Anda di halaman 1dari 13

STUDI ISLAM DALAM PENDEKATAN TASAWUF

Disusun untuk Memenuhi Tugas Struktur Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam
Dosen Pengampu : Dr. H. Kambali, M. Pd.I

Disusun oleh :
DEDE ARIS RISTIAWAN
NIM. 2286030042

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2023
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUA

A. Latar Belakang………………………………………………………………………….
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………
C. Tujuan ………………………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Tasawuf……………………………………………………………………….
B. Sumber Ajaran tasawuf………………………………………………………………..
C. Karakteristik Pendekatan Tasawuf dalam Kajian Islam……………………………….
D. Ragam Pendekatan Tasawuf dan Pengaplikasiannya dalam Kehidupan Sehari-hari..
E. Esensi Tasawuf………………………………………………………………………..
F. Tasawuf Sosial ………………………………………………………………………...

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ………………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Studi islam dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan
dengan agama Islam dengan cara memahami serta membahas secara mendalam dan menyeluruh
tentang seluk beluk agama Islam, baik secara tekstual maupun kontekstual dalam rangka
mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Di antara aturan yang dirumuskan
oleh Islam adalah tentang adab atau sopan santun dan tata krama. Terkait dengan sopan santun
dan tata krama ini, kemudian para tokoh muslim menyebutnya dengan istilah akhlak atau
tasawuf.

Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dengan Tuhan.
Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang
berada dihadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara
ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri.
Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk Ijtihad (bersatu) dengan Tuhan.

Lahirnya tasawuf sebagai salah satu pendekatan dalam ajaran islam, diawali dari
ketidakpuasan terhadap praktek ajaran islam yang cenderung formalisme dan legalisme. 1 Selain
itu, tasawuf juga sebagai kritik terhadap ketimpangan sosial, moral dan ekonomi yang dilakukan
oleh umat islam, khususnya kalangan penguasa pada masa kekhalifahan setelah
khulafaurrasyidin.

Melalui pendekatan tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan diri serta mengamalkannya dengan benar.

Dan pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai
mengendalikan dirinya pada saat berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan
berbagai aktifitas dunia yang menunntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan,
dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai
penyimpangan moral

1 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA, Tasawuf Sosial, hlm. 13.
yang mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan
kesempatan, penindasan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi tasawuf?
2. Bagaimana sumber ajaran tasawuf?
3. Bagaimana Pendekatan utama dalam kajian tasawuf?
4. Bagaimana karakteristik pendekatan tasawuf dalam kajian islam?
5. Bagaimana ragam pendekatan tasawuf dan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-
hari?
6. Bagaimana esensi tasawuf?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
Dari rumusan masalah yang telah diuraikan, tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui tentang definisi tasawuf
2. Untuk mengetahui sumber ajaran tasawuf
3. Untuk mengetahui pendekatan utama ajaran tasawuf
4. Untuk mengetahui karakteristik pendekatan tasawuf dalam kajian Islam
5. Untuk mengetahui pendekatan tasawuf dan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-
hari
6. Untuk mengetahui esensi tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI TASAWUF
Menurut kamus Bahasa Indonesia kata tasawuf di ambil dari kata Safa’ yang berati
bersih dan dinamakan sufi karena hatinya tulus dan bersih kepada sang maha pencipta.2
Tasawuf dalam pengertian umum berarti kecenderungan mistisme universal yang ada
sejak dahulu kala, berasaskan sikap zuhud terhadap keduniaan (askatisme), dan bertujuan
membangun hubungan (ittishal) dengan al-mala’ al-a’la yang merupakan sumber kebaikan,
emanasi, dan ilumunasi.
Jika menelah kitab-kitab tasawuf “baik klasik maupun modern” tampaknya upaya
pendefinisian tasawuf secara jami’-mani’ memang sangat sulit, sebab pegiat tasawuf (kaum sufi)
merupakan empu-empu dzauq dan perasaan sehingga definisi merekapun bermacam-macam
sesuai dengan perilaku dan status spiritual yang dominan terhadap diri mereka.3
Devinisi Tasawuf menurut tokoh sufi sesuai dangan ahwal yang mendominasinya. Satu
orang sufi bahkan diriwayatkan memiliki lebih dari satu definisi. Ia mengatakan :“Sejumlah
orang telah menjawab pertanyaan: apa itu tasawuf? Dengan jawaban beragam. Ibrahim bin al-
Muwallid ar-Raqqi, misalnya, mengajukan lebih dari seratus jawaban. Seorang syaikh sufi
memilki tiga jawaban katagori: Pertama, jawaban dengan syarat ilmu, yaitu membersihkan hati
dari noda-noda dan mendayagunakan khalq bersama khaliqah, serta mengikuti rasulullah dalam
syariat. Kedua, jawaban dengan lisan al-haqiqah yaitu ‘adam al-imlak (berpantang menumpuk
kekayaan), keluar dari perbudakan sifat-sifat, dan mencukupkan diri dengan sang pencipta langit.
Ketiga, dengan jawaban dengan lisan al-haqq, yakni dialah yang memilih mereka berkat
kemurnian diri mereka dari sifat-sifat mereka, sehingga mereka kemudian disebut sufi”.
Abu Bakar asy-Syibli pernah ditanya mengenai siapa itu sufi, ia menjawab : “(sufi
adalah) orang yang memurnikan hatinya hingga benar-benar murni, mengikuti jejak Rasulullah
saw, mengacuhkan keduniaan, dan menundukkan hawa nafsu.” Dengan bahasa lain, Tasawuf
adalah pemurnian hati atau pengosongannya dar selain Allah. Kemurnian hati dapat diraih
melalui proses musyahadat, berpegangan teguh pada sunnah dalam segala kondisi, zuhud
terhadap keduniaan, dan menundukkan nafsu diri dari kecenderungan menuruti syahwat-syahwat
(kesenangan) yang bertentangan dengan syara’.
Dari definisi-definisi di atas, bisa ditarik satu benang merah sebagai kesimpulan definisi
dari tasawuf dalam islam yaitu ikatan spiritual transendental yang mempertautkan seorang sufi
dengan sang khaliq, yang terwujud dalam peningkatan ibadah dan ketaatan terhadap-Nya serta
teraktualisasi dalam perlaku kehidupannya melalui akhlaq mulia.

2 Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf, hlm. 151


3 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlaq, hlm. 3-4
B. SUMBER AJARAN TASAWUF
Ajaran tasawuf pada dasarnya berkosentrasi pada kehidupan ruhaniyah, mendekatkan
diri kepada Tuhan melalui berbagai kegiatan kerohanian seperti pembersihan hati, dzikir, ibadah
lainnya serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga mempunyai identitas sendiri di
mana orang-orang yang menekuninya tidak menaruh perhatian yang besar pada kehidupan dunia
bahkan memutuskan hubungan dengannya. Di samping itu, tasawuf didominasi oleh ajaran-
ajaran seperti khauf dan raja’, al-taubah, al-zuhd, al-tawakkul, al- syukr, al-shabr, al-ridha dan
lainnya yang tujuan akhirnya fana atau hilang identitas diri dalam kekekalan (baqa) Tuhan dalam
mencapai ma’rifah.
Jika mencermati Al-Qur’an maka terlihat bahwa kitab suci ini menyerukan sikap zuhud
terhadap keduniaan dan memperingatkan ketenggelaman dalam berbagai kenikmatan hidup.
Salah satu ayat yang jelas dalalah-nya dan kuat dalam mengafirmasi hal ini adalah gambaran
Allah mengenai dunia sebagai sesuatu yang cepat berubah dan sirna.
Allah berfirman:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid (57): 20)
Di dalam Al-Qur’an ditemukan perintah beribadah dan berdzikir, diantaranya firman
Allah SWT: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manudia melainkan supaya mereka mengabdi
kepadaku.” (QS. Adz-Dzariyat (51): 56)
Jika mencermati kehidupan Rasulullah SAW, tergambar jelas pula bahwa beliau banyak
mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah ekstra, dan ini menjadi sumber inspirasi bagi
kaum zuhud generasi awal, kemudian kaum sufi sepeninggal mereka dalam menjalankan pola
ibadah serupa.
Diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwasana Rasulullah SAW melaksanakan shalat malam
hingga kaki beliau bengkak-bengkak. Saya berkata kepadanya:”Wahai Rasulullah mengapa anda
masih berbuat seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa yang telah lalu dan yang
akan datang bagimu?” Nabi SAW, lalu menjawab:”Salahkah aku jika ingin menjadi seorang
hamba yang selalu bersyukur”.4
Ayat –ayat dan hadits-hadits yang dikutip di atas hanya sebahagian dari ayat-ayat dan
hadis-hadis yang mengemukakan hal-hal kehidupan ruhaniyah yang ditemukan dalam tasawuf.
Kehidupan yang didominasi oleh takut dan harap, kezuhudan, berserah diri kepada Tuhan,

4 H.R Bukhari dan Muslim


bersyukur dan ridha serta dekat dengan Allah. Kehidupan seperti inilah yang dicontohkan oleh
Rasulullah sendiri serta para sahabat-sahabatnya.

C. PENDEKATAN UTAMA DALAM KAJIAN TASAWUF


Menurut Charles J Adams diantara banyak bidang kajian dalam studi Islam, tasawuf
merupakan bidang yang menarik minat pada tahun belakangan. Studi tradisi Islam tidak dapat
dilepaskan dari studi tentang mistis yang mungkin juga merupakan aspek yang muncul pada
masa awal Islam bahkan pada masa kenabian. Adams menunjukkan beberapa sarjana yang
tertarik mengkaji tasawuf, antara lain Annemarie Schimmel, dengan bukunya Mystical
Dimensions of Islam. Hal terpenting dari pendapat Adam adalah untuk menstudi tasawuf dapat
didekati dengan pendekatan fenonemologi.
Pendekatan fenonemologi adalah pendekatan yang lebih memperhatikan pada
pengalaman subjektif, individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan
individu terhadap dirinya dan dunianya. Konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal
yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat tingkah laku seseorang
selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.
Sedangkan menurut Harun Nasution, kajian tasawuf dapat dilakukan dengan pendekatan
tematik yaitu penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat pada Tuhan,
zuhud, dan station-station lain, mahabbah, al-ma’rifah, al fana dan al-baqa, al- ittihad, al-hulul
dan wahdatul wujud. Pada setiap topik tersebut selain dijelaskan tentang isi ajaran dari setiap
topik tersebut dengan data-data yang didasari pada literatur kepustakaan, juga dilengkapi dengan
tokoh yang memperkenalkannya.
Kajian tasawuf yang dilakukan dengan pendekatan tematik akan terasa lebih menarik
karena langsung menuju kepada persoalan tasawuf di bandingkan dengan pendekatan yang
bersifat tokoh. Kajian tersebut sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan
ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa, walaupun hanya dalam
garis besar saja.

D. KARAKTERISTIK PENDEKATAN TASAWUF DALAM KAJIAN ISLAM


Dalam pendekatan tasawuf sendiri mempunyai prinsip atau tujuan, yaitu :
1. Mensucikan hati dari perbuatan yang tercela
2. Memegang teguh syara’
3. Besikap zuhud terhadap urusan keduniaan
4. Membebaskan diri dari belunggu syahwat
5. Menapak dan naik ke jenjang maqamat dan ahwal, hingga mencapai fana’ dari segala sesuatu
selain Allah swt.
6. Memperoleh makrifat sempurna dari Allah melalui jalan khasyf atau lham.
Karakteristik dalam pendekatan tasawuf setidaknya dapat dilihat dari tiga pokok ajaran
tasawuf yang dikembangkan dalam kajian ilmu keislaman, yaitu:
a. Tasawuf Akhlaqi Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa
nafsunya, daripada manusia mengendalikan hawa nafsunya. Keinginan untuk menguasai dunia
atau berusaha agar berkuasa di dunia sangatlah besar. Cara hidup seperti ini menurut Al-Ghazali,
akan membawa manusia ke jurang kehancuran moral. Dalam hal ini rehabilitas kondisi mental
yang tidak baik adalah bila terapinya hanya di dasarkan pada aspek lahiriah saja. Itu sebabnya
pada tahap awal kehidupan tasawuf diharuskan melakukan amalan-amalan atau latihan-latihan
rohani yang cukup, tujuannya tidak lain adalah untuk membersihkan jiwa dari nafsu yang tidak
baik untuk menuju kehadirat Illahi (Asmaran, 2002: 67).
b. Tasawuf Amali Pada dasarnya tasawuf amali adalah kelanjutan dari tasawuf akhlaki, karena
seseorang tidak dapat hidup disisi-Nya dengan hanya mengandalkan amalan yang dikerjakan
sebelum ia membersihkan dirinya. Jiwa yang bersih merupakan syarat utama untuk bisa kembali
kepada Tuhan, karena Dia adalah Maha Bersih dan Maha Suci dan hanya menginginkan atau
menerima orang-orang yang bersih. Dengan demikian, manusia diharapkan mampu mengisi
hatinya (setelah dibersihkan dari sifat-sifat tercela) dengan cara memahami dan mengamalkan
sifat-sifat terpuji melalui aspek lahir dan batin, yang mana kedua aspek tersebut dalam agama
dibagi menjadi 4 (empat) bagian: Pertama, syari’at, adalah undang-undang atau garis-garis yang
telah ditentukan yang termasuk di dalamnya hukum-hukum halal dan haram, yang diperintah dan
yang dilarang, yang sunnah, makruh, mubah, dan lain sebagaonya. Dengan kata lain ini
merupakan peraturan. Kedua, thariqat, adalah tata cara dalam melaksanakan syari’at yang telah
digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghambaan diri kepada Allah. Dengan
kata lain ini merupakan pelaksanaan Ketiga, hakekat, adalah aspek lain dari syari’ah yang
bersifat lahiriyah, yaitu aspek bathiniyah. Dapat juga diartikan sebagai rahasia yang paling dalam
dalam dari segala amal atau inti syari’ah. Dengan kata lain ini merupakan keadaan yang
sebenarnya atau kebenaran sejati. Keempat, ma’rifat, adalah pengetahuan mengenai Tuhan
melalui hati (qalb). Dengan kata lain ini merupakan pengenalan Tuhan dari dekat. (Asmaran,
2002: 95-104) Sedangkan untuk berada dekat pada Allah SWT, seorang sufi harus menempuh
jalan panjang yang berisi station- station yang disebut dengan maqamat. Beberapa urutan
maqamat yang disebutkan oleh Harun Nasution adalah; taubat, zuhud, sabar, tawakal, dan rida’.
Di atas maqamat ini ada lagi; mahabbah, ma’rifat, fana’ baqa’, serta ittihad. (Asmaran, 2002:
109)
Selain istilah maqamat, ada juga istilah ahwal yang merupakan kondisi mental. Dalam hal ini ada
beberapa tingkah yang sudah mashur, yaitu; khauf, raja’, syauq, uns, dan yaqin. (Asmaran, 2002:
140-149)
c. Tasawuf Falsafi Adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dengan
visi rasional. Hal ini berbeda dengan tasawuf akhlaki dan amali, yang masih berada pada ruang
lingkup tasawuf suni seperti tasawufnya al-Ghazali, tasawuf ini menggunakan terminologi falsafi
dalam pengungkapan ajarannya. Ciri umum tasawuf falsafi adalah kesamaran-kesamaran
ajarannya yang diakibatkan banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa
dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Kemudian tasawuf ini tidak
dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq).
Beberapa paham tipe ini antara lain adalah; fana’ dan baqa’, ittihad, hulul, wahdah al-wujud, dan
isyraq. (Asmaran, 2002: 153-177)

E. ESENSI TASAWUF
Pada hakikatnya tasawuf membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela. Oleh karena itu
yang menjadi sasaran tasawuf adalah hati, jiwa, rohani, atau batin yang menjadi sumber segala
sikap dan tingkah laku manusia untuk menuju kebersihan hati agar memperoleh keridhaan Tuhan
5Tasawuf meliputi dua macam bentuk, yaitu: tasaawuf ‘ammah (yang umum) dan
tasawuf khashshah (yang khusus). Yang pertama berupa semua bentuk kegiatan dalam usaha
peningkatan moral dan akhlak, yaitu meliputi segala perbuatan baik yang dilakukan dengan
istiqamah. Yang kedua berupa semua kegiatan tata wirid yang dipraktekan secara istiqamah,
yang diterima dari guru-guru tertentu yang berkesinambungan secara berangkai (bersanad
muttasil) sampai kepada rasulullah saw.
Menurut prof. Dr. Simuh, pada dasarnya terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu
pertama, memandang esensi tasawuf padamajaran zuhud, yaitu ajaran untuk bertekun dalam
beribadah serta membelakangi kemewahan dan perhiasan duniawi. Kedua, memandang esensi
tasawuf pada upaya untuk memperoleh penghayatan fana’ dan ma’rifat secara langsung terhadap
dzat Tuhan, yakni mencapai penghayatan face to face atau bahkan bersatu dengan Tuhan di
dalam suasana extasy fana’ dan ma’rifat).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa esensi tasawuf terletak pada pengejawantahan al-
insan, zuhud dan penghayatan fana’ dan ma’rifat.

F. TASAWUF SOSIAL
Telaah metodologis ini membawa kita pada visi baru tentang tasawuf sebagai produk
sejarah masa lalu yang bermakna ganda. Pertama adalah pengembalian pada bentuk
keberagamaan masa Rosul Allah namun dengan tetap menerima peranan tasawuf dalam
mendekati Tuhan. Makna yang kedua adalah mengembangkan potensi tasawuf untuk
menawarkan pemecahan praktis masalah kemanusiaan di dalam diri. Persoalan yang mendasari
adalah pertanyaan apakah realitasnya itu tunggal ataukah ganda. Jika ganda maka pertanyaan
berikutnya adalah apakah semua memiliki logika yang sama ataukah justru memiliki logika
realitasnya sendiri. Imam Al- Ghazali, misalnya dalam al-Munkidz min al-Dhallal telah
menemukan keberagamaan logika realitas untuk indra, rasio, imam ma`shum dan logika tasawuf
dan logika intuitif dalam tasawuf.

5 Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA., DR. Abdul Muhayya, MA, Tasawuf dan Krisis, hlm. 170.
Jika alur analisis ini benar maka shathahat yang diucapkan oleh kaum sufi perlu dipahami dalam
realitasnya sendiri, dan tidak perlu diukur dengan logika lain sehingga menimbulkan keberatan.
Akan tetapi jika pengalaman intuitif kaum sufi diakui memiliki realitasnya sendiri akan
menimbulkan ciri lain bagi keberagamaannya. Artinya, pengalaman sufi adalah proses untuk
mengalami atau menghayati keberadaaan Tuhan. Mengalami keberadaan artinya, seseorang
berupaya untuk memperoleh pengalaman disekitar diri Tuhan atau bahkan “diri” Tuhan itu
sendiri, karena pengalaman ini baru akan tercapai setelah melewati serangkaian maqamat maka
terbukalah peluang baginya untuk menerima anugerah dari Tuhan dalam bentuk ketenangan,
kedamaian, perlindungan dan bahkan ahwal-ahwal lainnya yang kesemuanya dapat dipadatkan
menjadi kebahagiaan tertinggi yang dapat diperoleh manusia didunia. Produk tasawuf sejenis ini
pula yang diperlukan oleh orang modern dan produk jenis ini pula yang diburu oleh mutawasiqin
diabad lalu sehingga menumbuhkan perkumpulan tarekat. Meskipun dengan konsekuensi
munculnya kecenderungan mengutamakan kesalahan individual. Arah perkembangan ini masih
dapat dimaklumi karena konteks kehidupan umat Islam pada waktu itu memiliki dominasi sosial,
politik, dan ekonomi.
Akan tetapi, cangkupan keberagamaan dalam Islam tidak terbatas pada mengalami
keberadaan Tuhan semata, melainkan mencangkup keseluruh bidang kehidupan manusia.
Bidang- bidang pengalaman keberagamaan di luar keberadaan Tuhan adalah lingkup kegiatan
manusia seperti yang harus disikapi sesuai dengan petunjuk dan perintah-Nya. Oleh karena itu,
dalam bidang kehidupan ini setiap orang beriman justru berpeluang untuk mengalami dan
menghayati pelaksanaan perintah petunjuk yang telah diturunkan melalui para Rosul Allah.
Dengan demikian mengalami keberadaan Tuhan dan mengalami pelaksanaan perintah-Nya
merupakan kesatuan tunggal dalam keberagamaan Islam.
Makna selanjutnya adalah mengembangkan potensi tasawuf untuk menawarkan
pemecahan praktis masalah kemanusiaaan di dudukan sebagai proses peningkatan kualitas
keberagamaan atau meminjam rumusan Abu al-Nafa menunjuk pada filsafat dan cara hidup
untuk memperoleh keutamaan moral, irfan sufi, dan kebahagiaan spiritual.
Unsur dasar yang menjadi perhatian utama visi ini adalah sifat kehidupan manusia yang
senantiasa berubah. Artinya, konteks kehidupan tasawuf diabad lalu berbeda dengan masa kini.
Herbert Blumer sudah dengan tegas menyatakan bahwa masyarakat manusia adalah realitas yang
senantiasa berubah dan mencair, oleh karena itu perubahan masa kini harus disikapi dengan pola
yang baru. Tasawuf yang dipraktikkan masa kini harus dengan memperhatikan bahwa masalah
kemanusiaan dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari keberagamaan para sufi. Tujuan
yang dapat dicapai tetap sama yaitu ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan intuitif tetapi
kemudian dilebarkan bukan hanya untuk individu melainkan juga dalam bentuk kesalehan sosial.
Puncak pengalaman intuitif yang diburu oleh para sufi dan perkumpulan tarekat, harus
tetap dalam kesadaran bahwa pengalaman fana` dan baqa` yang menjadi peluangnya tidak
berlangsung selamanya melainkan temporer. Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi dalam
kitabnya al-Ta`ruf li Madzhab Ahl al-Tasawuf menyatakan demikian dengan hujjah bahwa
memahaminya berlangsung kontinyu akan mematikan fungsi tubuh untuk melakukan
kewajiban agama. Lebih
dari itu puncak pengalaman yang diburu itu adalah ahwal yang diperoleh sufi bukan atas dasar
karyanya melainkan semata-mata anugerah dari Allah SWT. Makna yang dapat diperoleh dari
kajian ini adalah alternatif pengembangan tasawuf untuk menghayati keberadaan Tuhan menuju
pada pengalaman perintah-Nya dalam pola tasawuf sosial.

Dalam tasawuf sosial ini diterapkan sistem mursyid dan murid masih diterapkan atas
dasar kenyataan bahwa murid tidak mungkin berhasil dalam perjalanan spiritualnya. Perjalanan
ini pada dasarnya adalah rangkaian kegiatan fisik mental yang sulit dan lazim disebut
mujahadah. Manfaat darilatihan ini adalah pengembangan kualitas keberagamaan untuk
menaikan peringkat muqamat masing-masing murid. Agar perjalanan ini efektif, mereka dapat
memanfaatkan paradigma Ilmu Islam Terapan dan tidak perlu terjebak dalam paradigma
normatif yang gersang dari semangat dan jiwa tasawuf. Tahap-tahap perjalanan spiritual masih
sejalan dengan tasawuf pada umumnya, dengan perbedaan pokok pada penyikapan terhadap
kesadaran yang mengikuti pengalaman tersebut. Tahap perjalanan sufi pada fana` dan baqa` tidak
selamanya harus berakhir pada penghayatan “diri” Tuhan Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul
mengemukakan teori yang sangat menarik. Menurut pendapatnya fana` adalah tahap pengalaman
sufi ketika Tuhan menguasai dan meliputinya sehingga kesadaran diri yang terbatas itu lebur
dalam diri keberadaan- Nya. Akan tetapi dalam pengalaman ini sufi masih memiliki kesadaran
akan kedudukannya dihadapan Tuhan dan dunia sekitarnya. Pemenuhan kewajiban kepada
Tuhan tidak melupakan kewajibannya terhadap dunia.
Profil pengamal tasawuf sosial ini tidak semata-mata berakhir pada kesalehan individual
melainkan berupaya untuk membangun kesalehan sosial bagi masyarakat disekitarnya. Mereka
tidak hanya bermaksud memburu surga bagi dirinya sendiri dalam keterasingan, melainkan justru
membangun surga untuk orang banyak dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, perkumpulan-
perkumpulan sufi ini masih diperlukan untuk memperoleh bimbingan dari mursyid dan
mengikuti latihan sehingga perkembangan dan perjalanan panjang si salik ini adalah rahmatan
lil-alamin seperti dikemukakan sendiri oleh Allah SWT. Sebagai tujuan risalah dalam surah al-
Anbiya ayat 107.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pada dasarmya tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan kedekatan antara sufi
(manusia) dengan Allah, dan berkosentrasi pada kehidupan ruhaniyah, mendekatkan diri kepada
Tuhan melalui berbagai kegiatan kerohanian seperti pembersihan hati dan dzikir.
Tasawuf juga mempunyai identitas sendiri di mana orang-orang yang menekuninya
tidak menaruh perhatian yang besar pada kehidupan dunia bahkan memutuskan hubungan
dengannya. Di samping itu, tasawuf didominasi oleh ajaran-ajaran seperti khauf dan raja’, al-
taubah, al-zuhd, al-tawakkul, al- syukr, al-shabr, al-ridha dan lainnya yang tujuan akhirnya fana
atau hilang identitas diri dalam kekekalan (baqa) Tuhan dalam mencapai ma’rifah.
Beberapa konsep yang ada di dalam tasawuf seperti taubah, al-zuhd, al-tawakal, al-
syukr dan lainnya dirujuk kepada Al-Qur’an, maka jelaslah bahwa Al-Qur’an adalah sumber
utamanya walaupun dalam perkembangannya mungkin dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh
asing.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA, (2004),Tasawuf Sosial,Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Abuddin,Nata, (1998), Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press
DR. Muhammad Fauqi Hajjaj, (2013),Tasawuf Islam & Akhlaq, Jakarta: Amzah
Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA, DR. Abdul Muhayya, MA, (2001),Tasawuf dan Krisis,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, (2006), Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

1 Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA, Tasawuf Sosial, hlm. 13.
2 Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf, hlm. 151
3 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlaq, hlm. 3-4
4 H.R Bukhari dan Muslim
5 Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA., DR. Abdul Muhayya, MA, Tasawuf dan Krisis, hlm. 170.

Anda mungkin juga menyukai