Anda di halaman 1dari 22

Makalah

POSISI TASAWUF DALAM ISLAM

DISUSUN
OLEH :

DIAN MAYASARI
MIA AUDINA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZIZIYAH
SAMALANGA, 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan
sebuah makalah yang berjudul “Posisi Tasawuf dalam Islam”. Salawat dan salam
kita panjatkan kaharibaan nabi besar Muhammad Saw yang mana telah membawa
umat dari alam kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada guru pembimbing mata kuliah
yang telah membimbing penulis dan juga kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
memberikan manfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.Amin.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
A. Pengertian Islam dan Posisi Tasawuf........................................................3
B. Memaknai Islam dalam Tasawuf...............................................................4
C. Konteks Keimanan Seorang Sufi...............................................................5
D. Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf...................................................................10
E. Istilah Praktis Tasawuf..............................................................................12
F. Tasawuf di Abad Modern..........................................................................15
BAB III PENUTUP.............................................................................................18
A. Kesimpulan................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf atau dalam ilmu pengetahuan lebih di kenal dengan sufisme, adalah
suatu istilah yang lazim dipergunakan untuk mistikmisme dalam islam. Sebenarnya
suluk merupakan suatu istilah khusus dalam konteks yang lebih luas, yaitu
mistikisme nusantara. Tujuan pokoknya tetap sama, yakni memperoleh hubungan
langsung dengan tuhan.
Walau ada yang diuraikan pengertian tasawuf cukup gamblang, namun masih
banyak kalangan umat islam bahwa ajaran tasawuf tidak bersumber dari ajaran
agama islam. Padahal tasawuf adalah pokok-pokok ajaran dari nabi muhammad
SAW yang didiskusikan dengan para sahabat nabi tentang apa yang diperolehnya
dari malaikat jibril berkenaan dengan pokok-pokok ajaran islam yaitu: iman, islam,
dan ihsan. Ketiga ajaran pokok ini diimplimentasikan dalam pelaksanaan tasawuf
sebagaimana diriwayatkan oleh perawi hadis Imam Bukhari dan Muslim. 1 Islam
ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran rasional, ilmiah dan filosofis yang
berkembang pesat dikalangan umat Islam. Para pemikir Islam dalam
mengembangkan gagasan-gagasan rasional filosofinya selalu menunjuk pada wahyu.
Sehingga interprestasi-interprestasi pada masa kejayaan islam klasik secara kuat
masih terintegerasi antara dimensi spiritual dan dimensi intelektual yang bersumber
pada pemahaman wahyu ilahi.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Islam dan Posisi Tasawuf?
2. Bagaimana Memaknai Islam dalam Tasawuf?
3. Bagaimana Konteks Keimanan Seorang Sufi?
4. Apa Saja Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf?
5. Bagaimana Istilah Praktis Tasawuf?
1 Prof. Dr. H. Hasan Muarif Ambary. Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta : PT Rineka
Cipta, 2004
2 Budhy Munawar-Rahman, Kebijaksanaan Perenial dan Kritik Terhadap
Moderenisme, (Harian Kompas: 22 Mei 1993)

1
6. Bagaimana Perkembangan Tasawuf di Abad Modern?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Islam dan posisi tasawuf?
2. Untuk mengetahui makna Islam dalam tasawuf?
3. Untuk mengetahui konteks keimanan seorang sufi?
4. Untuk mengetahui apa saja pokok-pokok ajaran tasawuf?
5. Untuk mengetahui istilah praktis tasawuf?
6. Untuk mengetahui perkembangan tasawuf di abad modern?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Islam dan Posisi Tasawuf


Pada dasarnya, manusia sejak dilahirkan telah memiliki suatu potensi untuk
beragama, dalam arti mengenal Tuhan, yang oleh Joachim Wach disebut dengan
sense of religious. Keberadaan potensi ini diperkuat oleh roudolf okto yang
mengatakan, “they born with an innate capacity of sensing god and can not help
themself ” (manusia dilahirkan dengan kemampuan untuk mengenal tuhan dan tidak
dapat menghindarinya).
Pengakuan adanya tuhan akan membawa konsekuensi tersendiri bagi manusia
untuk megintegrasikan dirinya dengan yang maha kuat, yang diekspresikan dalam
bentuk doa dan pemujaan atau persembahan. proses integrasi dan “ perjumpaan ”
manusia dengan tuhan atau pengakuan terhadap “kehadiran” tuhan dalam dirinya
tadi, lazim disebut pengalaman agama (religius experience).
Pada sebagian umat islam, respon terhadap realita mutlak ini diekspresikan
dalam bentuk ibadah formal, seperti shalat, puasa, haji, berdoa. Sebagian yang lain
merasa tidak cukup hanya dengan melakukan itu, lebih jauh mereka mendekatkan
diri kepada tuhan sedekat-dekatnya, bahkan berusaha “menyatukan” diri dengan-Nya
(union in god). Cara yang disebut terakhir ini dinamakan tasawuf atau mistisisme
islam.
Untuk memahami keberadaan agama Islam perlu dikaji dengan 3 perspektif:
filosofis, sosiohistoris, dan spiritual mistikal. Hal ini sejalan dengan trilogi agama
islam berupa wacana iman (lingkup filosofis), Islam (lingkup sosiohistoris), dan
ihsan (lingkup spiritual). Dengan memadukan 3 sudut pandang itu, akan dapat
dipahami tentang orisinalitas dan otentitas islam sebagai agama universal, yang
berlaku sepanjang zaman atau islam sebagai titik balik dari perenialisme agama-
agama. Bahkan dalam sejarah perkembangan islam secara menyeluruh, tasawuflah
yang paling banyak perhatian, seperti dipertegas oleh Gibb” gerakan keagamaan
yang populer dalam islam sangat berkaitan dengan para zahid dan sufi.”3

3 https://alifgam.blogspot.com/2017/04/posisi-tasawuf-dalam-islam.html

3
Kata Islam secara umum memilki makna berpasrah diri dengan ketundukan
total dan mutlaq kepada allah. kata ini tidak hanya bermakna keselamatan,
kesejahteraan, dan kedamaian. akan tetapi, memiliki unsur sosiologis atau psikologis
kemanusiaan yang lain.
Dari makna islam itu, muncul perangkat-perangkat untuk mengaktualisasikan
dan memahami trilogi keagamaan itu. iman memunculkan cabang ilmu tauhid ( ilmu
kalam, ushuliudin) untuk memahami dan mengimani keberadaan allah. islam
memunculkan ilmu fiqh beserta ushul fiqhnya untuk menggali ilmu-ilmu hukum atau
syariat islam. sementara itu, ihsan memunculkan ilmu tasawuf beserta cabang
cabangnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Metode tersebut merupakan media
untuk berpasrah diri kepada allah, sehingga seseorang berharap akan sampai kepada
tujuan sejati dari hidupnya sampai kembali kepada allah dengan penuh ridha-Nya.
Kajian-kajian tasawuf tidak lain adalah mementingkan kebersihan batin dan
kesucian jiwa, mementingkan aktivitas untuk mendekatkan diri kepada allah SWT
(taqarrub) dan sampai kepada-Nya. dengan demikian, seluruh dimensi hidup di
penuhi dengan keadaan jiwa yang selalu berpikir : mulai dari lisan, anggota tubuh,
peredaran darah, pikiran (akal atau rasio), dan perasaan (hati serta keseluruhan aspek
kejiwaan). Inilah yang membuat hidup seseorang selalu istiqomah, stabil, penuh
motivasi, dan optimistis.
Dengan tasawuf rasa kasih dan sayang akan selalu bersemi di hati. Hal itu
dikarenakan tasawuf merupakan elemen yang tidak mengabaikan hati. di mana roh
murni bersemayam mengendalikan tubuh sebagai motor bagi jiwa dan raga
seseorang. jika hati telah dibutakan oleh hal-hal keduniaan dan tunduk kedalam hawa
nafsu, gelaplah keseluruhan hidup seseorang. Jadilah ia seorang yang zalim, orang
yang cahaya hatinya tidak dapat lagi melihat kebenaran cahaya akhirat dengan Nur
allah.

B. Memaknai Islam dalam Tasawuf


Dalam era sekarang ini apa yang diperlukan oleh dunia Islam adalah format
tasawuf yang konsisten dengan nilai-nilai Islam dan kompatibel terhadap
kecenderungan perubahan gaya hidup masyarakat. Apa yang diajarkan oleh tasawuf

4
tidak lain adalah bagaimana menyembah Tuhan dalam suatu kesadaran penuh bahwa
kita berada di dekat-Nya, sehingga kita “melihatNya” atau bahwa ia senantiasa
mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri di hadapan-Nya.
Namun fenomena keagamaan yang terdapat di masyarakat, tasawuf sering
dipahami sebagai praktik zuhud, yaitu sikap hidup asketis Tasawuf adalah upaya
melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari
pengaruh kehidupan duniawi, berpola hidup sederhana dan rela berkorban demi
tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah, sehingga menjadikan selalu dekat dengan
Allah dan jiwanya bersih serta memancarkan akhlak mulia. Sikap demikian pada
akhirnya membawa seorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkap yang kuat dan
efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesalkan. Tasawuf ini muncul
karena adanya dekadensi moral yang bermula dari kotoran jiwa manusia yaitu jiwa
yang jauh dari bimbingan Tuhan, yang disebabkan ia tidak pernah mencoba
mendekatinya.
Untuk mengatasi masalah ini tasawuflah yang memiliki potensi dan peranan
penting. Dengan demikian pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup
manusia. Maka tidak mengherankan apabila tasawuf akrab dengan masyarakat Islam,
setelah masyarakat tersebut membina akidah dan ibadahnya, melalui ilmu tauhid dan
fiqih. Dengan demikian terjadilah hubungan 3 serangkai yang amat harmonis yaitu
akidah, syari’ah dan akhlak. Berkenaan dengan ini telah bermuncullah para peneliti
yang mengkonsentrasikan kajiannya pada masalah tasawuf sehingga dapat
memudahkan untuk memahaminya.

C. Konteks Keimanan Seorang Sufi


Iman dalam pengertian sufi adalah sesuatu (Nur atau Cahaya Ilahi) yang
masuk ke dalam hati insan yang telah siap menerimanya (karena merasa butuh
kepada-Nya). Kesiapan itu ditandai dengan kehendak dan harapan bertemu dengan-
Nya (oleh karena itu, insan yang demikian disebut murid, yaitu orang yang
berkehendak bertemu Tuhannya).
Kesiapan ditandai pula dengan tekad kuat untuk melakukan peperangan
terbesar (jihadul akbar), yaitu memerangi nafsu dan membunuh watak akunya
(jihadunnafs), sehingga nafsunya (yang wujudnya adalah jiwa raganya) tunduk dan

5
patuh untuk dijadikan kendaraan (buraq) bagi hati, roh dan rasa, berjalan mendekat
hingga kembali kepada-Nya dengan selamat (bi qalbin salim) dan rasa bahagia
selama-lamanya.
Bagi sufi, Nur Ilahi ini haknya memang berada di dalam hati. Sedangkan
semua yang lain harus dikeluarkan dari dalam hati (makna tashfiyatul qalbi) sehingga
yang senantiasa diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati hanyalah Keberadaan Zat
Al-Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya ini saja.
Nur Ilahi ini lalu dirasakan membutir di dalam rasa hati menjadi butiran iman.
Mereka yang telah mencapai maqam ini biasa disebut Asysyaththar.
Dengan Nur Ilahi ini, hati seorang sufi menjadi seakan-akan memandang
kepada Wajah-Nya (tawajjuh), yaitu merasakan Keberadaan-Nya secara jelas dan
nyata dalam rasa hati, di dalam setiap amal dan perbuatannya di mana saja, kapan
saja, dan sedang dalam kondisi apa pun. Dengan cara inilah, semua amal dan
perbuatannya dapat terhubung erat dan menyatu dengan Tuhannya. Dalam keadaan
demikian, Tuhan selalu membuatnya melakukan perbuatan yang dikehendaki-Nya.
Perjalanan hidup seorang sufi adalah memproses diri untuk selalu
menyatukan perbuatan yang lahir (zhahir) dan yang batin (bathin), yaitu menyatukan
syariat (aturan-aturan formal agama) dan hakikat, dilakukan secara bersamaan
sebagaimana tidak terpisahnya jiwa dan raga selama hidup di dunia ini.
Mengapa bisa demikian? Karena yang lahir (syari'at) dikerjakan oleh jasad
yang tampak oleh mata kepala. Bersamaan dengannya, yang batin (hakikat)
dilakukan oleh hati, roh dan rasa, yang sama sekali tidak kasat mata (dibangsakan
gaib, tetapi bukan Al-Ghaib-Nya Tuhan).
Mereka, para sufi, mengalami pengalaman lompatan iman (yaitu menyatunya
ilmu tauhid, takwa, khusyu', ihsan dan ikhlas, dalam rasa hati) dalam pelaksanaan
aturan-aturan formal agama yang disampaikan lewat guru (mursyid) kepadanya.
Terutama sekali, lompatan iman ini terealisasi dalam hal menegakkan salat untuk
mengingat-ingat keberadaan Diri Ilahi (bukan mengingat-ingat arti bacaan salat).
Bahkan, bisa dikatakan, lebih kepada mengintai-intai keberadaan Diri-Nya
sehingga dirinya (si pelaku shalat) tidak lagi merasa melakukan salat, karena
perhatiannya sepenuhnya terserap kepada Diri-Nya. Hanya salat yang demikian saja
yang dipastikan dapat mencegah diri dari perbuatan yang keji dan munkar (tanha 'anil
fahsya wal munkar).

6
Begitu pula halnya dalam menafkahkan sebagian rezeki halal yang
diperolehnya, dikeluarkan dengan mudah di jalan-Nya (seperti memenuhi hak-hak
tanggungannya dan menolong orang-orang yang sangat membutuhkan), karena
dirinya sudah tidak lagi merasa memiliki apa saja.
Bahkan, salat yang khusyu' ini bagi sufi merupakan cara (hati)
mengembalikan jasad manusia kepada unsur-unsurnya (yaitu tanah, air, api, dan
udara). Pengembalian ini terus menerus dilakukan sebelum mati, yang sebenarnya
ditemui (muutuu qabla anta muutuu).
Pengembalian ini dimaksudkan agar tidak menjadi penghalang (hijab) mata
hatinya guna melihat Wajah-Nya hingga dapat selamat bertemu dengan-Nya di
Akhirat kelak.
Selain pengembalian jasad, sufi memproses pengembalian roh (terjadi dalam
penghayatan rasa hatinya), karena roh ini milik-Nya jua (Ruh Ilahi), sehingga apa
saja (termasuk keberadaan dirinya dan perbuatannya) yang semua itu adalah milik-
Nya, tidak lagi diaku dan dirasa miliknya.
Dengan demikian, sufi menjalani kehidupan di dunia ini tetap sebagaimana
mestinya manusia biasa hidup di dunia, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan
asasinya dan mengatasi masalah-masalahnya, tetapi niat dan tekadnya (membuktikan
makna zuhud dan 'uzlah) sama sekali tidak untuk hidup berdunia dengan nafsu dan
watak akunya.
Niat dan tekad hidupnya senantiasa tetap untuk memproses diri mendekat
kepada-Nya demi mencapai cita-cita dan tujuan hidup, semata-mata bertemu dengan-
Nya Yang Kekal Abadi.

Tingkatan Maqam Sufi


Maqam adalah kedudukan atau tahapan seorang sufi berada. Kedudukan ini
hanya akan didapat oleh seorang sufi atas usahanya sendiri dengan penuh
kesungguhan dan istiqomah. Sedangkan ahwal bentuk mufrad dari “hal” adalah
kondisi yang dialami oleh seorang sufi dalam dirinya atau batinnya. Jika maqam
merupakan usaha seorang sufi untuk berada dalam tingkatan tertentu sedangkan
ahwal adalah suatu pemberian Allah yang diberikan Allah kepada seseorang sebagai
hasil usahanya dalam maqam tersebut. Seorang sufi dalam menempuh perjalanan
menuju Allah memiliki pengalaman ahwal yang berbeda-beda.

7
Demikian juga maqam yang mereka tempuh juga berbeda. Abu Nasr as-Sarraj
dalam kitabnya yang berjudul al-Luma menyebutkan ada tujuh maqam yang harus
ditempuh oleh seorang salik untuk dekat dengan Allah. Diantaranya adalah dengan
jalan attaubah, al-Wara’, az-Zuhud, al-Faqir, As-Sabr, at-Tawakkal, ar-Ridha.
Tingkatan maqom secara umum yang sering dilakukan oleh seorang sufi
diantaranya adalah:4
1. Maqam Taubat
Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum
mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam
lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya
langkah awal yang benar.
2. Maqam Zuhud
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd Ẓahir Jalīseperti zuhd
dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal,seperti: makanan, pakaian,
dan hal lain yang tergolong dalam perhiasanduniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī
seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga
berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
3. Maqam Sabar
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam:
a. sabar terhadap perkara haram, 
b. sabar terhadap kewajiban, dan 
c. sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
4. Maqam Syukur
Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; 
a. syukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat
yang didapat. 
b. syukur dengan anggota tubuh, yaitu syukur yang diimplementasikan dalam
bentuk ketaatan. 

4https://sufimenembusbatas.blogspot.com/2016/09/tingkatan-maqam-sufi.html

8
c. syukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi
Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata
dari-Nya.
5. Maqam Khauf
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas
sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian
hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk
mencabut suatu maqam dan hal yang ada pada diri salik, seketika itu juga Allah
akan mencabutnya.
6. Maqam Rajā’
Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika
rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah
angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik
untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat
mendekatkan dirinya kepadaAllah secara kontinu.
7. Maqam Ridha
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah adalah penerimaan secara total terhadap
ketentuan dan kepastian Allah.
8. Maqam Tawakkal
Maqam tawakal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala
sesuatu ada dalam kekuasaan Allah.
9. Maqam Mahabbah
Mahabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik
puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena
mahabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām,
seperti rindu, senang, ridha dan lainsebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum
mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām,
seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya...”

9
D. Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf
Pembagian Tasawuf yang ditinjau dari lingkup materi pembahasannya
menjadi tiga macam, yaitu:
1. Tasawuf Aqidah
Yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan masalah-
masalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan
terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap
Sufi menekankan kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak
ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan Syurga, dan tidak akan mendapatkan siksaan
neraka. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf Aqidah berusaha
melukiskan Ketunggalan Hakikat Allah, yang merupakan satu-satunya yang ada
dalam pengertian yang mutlak. Kemudian melukiskan alamat Allah SWT, dengan
menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dan salah satu indikasi Tasawuf Aqidah,
ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah, yang disebut dengan “Al-Asman al-
Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir tertentu, untuk mencapai alamat
itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba (Al-‘Abid) bisa mencapai hakikat
Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya).
2. Tasawuf Ibadah
Yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia
ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai
rahasia Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat
(Asraru al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj)
dan sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi
tiga tingkatan, yaitu:
a. Tingkatan orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama.
b. Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua.
c. Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-
Khawas), sebagai tingkatan ketiga.
Kalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada
umumnya, maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya’),
sedangkan tingkatan ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya’).

10
Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk
menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya
sifatnya lahiriah saja, tetapi Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau
tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia
(batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering mengemukakan tingkatan ibadah
menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya menjadi empat tingkatan:
a. Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan
najis.
b. Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan
dosa.
c. Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela.
d. Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan
menyembah sesuatu di luar Allah SWT.
Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-
hal yang sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan
Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu Zahir.
3. Tasawuf Akhlaqi
Yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang
akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di
dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain:
a. Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya yang
buruk, sehingga ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik.
b. Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan
mempergunakan segala nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya;
c. Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang
menimpanya.
d. Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT.
Setelah berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan.
e. Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat
menunjuk-nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang
kita lakukan.

11
E. Istilah Praktis Tasawuf
Kaum sufi membagi ajaran agama kepada ilmu lahiriah dan ilmu bathiniah.
Aspek yang terkandung dalam agama tersebut oleh kaum sufi dibagi menjadi empat
kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Syariah
Ketentuan yang ditetapkan oleh Allah untuk para hambanya melalui rasulnya, baik
ketentuan mengenai perbuatan lahiriah, yaitu ibadah dan mu’amalat, maupun batiniah seperti
akidah, akhlak dan tasawuf. Tetapi dalam perkembangannya kata “syari’at” mengalami
penyempitan arti, yaitu hanya mengenai perbuatan lahiriah. Sedang yang mengenai
perbuatan batiniah disebut akidah, akhlak dan tasawuf.
2. Thariqah
Seperi syariat, tarekat (thariqah) berarti jalan.5 Maksud jalan disini bukan
hanya sekedar jalan yang sudah “mainstream” dalam kehidupan manusia, tetapi
maksud dari jalan disini yaitu jalan spiritual yang ditempuh seorang sufi. Dalam
melaksanakan syariat, harus berdasarkan tata cara yang telah digariskan dalam agama
dan dilakukan karena penghambaan diri kepada Allah, kecintaan kepada Allah, dan
ingin berjumpa dengan-Nya. Perjalanan menuju kepada Allah itulah yang mereka
maksud dengan thariqah.6 Selain kata thariqah sering juga digunakan kata “suluk”
yang artinya perjalanan spiritual, dan orang yang melaksanakannya disebut “salik”.7
Sebagai jalan spiritual, thariqoh ditempuh oleh para sufi atau zahid
disepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai
pengalaman yang berbeda-beda. Sekalipun tujuannay adalah sama, yaitu menuju atau
mendekati Tuhan atau bersatu dengan-Nya, baik dalam arti majasi ataupun hakiki,
dalam apa yang disebut sebagai kesatuan mistik (ittihad).8 Dalam kehidupan di alam
ini masih penuh dengan rahisa. Rahasia itu tertutup oleh dinding. Diantara dinding
itu adalah hawa nafsu, keinginan, dan kemewahan hidup duniawi. Rahasia itu
mungkin terbuka dan dinding (hijab) itu mungkin tersingkap jika jalannya mau

5 Mulyadhhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006) hlm 15


6 Samsul Munir Amin, ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012) hlm 49
7 Mulyadhhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006) hlm 15
8 Mulyadhhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006) hlm 16

12
ditempuh. Jalan itulah yang dimaksud dengan thariqah.9 Sesuai dengan firman Allah
swt dalam surat al-Jinn ayat 16:
Artinya: “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu
(agama islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka
air yang segar (rezeki yang banyak).”
Menempuh jalan untuk menyingkap rahasia itu, kuaum sufi mengadaka
kegiatan bathin melalui riyadhah (latihan) dan mujahadah (perjuangan). Mujahadah
adalah perjuangan dan upaya spiritual melawan hawa nafsu dan berbagai
kecenderungan jiwa rendah. Atau menurahkan kesungguhan hati dalam menolak atau
mematikan yang lain, yakni wujud, diri (nafsu), dan setan.10 Sedangkan riyadhah
adalah latihan-latihan mistik, latihan kejiwaan dengan melalui upaya membiasakan
diri agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya.11
3. Haqiqah
Haqiqah secara etimologi berarti inti seuatu, puncak sesuatu atau puncak
sesuatu.12 Haqiqah adalah kebenaran atau kenyataan seakar dengan kata al-Haqq,
reality, absolut, yang dimana haqiqah menunjukkan kebenaran esetorisyang
merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. 13 Para sufi suka
menyebut tuhan dengan sebutan al-haqq, obsesi terhadap hakikat ini tercermin pada
penafsiran mereka terhadap formula “laa ilaaha illa allah” yang mereka artikan tidak
ada realitas yang sejati kecuali Allah.14 Dengan demikian haqiqah dapat diartikan
sebagai rahasia yang paling dalam dari segi amal, inti dari awal dann akhir dari
perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.
Haqiqah dapat juga diartikan kebenaran sejati dan mutlak sebagai akhr semua
perjalanan dan tujuan segala jalan. Thariqah dan haqiqah tidak dapat dipisahkan
karena satu dengan yang lain berhubungan. Pelaksanaan islam tidak akan sempurna

9 Samsul Munir Amin, ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012) hlm 49


10 Totok Jumantoro & Samsul Munir amin, Kamus Ilmi Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2005)
hlm 149
11 Totok Jumantoro & Samsul Munir amin, Kamus Ilmi Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2005)
hlm 191
12 Samsul Munir Amin, ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012) hlm 50
13 Totok Jumantoro & Samsul Munir amin, Kamus Ilmi Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2005)
hlm 70
14 Mulyadhhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006) hlm 6

13
jika tidak dikerjakan secara integrative antara empat hal, yaitu syari’ah, thariqah,
haqiqah dan ma’rifat. Apabila syariah sebagai atauran, thariqah sebagai pelaksanaan,
haqiqah sebagai keadaan dan ma’rifah sebagai tujuan, yaitu tujuan mengenal Allah
yang sebenar-benarnya.15
Menurut al-Qusyairi, “setiap syari’ah tanpa diperkuat dengan haqiqah
tidaklah diterima, dan setiap haqiqah yang dilaksanakan tnapa memenuhi ketentuan
syari’ah adalah kosong.16 Haqiqah diperoleh sebagai nikmat dan anugerah Tuhan
berkat riyadlah dan mujahadah.
Dengan sampainya seseorang ketingkat haqiqah berarti telah terbuka baginya
rahasia yang terkandung dalam syari’ah. Ia dapat menghayati dan memahami segala
kebenaran, bahkab dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan. Inti daroi
haqiqah adalah mengetahui inti yang paling dalam sehingga tidak ada yang
bersembunyi baginya. Haqiqah dapat dicapai setelah melalui ma’rifah yang
sebenarnya.
4. Ma’rifah
Ma’rifah secara etimologi berarti pengenalan atau pengetahuan. Dalam
pengetahuan sufi, ma’rifah dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenal Tuhan
melalui hati. Pengetahuan ini sedemekian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa
menyatu dengan yang diketahuinya itu.17
Ma’rifa berasal dari kata ‘arafa , yu’rifu, ‘irfan, ma’rifah, artinya adalah
pengetahuan, pangalaman, atau pengetahuan ilahi.18 Ma’rifat secara etimologis
adalah ilmu yang tidak menerima keraguan. Ma’rifat dapat [ula berarti pengetahuan
rahasia hakikat gama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh
orang-orang pada umumnya.19 Ma’rifah merupakan pengenalan hati terhadap objek-
objek yang menjadi sasarannya.
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu yaqin, yaitu tersingkapnya sesuatu
dengan jelas sehingga tidak ada lagi ruang untuk ragu-ragu dan tidak mungkin salah
15 Samsul Munir Amin, ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012) hlm 50
16 Samsul Munir Amin, ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012) hlm 51
17 Samsul Munir Amin, ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012) hlm 51
18 Totok Jumantoro & Samsul Munir amin, Kamus Ilmi Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2005)
hlm 139
19 Totok Jumantoro & Samsul Munir amin, Kamus Ilmi Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2005)
hlm 139

14
atau keliru. Ma’rifah berarti megetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat
melihat Tuhan. Kaum sufi berpendapat sebagai berikit.
a. Kalau mata dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan
tertutup dan ketika itu yang dilihatnya adalah Allah.
b. Ma’rifah adalah cermin, apabila seorang melihat ke cermin, itu ynag
dilihatnya hanyalah Allah.
c. Apa yang dilihat orang arif, baik sewaktu tudur maupun bangun, hanyalah
Allah.
Ma’rifah merupakan “tujuan utama” dalam ilmu tasawuf, yaitu mengenal
Allah dengan sebenar-benarnya dan sedekat-dekatnya. Allah swt berfirman dalam
surat Thaha ayat 20.
Artinya: “sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, ,aka
sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk untuk mengingat Aku”.
Menurut Ibnu Athailah, a’rifatullah adalah melihat Allah dengan pandangan
mata hati, dengan pandangan bathin, bukan dengan pandangan mata kepala.20
Seseorang yang telah mencapai ma’rifat akan selalu memperbanyak amal kebaikan
demi mencapai keridlaan-Nya. Maksud dan tujuan manusia memeperbanyak amal
kebaikan itu hanya untuk kebaikan manusia itu sendiri, bukan untuk Allah. Dengan
ma’rifatullah manusia akan terdorong untuk mendekatkan dirinya kepada Allah
dengan melakukan amal shaleh.
Ma’rifatullah dapat dicapai dengan melakukan syari’ah, menempuh thariqah
dan memperoleh haqiqah. Apabila syari’h dan thariqah itu dapat dikuasai, timbullah
haqiqah yang tidak lain daripada perbaikan keadaan (ahwal), sedangkan tujuan akhir
ma’rifah, yaitu mengenal Allah dan mencintai-Nya dengan sesungguh-sungguhnya.

F. Tasawuf di Abad Modern


Dari sejarahnya, Sufisme masuk pada tahap yang lebih dalam, dan lebih dari
syari’ah. Dia merupakan perjalanan lebih lanjut dari syari’ah, bukan semata lahiriyah
saja, tapi juga batiniyah. Ciri khas pada sufisme adalah pada yang batiniyah itu.
Artinya yang disentuh di dalam tasawuf adalah aspek-aspek hubungan batin manusia

20 Samsul Munir Amin, ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012) hlm 52

15
dengan Tuhan, ketimbang ritualnya. Tapi, ini bukan berarti Tasawuf meninggalkan
sisi ritual.
Tasawuf modern merupakan tasawuf yang bersikap positif terhadap
kehidupan duniawi, yang dibuktikan dengan melibatkan diri dalam kegiatan duniawi,
seperti ; bisnis, pemerintahan, politik, pendidikan, dan lain-lain. Dengan kata lain,
tasawuf positif ini menghendaki manusia taat beribadah kepada Allah tetapi aktif
pula dalam berbagai kegiatan duniawi.
Kemudian tasawuf modern tidak mengabaikan syari’ah. Tasawuf dan syariah
tidak saling menolak, tetapi memperkuat satu sama lain, sehingga tidak ada tasawuf
tanpa syari’ah dan tidak ada syari’ah tanpa tasawuf. Dalam tasawuf positif akhlak
merupakan sasaran menjalani kehidupan sufisfik, yakni orang yang mempraktikkan
kehidupan sufisfik selalu mengontrol nafsunya, sehingga menjadi orang yang sabar,
bebas dari dengki, iri, dendam, kemarahan yang tidak pada tempatnya, nafsu serakah,
dan lain-lain.
Tasawuf  di era modern ini, ditempatkan sebagai cara pandang yang rasional
sesuai dengan nalar normatif dan nalar humanis-sosiologis. Kepekaan sosial,
lingkungan (alam) dan berbagai bidang kehidupan lainnya adalah bagian yang
menjadi ukuran bahwa tasawuf di era modern itu tidak sekedar pemenuhan spiritual,
akan tetapi lebih dari itu yaitu mampu membuahkan hasil bagi yang ada di bumi ini.
Menurut Bagir tasawuf itu bukan barang mati. Sebab tasawuf itu merupakan produk
sejarah yang seharusnya dikondisikan sesuai dengan tuntutan  dan perubahan zaman.
Penghayatan tasawuf bukan untuk diri sendiri, seperti yang kita temui di masa
silam. Tasawuf di era modern adalah alternatif yang mempertemukan jurang
kesenjangan antara dimensi ilahiyah dengan dimensi duniawi. Banyak orang yang
secara normatif (kesalehan individu) telah menjalankan dengan sempurna, tetapi
secara empiris (kesalehan sosial) kadang-kadang belum tanpak ada. Dengan
demikian lahirnya tasawuf di era modern diharapkan menjadi tatanan kehidupan
yang lebih baik.
Rasulullah dalam kehidupan beliau telah menggambarkan sebagai orang sufi
yang sangat sederhana,  beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang
merupakan amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf. Beliau sering melakukan khalwat di

16
Jabal Nur untuk mendapatkan petunjuk dari tuhan-Nya. Berulangkali Nabi
menempuh kehidupan yang seperti itu, dengan bekal yang sangat terbatas; berupa
roti kering, buah-buahan dan air putih, yang menggambarkan kesederhanaan seorang
sufi.
Di Jabal Nur, Nabi mengasingkan dirinya (‘uzlah) dan hidup sendirian
(infirad) dari masyarakat Quraisy yang semakin hari semakin rusak akhlaknya.
Ditempat itu, beliau ingin bertemu dengan tuhan-Nya (liqa) dan memohon petunjuk-
Nya serta mencari kehidupan yang berbeda dengan kehidupan Quraisy yang setiap
saat melakukan dosa. Akhirnya datanglah malaikat Jibril untuk menyampaikan
wahyu Allah yang mengandung petunjuk dan ajaran, yang selanjutnya disampaikan
kepada umat manusia, agar terhindar dari jalan yang sesat menuju jalan yang diridhai
Allah SWT.
Setelah Nabi resmi diangkat menjadi Rasul, ia mulai melaksanakan tugasnya,
dengan menanamkan keimanan dan akhlaq mulia kepada masyarakat Quraisy.
Meskipun nabi sebagai kepala pemerintahan, ia masih tetap memiliki kehidupan yang
sederhana, sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Sahabatnya, bahwa dirumah
beliau hanya terdapat selembar tikar dan makanan yang sederhana. Dan kadang-
kadang juga Nabi dan keluarganya berpuasa karena tidak ada makanan di rumahnya.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasawuf atau dalam ilmu pengetahuan lebih di kenal dengan sufisme, adalah
suatu istilah yang lazim dipergunakan untuk mistikmisme dalam islam. Sebenarnya
suluk merupakan suatu istilah khusus dalam konteks yang lebih luas, yaitu
mistikisme nusantara. Tujuan pokoknya tetap sama, yakni memperoleh hubungan
langsung dengan tuhan.
Iman dalam pengertian sufi adalah sesuatu (Nur atau Cahaya Ilahi) yang
masuk ke dalam hati insan yang telah siap menerimanya (karena merasa butuh
kepada-Nya). Kesiapan itu ditandai dengan kehendak dan harapan bertemu dengan-
Nya (oleh karena itu, insan yang demikian disebut murid, yaitu orang yang
berkehendak bertemu Tuhannya).
Tasawuf  di era modern ini, ditempatkan sebagai cara pandang yang rasional
sesuai dengan nalar normatif dan nalar humanis-sosiologis. Tasawuf atau sufisme
diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual
Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tasawuf begitu
lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil
yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar.
Maka kehadiran tasawuf di dunia modern ini sangat diperlukan, guna
membimbing manusia agar tetap merindukan Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-
orang yang semula hidupnya glamour dan suka hura-hura menjadi orang yang asketis
(Zuhud pada dunia). Disamping itu juga, tasawuf modern juga sebagai terapi
penyembuhan bagi kegundahan hati dalam merindukan tuhannya.
 

18
DAFTAR PUSTAKA

Budhy Munawar-Rahman, Kebijaksanaan Perenial dan Kritik Terhadap


Moderenisme, Harian Kompas: 22 Mei 1993

https://alifgam.blogspot.com/2017/04/posisi-tasawuf-dalam-islam.html

https://sufimenembusbatas.blogspot.com/2016/09/tingkatan-maqam-sufi.html

Mulyadhhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006)

Prof. Dr. H. Hasan Muarif Ambary. Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta : PT Rineka
Cipta, 2004.

Samsul Munir Amin, ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2012.

Totok Jumantoro & Samsul Munir amin, Kamus Ilmi Tasawuf, Jakarta: Amzah,
2005.

19

Anda mungkin juga menyukai