Disusun untuk Memenuhi Tugas Struktur Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam
Dosen Pengampu : Dr. H. Kambali, M. Pd.I
Disusun oleh :
DEDE ARIS RISTIAWAN
NIM. 2286030042
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2023
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUA
A. Latar Belakang………………………………………………………………………….
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………
C. Tujuan ………………………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Tasawuf……………………………………………………………………….
B. Sumber Ajaran tasawuf………………………………………………………………..
C. Karakteristik Pendekatan Tasawuf dalam Kajian Islam……………………………….
D. Ragam Pendekatan Tasawuf dan Pengaplikasiannya dalam Kehidupan Sehari-hari..
E. Esensi Tasawuf………………………………………………………………………..
F. Tasawuf Sosial ………………………………………………………………………...
Kesimpulan ………………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Studi islam dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan
dengan agama Islam dengan cara memahami serta membahas secara mendalam dan menyeluruh
tentang seluk beluk agama Islam, baik secara tekstual maupun kontekstual dalam rangka
mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Di antara aturan yang dirumuskan
oleh Islam adalah tentang adab atau sopan santun dan tata krama. Terkait dengan sopan santun
dan tata krama ini, kemudian para tokoh muslim menyebutnya dengan istilah akhlak atau
tasawuf.
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dengan Tuhan.
Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang
berada dihadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara
ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri.
Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk Ijtihad (bersatu) dengan Tuhan.
Lahirnya tasawuf sebagai salah satu pendekatan dalam ajaran islam, diawali dari
ketidakpuasan terhadap praktek ajaran islam yang cenderung formalisme dan legalisme. 1 Selain
itu, tasawuf juga sebagai kritik terhadap ketimpangan sosial, moral dan ekonomi yang dilakukan
oleh umat islam, khususnya kalangan penguasa pada masa kekhalifahan setelah
khulafaurrasyidin.
Melalui pendekatan tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan diri serta mengamalkannya dengan benar.
Dan pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai
mengendalikan dirinya pada saat berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan
berbagai aktifitas dunia yang menunntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan,
dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai
penyimpangan moral
1 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA, Tasawuf Sosial, hlm. 13.
yang mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan
kesempatan, penindasan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi tasawuf?
2. Bagaimana sumber ajaran tasawuf?
3. Bagaimana Pendekatan utama dalam kajian tasawuf?
4. Bagaimana karakteristik pendekatan tasawuf dalam kajian islam?
5. Bagaimana ragam pendekatan tasawuf dan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-
hari?
6. Bagaimana esensi tasawuf?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
Dari rumusan masalah yang telah diuraikan, tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui tentang definisi tasawuf
2. Untuk mengetahui sumber ajaran tasawuf
3. Untuk mengetahui pendekatan utama ajaran tasawuf
4. Untuk mengetahui karakteristik pendekatan tasawuf dalam kajian Islam
5. Untuk mengetahui pendekatan tasawuf dan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-
hari
6. Untuk mengetahui esensi tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI TASAWUF
Menurut kamus Bahasa Indonesia kata tasawuf di ambil dari kata Safa’ yang berati
bersih dan dinamakan sufi karena hatinya tulus dan bersih kepada sang maha pencipta.2
Tasawuf dalam pengertian umum berarti kecenderungan mistisme universal yang ada
sejak dahulu kala, berasaskan sikap zuhud terhadap keduniaan (askatisme), dan bertujuan
membangun hubungan (ittishal) dengan al-mala’ al-a’la yang merupakan sumber kebaikan,
emanasi, dan ilumunasi.
Jika menelah kitab-kitab tasawuf “baik klasik maupun modern” tampaknya upaya
pendefinisian tasawuf secara jami’-mani’ memang sangat sulit, sebab pegiat tasawuf (kaum sufi)
merupakan empu-empu dzauq dan perasaan sehingga definisi merekapun bermacam-macam
sesuai dengan perilaku dan status spiritual yang dominan terhadap diri mereka.3
Devinisi Tasawuf menurut tokoh sufi sesuai dangan ahwal yang mendominasinya. Satu
orang sufi bahkan diriwayatkan memiliki lebih dari satu definisi. Ia mengatakan :“Sejumlah
orang telah menjawab pertanyaan: apa itu tasawuf? Dengan jawaban beragam. Ibrahim bin al-
Muwallid ar-Raqqi, misalnya, mengajukan lebih dari seratus jawaban. Seorang syaikh sufi
memilki tiga jawaban katagori: Pertama, jawaban dengan syarat ilmu, yaitu membersihkan hati
dari noda-noda dan mendayagunakan khalq bersama khaliqah, serta mengikuti rasulullah dalam
syariat. Kedua, jawaban dengan lisan al-haqiqah yaitu ‘adam al-imlak (berpantang menumpuk
kekayaan), keluar dari perbudakan sifat-sifat, dan mencukupkan diri dengan sang pencipta langit.
Ketiga, dengan jawaban dengan lisan al-haqq, yakni dialah yang memilih mereka berkat
kemurnian diri mereka dari sifat-sifat mereka, sehingga mereka kemudian disebut sufi”.
Abu Bakar asy-Syibli pernah ditanya mengenai siapa itu sufi, ia menjawab : “(sufi
adalah) orang yang memurnikan hatinya hingga benar-benar murni, mengikuti jejak Rasulullah
saw, mengacuhkan keduniaan, dan menundukkan hawa nafsu.” Dengan bahasa lain, Tasawuf
adalah pemurnian hati atau pengosongannya dar selain Allah. Kemurnian hati dapat diraih
melalui proses musyahadat, berpegangan teguh pada sunnah dalam segala kondisi, zuhud
terhadap keduniaan, dan menundukkan nafsu diri dari kecenderungan menuruti syahwat-syahwat
(kesenangan) yang bertentangan dengan syara’.
Dari definisi-definisi di atas, bisa ditarik satu benang merah sebagai kesimpulan definisi
dari tasawuf dalam islam yaitu ikatan spiritual transendental yang mempertautkan seorang sufi
dengan sang khaliq, yang terwujud dalam peningkatan ibadah dan ketaatan terhadap-Nya serta
teraktualisasi dalam perlaku kehidupannya melalui akhlaq mulia.
E. ESENSI TASAWUF
Pada hakikatnya tasawuf membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela. Oleh karena itu
yang menjadi sasaran tasawuf adalah hati, jiwa, rohani, atau batin yang menjadi sumber segala
sikap dan tingkah laku manusia untuk menuju kebersihan hati agar memperoleh keridhaan Tuhan
5Tasawuf meliputi dua macam bentuk, yaitu: tasaawuf ‘ammah (yang umum) dan
tasawuf khashshah (yang khusus). Yang pertama berupa semua bentuk kegiatan dalam usaha
peningkatan moral dan akhlak, yaitu meliputi segala perbuatan baik yang dilakukan dengan
istiqamah. Yang kedua berupa semua kegiatan tata wirid yang dipraktekan secara istiqamah,
yang diterima dari guru-guru tertentu yang berkesinambungan secara berangkai (bersanad
muttasil) sampai kepada rasulullah saw.
Menurut prof. Dr. Simuh, pada dasarnya terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu
pertama, memandang esensi tasawuf padamajaran zuhud, yaitu ajaran untuk bertekun dalam
beribadah serta membelakangi kemewahan dan perhiasan duniawi. Kedua, memandang esensi
tasawuf pada upaya untuk memperoleh penghayatan fana’ dan ma’rifat secara langsung terhadap
dzat Tuhan, yakni mencapai penghayatan face to face atau bahkan bersatu dengan Tuhan di
dalam suasana extasy fana’ dan ma’rifat).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa esensi tasawuf terletak pada pengejawantahan al-
insan, zuhud dan penghayatan fana’ dan ma’rifat.
F. TASAWUF SOSIAL
Telaah metodologis ini membawa kita pada visi baru tentang tasawuf sebagai produk
sejarah masa lalu yang bermakna ganda. Pertama adalah pengembalian pada bentuk
keberagamaan masa Rosul Allah namun dengan tetap menerima peranan tasawuf dalam
mendekati Tuhan. Makna yang kedua adalah mengembangkan potensi tasawuf untuk
menawarkan pemecahan praktis masalah kemanusiaan di dalam diri. Persoalan yang mendasari
adalah pertanyaan apakah realitasnya itu tunggal ataukah ganda. Jika ganda maka pertanyaan
berikutnya adalah apakah semua memiliki logika yang sama ataukah justru memiliki logika
realitasnya sendiri. Imam Al- Ghazali, misalnya dalam al-Munkidz min al-Dhallal telah
menemukan keberagamaan logika realitas untuk indra, rasio, imam ma`shum dan logika tasawuf
dan logika intuitif dalam tasawuf.
5 Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA., DR. Abdul Muhayya, MA, Tasawuf dan Krisis, hlm. 170.
Jika alur analisis ini benar maka shathahat yang diucapkan oleh kaum sufi perlu dipahami dalam
realitasnya sendiri, dan tidak perlu diukur dengan logika lain sehingga menimbulkan keberatan.
Akan tetapi jika pengalaman intuitif kaum sufi diakui memiliki realitasnya sendiri akan
menimbulkan ciri lain bagi keberagamaannya. Artinya, pengalaman sufi adalah proses untuk
mengalami atau menghayati keberadaaan Tuhan. Mengalami keberadaan artinya, seseorang
berupaya untuk memperoleh pengalaman disekitar diri Tuhan atau bahkan “diri” Tuhan itu
sendiri, karena pengalaman ini baru akan tercapai setelah melewati serangkaian maqamat maka
terbukalah peluang baginya untuk menerima anugerah dari Tuhan dalam bentuk ketenangan,
kedamaian, perlindungan dan bahkan ahwal-ahwal lainnya yang kesemuanya dapat dipadatkan
menjadi kebahagiaan tertinggi yang dapat diperoleh manusia didunia. Produk tasawuf sejenis ini
pula yang diperlukan oleh orang modern dan produk jenis ini pula yang diburu oleh mutawasiqin
diabad lalu sehingga menumbuhkan perkumpulan tarekat. Meskipun dengan konsekuensi
munculnya kecenderungan mengutamakan kesalahan individual. Arah perkembangan ini masih
dapat dimaklumi karena konteks kehidupan umat Islam pada waktu itu memiliki dominasi sosial,
politik, dan ekonomi.
Akan tetapi, cangkupan keberagamaan dalam Islam tidak terbatas pada mengalami
keberadaan Tuhan semata, melainkan mencangkup keseluruh bidang kehidupan manusia.
Bidang- bidang pengalaman keberagamaan di luar keberadaan Tuhan adalah lingkup kegiatan
manusia seperti yang harus disikapi sesuai dengan petunjuk dan perintah-Nya. Oleh karena itu,
dalam bidang kehidupan ini setiap orang beriman justru berpeluang untuk mengalami dan
menghayati pelaksanaan perintah petunjuk yang telah diturunkan melalui para Rosul Allah.
Dengan demikian mengalami keberadaan Tuhan dan mengalami pelaksanaan perintah-Nya
merupakan kesatuan tunggal dalam keberagamaan Islam.
Makna selanjutnya adalah mengembangkan potensi tasawuf untuk menawarkan
pemecahan praktis masalah kemanusiaaan di dudukan sebagai proses peningkatan kualitas
keberagamaan atau meminjam rumusan Abu al-Nafa menunjuk pada filsafat dan cara hidup
untuk memperoleh keutamaan moral, irfan sufi, dan kebahagiaan spiritual.
Unsur dasar yang menjadi perhatian utama visi ini adalah sifat kehidupan manusia yang
senantiasa berubah. Artinya, konteks kehidupan tasawuf diabad lalu berbeda dengan masa kini.
Herbert Blumer sudah dengan tegas menyatakan bahwa masyarakat manusia adalah realitas yang
senantiasa berubah dan mencair, oleh karena itu perubahan masa kini harus disikapi dengan pola
yang baru. Tasawuf yang dipraktikkan masa kini harus dengan memperhatikan bahwa masalah
kemanusiaan dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari keberagamaan para sufi. Tujuan
yang dapat dicapai tetap sama yaitu ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan intuitif tetapi
kemudian dilebarkan bukan hanya untuk individu melainkan juga dalam bentuk kesalehan sosial.
Puncak pengalaman intuitif yang diburu oleh para sufi dan perkumpulan tarekat, harus
tetap dalam kesadaran bahwa pengalaman fana` dan baqa` yang menjadi peluangnya tidak
berlangsung selamanya melainkan temporer. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi dalam
kitabnya al-Ta`ruf li Madzhab Ahl al-Tasawuf menyatakan demikian dengan hujjah bahwa
memahaminya berlangsung kontinyu akan mematikan fungsi tubuh untuk melakukan
kewajiban agama. Lebih
dari itu puncak pengalaman yang diburu itu adalah ahwal yang diperoleh sufi bukan atas dasar
karyanya melainkan semata-mata anugerah dari Allah SWT. Makna yang dapat diperoleh dari
kajian ini adalah alternatif pengembangan tasawuf untuk menghayati keberadaan Tuhan menuju
pada pengalaman perintah-Nya dalam pola tasawuf sosial.
Dalam tasawuf sosial ini diterapkan sistem mursyid dan murid masih diterapkan atas
dasar kenyataan bahwa murid tidak mungkin berhasil dalam perjalanan spiritualnya. Perjalanan
ini pada dasarnya adalah rangkaian kegiatan fisik mental yang sulit dan lazim disebut
mujahadah. Manfaat darilatihan ini adalah pengembangan kualitas keberagamaan untuk
menaikan peringkat muqamat masing-masing murid. Agar perjalanan ini efektif, mereka dapat
memanfaatkan paradigma Ilmu Islam Terapan dan tidak perlu terjebak dalam paradigma
normatif yang gersang dari semangat dan jiwa tasawuf. Tahap-tahap perjalanan spiritual masih
sejalan dengan tasawuf pada umumnya, dengan perbedaan pokok pada penyikapan terhadap
kesadaran yang mengikuti pengalaman tersebut. Tahap perjalanan sufi pada fana` dan baqa` tidak
selamanya harus berakhir pada penghayatan “diri” Tuhan Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul
mengemukakan teori yang sangat menarik. Menurut pendapatnya fana` adalah tahap pengalaman
sufi ketika Tuhan menguasai dan meliputinya sehingga kesadaran diri yang terbatas itu lebur
dalam diri keberadaan- Nya. Akan tetapi dalam pengalaman ini sufi masih memiliki kesadaran
akan kedudukannya dihadapan Tuhan dan dunia sekitarnya. Pemenuhan kewajiban kepada
Tuhan tidak melupakan kewajibannya terhadap dunia.
Profil pengamal tasawuf sosial ini tidak semata-mata berakhir pada kesalehan individual
melainkan berupaya untuk membangun kesalehan sosial bagi masyarakat disekitarnya. Mereka
tidak hanya bermaksud memburu surga bagi dirinya sendiri dalam keterasingan, melainkan justru
membangun surga untuk orang banyak dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, perkumpulan-
perkumpulan sufi ini masih diperlukan untuk memperoleh bimbingan dari mursyid dan
mengikuti latihan sehingga perkembangan dan perjalanan panjang si salik ini adalah rahmatan
lil-alamin seperti dikemukakan sendiri oleh Allah SWT. Sebagai tujuan risalah dalam surah al-
Anbiya ayat 107.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada dasarmya tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan kedekatan antara sufi
(manusia) dengan Allah, dan berkosentrasi pada kehidupan ruhaniyah, mendekatkan diri kepada
Tuhan melalui berbagai kegiatan kerohanian seperti pembersihan hati dan dzikir.
Tasawuf juga mempunyai identitas sendiri di mana orang-orang yang menekuninya
tidak menaruh perhatian yang besar pada kehidupan dunia bahkan memutuskan hubungan
dengannya. Di samping itu, tasawuf didominasi oleh ajaran-ajaran seperti khauf dan raja’, al-
taubah, al-zuhd, al-tawakkul, al- syukr, al-shabr, al-ridha dan lainnya yang tujuan akhirnya fana
atau hilang identitas diri dalam kekekalan (baqa) Tuhan dalam mencapai ma’rifah.
Beberapa konsep yang ada di dalam tasawuf seperti taubah, al-zuhd, al-tawakal, al-
syukr dan lainnya dirujuk kepada Al-Qur’an, maka jelaslah bahwa Al-Qur’an adalah sumber
utamanya walaupun dalam perkembangannya mungkin dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh
asing.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA, (2004),Tasawuf Sosial,Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Abuddin,Nata, (1998), Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press
DR. Muhammad Fauqi Hajjaj, (2013),Tasawuf Islam & Akhlaq, Jakarta: Amzah
Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA, DR. Abdul Muhayya, MA, (2001),Tasawuf dan Krisis,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, (2006), Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
1 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA, Tasawuf Sosial, hlm. 13.
2 Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf, hlm. 151
3 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlaq, hlm. 3-4
4 H.R Bukhari dan Muslim
5 Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA., DR. Abdul Muhayya, MA, Tasawuf dan Krisis, hlm. 170.