupa ucapan, maupun tingkah laku.


seperti firman Allah Ta'ala:

‫َقاُلوا َش ِه ْدَنا َعَلى اْنُفِس َنا‬


"Mereka berkata, 'Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri." (Al- An'am, 6: 130).
Pengertian Secara Umum
Setelah Allah SWT. menerangkan tentang petunjuk Allah kepada umat
manusia dengan mengutus para utusan-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya,
9
Tafsir Ibnu Katsir. Hal 481-485

24
yakni dalam kisah Allah tentang Bani Israil, maka selanjutnya Allah menerangkan
pula tentang petunjuk-Nya kepada mereka, berupa bakat iman yang telah Allah
letakkan pada naluri dan susunan akal pikiran mereka, yakni bakat untuk beriman
kepada Allah dan mengesakan-Nya, serta bersyukur kepada-Nya, sejak mereka
diciptakan pertama kali.
Bahwa setelah Allah SWT. menjelaskan tentang keterlaluan umat Yahudi
dalam kesesatan mereka setelah diambil sumpah mereka secara khusus,
sebagaimana ditunjukkan dalam firman-Nya :

‫َو ِإْذ َنَتْق َنا اَجْلَبل َفْو َقُه ْم َك َأَّنُه ُظَلٌة‬


"Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit
itu naungan awan." (Al-A'raf, 7:171).
Dan firman-Nya :
‫ِم‬ ‫ِإ‬
‫َو ْذ َاَخ ْذ َنا يَثاَقُك ْم َوَرَفْع َنا َفْو َقُك ُم الُّطوَر‬
"Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit
(Turisina) di atasmu." (Al-Baqarah, 2:92).
Maka di sini Allah SWT. menerangkan bahwa terhadap sumpah umum
pun, Bani Israil melakukan pelanggaran, yakni terhadap sumpah yang telah
diambil Allah terhadap Bani Adam seluruhnya, ketika mereka masih berada dalam
tulang punggung Adam. Bahkan, mereka juga musyrik kepada Allah dengan
mengatakan, "Uzair itu anak Allah."
Penjelasan

( ‫) َو ِإْذ َأَخ َذ َرُّبَك ِم ْن َبيِن آَدَم ِم ْن ُظُه وِرِه ْم ُذِّرَّيَتُه ْم َوَأْش َه َد ُه ْم َعَلى َأنُف ِس ِه ْم اَلسُت ِبَرِتُك ْم َقاُلوا َبَلى َش ِه ْدَناء‬
Dan ceritakanlah kepada umat manusia seluruhnya tentang janji naluri
(fitrah) yang telah diambil Allah terhadap umat manusia seluruhnya, bahwa Allah
telah mengeluarkan dari Bani Adam keturunan mereka kandungan demi
kandungan, dan Dia ciptakan mereka membawa fitrah Islam yaitu dengan
menaruh dalam hati mereka pembawaan iman yang yakin, bahwa setiap pekerjaan
pasti ada yang mengerjakannya, dan bahwa di atas segala alam yang berjalan
berdasarkan undang-undang sebab-musabab (kausalita) pastilah ada suatu
kekuatan yang Maha Tinggi yang menguasai seluruh yang ada ini. Dan Dia-lah
semata-mata yang berhak disembah.
Dan katakan juga, bahwa Allah mempersaksikan tiap-tiap orang dari anak
manusia itu, yang lahir generasi demi generasi atas diri mereka sendiri, tentang
apa yang Allah taruh dalam naluri dan bakat mereka seraya berfir man kapada
mereka dengan firman yang berupa iradah dan penciptaan bukan firman yang
berupa wahyu dan penyampaian (tablig). Firman-Nya, "Bukankah Aku ini
Tuhanmu ?"

25
Maka jawab manusia dengan bahasa tingkah laku mereka, bukan dengan
bahasa perkataan, "Betul, Engkau adalah Tuhan kami, dan hanya Engkaulah yang
patut disembah."
Dan kata Ibnul Qayim dalam kitabnya Ar-Ruh, ketika membahas soal
penciptaan ruh sebelum jasad yang ringkasnya, bahwa Allah SWT. telah
mengeluarkan rupa-rupa manusia dan makhluk-makhluk lain semisalnya. Maka
dipisah-pisahkanlah mana yang celaka dan mana yang bahagia, mana yang
selamat dari godaan dan mana yang tergoda. Dalam hal ini asar-asarnya saling
mendukung secara marfu'. Dan bahwa Allah memberi hujjah kepada mereka
waktu itu dan mengambil kesaksian mereka terhadap ketuhanan-Nya dan
mempersaksikan mereka kepada malaikat-malakat-Nya, sebagaimana ditunjukkan
hal itu oleh ayat di atas.
Adapun Ibnu Ishaq mengatakan, "Boleh jadi Allah SWT. membuat
makhluk-makhluk semisal atom yang Dia ciptakan itu mempunyai kepahaman
yang dengan itu mereka dapat mengerti sebagaimana Dia firmankan :
‫ِك‬
‫َقاَلْت ْمَنَلٌة َيَأُّيَه ا الَّنْم ُل اْد ُخ ُلوا َم َس ا َنُك ْم‬.
"Berkatalah seekor semut, 'Hai semut-semut masuklah ke dalam sarang-
sarangmu....." (An-Naml, 27: 18). 1
Dalam pada itu, Allah pun telah menundukkan gunung-gunung dan burung-
burung supaya bertasbih bersama Nabi Daud.
Bagaimana menurut Ibnul Anbari ? Dia mengatakan, "Pendapat ahli hadis
dan para ilmuwan terkemuka mengenai ayat ini, bahwa Allah telah mengeluarkan
anak cucu Adam dari tulang punggungnya, dan dari tulang punggung anak-
anaknya masih dalam bentuk atom. Maka Allah mengambil sumpah mereka
supaya menyatakan bahwa Dia adalah pencipta mereka, dan bahwa mereka dibuat
oleh-Nya. Mereka mengakui itu dan mau melakukan sumpah tersebut. Peristiwa
itu terjadi setelah Allah menyusun pada diri mereka akal, yang dengannya mereka
bisa mengerti apa yang diajukan kepada mereka, sebagaimana Dia lakukan hal
yang sama terhadap unta ketika dia bersujud, dan terhadap lebah sehingga ia dapat
mendengar dan menurut ketika dipanggil.
Dan terakhir ialah menurut Al-Hasan bin Yahya Al-Jurjani yang
mengatakan, "Sesungguhnya Allah SWT. telah memberi hujjah dengan mantap
terhadap tiap-tiap bayi yang baru lahir baik yang nantinya mancapai dewasa atau
tidak, dengan adanya perjanjian yang dulu pernah diambil Allah terhadap mereka.
Kemudian terhadap yang mencapai umur dewasa hujjah itu ditambah-Nya dengan
ayat-ayat dan bukti-bukti yang Allah adakan pada dirinya dan pada alam
sekelilingnya, dan dengan gembira dan peringatan dan dengan adanya pelajaran-
pelajaran tentang contoh-contoh siksa yang beritanya sempat mereka dengar.
Hanya saja Allah 'Azza wa Jalla tidak menuntut seseorang untuk melakukan
ketaatan kecuali sekadar yang sesuai dengan hujjah yang mengharuskan dia

26
melakukannya, sesuai dengan kemam- puan yang Allah susun dalam diri mereka,
dan sesuai dengan tanda-tanda bukti yang Dia berikan kepada mereka.
Dan diterangkan oleh Allah SWT. tentang apa yang wajib dilakukan
orang-orang dewasa yang sudah kenal akan perintah dan larangan, dan tidak
diterangkan kepada kita pengetahuan tentang apa yang Dia tentukan pada anak-
anak yang belum dewasa.
Namun demikian, kita tahu bahwa Allah Maha Adil, tidak semena-mena
dalam memberi keputusan, dan Maha Bijaksana, tak ada kekacauan dalam
pekerjaan-Nya dan Maha Kuasa, tidak ditanya atas apa yang telah diperbuat-Nya,
kepada-Nyalah berserah semua makhluk dan segala urusan, Maha Suci Allah
Tuhan semesta alam.10
3. Tafsir Al Misbah
Al-Biqa‘i menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya dengan
menyatakan bahwa Bani Isra’il diingatkan tentang perjanjian yang bersifat khusus
yang telah dijalin sedemikian kuat dengan mereka. Kalau yang lalu itu bersifat
khusus, maka sebenarnya masih ada perjanjian lain juga dengan mereka,
walaupun kali ini bersifat umum mencakup mereka dan selain mereka dari putra
putri Adam. Kalau pada ayat yang lalu mereka diingatkan ketika Allah
mengangkat bukit ke atas mereka sambil memerintahkan melaksanakan apa yang
tercantum dalam kitab Taurat, maka di sini mereka diingatkan hal lain yaitu;
Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan dari putra-putra Adam
masing-masing dari punggung, yakni sulbi orang tua mereka kemudian
meletakkannya di rahim ibu-ibu mereka sampai akhirnya menjadikannya
keturunan mereka manusia sempurna, dan Dia, yakni Allah mempersaksikan
mereka putra-putra Adam itu atas diri mereka sendiri, yakni meminta pengakuan
mereka masing-masing melalui potensi yang dianugerahkan Allah kepada mereka,
yakni akal mereka, juga melalui penghamparan bukti keesaan-Nya di alam raya
dan pengutusan para nabi seraya berfirman: “Bukankah Aku Tuhan Pemelihara
kamu dan yang selalu berbuat baik kepada kamu?” Mereka menjawab: ‘Betul!
kami menyaksikan bahwa Engkau adalah Tuhan Kami dan menyaksikan pula
bahwa Engkau Maha Esa.”
Seakan-akan ada yang bertanya: “Mengapa Engkau lakukan demikian
Wahai Tuhan?” Allah menjawab: “Kami lakukan yang demikian itu agar di hari
Kiamat nanti kamu wahai yang mengingkari keesaan-Ku tidak mengatakan:
Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini yakni keesaan
Tuhan, karena tidak adanya bukti-bukti tentang keesaan Allah swt.”, atau agar
kamu tidak mengatakan - seandainya tidak ada rasul yang Kami utus atau tidak
ada bukti-bukti itu - bahwa “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sebelum ini, yakni sejak dahulu, sedang kami tidak
mempunyai pembimbing selain mereka sehingga kami mengikuti mereka saja
karena kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang sesudah mereka. Maka
10
Tafsir Al Maraghi. Juz 9 Hal. 188-194

27
apakah wajar wahai Tuhan, Engkau akan menyiksa dan membinasakan kami
karena perbuatan orang-orang tua kami yang sesat?.”

Allah Swt. menggunakan kata ‫ َأَخ َذ‬yang bermakna mengambil dengan cara
sendiri-sendiri atau masing-masing, orang per orang berdiri sendiri untuk diambil
kesaksiannya menyangkut keesaan Allah swt. dan mengakuinya. Sehingga setiap
orang pada hakikatnya memiliki pengetahuan serta fitrah yang mengandung
pengakuan akan keesaan itu. Ini sejalan dengan sabda Rasul Saw. yang telah
penulis sampaikan pada bagian tafsir Ibnu Katsir.
Selain itu, didukung pula dengan firman Allah Q.S Ar Rum ayat 30. setiap
orang memiliki fitrah itu, walau seringkali - karena kesibukan dan dosa-dosa -
suara fitrahnya begitu lemah atau tidak terdengar lagi. Fir'aun sendiri yang tadinya
mengingkari Allah dan keesaan-Nya akhirnya percaya ketika ruhnya telah akan
meninggalkan jasadnya. Ini diuraikan oleh QS. Yunus ayat 90:
‫۠ا ِم ۡل ِلِم‬ ‫ِه ۟ا‬ ‫ِذ‬ ‫ۡل‬
‫َح ٰۤىَّت ِإَذۤا َأۡد َرَك ُه ٱ َغَرُق َقاَل َءاَم نُت َأَّنۥُه ۤاَل ِإَلٰـَه ِإاَّل ٱَّل ۤی َءاَم َنۡت ِبۦ َبُنۤو إسرٓاءيل َوَأَن َن ٱ ُم ۡس َنی‬
Hingga saat Fir'aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia, “Saya percaya
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercaya oleh Bani Isra’il dan
saya termasuk orang-orangyang berserah diri (kepada Allah). ”11
4. Tafsir Al Azhar
Nyawa dan Ruh berjanji dengan Allah
Ayat 172 yang akan kita uraikan ini adalah suatu ayat yang telah menjadi
pembahasan mendalam di antara ahli-ahli ilmu dalam Islam, baik ahli akidah atau
ahli ibadah, apatah lagi ahli-ahli tashawuf. Sehingga Jalaluddin Rumi menyairkan
panjang-lebar tentang kalimat “alastu” sebagai pokok pangkal tempat bertolak
kehidupan kita.
“Dan (ingtlah) tatkala Tuhanmu mengambil dari anak-cucu Adam dari
tulang-tulang punggung mereka, dan Dia jadikan mereka saksi atas diri mereka
sendiri. " (pangkal ayat 172). Maka di dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa
tiap-tiap kita yang masih dalam tulang punggung itu diambil oleh Allah, dengan
kudrat-iradat-Nya dikeluarkan dari dalamnya, lalu dipanggil dan dijadikan saksi
atas diri sendiri, karena Allah akan bertanya: “Bukankah Aku Tuhan kamu?” Kita
dikeluarkan dari tulang punggung bapak kita lalu ditanyai dengan pertanyaan
demikian, yaitu bukankah Aku inilah Tuhan kamu? Bukankah tidak ada Tuhan
lain selain daripada Aku? semua menjawab: “Memang kami menyaksikan” -
Artinya, memanglah hanya Engkau dan kami semuanya menyaksikan dengan diri
sendiri, bahwa yang Tuhan hanyalah Engkau.
Maksud ayat ialah menerangkan bahwasanya jiwa murni tiap-tiap manusia
itu adalah dalam keadaan fitrah, masih bersih, belum ada pengaruh apa-apa. Pada
jiwa yang masih murni itu sejak semula telah terdapat pengakuan bahwasanya

11
Tafsir Al Misbah. Hal. 303-307

28
pastilah ada pencipta dari seluruh alam ini. Tidaklah alam terjadi sendirinya, dan
tidak pula ada pencipta yang lain. Pencipta itu hanya satu, Esa, Tunggal. Pada ayat
ini dikatakan bahwa lembaga insan dikeluarkan dari tulang punggung tempat dia
disimpan, lalu ditanyai langsung oleh Allah, bukankah Aku Tuhanmu? Mereka
semua menjawab: “Memang! Atau benarlah bahwa Engkau Tuhan kami dan kami
menyaksikan”
Apakah benar-benar kita keluar dari tulang punggung dan ditanya?
Bilakah terjadinya hal itu? Setengah ahli tafsir menafsirkan, bahwasanya kejadian
itu ialah semasa roh insan masih di dalam lembaga Adam. Roh telah terjadi lebih
dahulu daripada badan, waktu itulah pertanyaan datang. Tiap-tiap kita tidak ingat
lagi, tetapi dia telah mendasar pada jiwa kita. Sebab itu apabila manusia telah
hidup di dunia ini, jiwa murninya telah menyaksikan bahwa Allah itulah Tuhan
kita. Tetapi ahli-ahli bahasa Arab mengatakan bahwa ayat Allah ini adalah sebagai
suatu tamsil yang tinggi menurut Balaghah. Allah bercakap-cakap dengan tiap-
tiap jiwa itu bukanlah mesti berhadap-hadapan, tetapi iradat dan takwin Ilahi, atau
kehendak Allah, atau kekuasaan Pencipta, bertanya kepada lembaga akal yang
murni yang tidak perlu difikirkan bahwa itu adalah soal-jawab dengan mulut. Di
dalam ayat yang lain terdapat pula yang serupa ini, yaitu di dalam Surat 41 (Ha-
Mim, Sajdah atau Fushilat ayat 11), bahwa Allah berfirman kepada langit dan
bumi supaya datang dengan taat atau dengan paksa, lalu langit dan bumi
menjawab bahwa kami akan datang dengan taat. Yang menjawab itu bukan
lidahnya, melainkan keadaannya. Maka manusia itupun demikian pula, yang
menjawab itu bukan lidahnya, melainkan keadaan dan kenyataan.
Dipertalikan keterangan Ibnu Katsir ini dengan beberapa ahli tafsir yang
lain, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa jiwa
asli manusia itu adalah bersih. Dia datang ke dunia belum ada cacatnya. Sehingga
apabila seorang anak kecil lahir ke dunia, dan meninggal sebelum sampai
pertimbangan akalnya, diapun dihitung mati dalam fithrah, yang berarti juga
dalam Islam, dan langsung masuk syurga.
Maka kalau kita hubungkan ayat ini dengan ayat 158 di atas tadi, yang
menyatakan bahwa Muhammad Saw. diutus untuk seluruh manusia, dapatlah ayat
yang tengah kita bicarakan ini menjadikan luas dan lapang hati kita menghadapi
seluruh manusia. Dia menunjukkan bahwasanya jiwa seluruh manusia itu pada
asalnya dan pokoknya, adalah satu coraknya, semuanya sama-sama mengaku ada
Tuhan Pencipta alam. Walaupun apa bangsa mereka dan apa pula agama yang
sedang mereka peluk, bahkan walaupun orang yang dengan keras menolak
kepercayaan kepada Tuhan, orang mulhid atau atheis, semuanya itu hanyalah
gejala yang datang kemudian setelah pengaruh syaitan masuk. Adapun di dalam
jiwa nuraninya masih ada tersimpan kepercayaan kepada Pencipta alam. Oleh
sebab itu maka seruan yang dibawa Rasul, tidak lain daripada memanggil jiwa
fithrah itu; laksana listrik, ada pertemuan di antara positif dengan negatif, ada
yang datang dan yang menyambut, sedang yang datang dengan yang menyambut
itu adalah satu. Yang dibuka oleh Rasul ialah isi hati dari manusia itu sendiri.

29
Setelah Rasul datang, diberinyalah fithrah yang telah menggelora dari dalam itu,
bimbingan ajaran Tauhid diiringi dengan ibadat dan lain-lain selanjutnya. Sebab
itu boleh dikatakan bahwa adanya agama, karena adanya fithrah manusia, dan
agama itu sendiri tidak akan berkembang, kalau sekiranya akal manusia yang akan
menyambutnya tidak ada.
Kemudian, setelah Allah memfirmankan tanya Allah dan jawab roh insan
itu, yang terdapat persesuaian, datanglah lanjutan ayat: "Supaya jangan kamu
berkata di hari kiamat: "Sesungguhnya kami lalai dari ini." (ujung ayat 172).
Artinya, bahwasanya janji dan kesaksian diri sendiri itu disebutkan
kembali oleh Allah, ialah supaya kalau terjadi tanya-jawab di akhirat kelak, karena
suatu perintah Allah yang kamu langgar, lalu kamu periksa dan tanyai, jangan
sampai kamu berkata: "Kami lalai," artinya "kami tidak tahu menahu dalam hal
ini, tidak ada suruhan atau larangan sampai kepada kami." Maka jawaban yang
demikian tidaklah dapat kamu kemukakan lagi di hari kiamat, sebab agama murni
itu ada bersemayam di dalam jiwamu sendiri, di dalam fithrahmu sendiri.
Tegasnya, meskipun misalnya tidak ada agama, tidak ada Rasul yang
menyampaikan dan tidak ada wahyu yang diturunkan, namun jiwa murnimu
sendiri telah bersoal-jawab langsung dengan Allah, bahwa memang Tuhan itu ada,
dan tidak ada Tuhan melainkan Allah. Maka kedatangan para rasul adalah untuk
melengkapi dan menuntun jiwa fitrahmu itu. Dengan demikian maka di akhirat
kamu tidak dapat mencari dalih lagi.
“Atau supaya tidak kamu katakan: "Yang musyrik itu hanyalah bapak-
bapak kami yang dahulu, sedang kami ini hanyalah keturunan sesudah mereka.”
Artinya, jangan sampai kamu katakan pula bahwa apa yang kami kerjakan
sekarang ini tidak lain daripada contoh teladan yang ditinggalkan bapa-bapa kami.
Kalau perbuatan ini termasuk syirik, maka yang bersalah bukan kami. Kami hanya
menerima pusaka saja. "Maka apakah Engkau akan membinasakan kami lantaran
apa yang dikerjakan oleh orang- orang yang berbuat salah?" (ujung ayat 173).
Mengapa kami mesti memikul pula kesalahan mereka yang dahulu itu, yang
mempelopori syirik, sedang kami ini hanyalah keturunan mereka saja? Allah
menerangkan pada ayat ini sekali lagi, bahwa maksud Allah menyebutkan di ayat
yang terdahulu bahwa tiap jiwa telah dikeluarkan dari tulang punggung ayahnya
dan ditanyai bukankah Aku ini Tuhanmu? Dia menjawab: "Memang!" Ialah
supaya jangan terjadi jawab lain oleh anak-cucu karena kesalahan ayah dan nenek
moyang. Sebab anak- cucu itu sendiri berfithrah dan berakal pula. Diberi sendiri-
sendiri oleh Allah, sehingga sangatlah tidak beralasan kalau si anak dan si cucu
bahwa dia tidak bersalah kalau dia memperserikatkan Tuhan karena begitu yang
dia pusakai, sebab dia sendiri ada akal, sebab itu dia sendirilah langsung berjanji
dan naik saksi di hadapan Allah.
"Dan demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat itu, supaya mereka kembali." (ayat
174).

30
Artinya, Allah mengemukakan ayat-ayat ini, yang di sini berarti
keterangan dari dalil, maksudnya ialah supaya orang-orang yang telah tersesat
atau salah berfaham itu kembali kepada jalan yang benar. Jangan dikatakan bahwa
agama itu tidak ada, sebab di dalam sanubari sendiri sejak lahir ke dunia perasaan
tentang adanya Tuhan itu telah ada. Cuma kadang-kadang tertimbun oleh
perdayaan syaitan, atau pertentangan yang hebat di antara hawanafsu dengan jiwa
murni. Dan jangan pula beragama hanya taqlid saja kepada yang dipusakai dari
nenek-moyang, sebab jiwa murni itu sendiri akan tetap membantah perbuatan
yang salah sebab ada mempunyai akal.12
5. Tafsir At Thabari
Takwil firman Allah:
(Dan [ingatlah], ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
[seraya berfirman], "Bukankah aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul
[Engkau Tuhan kami], kami menjadi saksi." [Kami lakukan yang demikian itu]
agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami [bani Adam]
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini [keesaan Tuhan].")
Abu Ja'far berkata: Allah berfirman kepada Nabi Muhammad, “Ingatlah
kepada Tuhanmu, wahai Muhammad, ketika Dia mengeluarkan keturunan Adam
dari sulbi bapak-bapak mereka. Kemudian mengikrarkan mereka agar tetap
mentauhidkan-Nya. Mereka memberikan kesaksian satu sama lain, dan mereka
mengakui itu.”
Banyak ulama hadits meriwayatkan penjelasan dari Al A’raf ayat 172 ini,
Imam At-Thabari mengumpulkan 24 riwayat (15387-15411) penjelasan dari
‫ٰٓل‬
berbagai ulama tentang kalimat ini ‫َوِاْذ َاَخ َذ َرُّب َك ِم ْۢن َبِن ٰاَد َم ِم ْن ُظُه ْو ِرِه ْم ُذِّرَّيَتُه ْم َوَاْش َه َد ُه ْم َع ى‬
‫ َاْنُف ِس ِه ْۚم َاَلْس ُت ِب َرِّبُك ْۗم َق اُلْوا َبٰل ۛى َش ِه ْدَنا‬. Mulai dari penjelasan bagaimana Allah Swt.
mengeluarkan anak cucu adam, lalu mengambil persaksian atas mereka
bahwasanya Ia adalah Tuhan mereka, dan dengan sukarela ruh atau jiwa itu
membenarkan, dan mereka menjadi saksi atas ucapan mereka sendiri.
Kemudian Imam At Thabari melanjutan potongan ayat tersebut yang
dijelaskan dengan 17 riwayat pendapat (15412-15429) yang saling menguatkan
kalimat ‫ َاْن َتُقْو ُل ْو ا َيْوَم اْلِق ٰي َم ِة ِاَّنا ُك َّنا َعْن ٰه َذ ا ٰغ ِفِلْي‬Allah akan mengingatkan pada perjanjian
ini dengan menurunkan kitab-kitab-Nya lewat para nabi dan rasul agar juga
menjadi saksi atas mereka yang lengah, abai, atau pura-pura lupa sehingga tidak
ada celah bagi anak cucu adam untuk menyangkalnya dengan berbagai alasan.
Abu Ja'far berkata: Zhahir maknanya menunjukkan bahwa itu adalah
pemberitahuan dari Allah tentang ucapan sebagian keturunan Adam kepada
sebagian yang lain. Karena Allah berfirman:

12
Tafsir Al Azhar. Hal. 2596-2600

31
‫َوَاْش َه َد ُه ْم َعٰٓلى َاْنُف ِس ِه ْۚم َاَلْس ُت ِبَرِّبُك ْۗم َقاُلْوا َبٰل ۛى َش ِه ْدَنا‬
Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),
'Bukankah Aku ini Tuhanmu'? Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami),
kati menjadi saksi'." Seakan-akan Allah berfirman, "Orang-orang yang menjadi
saksi terhadap mereka, yang memberikan pengakuan itu, berkata, 'Ya kami
menjadi saksi bagimu terhadap pengakuan kamu itu agar kelak pada Hari Kiamat
kamu tidak berkata" 'Kami telah lupa akan itu'."13
Poin Analisis dan Konklusi
Setelah pemaparan beberapa tafsir diatas, dapat diambil poin-poin pokok
pembahasan mengenai Q.S Al A’raf ayat 172, antara lain:
1. Kuasa Allah Swt.
Melalui ayat ini, Allah Swt. memiliki sifat Qudrat yaitu menampakkan
kuasa-Nya. Selain itu, Ialah yang menggenggam dan mengatur semua jiwa
manusia tanpa bantuan siapapun. Sesuai dalam sifat wajib Allah, yaitu Qiyamuhu
biNafsihi.
2. Ayat peringatan (nadziran)
Kepada manusia bahwa mereka pernah bersaksi dihadapan-Nya, dengan
persaksian sesungguhnya Allah Swt. adalah satu-satunya Tuhan yang berhak
disembah. Maka, beruntunglah Dzakiriin (mereka yang ingat), dan celakalah
Ghafiliin (mereka yang lalai lagi abai).
3. Fitrah manusia sesuai dengan apa yang Allah ciptakan
Dalam firman Allah Swt. Surat Ar-Rum: 30 Fitrah manusia yaitu
menghadapkan wajahnya (tujuan hidupnya) hanya kepada agama islam sebagai
agama yang lurus. Tujuan atau misi keagamaan inilah manusia diajak untuk
kembali kepada fitrahnya (Q.S Al A’raf: 174).
4. Allah Swt. sengaja membuat rangkaian peristiwa ini
Hikmah dari peristiwa ini agar manusia ketika hari kiamat mereka tidak
ada alasan sama sekali untuk menyangkalnya atau merasa terdholimi, sebagai
bukti Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana. Allah juga secara langsung
mengistimewakan manusia diantara makhluk lainnya.
C. Shad ayat 26
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫ِب ّٰلِه ِا َّلِذ‬ ‫ِض‬ ‫ِب‬ ‫ِب‬ ‫ِل ىِف‬ ‫ِا‬
‫َخ ْيَفًة اَاْلْر ِض َفاْح ُك ْم َبَنْي الَّناِس اَحْلِّق َواَل َتَّت ِع اَهْلٰو ى َفُي َّلَك َعْن َس ْيِل ال ۗ َّن ا ْيَن‬ ‫َیٰـَد اُوۥُد َّنا َجَعْلٰن َك‬
‫الّٰلِه ُهَل َعَذ اٌب َش ِد ْيٌد ۢ َمِبا َن ا اِحْل اِب‬ ‫َيِض ُّلْو َن َعْن َس ِبْيِل‬
‫ُس ْو َيْوَم َس‬ ‫ْم‬

13
Tafsir At Thabari. Hal. 726-755

32
(Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu
khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan
engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” Ṣād
[38]:26
1. Tafsir Ibnu Katsir
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat
adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. 38:26)
Ini adalah wasiat dari Allah kepada para penguasa untuk menerapkan
hukum kepada manusia sesuai dengan kebenaran yang diturunkan dari sisi Allah
Tabaraaka wa Ta'ala, serta tidak berpaling darinya, hingga mereka sesat dari jalan
Allah. Sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta'ala mengancam orang yang sesat
dari jalan-Nya serta melupakan hari hisab dengan ancaman yang keras dan adzab
yang pedih.

Ikrimah berkata : ‫“ ُهَلْم َعَذ اٌب َش ِد يٌد َمبا َنُس وا َيْوَم اِحْلَس اب‬Sesungguhnya orang-orang yang
sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.” Ini merupakan bentuk muqaddam (yang
didahulukan) dan muakhkhar (yang diakhirkan), yakni mereka akan mendapatkan
adzab yang pedih pada hari hisab dengan sebab apa yang mereka lupakan."
As-Suddi berkata: "Mereka mendapatkan adzab yang pedih dikarenakan
apa yang mereka tinggalkan, yaitu beramal untuk hari hisab." Pendapat ini lebih
sesuai dengan zhahir ayat ini. Semoga Allah memberikan taufiq ke arah
kebenaran.14
2. Tafsir Al Maragi
Pengertian Secara Umum
Setelah Allah SWT. menceritakan kepada kita kisah tentang Daud dan dua
orang yang bersengketa, maka dilanjutkanlah dengan menerangkan bahwa Allah
menyerahkan kepada Daud kekhalifahan di muka bumi, dan berwasiat kepadanya
agar memberi hukum di antara manusia secara benar dan jangan mengikuti hawa
nafsu, sehingga tidak tersesat dari jalan Allah. Kemudian, Allah menyebutkan
pula bahwa barangsiapa yang sesat dari jalan Allah, maka dia akan mendapatkan
azab yang pedih dan tempat kembali yang buruk, karena berarti dia melupakan
hari hisab dan pembalasan.
Penjelasan

14
Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 7 Hal. 62-63

33
( ‫)ُيَد اُوُد ِإَّنا َجَعْلَناَك َخ ِليَفًة يِف اَأْلْر ِض‬
Hai Daud, sesungguhnya Kami mengangkatmu jadi khalifah di muka bumi
dan Kami jadikan kamu pelaksana hukum di antara rakyat. Kamu mempunyai
kerajaan dan kekuasaan, sedang mereka wajib mendengar dan taat tanpa boleh
menyalahi satu pun perintahmu dan tak boleh menegakkan tongkat di depan
wajahmu.
Kemudian, Allah menyebutkan konsekuensi dari jabatan tersebut. Firman-Nya :

( ‫) َفاْح ُك م َبَني الَّناِس ِباَحْلِّق‬


Maka, berilah keputusan perkara di antara manusia dengan kebenar-an
yang diturunkan dari sisi-Ku dan yang telah Aku syari'atkan untuk hamba-hamba-
Ku. Karena, itu semua mengandung kemaslahatan bagi mereka di dunia dan
akhirat.
Sesudah itu, Allah menegaskan keterangan tersebut dengan melarang
melakukan kebalikannya. Firman-Nya:

( ‫) َواَل َتَّتبع اهلوى‬


Dan janganlah mengikuti hawa nafsu dalam menjalankan pemerintahan
maupun lainnya, baik itu urusan agama maupun dunia. Hal ini merupakan
bimbingan kepada apa yang dituntut oleh jabatan sebagai nabi, dan merupakan
peringatan bagi siapa pun yang ada di bawahnya agar menempuh jalan yang lurus
ini.
Kemudian, Allah menerangkan tentang betapa buruknya akibat mengikuti
hawa nafsu. Firman-Nya

( ‫) َفُيِض َّلَك َعْن َس ِبيِل الَّلِه‬


Jika kamu mengikuti hawa nafsu, maka hal itu akan menyebabkan kamu
tersesat dari petunjuk yang telah Aku tegakkan dan rambu-rambu yang telah Aku
pasang untuk membimbing manusia kepada jalan keselamatan dengan
memperbaiki keadaan masyarakat mengenai agama maupun dunianya, di samping
membimbing masyarakat sehingga menempuh jalan benar yang menghubungkan
antara mereka dengan Tuhannya; dan antara mereka dengan sesamanya.
Kemudian, Allah SWT. menerangkan tentang bahaya dari kesesatan dan akibatnya
yang buruk. Firman-Nya:

‫ِإَّن اَّلِذ ْيَن َيِض ُّلوَن َعْن َس ِبيِل اِهلل ُهَلْم َعَذ اٌب َش ِد يٌد َمِبا َنُس وا َيْوَم اِحْلَس اب‬
Sesungguhnya orang-orang yang meninggalkan kebenaran dan sesat dari
jalan yang ditandai rambu-rambu Ilahi, mereka akan mendapatkan azab yang
pedih dari Allah pada hari hisab karena mereka melupakan kengerian-kengerian

34
yang ada pada hari itu. Dan bahwa Allah akan menghisab setiap jiwa atas apa
yang telah dia lakukan. Barangsiapa yang mengotori dirinya dan membiarkannya
menempuh jalan kemaksiatan, maka pasti akan mendapatkan azab yang telah Aku
tetapkan bagi orang-orang yang bermaksiat sebagai balasan yang setimpal atas
perbuatan-perbuatan yang telah mereka lakukan dengan tangan-tangan mereka.15
3. Tafsir Al Misbah
“Hai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi,
maka putuskanlah di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat siksa
yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.”
Setelah mendapat pengalaman berharga, Allah Swt. mengangkat Daud
sebagai khalifah, Allah berfirman: Hai Daud, sesungguhnya Kami telah
menjadikanmu khalifah yakni penguasa di muka bumi, yaitu di Bait al-Maqdis,
maka putuskanlah semua persoalan yang engkau hadapi di antara manusia
dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu antara lain dengan
tergesa-gesa menjatuhkan putusan sebelum mendengar semua pihak sebagaimana
yang engkau lakukan dengan kedua pihak yang beperkara tentang kambing itu,
karena jika engkau mengikuti nafsu, apapun dan yang bersumber dari siapa pun,
baik dirimu maupun mengikuti nafsu orang lain maka ia yakni nafsu itu akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang terus-menerus
hingga tiba ajalnya sesat dari jalan Allah, akan mendapat siksa yang berat akibat
kesesatan mereka itu, sedang kesesatan itu sendiri adalah karena mereka
melupakan hari Perhitungan.

Kata (‫ )َخ ِلْيَف ًة‬khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang
sesudah siapa yang datang sebelumnya. Pada masa Daud as. terjadi peperangan
antara dua penguasa besar Thalut dan Jalut. Daud as. adalah salah seorang
anggota pasukan Thalut. Kepandaiannya menggunakan ketapel mengantarnya
berhasil membunuh Jalut, dan setelah keberhasilannya itu serta setelah
meninggalnya Thalut, Allah mengangkatnya sebagai khalifah menggantikan
Thalut.
Dalam buku Membumikan al-Qur’an penulis mengemukakan bahwa
terdapat persamaan antara ayat yang berbicara tentang Nabi Daud as. di atas
dengan ayat yang berbicara tentang pengangkatan Adam as. sebagai khalifah.
Kedua tokoh itu diangkat Allah menjadi khalifah di bumi dan keduanya
dianugerahi pengetahuan. Keduanya pernah tergelincir dan keduanya memohon
ampun lalu diterima permohonannya oleh Allah. Sampai di sini kita dapat
memperoleh dua kesimpulan. Pertama, kata khalifah digunakan al-Qur’an untuk
siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas ifiaupun terbatas. Nabi
Daud as. (947-1000 SM) mengelola wilayah Palestina dan sekitarnya, sedang
Adam as., secara potensial atau aktual mengelola bumi keseluruhannya pada awal
15
Tafsir Al Maraghi. Juz 23 Hal. 204-206

35
masa sejarah kemanusiaan. Kedua, seorang khalifah berpotensi bahkan secara
aktual dapat melakukan kekeliruan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu baik
Adam maupun Daud as., diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu (baca
QS. Thaha [20]: 16 dan QS. Shad [38]: 26).
Dari ayat-ayat di atas dipahami juga bahwa kekhalifahan mengandung tiga
unsur pokok yaitu: Pertama, manusia yakni sang khalifah; kedua, wilayah yaitu
yang ditunjuk oleh ayat di atas dengan al-ardh; dan ketiga adalah hubungan antara
kedua unsur tersebut. Di luar ketiganya terdapat Yang menganugerahkan tugas
kekhalifahan, dalam hal ini adalah Allah swt. yang pada kasus Adam dilukiskan
dengan kalimat:

‫ࣱلۡل ٱۡر َأࣰۖةِض َخ ِلیَفࣱلࣰۖةࣰۖة‬


‫ِإِّنی َج اِعࣱل ِفی‬
“Sesungguhnya Aku akan menjadikan di bumi seorang khalifah ” (QS. al-Baqarah
[2]: 30), sedang pada kasus Daud as. dinyatakan dengan kalimat: “Sesungguhnya
Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi.” Yang ditugasi atau dengan kata lain
sang khalifah harus menyesuaikan semua tindakannya dengan apa yang
diamanatkan oleh pemberi tugas itu.
Di atas terbaca bahwa pengangkatan Adam as. sebagai khajifah dijelaskan
dengan kalimat: inni jaa’ilun fi al-ardhi khalifah/sesunggiuhnya Aku akan
menjadikan di bumi seorang khalifah yakni dengan menunjuk Allah dalam bentuk
tunggal (Aku) dan dengan kata ja'il yang berarti akan-menjadikan, sedang
pengangkatan Daud as. dijelaskan dengan: inna ja‘alnaka khalifatan fi al-
ardhi/sesungguhnya Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi. Yakni Allah
menunjuk diri-Nya dengan bentuk jamak (Kami) serta dengan kata kerja masa
lampau telah menjadikanmu.
Kalau Anda dapat menerima kaidah yang sering penulis kemukakan di sini, bahwa
penggunaan bentuk jamak untuk menunjuk Allah Swt. mengandung isyarat
tentang adanya keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang
dibicarakan - kalau itu dapat diterima - maka ini berarti bahwa dalam
pengangkatan Daud as. sebagai khalifah, terdapat keterlibatan selain Allah swt.,
yakni masyarakat Bani Isra’il ketika itu. Ini berbeda dengan Adam as. yang
pengangkatannya sebagai khalifah ditunjuk dengan kata berbentuk tunggal yaitu
Aku (Allah swt.) Ini berarti dalam pengangkatan itu tidak ada keterlibatan satu
pihak pun selain Allah swt. Ini agaknya bukan saja disebabkan karena apa yang
dibicarakan ayat itu baru merupakan rencana sebagaimana dipahami dari kata (
‫ )َج اِعࣱل‬ja'il yang berarti akan menjadikan, tetapi juga karena pada masa itu belum
ada masyarakat manusia yang terlibat. Sebab Adam as. adalah manusia pertama.
Dari penjelasan di atas kita dapat berkata bahwa Daud as. demikian juga semua
khalifah, hendaknya memperhatikan petunjuk dan aspirasi siapa yang
mengangkatnya dalam hal ini adalah Allah swt. dan masyarakatnya.16

16
Tafsir Al Misbah. Jilid 12 Hal. 132-134

36
4. Tafsir Al Azhar
"Hai Daud! Sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau khalifah di
muka bumi." (pangkal ayal 26).
Tentang arti dan makna khalifah sudah banyak kita temui di dalam kitab-
kitab tafsir, dan telah kita uraikan pula pada Tafsir Juzu' pertama, seketika Allah
menyatakan kepada malaikat-malaikat bahwa Dia hendak mengadakan khalifah di
muka bumi. Makna yang dekat dengan Khalifah ialah pengganti atau pelaksana.
Adam sebagai Bapak pertama dari manusia dapatlah dianggap sebagai
Khalifah Allah di muka bumi, untuk dengan akal budi yang dianugerahkan Allah
kepadanya, atau kepada manusia memperlihatkan bagaimana kekuasaan Ilahi
melalui wahyuNya kepada Nabi-nabi dan ilhamNya kepada manusia yang
berfikir, sehingga muka bumi ini menjadi makmur karena perbuatan manusia.
Adapun Daud sekarang ini, bolehlah dia diartikan menyambut tugas Adam jadi
Khalifah dari Allah, atau Khalifah dari generasi yang terdahulu dari dia. Sebab
Daud adalah keturunan dari lbrahim, dari Ishak dan Ya'kub melalui Bani Israil.
Menilik kepada kedudukannya sebagai raja dari Bani Israil, kedudukannya jadi
Khalifah itu sudah bukan semata-mata menjadi Rasul dan Nabi saja lagi, bahkan
juga jadi pemegang kekuasaan.
Maka supaya jabatan jadi Khalifah itu berjalan dengan baik, mengisi
fungsinya diberilah beberapa pesan oleh Tuhan. Pertama: “Maka hukumlah di
antara manusia dengan benar.” Hukum yang benar ialah hukum yang adil. Di
antara Kebenaran dengan Keadilan adalah satu hal yang memakai nama dua. Yang
benar itu juga dan yang adil itu juga. kalau sudah benar pastilah dia adil. Kalau
sudah adil pastilah dia benar. “Dan janganlah engkau perturutkan hawa.” Hawa
ialah kehendak hati sendiri yang terpengaruh oleh rasa marah atau kasihan, hiba
atau sedih, dendam atau benci. Dalam bahasa asing yang telah dipakai rata dalam
bahasa kita bahwa hawa itu ialah emosi atau sentimen. Lalu dilanjutkan bahaya
yang akan mengancam jika seorang penguasa menjatuhkan suatu hukum
dipengaruhi oleh hawanya; “Niscaya dia akan menyesatkan engkau dan jalan
Allah.” Artinya, kalau seorang penguasa, atau dia bergelar raja, atau sultan, atau
khalifah, atau presiden atau yang lain tidaklah lagi menghukum dengan benar dan
adil, malahan sudah hawa yang jadi hakim, putuslah harapan orang banyak akan
mendapat perlindungan hukum dari yang berkuasa dan hilanglah keamanan jiwa
dalam negara. “Sesungguhnya orang-orang yang tersesat dari jalan Allah, untuk
mereka azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (ujung
ayat 26).
Sungguh-sungguh kekuasaan itu suatu ujian yang berat. Kekuasaan bisa
saja menyebabkan orang lupa dari mana dia menerima kekuasaan itu, lalu dia
berbuat sewenang-wenang berkehendak hati. Sebab itu disalahgunakannya
kekuasaan. Dalam hukum masyarakat di dunia ini batinnya akan disiksa oleh
kekuasaan itu sendiri. Diktator-diktator yang besar-besar ada yang jadi gila karena
kekuasaan. Di akhirat mereka akan diazab. Sebab seseorang penguasa tidaklah
datang meningkat naik saja. Dia naik ialah karena menerima jabatan dari yang

37
digantikannya. Sebelum dia menggantikan, dia belum ada apa-apa. Setelah itu dia
akan mati! Sehari putus nyawa, kekuasaan tidak ada lagi. Yang ditunggu ialah
perhitungan di akhirat. Seorang raja, seorang menteri, seorang budak belian,
seorang hambasahaya, sama saja martabatnya di muka Tuhan kelak. Di sana
martabat manusia hanya ditentukan oleh ketakwaannya.
Dikatakan bahwa orang yang telah menempuh jalan Tuhan itu lalu
menurutkan jalan hawa ialah karena mereka lupa hari perhitungan, hari kiamat.
Kalau dia ingat itu tentu dia sediakan bekal untuk nanti, untuk keselamatan di hari
itu. Tidak ada artinya kemegahan dunia maya ini jika dibandingkan dengan hisab
di akhirat.17
5. Tafsir At Thabari
Takwil firman Allah: ‫ َي َد اُوُد ِإَّنا َجَعْلَن َك َخ ِليَف ًة يِف اَأْلْر ِض‬Hai Daud sesungguhnya
Kami menjadikan kamu khalifah [penguasa] di muka bumi)
Maksudnya adalah, Kami katakan kepada Daud, “Hai Daud, sesungguhnya
Kami menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi sesudah Kami
menjadikanmu sebagai rasul yang memutuskan perkara di antara penduduk
bumi.” Hal itu dijelaskan dalam riwayat berikut ini:
29966. Muhammad bin Husain menceritakan kepadaku, ia berkata: Ahmad bin
Mufadhdhal menceritakan kepada kami, ia berkata: Asbath menceritakan kepada
kami dari As-Suddi, tentang firman Allah, ‫“ َيَد اُورُد ِإَّنا َجَعْلَنَك َخ ِليَف ًة يِف اَأْلْر ِض‬Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,” ia
berkata, “Maksudnya adalah, Allah menjadikannya raja di bumi.”

Takwil firman Allah: ‫( َفاْح ُك ْم َبَنْي الَّناِس ِباَحْلِّق َواَل َتَّتِبِع اَهْلٰو ى َفُيِض َّلَك َعْن َس ِبْيِل الّٰلِه‬Maka berilah
keputusan [perkara] di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah)

Maksudnya adalah, berilah keputusan secara adil dan tengah. ‫" َواَل َتَّتِب ِع اَهْلٰو ى‬Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu," dalam memutuskan perkara di antara
mereka, sehingga engkau menyimpang dari kebenaran. ‫“ ۗ َفُيِض َّلَك َعْن َس ِبْيِل الّٰلِه‬Karena
ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” Maksudnya tindakanmu mengikuti
hawa nafsu dalam memberi keputusan dengan adil dan benar, akan
menyimpangkanmu dari jalan Allah yang digariskan-Nya bagi orang-orang
beriman sehingga engkau menjadi termasuk orang yang binasa.

Takwil firman Allah: ‫ِاَّن اَّلِذ ْيَن َيِض ُّلْو َن َعْن َس ِبْيِل الّٰل ِه ُهَلْم َع َذ اٌب َش ِد ْيٌد ۢ َمِبا َنُس ْو ا َيْوَم اِحْلَس اِب‬
(Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab
yang berat, karena mereka melupakan Hari Perhitungan)

17
Tafsir Al Azhar. Hal. 6171-6173

38
Maksudnya adalah, sesungguhnya orang-orang yang menyimpang dari
jalan Allah, yaitu kebenaran yang disyariatkan-Nya bagi hamba-hamba-Nya dan
diperintahkan-Nya untuk diamalkan, akan mendapat adzab yang berat di akhirat
pada hari hisab atas kesesatan mereka dari jalan Allah lantaran melupakan
perintah Allah, yang dalam hal ini tidak memberi keputusan secara adil dan tidak
menaati Allah.

Lafazh ‫" َيْوَم اِحْلَس اِب‬Hari Perhitungan," terkait dengan adzab yang berat
(maksudnya adzab yang berat pada hari hisab).
Pendapat kami dalam hal ini sesuai dengan pernyataan para ahli takwil.
Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat- riwayat berikut ini:
29967. Ya'qub bin Ibrahim menceritakan kepada kami, ia berkata: Husyaim
mengabari kami, Awwam mengabari kami dari Ikrimah, tentang firman Allah:
‫َعَذ اٌب َش ِدْيٌد ۢ َمِبا َن ا اِحْل اِب‬
‫ُس ْو َيْوَم َس‬
"Adzab yang berat, karena mereka melupakan Hari Perhitungan," ia berkata,
"Susunan kalimat ini mengikuti taqdim dan ta'khir, yang maksudnya, bagi mereka
pada Hari Hisab kelak adzab yang berat dikarenakan apa yang mereka lupakan.
29968. Muhammad bin Husain menceritakan kepadaku ia berkata: Ahmad bin
Mufadhdhal menceritakan kepada kami, ia berkata: Asbath menceritakan kepada
kami dari As-suddi, tentang firman Allah, ‫“ َمِبا َنُس ْو ا َيْوَم اِحْلَس اِب‬Karena mereka
melupakan Hari Perhitungan,” ia berkata, “Maksud lafazh ‫‘ َنُس ْو ا‬mereka
melupakan’ adalah meninggalkan.18
Poin Analisis dan Konklusi
Setelah pemaparan beberapa tafsir diatas, dapat diambil poin-poin pokok
pembahasan mengenai Q.S Shad ayat 26, antara lain:
1. Manusia sebagai khalifah di bumi
Manusia akan menjadi ahsani taqwiim selama ia bertakwa kepada Allah
Swt. Allah mengangkat Nabi Dawud menjadi khalifah di bumi, sebagaimana
khalifah-khalifah yang telah lalu juga pernah berkuasa hingga Nabi Adam as.
yang diberi amanah untuk mengelola bumi. Inilah misi dakwah islam dalam aspek
pemerintahan.
2. Menegakkan hukum menurut Allah Swt
Memberi keputusan di antara manusia dengan benar sesuai syari’at, tidak
mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan dari jalan Allah. Sehingga Islam
sebagai rahmatan lil alamin bisa tercapai karena hukum Allah ditegakkan. Bisa
kita temukan konsep ini dalam pancasila, karena sila satu diterapkan dalam aspek
pemerintahan, maka sila kedua akan terealisasikan.
18
Tafsir At-Thabari. Jilid 22 Hal 43-145

39
3. Jangan mengikuti hawa nafsu belaka
Jabatan adalah amanah tentu tidak layak jika dikotori oleh hawa nafsu
(emosi, kasihan, iba, dsb) Orang beriman yang amanah, tentu kebijakan dan
perbuatannya jauh dari bisikan setan dan tidak dikendalikan oleh hawa nafsunya.
Orang Islam yang hatinya bersih telah mengalahkan hawa nafsunya.
4. Ancaman bagi orang-orang yang tersesat
Orang-orang yang tersesat, mereka tau dengan kesesatannya (karena akal
dan naluri manusia itu fitrah) bahkan telah diperingatkan oleh manusia yang lain
(tawasshi), tetapi tidak mau sadar. Maka bagi mereka adzab yang pedih karena
melupakan (meninggalkan) Hari Perhitungan.
D. Al Baqarah ayat 256
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‫ٓاَل ِاْك َراَه ىِف الِّد ْيِۗن َقْد َّتَبَنَّي الُّرْشُد ِم َن اْلَغِّي ۚ َفَمْن َّيْك ُف ْر ِبالَّطاُغْو ِت َو ُيْؤ ِم ْۢن ِبالّٰلِه َفَق ِد اْس َتْم َس َك ِباْلُعْرَوِة اْلُوْثٰقى اَل‬
‫ّٰل ِمَس ِل‬ ‫ِف‬
‫اْن َص اَم َهَلاۗ َوال ُه ْيٌع َع ْيٌم‬
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas
jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan
beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat
yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Al-
Baqarah [2]:256
1. Tafsir Ibnu Katsir
Janganlah kalian memaksa seseorang untuk, masuk ke dalam agama lslam,
karena lslam itu jelas, terang, dan gamblang dalil-dalil dan bukti-buktinya. Tidak
perlu memaksakan seseorang agar masuk ke dalamnya, karena hanya Allah-lah
yang dapat memberikan hidayah kepada seseorang, melapangkan dada, dan
menerangi hatinya sehingga masuk ke dalam lslam dengan penuh kesadaran.
Barang siapa yang hatinya dibutakan Allah Swt, pendengaran dan
penglihatannya telah dikunci oleh-Nya, maka sesungguhnya tidak ada guna bila
memaksanya agar masuk ke dalam lslam. Para ulama menyebutkan bahwa sebab
turunnya ayat ini berkenaan dengan sekelompok kaum dari kalangan Anshar,
meskipun secara hukum berlaku untuk umum.
Diriwayatkan dari lbnu'Abbas: Dahulu ada seorang wanita yang anaknya
selalu meninggal. la kemudian bersumpah kepada diri sendiri, jika anaknya hidup
maka akan menjadikannya sebagai seorang Yahudi. Ketika terjadi peristiwa
pengusiran Bani Nadzir, di antara mereka ada anak-anak dari kalangan Anshar,
lalu mereka mengatakan, "Kami tidak akan membiarkan anak-anak kami
(memeluk agama lain)." Maka Allah Swt. menurunkan ayat tersebut.
Menurut Mujahid, Sa'id bin Jubair, asy-Sya'bi, al-Hasan al-Bashri, dan
yang lainnya, ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa tadi.

40
Menurut pendapat sejumlah ulama, ayat di atas berlaku untuk Ahlul-Kitab
(Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang yang termasuk dalam satu kategori mereka,
sebelum ada nasakh dan tabdil (pergantian) dengan persyaratan mereka
membayar jizyah (upeti).
Sedangkan menurut sebagian yang lain, ayat tersebut di-nasakh dengan
ayat tentang perang. Oleh karena itu, hendaknya semua umat menyatakan diri
untuk memasuki agama yang hanif, yaitu agama lslam. Jika ada sebagian dari
mereka yang menolak untuk masuk lslam, tidak mau tunduk terhadap
peraturannya, dan enggan membayar jizyah, ia diperangi hingga mau menyerah.
Allah berfirman:

... ‫َس ُتْد َعْو َن ِإىَل َقْو ٍم ُأويِل َبْأٍس َش ِديٍد ُتَق اِتُلْو َنُه ْم َأْو ُيْس ِلُم وَن‬..
Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yong mempunyai kekuatan yang
besar, kamu harus memerangi mereka kecuali mereka menyerah. (al-Fath [48]:16)
‫ِص‬ ‫ِب‬ ‫ِه‬ ‫ِفِق‬ ‫ِهِد‬
‫َيا َأُّيَه ا الَّنُّيِب َج ا اْلُك َّفاَر َواْلُم َنا َني َواْغُلْظ َعَلْي ْم َوَم ْأَواُه ْم َجَه َّنُم َو ْئَس اْلَم ُري‬
Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Johanam, dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali. (at-Tahrim [66]: 9)
‫ِق‬ ‫ِج ِف ِغ‬ ‫ِت‬ ‫ِذ‬
‫َيا َأُّيَه ا اَّل يَن آَم ُنوا َقا ُلوا الذين يلونكم من الكفار َو ْلَي ُد وا ْيُك ْم ْلَظًة َواْع َلُم وا َأَّن اَهلل َمَع اْلُم َّت َنْي‬
Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir di sekitar kamu, dan
hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah bahwa Allah
bersama orang yang bertakwa. (at-Taubah [9]: 123)
Dari lbnu'Abbas, Rasulullah Saw. bersabda,
‫ِة ِب ِس‬ ‫ِإ‬ ‫ِم ٍم‬ ‫ِج‬
‫َع َب َرُّبَك ْن َقْو ُيَق اُدْو َن ىَل اَجْلَّن َس اَل َل‬
“Rabbmu merasa heran kepada suatu kaum yang digiring masuk ke surga dengan
rantai.”
Yaitu para tawanan yang didatangkan ke negeri lslam dalam keadaan
terikat rantai dan terbelenggu. Kemudian setelah itu, mereka masuk lslam dan
memperbaiki perbuatan dan hati mereka, sehingga mereka kelak menjadi ahli
surga.
Ayat di atas tidak berlawanan dengan hadits dari Anas bin Malik bahwa
Rasulullah Saw. bersabda kepada seseorang,
Masuk lslamlah kamu! Jawab orang itu, “Aku belum suka untuk melakukannya”
Beliau bersabda kepadanya, “Masuk lslamlah kamu, meskipun kamu belum suka
melakukannya; sesungguhnya Allah akan menganugerahimu niat yang baik dan
keikhlasan.”

41
Firman Allah Swt.,
‫َف َّيْك ُف ِبالَّطاُغ ِت ْؤ ِم ْۢن ِبالّٰلِه‬
‫ْو َو ُي‬ ‫َمْن ْر‬
Siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah.
Yaitu barang siapa yang menanggalkan semua tandingan dan berhala, serta
segala hal yang diserukan setan berupa penyembahan kepada selain Allah.
Kemudian ia menauhidkan Allah dan hanya beribadah kepada-Nya, bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Dia.
Firman Allah Swt.,

‫َفَق ِد اْس َتْم َس َك ِباْلُعْرَوِة اْلُوْثٰقى اَل اْنِف َص اَم َهَلا‬


maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak
akan putus.
Yaitu kuat urusannya dan beristiqamah di atas jalan yang baik dan lurus.
'Umar bin Khaththab berkata, “sesungguhnya adalah sihir, sedangkan adalah
setan. Sesungguhnya beranii dan takut itu adalah insting yang ada pada diri kaum
laki-laki. Orang yang pemberani berperang membela orang yang tidak dikenalnya,
sedangkan orang yang pengecut lari tidak dapat memberikan pembelaan walaupun
terhadap ibunya sendiri. Sesungguhnya kemuliaan seseorang itu terletak pada
agamanya, sedangkan kedudukannya terletak pada akhlaknya.”
Perkataan 'Umar bahwa kala thagut adalah setan merupakan pendapat
yang lebih kuat. Sebab, makna tersebut mencakup semua keburukan yang biasa
dilakukan kaum jahiliyyah dahulu, seperti penyembahan terhadap berhala, serta
berhukum dan meminta pertolongan kepadanya.

Maksud dari ‫ َفَق ِد اْس َتْم َس َك ِب اْلُعْرَوِة اْل ُوْثٰقى‬adalah berpegang pada agama dengan
upaya yang sangat kuat. Agama diserupakan dengan tali yang kuat dan tidak akan
terputus. Memang pada dasarnya, tali tersebut sudah rapi, mantap, dan kuat. Oleh
karena itu, Allah berfirman,

..‫َفَق ِد اْس َتْم َس َك ِباْلُعْرَوِة اْلُوْثٰقى اَل اْنِف َص اَم َهَلا‬..

..maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak
akan putus.. (al-Baqarah [2]:256) Menurut Mujahid, yang dimaksud ‫اْلُع ْرَوِة اْلُوْث ٰق‬
adalah keimanan. Adapun menurut as-Saddi, maksudnya adalah lslam. Menurut
Sa'id bin Jubair dan adh-Dhahhak, yaitu La ilaha illallah. Menurut Anas bin
Malik adalah al-Qur'an. Semua pendapat di atas adalah benar, tidak ada
pertentangan satu sama lain.
Muhammad bin Qais Ubbad berkata: Ketika aku berada didalam masjid,
tiba-tiba datang seorang laki-laki yang pada wajahnya ada roman kekhusyukan.
Lalu laki-laki itu shalat dua rakaat dengan singkat. Jamaah yang hadir ketika itu

42
membicarakan laki-laki tersebut bahwa ia termasuk ahli surga. Ketika laki-laki itu
keluar dari masjid, aku mengikutinya hingga dia masuk ke rumahnya. Aku pun
ikut masuk bersamanya dan berbincang- bincang. Di sela-sela pembicaraan, aku
berkata padanya,”Ketika Anda memasuki masjid, orang-orang mengatakan
tentang Anda anu dan anu”
Laki-laki tadi menjawab, “Mahasuci Allah, tidaklah pantas bagi seseorang
mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Aku akan menceritakan padamu
mengapa demikian. Sesungguhnya aku pernah bermimpi pada masa Rasulullah
Saw, lalu aku menceritakan mimpiku kepada beliau. Dalam mimpi tersebut, aku
berada dalam sebuah taman yang hijau. Di tengah-tengah taman tersebut, terdapat
tiang yang terbuat dari besi yang bagian bawahnya berada di bumi, sedangkan
bagian atasnya berada di langit. Dan di bagian atasnya terdapat buhul talinya. Lalu
dikatakan padaku, ‘Naiklah ke tiang itu’
Jawabku, ‘Aku tidak bisa menaikinya’ Lalu datang kepadaku seorang
pelayan. Lalu, pelayan tersebut mengangkat bajuku dari belakang seraya berkata,
‘Naiklah’ Maka aku pun naik hingga berhasil memegang tali tiang tersebut,
selanjutnya pelayan tersebut berkata padaku, 'Berpeganglah pada talitersebut.’
Seketika aku terbangun, dan sungguh benar-benar tali itu berada dalam
genggaman tanganku. Lalu aku datang kepada Rasulullah dan menceritakan
mimpi tersebut kepada beliau, maka beliau bersabda,

‫ َأْنَت َعَلى اِإْل ْس اَل ِم َح ىَّت‬،‫ َوَأَّم ا اْلُعْرَوُة َفِه َي اْلُعْرَوُة اْلُوْثَق ى‬، ‫ َوَأَّم ا اْلَعُم وُد َفَعُم وُد اِإْل ْس اَل ِم‬، ‫َأَّم ا الَّرْو َض ُة َفَرْو َض ُة اِإْل ْس اَل ِم‬
‫ُمَتوَت‬
Adapun taman itu adalah taman Islam, sedang- kan tiangnya adalah tiang
Islam, dan talinya adalah tali yang kuat, artinya hendaknya kamu berada di atas
agama Islam hingga mati. Orang itu adalah `Abdullâh bin Salam.19
2. Tafsir Al Maragi
Penafsiran Kata-Kata Sulit

‫ ال إكراه يف الِّديِن‬La ikraha fiddin : tiada paksaan di dalam memasuki agama.

‫ بىن الشي‬Banasy-Syai' u dan Istabana jelas dan terang. Dalam pepatah dinyatakan,
Tabayyanassubhu li zi Ainaini (Sinar pagi itu tampak bagi orang yang memiliki
mata).

‫ الِّرْش ُد الَّرَش ُد‬Ar-Rusydu dan Ar-Rasyadu: petunjuk dan semua kebaikan. Lawan
katanya adalah Al-Gayyu (tersesat, atau setiap kejelekan). Pengertian Al-Gayyu
ini sama dengan Al-Jahlu. Hanya, kata yang disebut terakhir ini menunjukkan arti
yang bertaut dengan keyakinan (iktikad), sedang kata pertama, berkait dengan

19
Tafsir Ibnu Katsir. Hal. 484-486

43
masalah kelakukan (perbuatan). Karenanya dikatakan, hilangnya kebodohan (Al-
Jahlu) itu dengan ilmu, dan hilangnnya Al-Gayyu dengan petunjuk (rusyd).
‫ الَّط اُغوِت‬At Taghut: asal katanya tugyan, yang artinya melampui batas dalam suatu
hal. Kata ini bisa di-mudzakkar-kan atau d mu'annats-kan, bisa pula dipakai untuk
tunggal atau jamak, sesuai dengan pengertiannya, sesuai dengan firman Allah:

‫ِل‬
‫َاْو َيۤاُؤُه ُم الَّطاُغْو ُت‬
"(Dan orang-orang yang kafir) pelindung-pelindungnya adalah setan (Al-Baqarah,
2:257). Juga firman Allah berikut ini:
‫ِريُد وَن َأن َت اَك وا إىل الَّطاُغوِت َقْد َأِم وا َأن ْك ُف وا ِبِه‬
‫َو ُر َي ُر‬ ‫َي َح ُم‬ ‫ُي‬

"... Mereka hendak berhakim kepada Tagut, padahal mereka telah diperintahkan
mengingkari tagut itu...". (An-Nisa', 4:60).

‫ اْلُع ْرَوُة‬Al-'Urwah: tali yang diikatkan pada timba atau kendi, atau yang sejenisnya,
dan orang yang akan mengambilnya harus memegang tali tersebut.

‫ اْل ُوْثَق ى‬Al-Wutsqa mu'annas-nya adalah awsaq, artinya adalah tambang yang kuat
dan kokoh.
‫ِف‬
‫ اْن َص اَم‬Infisam: pecah atau putus. Kata ini diambil dari perkataan orang-orang Arab
Fasamahu Fanfasama (memecahkannya atau memutuskannya).
PENGERTIAN UMUM
Di dalam ayat-ayat yang lalu, dijelaskan masalah pokok-pokok agama
untuk memantapkan sikap, seperti masalah tauhid, mensucikan Allah dan
kesendirian-Nya dalam kerajaan serta kekuasaan yang ada di langit dan bumi.
Ayat yang lalu juga menjelaskan bahwa pengetahuan Allah itu meliputi segala
sesuatu dan Allah itu Maha Luhur dan Agung.
Sedang ayat-ayat yang sekarang ini mengemukakan bahwa keyakinan
mengenai hal-hal tersebut, secara fitri, petunjuknya sudah terdapat pada diri
manusia, yang ditunjang oleh berbagai bukti yang bisa disaksikan di alam
semesta. Tanda-tanda sudah cukup jelas, tidak ada sesuatu pun yang bisa
diragukan, siapa saja yang memenuhi panggilan petunjuk fitrahnya, maka ia
termasuk orang yang berbahagia; dan siapa saja yang berpaling, ia termasuk orang
yang merugi, baik di dunia atau di akhirat. Inilah suatu kerugian yang jelas dan
menyeluruh.
Sebab turunnya ayat ini, adalah seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
dari Ikrimah dari ibnu Abbas. Ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang
dikenal dengan panggilan Hushain. Ia mempunyai dua anak lelaki, ke duanya

44
beragama Nasrani. Sedang ia sendiri beragama Islam. Hushain menanyakan
kepada Nabi Saw., "Apakah saya (harus) memaksa keduanya? (untuk memasuki
Islam?), karena nyatanya, keduanya tidak mau masuk agama selain Nasrani".
Kemudian, Allah menurunkan ayat ini.

Dan di dalam riwayat lain dikatakan, bahwa Hushain memaksa keduanya, hingga
mereka bertiga mengadukan hal ini kepada Rasulullah saw. Hushain
mengemukakan argumentasinya, "Wahai Rasulullah, apakah saya hanya diam saja
menonton sebagian dari kami masuk neraka?" Kemudian, turun ayat ini, akhirnya,
Hushain melepaskan kedua anak lelakinya itu.
Penjelasan

( ‫) ال إكراه يف الِّديِن‬
Tidak ada paksaan di dalam memasuki agama, karena iman harus
dibarengi dengan perasaan taat dan tunduk. Hal ini tentunya tidak bisa terwujud
dengan cara memaksa, tetapi hanya mungkin melalui hujjah atau argumentasi.
Ayat ini, kiranya cukup sebagai hujjah di hadapan orang-orang yang
sengaja memusuhi Islam, bahkan orang-orang Islam sendiri yang mempunyai
prasangka bahwa Islam tidak bisa tegak melainkan dengan pedang (kekerasan)
sebagai penopangnya. Mereka beranggapan bahwa kekuatan tersebut dipamerkan
di hadapan orang-orang apabila menerimanya, sehingga mereka selamat. Dan
apabila menolak, maka pedang (senjata) mulai berbicara.
Sejarah telah membuktikan kebohongan anggapan ini. Apakah benar
pedang berbicara dalam rangka mengintimidasi orang-orang untuk memasuki
Islam? bukankah Nabi sendiri melaksanakan ibadah salat dengan cara sembunyi,
sedang kaum Musyrik dengan santernya melancarkan fitnah terhadap kaum
Muslimin, dan menimpakan berbagai macam siksaan, sampai membuat beliau dan
sahabat terpaksa melakukan hijrah.
Atau, apa yang dimaksud dengan paksaan itu adalah ketika Islam mulai
kuat, yakni periode Madinah? ayat ini justru turun pada awal periode ini, se- dang
peperangan melawan Bani Nadhir terjadi setelah hijrah, kira-kira empat tahun
kemudian. Jadi, tidak ada satu pun tuduhan itu yang bisa dibenarkan.
Perlu diketahui pula, bahwa cara memaksa ini bisa dilakukan oleh agama-
agama lain, terutama sekali agama Nasrani. Agama inilah yang terbiasa memaksa
orang lain untuk memeluk agamanya.
Kemudian, pada ayat selanjutnya Allah menegaskan pengertian tidak boleh
ada paksaan melalui firman-Nya :

( ‫) َقد َّتَبَنَّي الُّرْشُد ِم َن اْلَغِّي‬

45
Sungguh telah jelas, bahwa di dalam agama Islam, terkandung hidayah (tuntunan)
dan kebahagiaan, sedang agama lainnya adalah sesat.
Ayat berikutnya ini juga menjelaskan hal di atas :

( ‫) َفَمْن َيْك ُف ْر ِبالَّطاُغوِت َو ُيْؤ ِم ْن ِبالَّلِه َفَق ِد اْس َتْم َس َك بالُعَرَوِة اْلُوْثَق ى اَل اْنِف َص اَم َهَلا‬

Siapa saja yang ingkar, maka dirinya akan bersikap melewati batas,
bahkan keluar dari kebenaran, seperti menyembah makhluk: manusia, setan,
berhala, menuruti hawa nafsu atau menuruti kehendak pimpinan yang salah.
Kemudian, ia beriman dan hanya menyembah Allah; tidak berharap sesuatu
kecuali hanya kepada-Nya; mengakui bahwa Allah mempunyai para Rasul yang
diutus kepada manusia untuk membawa berita gembira dan peringatan dengan
perintah dan larangan, yang mengandung maslahat bagi seluruh umat manusia. Di
samping itu, ia lalu memegang teguh akidahnya, juga mengamalkannya, maka ia
bagai orang yang berpegang pada tali penyelamat dan bernaung di bawah panji
kebenaran yang paling kokoh. Keyakinan seperti ini hanya akan bisa dicapai
dengan istiqamah di jalan yang lurus dan takkan tersesat.
Perumpamaannya adalah bagai orang yang berpegang pada tali yang kuat
dan kokoh, yang tidak dikhawatirkan putus bila dibebani dengan beban yang besar
dan berat.
Kemudian, di dalam ayat selanjutnya Allah menyampaikan pernyataan yang
mengandung imbauan dan ancaman :

( ‫) َواُهلل ِمَس يٌع َعِليٌم‬


Allah itu Maha Mendengar perkataan orang-orang yang mengaku dirinya
ingkar terhadap tagut, dan menyatakan dirinya sebagai beriman kepada Allah.
Allah Maha Mengetahui hal-hal yang tersimpan di dalam hatinya, apakah
pengakuannya itu benar, atau justru sebaliknya.
Siapa saja yang meyakini bahwa segala sesuatu itu berjalan atas ke- kuasaan
Allah, tidak ada kekuasaan seorang pun yang mempengaruhinya, dan hanya
mengakui kekuasaan Allah, maka ia adalah orang yang benar- benar beriman, dan
berhak mendapat pahala Allah sepenuhnya. Sebaliknya, siapa saja yang dalam
hatinya masih menyimpan kecenderungan wasani, se- perti meyakini sesuatu yang
berada di luar pengetahuannya (yakni berba- gai peristiwa yang menakjubkan,
atau ajaib) lalu ia menyandarkan bahwa ke- kuatan ajaib itu bersumber dari
kekuatan supernatural, yang melalui kekua- tan tersebut ia melakukan pendekatan
kepada Allah, maka orang tersebut ber- hak mendapatkan siksaan Allah. Balasan
yang akan diterimanya adalah sama dengan balasan orang yang mengaku beriman
kepada Allah dan hari akhir, tetapi dalam hatinya, ia bukan seorang yang beriman.
Terdapat satu ayat yang maknanya sama, sebagai berikut

46
‫ِم‬ ‫ِمَج‬
‫َو َلْو َش اء َرِّبَك اَل َمَن َمْن يِف اَأْلْر ِض ُك َّلُه ْم يًعا َأَفانَت ُتْك ِرُه الَّناَس َح ىَّت َيُك وُنوا ُمْؤ نَني‬
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentukan beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya. Maka, apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" (Yunus 10: 99).

Kewajiban Jihad: Untuk Membentengi Serangan Musuh Terhadap Dakwah Islam.


Umat Islam menjadikan firman Allah yang berbunyi La ikraha fiddin
sebagai salah satu pokok agama yang tidang yang agung bagi pilar politik. Atas
dasar pengertian ayat ini, mereka tidak membolehkan mengadakan paksaan dalam
memasukkan seseorang ke dalam agama Islam. Hal ini seperti hal- nya mereka
tidak boleh memaksa seseorang keluar dari agama Islam.
Pengertian di atas baru bisa dilaksanakan jika kita mampu membentengi
diri dari kekuatan lawan yang mencoba melakukan fitnah atau permusuhan
terhadap Islam. Allah telah memerintahkan kepada kita agar menyeru umat
manusia ke jalan Allah dengan menggunakan hikmah dan petuah yang baik. Kita
pun melayani orang-orang yang menentang dengan cara yang lebih baik, tetapi
dengan jaminan bebasnya dakwah dan tidak adanya fitnah.
Allah Swt. telah mewajibkan kepada kita untuk melakukan jihad untuk
melindungi dan menjaga keutuhan dakwah dari kelompok yang menentangnya.
Yakni, orang yang mencegah tersiarnya nur Islam di dunia ini. Di samping itu,
untuk mencegah kejahatan kaum kafir terhadap kaum Mu'minin. Maksudnya,
jangan sampai kaum kafir itu berhasil menggoyahkan iman kaum Mu'minin yang
masih lemah yang iman dan Islam mereka belum seberapa mantap. Juga jangan
sampai kaum kafir itu berhasil memaksa kaum Musli min yang imannya telah
kuat dengan kekuatan yang mereka miliki - yakni melalui fitnah - agar kita bisa
keluar dari Islam.
Sebagai misal, apa yang pernah dilakukan kaum kafir Makkah, ketika mereka
melancarkan fitnah secara terang-terangan. Karenanya, Allah Swt. berfirman:

‫َو َقاِتُلوُه ْم َح ىَّت اَل َتُك وَن ِفْتَنٌة‬


"Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah...". (Al-Anfal, 8:39)
Maksudnya, agar agama itu suci, hanya kepada Allah, tidak goyah atau
goncang. Hal ini, tentunya tidak bisa terwujud kecuali dengan membungkam
fitnah, sehingga Islam bisa memperkokoh pengaruhnya, dan tak ada seorang pun
yang berani sembrono terhadap pemeluk Islam.
Fitnah itu bisa dicegah dengan dua cara berikut ini
1. Menampakkan hakikat ajaran Islam terhadap kaum penentang, meski dengan
penyampaian secara lisan. Dengan demikian, maka mereka tidak akan menjadi

47
lawan dan memusuhi kita. Di samping itu, mereka pun tidak berani mencegah
seseorang melakukan dakwah.
2. Menerima jizyah. Maksudnya, sebagian harta yang dipungut dari kaum ahlul-
kitab, sebagai imbalan jerih payah dalam melindungi mereka.20
3. Tafsir Al Misbah
“Tidak ada paksaan untuk (menganut) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang teguh kepada gantungan tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Setelah jelas bagi setiap orang, melalui ayat yang lalu, siapa Allah dan
kewajaran-Nya untuk disembah, serta keharusan mengikuti agama yang
ditetapkan-Nya, serta jelas pula bahwa Dia memiliki kekuasaan yang tidak
terbendung, maka bisa jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi
alasan bagi Allah untuk memaksa makhluk menganut agama-Nya, apalagi dengan
kekuasaan-Nya yang tidak terkalahkan itu. Untuk menampik dugaan ini,
datanglah ayat 256 di atas. Tidak ada paksaan dalam menganut agama. Mengapa
ada paksaan, padahal Dia tidak membutuhkan sesuatu; Mengapa ada paksaan,
padahal sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja) (QS. al-Ma’idah [5]: 48). Perlu dicatat, bahwa yang dimaksud dengan tidak
ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika
seseorang telah memilih satu akidah, katakan saja akidah Islam, maka dia terikat
dengan tuntunan-tuntunannya, dia berkewajiban melaksanakan perintah-
perintahnya. Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapannya. Dia tidak boleh
berkata, “Allah telah memberi saya kebebasan untuk shalat atau tidak, berzina
atau nikah.” Karena bila dia telah menerima akidahnya, maka dia harus
melaksanakan tuntunannya.
Kembali kepada penegasan ayat ini, tidak ada paksaan dalam menganut
keyakinan agama; Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian.
Agama-Nya dinamai Islam, yakni damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa
tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan
dalam menganut keyakinan agama Islam.
Mengapa ada paksaan, padahal telah jelas jalan yang benar dari jalan yang
sesat. Jika demikian, sangatlah wajar setiap pejalan memilih jalan yang benar, dan
tidak terbawa ke jalan yang sesat. Sangatlah wajar semua masuk agama ini. Pasti
ada sesuatu yang keliru dalam jiwa seseorang yang enggan menelusuri jalan yang
lurus setelah jelas jalan itu terbentang di hadapannya.

Ayat ini menggunakan kata (‫ )رشد‬rusyd yang mengandung makna jalan lurus. Kata
ini pada akhirnya bermakna ketepatan mengelola sesuatu serta kemantapan dan

20
Tafsir Al Maragi. Juz 2 Hal. 29-35

48
kesinambungan dalam ketepatan itu. Ini bertolak belakang dengan ( ‫ )اْلَغِّي‬al-ghayy,
yang terjemahannya adalah jalan sesat. Jika demikian, yang menelusuri jalan lurus
itu pada akhirnya melakukan segala sesuatu dengan tepat, mantap, dan
berkesinambungan.
Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah jelas jalan yang
lurus. Itu sebabnya, sehingga orang gila dan yang belum dewasa, atau yang tidak
mengetahui tuntunan agama, tidak berdosa jika melanggar atau tidak
menganutnya, karena bagi dia jalan jelas itu belum diketahuinya. Tetapi Anda
jangan berkata, bahwa Anda tidak tahu jika Anda mempunyai potensi untuk
mengetahui tetapi potensi itu tidak Anda gunakan. Di sini Anda pun dituntut
karena menyia-nyiakan potensi yang Anda miliki.
Ada juga yang memahami ayat di atas dalam arti: Telah jelas benar, jelas
juga perbedaannya dengan jalan yang sesat, telah jelas bahwa yang ini membawa
manfaat dan itu mengakibatkan mudharat, jika demikian tidak perlu ada paksaan,
karena yang dipaksa adalah yang enggan tunduk akibat ketidaktahuan. Di sini
telah jelas jalan itu sehingga tidak perlu paksaan. Anda memaksa anak untuk
minum obat yang pahit, karena Anda tahu bahwa obat itu adalah mutlak untuk
kesembuhan penyakit yang dideritanya.
Yang enggan memeluk agama ini pada hakikatnya terbawa oleh rayuan
Thaghut, sedangkan yang memeluknya adalah yang ingkar dan menolak ajakan
Thaghut, dan mereka itulah orang-orang yang memiliki pegangan yang kukuh.
Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus.

Kata ( ‫ )َّط اُغْو ِت‬thaghut, terambil dari akar kata yang berarti melampaui
batas. Biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Setan,
Dajjal, Penyihir, yang menetapkan hukum bertentangan dengan ketentuan Ilahi,
tirani, semuanya digelar dengan Thaghut. Yang memeluk agama Islam harus
menolak ajakan mereka semua. Ini harus didahulukan sebelum mengakui keesaan
Allah. Bukankah ayat ini mendahulukan pengingkaran terhadap Thaghut, baru
kemudian menyatakan percaya kepada Allah? Bukankah syahadat yang diajarkan
adalah mendahulukan penegasan bahwa Tiada Tuhan yang berhak disembah, baru
segera disusul dengan kecuali Allah? Memang, menyingkirkan keburukan harus
lebih dahulu daripada menghiasi diri dengan keindahan.
Berpegang teguh pada buhul tali yang amat kuat. Berpegang ieguh,
disertai dengan upaya sungguh-sungguh, bukan sekadar berpegang, sebagaimana
dipahami dari kata ( ‫ )اْس َتْم َس َك‬istamsaka, yang menggunakan huruf-huruf sin dan ta’
bukan ( ‫ )مَس َك‬masaka. Tali yang dipegangnya pun amat kuat, dilanjutkan dengan
pernyataan tidak akan putus, sehingga pegangan yang berpegang itu amat kuat,

49
materi tali yang dipegangnya kuat, dan hasil jalinan materi tali itu tidak akan
putus.
Kesungguhan untuk memegang gantungan itu disebabkan karena ayunan
Thaghut cukup kuat, sehingga diperlukan kesungguhan dan kekuatan.

Kata (‫‘ )ُع ْرَوِة‬urwah yang di atas diterjemahkan dengan gantungan tali
adalah tempat tangan memegang tali, seperti yang digunakan pada timba guna
mengambil air dari sumur. Ini memberi kesan bahwa yang berpegang dengan
gantungan itu bagaikan menurunkan timba untuk mendapatkan air kehidupan.
Manusia membutuhkan air (H2O) , yang merupakan gabungan dua molekul
hidrogen dan satu molekul oksigen untuk kelangsungan hidup jasmaninya.
Manusia juga membutuhkan air kehidupan yang merupakan syahadatain, yakni
gabungan dari kepercayaan kepada Allah yang Maha Esa dan kepada kerasulan
Nabi Muhammad saw.
Ayat ini merupakan perumpamaan keadaan seseorang yang beriman.
Betapapun sulitnya keadaan, walau ibarat menghadap ke suatu jurang yang amat
curam, dia tidak akan jatuh binasa karena dia berpegang dengan kukuh pada
seutas tali yang juga amat kukuh, bahkan seandainya ia terjerumus masuk ke
dalam jurang itu, ia masih dapat naik atau ditolong, karena ia tetap berpegang
pada tali yang menghubungkannya dengan sesuatu yang di atas, bagaikan timba
yang dipegang ujungnya. Timba yang diturunkan mendapatkan air dan ditarik ke
atas. Demikian juga seorang mukmin, yang terjerumus ke dalam kesulitan.
Memang dia turun atau terjatuh, tetapi sebentar lagi dia akan ke atas membawa air
kehidupan yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.21
4. Tafsir Al Azhar
Tidak Ada Paksaan Dalam Agama
Sebelum kita uraikan sebab turun ayat ini (Asbabun-Nuzul) dan uraian
maksudnya lebih panjang, terlebih dahulu kita jelaskan bahwasanya di antara
Ayatul Kursi dengan ayat "Tidak ada paksaan dalam agama" ini, yaitu di antara
ayat 255 dengan 256 tidaklah berpisah. Ayat 255 menjelaskan intisari ajaran Islam
tentang Tauhid. Tauhid yang diuraikan dalam Ayatul Kursi ini meliputi makna
Ketuhanan seluruhnya, yang dengan dia sesuai fithrah manusia. Sebab itu kalau
hati seseorang tulus dan ikhlas, tidak dipengaruhi oleh taqlid kepada nenek
moyang atau paksaan dari pemuka-pemuka agama, dengan sendirinya orang akan
menerima keterangan dari Ayatul Kursi itu. Sebab itu maka dalam ayat 256 ini
diterangkan bahwa di antara jalan yang benar, jalan yang cerdik bijaksana sudah
jelas berbeda dengan jalan yang sesat. Sehingga tidak perlu dipaksakan lagi. Asal
orang satu kali sudah mau melemparkan pengaruh thaghut dari dirinya, dan terus
beriman kepada Allah, kebenaran itu pasti diterimanya dengan tidak usah
dipaksakan. Yang memaksa orang menganut suatu faham, walaupun faham itu

21
Tafsir Al Misbah. Hal. 551-553

50
tidak benar, tidak lain hanyalah thaghut. Inilah yang akan kita perhatikan pada
ayat-ayat dan penafsiran selanjutnya kelak.
Sekarang kita masuk kepada Asbabun Nuzul:
Menurut riwayat dari Abu Daud dan an-Nasa'i, dan Ibnul Mundzir dan
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Hibban dan Ibnu Mardawaihi dan al-
Baihaqi dari Ibnu Abbas dan beberapa riwayat yang lain, bahwasanya penduduk
Madinah sebelum mereka memeluk Agama Islam, merasa bahwa kehidupan orang
Yahudi lebih baik dari hidup mereka, sebab mereka Jahiliyah. Sebab itu di antara
mereka ada yang menyerahkan anak kepada orang Yahudi untuk mereka didik dan
setelah besar anak-anak itu menjadi orang Yahudi. Ada pula perempuan Arab yang
tiap beranak tiap mati, maka kalau dapat anak lagi, lekas-lekas diserahkannya
kepada orang Yahudi. Dan oleh orang Yahudi anak- anak itu diYahudikan.
Kemudian orang Madinah menjadi Islam, menyambut Rasulullah s.a.w. dan
menjadi kaum Anshar. Maka setelah Rasulullah pindah ke Madinah dibuatlah
perjanjian bertetangga baik dengan kabilah-kabilah Yahudi yang tinggal di
Madinah itu. Tetapi dari bulan ke bulan, tahun ke tahun perjanjian itu mereka
mungkiri, baik secara halus ataupun secara kasar. Akhirnya terjadilah pengusiran
atas Bani Nadhir yang telah dua kali kedapatan hendak membunuh Nabi (lihat
tafsiran Surat 59 Al-Hasyr). Lantaran itu diputuskanlah mengusir habis seluruh
kabilah Bani Nadhir itu keluar dari Madinah. Rupanya ada pada Bani Nadhir itu
anak orang Anshar yang telah mulai dewasa, dan telah menjadi orang Yahudi.
Ayah anak itu memohonkan kepada Rasulullah Saw. supaya anak itu ditarik ke
Islam, kalau perlu dengan paksa. Sebab si ayah tidak sampai hati bahwa dia
memeluk Islam, sedang anaknya menjadi Yahudi. "Belahan diriku sendiri akan
masuk neraka, ya Rasulullah!" Kata orang Anshar itu. Dan di waktu itulah turun
ayat ini:
"Tidak ada paksaan dalam agama." (pangkal ayat 256). Kalau anak itu
sudah terang menjadi Yahudi, tidaklah boleh dia dipaksa memeluk Islam. Menurut
riwayat Ibnu Abbas, Nabi s.a.w. hanya memanggil anak-anak itu dan disuruh
memilih, apakah mereka sudi memeluk agama ayah mereka, yaitu Islam atau tetap
dalam Yahudi dan turut diusir? Dan menurut riwayat, ada di antara anak-anak itu
yang memilih Islam dan ada yang terus jadi Yahudi dan sama berangkat dengan
Yahudi yang mengasuhnya itu meninggalkan Madinah. Keyakinan suatu agama
tidaklah boleh dipaksakan, sebab: "Telah nyata kebenaran dan kesesatan." Orang
boleh mempergunakan akalnya buat menimbang dan memilih kebenaran itu, dan
orang pun mempunyai fikiran waras untuk menjauhi kesesatan. "Maka
barangsiapa yang menolak segala pelanggaran batas dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya telah ber peganglah dia dengan tali yang amat teguh, yang
tidak akan putus selama- lamanya." Agama Islam memberi orang kesempatan
buat mempergunakan fikirannya yang murni, guna mencari kebenaran. Asal orang
sudi membebaskan diri daripada hanya turut-turutan dan pengaruh dari
hawanafsunya, niscaya dia akan bertemu dengan kebenaran itu. Apabila inti
kebenaran sudah didapat, niscaya Iman kepada Tuhan Allah mesti timbul, dan

51
kalau iman kepada Tuhan Allah Yang Tunggal telah tumbuh, segala pengaruh dari
yang lain, dari sekalian pelanggaran batas mesti hilang. Tetapi suasana yang
seperti ini tidak bisa dengan paksa, mesti timbul dari keinsafan sendiri. "Dan
Allah adalah Maha Mendengar, lagi Mengetahui." (ujung ayat 256). DidengarNya
permohonan hambaNya minta petunjuk. DiketahuiNya hambaNya berusaha
mencari kebenaran.
Sungguh-sungguh ayat ini suatu tantangan kepada manusia, karena Islam
adalah benar. Orang tidak akan dipaksa memeluknya, tetapi orang hanya diajak
buat berfikir. Asal dia berfikir sehat, dia pasti akan sampai kepada Islam. Tetapi
kalau ada paksaan, mestilah timbul perkosaan fikiran, dan mestilah timbul taqlid.
Manusia sebagai orang seorang akan datang dan akan pergi, akan lahir dan akan
mati. Tetapi fikiran manusia akan berjalan terus. Penilaian manusia atas agama
akan dilanjutkan dan kebebasan berfikir dalam memilih keyakinan adalah menjadi
tujuan dari manusia yang telah maju.
Ayat ini adalah dasar teguh dari Islam. Musuh-musuh islam membuat
berbagai fitnah yang dikatakan ilmiah sifatnya bahwa Islam dimajukan dengan
pedang. Islam dituduh memaksa orang memeluk agamanya. "Pengetahuan"
seperti inipun kadang-kadang dipaksakan supaya diterima orang, terutama di
masa-masa negeri-negeri Islam dalam penjajahan. Orang dipaksa menerima teori
itu dan orang tidak diberi kesempatan membanding.
Kalau orang benar-benar hendak ilmiah hendaklah menilik kebenaran
sesuatu soal dicari sumber aslinya. Apa sumber asli Islam kalau bukan al-Quran
dan Sunnah Rasul? Ayat inilah, al-Baqarah 256 sumber itu, yaitu Islam
menjelaskan bahwa dalam hal agama tidak boleh ada paksaan. Dan Sunnah atau
praktek dari Nabi s.a.w. sendiri dapat pula dilihat pada sebab turunnya ayat. Kita
melihat jelas bahwa kaum Yahudi Bani Nadhir diusir habis dari Madinah, karena
mereka mengadakan suatu komplotan hendak membunuh Nabi s.a.w. yang pada
waktu itu telah berkuasa dalam masyarakat Madinah. Tidak ada perkataan ketika
itu bahwa kalau mereka sudi memeluk Islam, mereka tidak akan diusir. Malahan
anak-anak kaum Anshar sendiri, yang telah jadi Yahudi, tidak dipaksa untuk
memeluk agama ayah mereka, meskipun ayah itu sendiri meminta kepada Nabi
s.a.w. supaya anak-anak itu dipaksa.
Sarjana Kristen Arabia, Prof. Phillips Hitti yang telah menjadi
warganegara Amerika, di dalam bukunya Sejarah Arab mengakui bahwasanya
ayat inilah salah satu ayat dalam Islam yang patut menjadi panutan manusia dalam
segala agama.
Dalam kejadian pengusiran Bani Nadhir itu sudahlah sangat terang per-
bedaan soal politik dengan soal keyakinan agama. Mereka diusir dari Madinah,
karena mereka hendak membunuh Nabi s.a.w. Tetapi mereka tidak dipaksa masuk
Islam, dan anak orang Arab sendiri yang telah memeluk agama Yahudi tidak
dipaksa supaya memeluk agama ayah-bunda mereka.

52
Peperangan-peperangan yang terjadi di antara Nabi s.a.w. dengan kaum
musyrikin di Makkah dan di seluruh Tanah Arab, pun bukanlah paksaan agama,
meskipun kedudukan penyembah berhala Arab di waktu itu jauh berbeda dengan
kedudukan Yahudi dan Nasrani. Sejak mulai Nabi s.a.w. menyampaikan
da'wahnya, dia telah ditolak oleh kaumnya dengan kekerasan dan pengikut-
pengikutnya disiksa dan dianiaya. Sampai beliau diusir dari Makkah dan Hijrah ke
Madinah. Dan dengan keinsafan secara ilmiah haruslah kita selidiki siapa Nabi
Muhammad di tengah-tengah kaum Quraisy di Makkah itu. Semuanya, baik
Muhammad ataupun yang menentangnya, adalah orang berkeluarga semua. Di
antaranya paman kandungnya sendiri Abu Lahab. Maka kalau timbul Perang
Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq dan penaklukan Makkah, sekali-kali jangan
langsung dicap bahwa Muhammad memaksakan Islam dengan pedang, tetapi
harus diakui bahwa ini adalah perebutan pimpinan di antara orang berkeluarga, di
antara faham lama dengan faham baru. Dan kepala penentangnya sampai saat
takluknya Makkah, adalah mertuanya sendiri, Abu Sufyan. Dan dengan keinsafan
ilmiah pula harus kita selidiki apa hakikat seruan Muhammad kepada mereka.
Mereka mengakui anak-cucu dari Nabi Ibrahim, mereka mengakui Ka'bah sebagai
pusat persatuan mereka dan merekapun mengerjakan Haji dan Umrah tiap tahun,
tetapi ajaran asli Nabi Ibrahim itu telah mereka kotori dengan penyembahan
berhala. Terhadap mereka Rasulullah s.a.w. tidak memaksakan Islam dengan
pedang, tetapi membersihkan Ka'bah dari berhala dan kembali kepada ajaran
Ibrahim yang murni.
Di saat itu datang sendiri ke Makkah orang-orang Nasrani Arab yang
mengakui kerasulan Muhammad, sebagai Adiy bin Hatim dan saudara
perempuannya. Adiy ini adalah putera dari Hatim Thaiy, dermawan Arab Nasrani
yang masyhur. Dia datang sendiri dari tempat yang amat jauh bukan karena
dipaksa dengan pedang. Demikian juga Tamim ad-Dary; dia pun seorang Nasrani.
Dan ada lagi seorang pemuda bernama Suhaib, bangsa Romawi yang telah lama
tinggal di Makkah. Dalam Nabi Muhammad s.a.w. menerima berbagai penghinaan
dari kaumnya yang menyembah berhala itu, Suhaib dengan sukarelanya sendiri
memeluk Islam. Di waktu Nabi s.a.w. pergi ke Thaif, sampai di sana dipukuli dan
dilempari batu, sampai mengalir darah ke terompah beliau, di tengah jalan dia
berjumpa dengan seorang pemuda Nasrani dari Ninive bernama Adas. Dia
menjadi budak di tempat itu. Dia sendiri pula yang datang kepada Rasulullah
s.a.w. dan menyatakan masuk Islam. Demikian juga Salman orang Persia; dia
sendiri yang datang ke Madinah, sesudah dia terlebih dahulu masuk Nasrani,
pindah dari Majusi, akhirnya masuk ke Islam. Padahal semua kejadian ini lama
sebelum turun ayat tidak ada paksaan dalam agama yang tersebut itu.
Ajaran Nabi s.a.w. ini atau tegasnya dasar yang telah ditentukan oleh al-
Quran ini dipegang teguh oleh Islam, walaupun dia sedang di puncak ke-
kuasaannya. Menurut riwayat dari Imam Bukhari, yang diterimanya dari Aslaj,
bahwa Khalifah Umar bin Khathab mempunyai seorang pelayan perempuan tua
beragama Nasrani, yang boleh dikatakan sudah dipandang sebagai keluarga dan
disayangi oleh semua keluarga di rumah beliau. Pernah beliau berkata: "Masuklah

53
ke Islam, supaya kau selamat!" Tetapi perempuan tua itu telah menggelengkan
kepala menolak ajakan itu. Namun dia tetap disayangi. Demikian juga pelayan
laki-laki beliau yang bernama Zanbaq orang Romawi, diajak masuk Islam agar
diberi jabatan yang lebih tinggi menolong baginda memegang amanat kaum
Muslimin, semua dia tidak mau. Itupun tidak menjadi apa. Bukti yang hidup
dalam perjalanan ayat ini ialah terdapatnya minoritas Nasrani di Palestina, Suria,
Irak dan Mesir. Minoritas Yahudi di negeri Yaman dan di Afghanistan. Mereka itu
hidup damai di dalam perlindungan kekuasaan Islam (Dzimmi) sejak 14 abad
yang telah lalu. Berbeda nasib mereka dengan kaum Muslimin di Spanyol yang
diusir meninggalkan negeri itu dan sisanya dipaksa memeluk agama Nasrani.
Habis kekuasaan Islam dari sana di tahun 1492, maka sebelum habis abad
ketujuhbelas (1600), sisa yang tinggal telah resmi jadi Nasrani karena paksaan.
Menurut riwayat, berpuluh tahun lamanya anak-anak diajar Agama Islam secara
diam-diam oleh ayah-bundanya. Tetapi kalau ketahuan, si ayah-bunda dibunuh.
Yang diketahui oleh semua peminat Sejarah Islam ialah bahwa apabila
Angkatan Perang Islam masuk ke suatu negeri, terlebih dahulu dikirim surat atau
utusan yang membawa tiga peringatan:
1. Ajakan masuk Islam. Kalau ajakan ini diterima, timbullah persaudaraan
seagama. Sama derajat, sama kedudukan, tidak ada yang menjajah dan tidak ada
yang terjajah. Hak sama dan kewajiban pun sama.
2. Kalau tidak mau memeluk Islam, bolehlah terus memeluk agama yang lama.
Mereka akan diberi perlindungan dengan syarat membayar Jizyah.
3. Kalau salah satu dari dua ini tidak diterima, itu adalah alamat akan terjadinya
peperangan. Kalau peperangan terjadi, berlakulah hukum perang. Negeri mereka
dikuasai, tetapi tidak juga ada paksaan untuk memeluk Islam.
Apakah lantaran syarat pertama mengajak terlebih dahulu supaya sudi
memeluk Islam itu yang dinamai memaksakan agama dengan pedang? Padahal
ajakan yang kedua yaitu membayar Jizyah terbuka lebar buat mereka?
Dalam pelaksanaan di zaman-zaman mulai perkembangan Islam, di zaman
Abu Bakar dan Umar, di bawah pimpinan Pahlawan-pahlawan Perang Islam,
sebagai Khalid bin al-Walid, Abu Ubaidah dan 'Amr bin al-'Ash, kerapkali
kepungan atas suatu desa Nasrani dihentikan setelah delegasi (perutusan) mereka
datang menyatakan membayar Jizyah dan kedudukan pemimpin-pemimpin
mereka diakui. Uskup Nasrani di Palestina meminta supaya Khalifah Umar bin
Khathab sendiri datang menerima penaklukan mereka. Dan beliau pun datang.
Jaminan perlindungan atas mereka dipegang teguh sampai 14 abad. Tidak sekali
juga ada seorang penguasa atau raja Islam yang berani bertindak memaksa mereka
memeluk Islam, meskipun penguasa itu keras tindakannya, padahal jumlah
mereka sangat kecil saja di waktu itu. Malahan tenaga-tenaga mereka banyak
yang dipakai dalam administrasi kenegaraan. Mengapa penguasa penguasa Islam
itu tidak mau menjalankan paksaan? lalah karena takut akan terlanggar ayat ini.

54
Setelah abad-abad terakhir setelah pengaruh kerajaan-kerajaan Penjajah
Kristen masuk ke Dunia Islam, mereka berusaha memakai golongan kecil Kristen
dalam negeri-negeri Islam yang hidup damai dengan tetangganya orang Islam itu
untuk menjadi pengganggu ketenteraman pemerintahan Islam. Salah seorang
Sultan Turki Usmani pernah menyatakan niat, lebih baik dipaksa saja golongan-
golongan kecil Kristen ini masuk Islam, tetapi Mufti atau Syaikhul-Islam
membantah keras, karena melanggar hukum agama.
Bahkan kadang-kadang toleransi yang ditanamkan oleh ayat inilah yang
diambil dijadikan kesempatan yang baik oleh pemeluk Agama Kristen di negeri-
negeri Islam buat mendesak Ummat Islam. Oleh sebab itu, jika semangat
beragama telah mundur pada kaum Muslimin sendiri, padahal ayat ini ada, akan
mudahlah benteng-benteng mereka diruntuhkan. Mereka tidak boleh oleh
agamanya sendiri melakukan paksaan agama kepada orang lain, padahal orang
lain dengan segala daya-upaya memaksa mereka meninggalkan Islam.22
5. Tafsir At Thabari
Penakwilan firman Allah: ‫( ٓاَل ِاْك َراَه ىِف ال ِّد ْيِۗن َق ْد َّتَبَنَّي الُّرْش ُد ِم َن اْلَغِّي‬Tidak ada paksaan
untuk [memasuki] agama [Islam]; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang salah)
Abu Ja'far berkata: “Para penakwil berselisih pendapat tentang maksud
ayat tersebut, sebagian mereka mengatakan: Ayat ini turun berkaitan dengan
sekelompok orang dari golongan Anshar, atau berkaitan dengan seseorang dari
mereka yang memiliki beberapa orang anak yang telah beragama Yahudi atau
Nasrani. Ketika Allah mendatangkan agama Islam mereka berkeinginan
memaksanya memeluk agama Islam”.
Abu Ja’far At Thabari mengumpulkan 21 riwayat berbagai pendapat dari
para ulama’ menegenai takwilan dari penggalan awal ayat tersebut (5790-5811)
dan mengambil pendapat: Ayat ini turun khusus pada orang-orang tertentu, dia
mengatakan: maksud firman-Nya: ‫“ ٓاَل ِاْك َراَه ىِف ال ِّد ْيِۗن‬Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam)” para ahli kitab dan Majusi, serta semua orang yang
telah memilih agama selain Islam, dan dipungut pajak darinya. Dan mereka tidak
mengingkari adanya sesuatu yang dihapus (mansukh) dari ayat itu.
Orang-orang muslim dahulu meriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau
memaksa satu kelompok untuk masuk Islam, dan tidak menerima apapun dari
mereka kecuali Islam. Memutuskan perang melawan mereka kalau mereka
menolak, hal itu dilakukan seperti kepada orang-orang musyrik Arab para
penyembah berhala, orang murtad dari agama Islam kepada kekafiran dan orang-
orang seperti mereka lainnya.
Dan bahwasanya Rasulullah SAW tidak melakukan paksaan kepada yang
lain untuk masuk Islam dengan mengambil pajak dan membiarkan berpegang

22
Tafsir Al Azhar. Hal. 623-627

55
pada agamanya yang batil, hal itu seperti dilakukan kepada para ahli kitab dan
orang-orang seperti mereka lainnya. Dengan begitu, jelas maksud firman-Nya.
Bahwa, tidak ada paksaan masuk agama Islam bagi seseorang yang boleh
dipungut pajak darinya dan dia menerima dengan senang hati hukum Islam. Dan
tidak ada maknanya pendapat orang yang menganggap bahwa ayat ini dinasakh
hukumnya dengan izin berperang".

Abu Ja'far berkata: “Adapun makna firman-Nya: ‫“ َقْد َّتَبَنَّي الُّرْش ُد‬Telah jelas
jalan yang benar” maka penakwilan ayatnya adalah: Sungguh sangat jelas
perbedaan antara kebenaran dan kebatilan, dan menjadi terang bagi pencari
kebenaran dan petunjuk jalannya, maka dia terbebas dari kesesatan dan
kekeliruan. Jangan sekali-kali kamu paksa masuk agama kamu yaitu agama Islam
para ahli kitab dan orang yang aku perbolehkan mengambil pajak darinya; maka
sesungguhnya orang yang menyimpang dari kebenaran setelah dia mendapatkan
petunjuk, maka balasannya diserahkan kepada Allah, Dia yang maha menguasai
siksa di akhirat”.

Penakwilan firman Allah: ‫( َفَمْن َّيْك ُف ْر ِبالَّط اُغْو ِت َو ُيْؤ ِم ْۢن ِبالّٰل ِه‬Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah). Abu Ja'far
berkata: "Para penakwil berselisih pendapat tentang makna ‫الَّط اُغْو ِت‬, sebagian
mereka mengatakan: Syetan".
Beliau mengumpulkan 11 riwayat berbagai pendapat dari para ulama’
menegenai takwilan dari kalimat ini (5812-5823) dan mengambil pendapat
tentang makna ‫ الَّط اُغْو ِت‬menurutnya adalah: “Bahwa setiap yang memiliki
kezhaliman kepada Allah, maka berarti menyembah kepada selain-Nya,
adakalanya dengan cara memaksa agar orang lain menyembahnya dan adakalanya
atas dasar kerelaan orang yang menyembah itu sendiri. Adapun yang disembah itu
baik berupa manusia, syetan, patung, berhala, dan lain-lain”.
Penakwilan ayatnya adalah orang yang mengingkari ketuhanan semua
yang disembah selain Allah maka berarti dia kufur kepadanya (Thagut); ‫َو ُيْؤ ِم ْۢن ِبالّٰلِه‬
“Dan beriman keapda Allah” ia berkata: percaya kepada Allah bahwa Dia adalah
Tuhannya dan Dia yang disembahnya, ‫“ َفَق ِد اْس َتْم َس َك ِب اْلُعْرَوِة اْل ُوْثٰقى‬Maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat” dia berkata:
Maka dia telah berpegang sangat kuat pada pegangan orang yang mencari
keselamatan diri dari azab dan siksa Allah.

Penakwilan firman Allah: ‫“ َفَق ِد اْس َتْم َس َك ِب اْلُعْرَوِة اْل ُوْثٰقى‬Maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat”

Abu Ja'far berkata: “Kata ‫ ِب اْلُعْرَوِة‬dalan ayat ini merupakan perumpamaan


iman orang mukmin yang berpegang teguh kepadanya. Maka titik persamaannya
pada ketergantungan dan hal berpegang teguh pada ikatan sesuatu yang kuat,

56
karena segala sesuatu yang memiliki ikatan maka orang yang menginginkannya
bergantung dengan ikatan tersebut. Allah Ta’ala menjadikan iman yang dengan
iman itu orang kafir berpegang pada ‫ الَّطاُغْو ِت‬sedangkan orang mukmin berpegang
pada Allah dan termasuk ikatan sesuatu yang paling kuat berdasarkan firman-Nya:
‫ اْل ُوْثٰقى‬Kata al wutsqa berwazan ‫ ُفْع َلى‬dari kata ‫ الَو َثاَق ُة‬artinya kekuatan, dikatakan
untuk laki-laki: huwa al autsaq dan untuk perempuan: hiya al wutsqa,
sebagaimana dikatakan fulan al afdhal dan fulanah al fadhla.” Berdasarakan 6
riwayat pendapat para ulama’ (5825-5830) yang telah beliau kumpulkan.

Penakwilan firman Allah: ‫( اَل اْنِف َص اَم َهَلا‬Yang tidak akan putus)

Abu Ja'far berkata: "Maksud firman-Nya: ‫ اَل اْنِف َص اَم َهَلا‬tidak terputus ikatan
kuat itu, dhomir pada firman-Nya adalah kembali ke kata ‫"اْلُعْرَوِة‬.

Dan makna ayat: Barangsiapa yang kafir kepada ‫ الَّط اُغْو ِت‬dan beriman
kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berlindung dengan ketaatan kepada
Allah, yang dengarmya seseorang tidak merasa takut dan khawatir akan
dihinakan, seperti orang yang berpegang kuat pada suatu ikatan yang dia tidak
merasa khawatir akan putus. Dan asal kata ‫ الفصم‬artinya terputus.

Penakwilan firman Allah Ta'ala: ‫( َوالّٰل ُه ِمَس ْيٌع َعِلْيٌم‬Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui)

Maksud firman-Nya: ‫" َوالّٰل ُه ِمَس ْيٌع َعِلْيٌم‬Dan Allah Maha Mendengar" iman
orang mukmin dengan Allah yang Esa, kafir terhadap taghut ketika mengukuhkan
keesaan Allah dan bebas dari sekutu serta berhala yang disembah selain-Nya, ‫َعِلْيٌم‬
"Maha Mengetahui" dengan keinginan hatinya menauhidkan Allah dan
memurnikan ketuhanan-Nya serta membebaskan apa yang mengerumuni hatinya
dari tuhan-tuhan, berhala-hala serta thagut-thagut, dan lainnya yang dapat berupa
segala sesuatu yang disembunvikan dalam diri seorang makhluk. Tidak ada
satupun rahasia yang tersembunyi dari Allah dan tidak satupun permasalahan yang
tertutup dari-Nya. Pada hari kiamat nanti keduanya, baik yang terucap oleh lisan
dan yang tersembunyi dalam diri manusia akan mendapat ganjaran. Jika itu
merupakan perbuatan baik maka akan di balas dengan kebaikan dan jika itu
perbuatan buruk maka akan di balas dengan keburukan.23
Poin Analisis dan Konklusi
Setelah pemaparan beberapa tafsir diatas, dapat diambil poin-poin pokok
pembahasan mengenai Q.S Al Baqarah ayat 256, antara lain:
1. Tidak ada paksaan untuk masuk agama Islam

23
Tafsir At Thabari. Jilid 4 Hal. 454-475

57
Karena pada ayat sebelumnya (255), Allah telah menjelaskan sifat-sifat-
Nya, kekuasaan-Nya, tentu Islam memberikan bagi manusia yang telah
dianugerahi akal sehat apabila dikabarkan ayat tersebut ia terima dan muncullah
keimanan. Telah banyak sirah yang menjelaskan baik itu sebelum turunnya ayat
256 maupun sesudahnya.
2. Mengubah stereotype Islamophobia
Islam sering difitnah bahwa agama ini tegak karena pedang (perang), yang
konotasinya adalah kekerasan dan pemaksaan sehingga seolah-olah hilanglah sifat
kemanusiaan. Padahal ayat 256 ini menjadi acuan universal bagi seluruh manusia
apapun agamanya.
3. Haq dan Bathil
Telah jelas nampak mana jalan yag benar (rusyd) mana jalan yang sesat
(ghayy). Orang boleh mempergunakan akalnya buat menimbang dan memilih
kebenaran itu, dan orang pun mempunyai fikiran waras untuk menjauhi kesesatan.
Sesuai fitrahnya manusia diciptakan.
4. Urwati al wutsqa
Tali yang sangat kuat itu digunakan manusia untuk berpegang padanya.
Dengan mengkufuri thagut dan beriman kepada Allah maka itulah makna tali
yang tidak akan putus (‫)اَل اْنِف َص اَم َهَلا‬. Talinya (Islam) sudah pasti kuat karena Allah
sendiri melalui orang-orang yang terpilih yang akan menjaganya. Sekarang,
tinggal kita bagaimana cara berpegang teguh (kadang kuat-kadang lemah) seperti
iman (yazidu-wa yanqus) dari hempasan seruan thagut, hawa nafsu, maupun tipu
daya duniawi hingga ajal menjemput.
5. Allah Maha Mendengar dan Mengetahui
Tidak ada satupun rahasia yang tersembunyi dari Allah dan tidak satupun
permasalahan yang tertutup dari-Nya. Pada hari kiamat nanti keduanya, baik yang
terucap oleh lisan dan yang tersembunyi dalam diri manusia akan mendapat
ganjaran. Jika itu merupakan perbuatan baik maka akan di balas dengan kebaikan
dan jika itu perbuatan buruk maka akan di balas dengan keburukan.

58
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ajaran Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Allah Swt.
memerintahkan orang mukmin untuk berusaha menerapkan Islam secara
menyeluruh dan melarang untuk mengikuti langkah setan yang menyuruh kepada
keburukan, kekejian, dan mengatakan apa yang tidak diketahui tentang Allah Swt.
Namun, jika manusia tergelincir setelah nampak bukti yang nyata maka Allah
Swt. memperingatkan manusia dari awal penciptaannya yang fitrah, berasaskan
ketauhidan yang cenderung menerima hal-hal baik dan menolak hal-hal buruk.
Sehingga lahir di dunia membawa nilai-nilai kemanusiaan sebagai bekal khalifah
atau penguasa yang menjadi tugas manusia untuk mengelola dan merawat bumi.
Manusia mendapatkan status tertinggi yakni sebagai ‘pengganti’ Allah di
bumi selama tetap berlaku adil, tidak mengikuti hawa nafsu yang menyebabkan ia
tersesat. Selain itu juga mengemban amanah dakwah dengan tanpa paksaan,
karena setiap manusia dibekali akal untuk bisa membedakan dan telah jelas jalan
yang benar dari yang sesat. Maka beruntunglah orang-orang yang sanggup
berpegang teguh pada ajaran Islam hingga akhir hayatnya.

59
DAFTAR PUSTAKA
https://quran.kemenag.go.id
Al Syeikh DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq. 1994.
Lubaabut Tafsiir Min Ibnu Katsiir. Kairo:Muassasah Daar al-Hilal.
Dr. Shalah 'Abdul Fattah al-Khalidi. 2017. Mudah Tafsir lbnu Katsir Shahih,
Sistematis, Lengkap. Jakarta: Maghfirah Pustaka.
Mustafa Al Maragi, Ahmad. 1992. Tafsir Al Maragi. Semarang: CV Toha Putra
Semarang.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al Misbah. 2005. Jakarta: Lentera Hati.
Amrullah, Prof. Dr. H. Abdul Malik Abdul Karim. Tafsir Al Azhar. 1982.
Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura.
At Thabari, Ibnu Jarir. Tafsir At Thabari. 2007. Jakarta: Pustaka Azzam.
https://dki.kemenag.go.id/artikel/menemukan-nilai-kemanusiaan-dalam-
beragama-e9LrO

60
61

Anda mungkin juga menyukai