kuliah Tasawuf
Disusun Oleh:
AL-BUKHARY LABUHANBATU
2022
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, rasa syukur saya panjatkan kehadirat Illahi Robbi yang senantiasa
mencurahkan bimbingan, ilmu, rahmat dan hidayahnya kepada hambanya yang tidak pernah
putus, senantiasa memberkahi segala aktifitas dalam keseharian kita, tanpa semua itu
segalanya tidak pernah terlaksana.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, tidak luput
dari kesalahan dan kekeliruan didalamnya untuk itu saya mohon saran dan segala bentuk
kritikan lainya yang mengarah kepada kelengkapan.
Terakhir kalinya saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada pihak yang
member sumbangan fikirannya untuk kesempurnaan makalah ini semoga bermanfaat bagi kita
semua amin.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Secara Lughawi ...................................................2
B. Prinsip – Prinsip Tasawuf ....................................................................3
C. Sejarah Perkembangan Tasawuf Dan ajarannya..................................4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang sebagai
buktinya adalah misalnya, semakin banyaknya buku yang membahas tasawuf disejumlah
perpustakaan, dinegara-negara yang berpenduduk muslim, juga Negara – Negara barat
sekalipun yang mayoritas masyarakatnya non muslim, ini dapat menjadi salah satu alasan
betapa tingginya ketertarikannya mereka terhadap tasawuf.
Hanya saja, tingkat ketertarikan mereka tidak dapat diklaim sebagai sebuah
penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf, jika diteliti lebih mendalam, ketertarikan mereka
terhadap tasawuf dapat dilihat pada dua kecenderungan terhadap kebutuhan fitrah atau
naluriah dan kedua karena kecenderungan pada persoalan akademis.
Kecenderungan pertama mengisyaratkan bahwa manusia sesungguhnya
membutuhkan sentuhan-sentuhan spiritual atau rohani, kesejukan dan kedamaian hati
merupakan salah satu kebutuhan yang ingin mereka penuhi melalui sentuhan spiritual ini.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Barmawie Umarie bahwa setiap rohani manusia
senantiasa rindu untuk kembali ketempat asal, selalu rindu kepada kekasihnya yang
tunggal.
Adapun kecenderungan yang kedua mengisyaratkan bahwa tasawuf memang
menarik untuk dikaji secara akademis-keilmuan. Boleh jadi, dengan kecenderungan yang
kedua ini, kajian tasawuf hanya berfungsi sebagai pengayaan keilmuan ditengah
keilmuan-keilmuan lain yang berkembang di dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf secara Lighawi dan berdasarkan istilah ?
2. Apa Prinsip – Prinsip tasawuf?
3. Bagaimanakah sejarah dan ajarannya ?
-
2
BAB II
PEMBAHASAN
B. Prinsip-Prinsip Tasawuf
Tasawuf bertujuan membantu seseorang untuk tetap berada di jalan Allah SWT. Dengan
tasawuf seseorang kemudian menjadi tidak berlebihan dalam hal duniawi serta tetap fokus
pada iman dan takwa yang ia miliki.
Terdapat beberapa prinsip yang dapat dilakukan dalam ber-tasawuf. Menurut ahli sufi,
Profesor Angha dalam The Hidden Angels of Life, prinsip tasawuf yang bisa dilakukan
adalah sebagai berikut.
1. Zikir
Zikir sebagai suatu proses pemurnian hati, pembersihan serta pelepasan. Orang-orang
yang melakukan zikir kemudian bertujuan mendekatkan diri pada Tuhan melalui doa serta
melantunkan lafaz zikir.
2. Fikr (Meditasi)
Saat pikiran merasa bingung atau bertanya-tanya, pusatkanlah perhatianmu yang kamu
miliki ke dalam diri dengan berkonsentrasi pada satu titik. Meditasi sebagai suatu
perjalanan kegiatan mental dari dunia eksternal menuju suatu esensi diri.
4
3. Sahr (Bangkit)
Dengan Membangkitkan jiwa dan tubuh sebagai proses mengembangkan kesadaran mata
dan telinga. Selain itu juga sebagai suatu proses mendengarkan hati, serta proses meraih
akses menuju potensi diri yang tersembunyi.
6. Shawm (Puasa)
Tidak hanya pada tubuh yang berpuasa melainkan pikiran juga. Proses ini kemudian
termasuk puasa fisik, bermanfaat untuk dapat melepaskan diri dari hasrat dan keinginan
otak serta pandangan atau persepsi indera eksternal.
8. Khidmat (Melayani)
Menyatu dengan kebenaran Tuhan. Seseorang yang menemukan jalan jiwa untuk
pelayanan dan pertumbuhan diri.
mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal
pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembangan dengan pesatnya. Faseini dapat
disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf, yang
ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejak kehidupan akhirat
sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasikan duniawi, fase
asketisme ini setidaknya sampai pada keasikan duniawi, fase asketime ini setidaknya
smapai pada abad dia hijriah dan memasuki abad tiga hijriah sudah terlihat adanya
peralihan konkrit dari asketisme islam kesufisme, fase ini dapat disebut sebagai fase
kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan Zahid menjadi Sufi, disisi lain,
pada kurun waktu ini percakapan para zahid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa
yang bersih. Apa itu moral dan bagaimana metode pembinaanya dan perbincangan tentang
masalah teoritis lainnya. Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah
berbagai terori tentang jenjang serta cirri-ciri yang dimiliki seorang sufi (Al-Maqomat)
serta ciri – ciri yang harus dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (Al-Hal). Demikian
juga periode ini sudah mulai berkembangan pembahasan tentang al-ma’rifat serta
perangkat metodenya sampai pada tingkat fana dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil
pula para penulis tasawuf, seperti Al-Muhasibi (W 243 H), A;-Kharraj (W 277 H) dan Al-
Junaid (W 297 H), dan penulis lainnya. Fase ini ditandai dengan muncul dan
berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya islam, yakni ilmu tasawuf yang
tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgan keberagamaan, selama
kurun waktu itu tasawuf berkembang terus kearah yang lebih spesifik, seperti konsep
Intuisi, Al-Kasyf dan Dzauq.
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur keislaman,
nampaknya memperoleh infuse atau motivasi dari tiga factor, muncul pertama adalah
karena cerak kehidupan uang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh Umat
Islam terutama pada pembesar negeri dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang
paling deras adalah sebagai reaksi terhadap sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari
kelompok alit dinas penguasa di istana. Protes tersamar itu mereka lakukan dengan gaya
murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etika. Tokoh populer yang
dapat mewakili aliran ini adalah :
1) Hasan Al-Bashri
a) Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar,
adalah seoran Zahid yang sangat mashur dikalangan tabi’in, ia dilahirkan di
6
Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal
10 tahun 110 H (728 H) ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar bin
Khatab wafat, ia di kabarkan berytemu dengan 70 orang sahabat yang turut
menyaksikan peperangan Badar dan 300 sahabat lainnya.
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk
memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurniana akhlak, dan usaha
menyucikan pada sunnah Nabi sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun
mengakui kebesaranya. Suatu ketika seseorang datang kepada Anas Bin malik-
Sahabat nabi yang utama-untuk menanyakan persoalan agama, Anas
memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain
dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah kepada syekh ini,
saya sudah saksikan sendiri (keistimewaanya, tidak ada seorang Tabi’in pun yang
menyerupai sahabat nabi selainnya.
Karir pendidikan hasa Al-Bashri dimulai dari Hijaz, ia berguru hamper
kepada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah,
tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri, puncak
keilmuannya ia peroleh disana.
b) Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Abu Nai’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-
Bashri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan
dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena selalu
mengingat Allah, “Pandangan yang lain tasawufnya yang lain adalah anjuran
kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu
melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larang-Nya. Sya’raniki
pernah berkata “demikia takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka
itu hanya dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri)
Lebih jauh lagi, hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf hasan
Al-Bashri seperti ini.
7. “Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa
tentram yang menimbulkan perasaan takut”
8. “Dunia adalah negeri tempat beramal, barang siapa bertemu dunia dengan
perasaan benci dan zuhud, akan berbahafia dan memperoleh faedah darinya.
Namun, barangsiapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya terlambat
7
dengan dunia, ia akan sengasara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang
tidak dapat ditanggungnya”
9. “Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakanya.
Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak
mengulanginya lagi, sesuatu yang fana’ betatapun banyaknya tidak akan
menyamai sesuatu yang baqa’ betapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri
yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.”
10. “Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali
ditinggalkan mati suaminya.”
11. “Orang yang beriman senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena
berada diantara dua perasaan takut : takut mengenang dosa yang telah lampau dan
takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”
12. “Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya dan
juga takut akan kiamat yuang hendak menagih janjinya”
13. Banyak duka cita didunia memperteguh semangyat amal shaleh”
Berkaitan dengan ajaran tasawuf hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa,
Guru besar filsafat Islam, menyatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan Al-
Bashri di dasari oleh rasa takut sik Tugan di dalam neraka. Namun, lanjutnya,
setelahkami teliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang
mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian
dirinnya yang mendasari tasawufnya itu. Sikapnya itu senada dengan sabda nabi
yang berbunyi “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah
dilakukannya adalah laksana orang duduk dibawah sebuah gunung besar yang
senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.
Diantara ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa menjadi buah
bibir kaum Sufi adalah :
“ Anak adam !
Dirimu, diriku !
Dirimu hanya satu,
Kalau ia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu
Tiap-tiap nikmat yang buka surge, adalah hina
Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka ada mudah”
8
2) Rabi’ah Al-Adawiah
a) Riwayat hidup
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-
Bashriyah Al-Qaisiyah, ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M / 99 H / 717
M disuatu perkampungan dekat Kota Bashrah (Irak) dan wafat dikota itu pada
tahun 185 H / 801 M. ia dilahirkan sebagai putrid keempat dari keluarga yang
sangat miskin. Itulah sebabnya, orang tuanya menamakanya Rabi’ah kedua
orantuannya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana
perang diBashrah, ia dilahirkan penjahat dan dijual kepada Keluarga Atik dari
Suku Qais banu Adwah. Dari sini ia dikenal dengan Al-Qoisiyah atau
Al-‘Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja keras, namun kemudian dibebaskan
karena tuannya melihat cahaya yang memancar diatas kepala Rabi’ah dan
menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalan
kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufi’ah, ia menjalani sisa hidupnya hanya
dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya,
ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi, ia hidup dalam kemiskinan
dan menolak segala bantuan materi yang diberikan oleh orang lain kepadanya.
Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan”
Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi, Rabi’ah menurutnya,
sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi
penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan
yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat
Rabi’ah itu sendiri, menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah
kepada Allah begitu ekstrimnya, kecuali bila ia pernah sedemikian jauh menjalan
dan mencintai kehidupan duniawinya.
b) Ajaran Tasawufnya
Dalam perkembanganya mistisisme dalam islam tercatat sebagai peletak
dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Hal ini karena generasi sebelumnya
merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan
9
kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus,
ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaa ganti dari Allah. Sikap dan
pandanganya tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung
maupun yang disandarkan kepadanya.
Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling mashur adalah :
“Aku mencitaimu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan karena dirimu
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu
Adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga engkau kulihat
Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya”
Ulasan Al-Ghazali tentang Syair Rabi’ah sebagai berikut :
“Mungkin yang dimaksud ole Rabi’ah dengan cinta karena dirinya adalah
cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunia-Nya didunia ini. Sedangkan cinta
kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai yang kedua merupakan cinta yang
paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan.
Hal ini seperti disebabkan dalam Hadits Qudsi .
“Bagi hamba-hamba –Ku yang shaleh aku menyiapkan apa yang tidak terlihat
mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terbesit dikalbu manusia”
yang sengaja mengambil sikap Uzlah kolektif yang cenderung eksklusif dan kritis
terhadap penguasa. Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah
mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam
medan perjuangan duniawi. Ketika didunia yang penuh tipudaya ini sudah kering dari
siraman cinta sesama. Mereka bangun dunia baru, reliatas baru yang penuh dengan
salju cinta. Factor ketiga, Nampaknya adalah karena corak kadifikasi hukum islam dan
perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang
menyebabkan kehilangan moralitasnya, mejadi semcam wahana tiada isi atau
semacam bentuk tanpa jiwa foralitas paham keagamaan dirasakan semakin kering dan
menyesakkan ruhuddin yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana
keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologi yang
kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam agama, para Zuhhad
tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu
pergeseran asketisme kesalehan kepada tasawuf. Doktrin Al-Zuhd misalya, yang
tadinya sebagai dorongan untuk meningkatkan ibadah semata-mata karena rasa takut
kepada siksa neraka, bergeser kepada demi kecintaan dan semata-mata karena Allah
agar selalu dapat berkomunikasi dengan-Nya. Konsep tawakal yang tadinya
berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara diametral dihadapkan kepada
pengingkaran kehidupan yang profanistik disatu pihak dan konsep sentral tentang
hubungan manusia dengan Tuhan, yang kemudian populer dnegan doktrin Al-Hubb.
Doktrin AL-Hubb adalah tingkat konsep sentral tentang hubungan Ma’rifat yang
berarti mengenal Allah secara langsung melalui pandangan batin. Menurut sebagian
sufi, Ma’rifat Allah adalah tujuan akhir dan sekaligus merupakan tingkat kebahagiaan
paripurna yang mungkin dicapai oleh manusia didunia ini. Kondisi yang demikian
dapat dicapai hanya sesudah mencitau (Al-Hubb) Allah dengan segenap ekspresinya.
Berdasarkan kualitas-kualitas yang demikian, maka gerakan ini dikatakan sebagai
gerakan gnotisisme (ilmu ladunni, Al Ma’rifat) atau baangkali dapat disejajarkan
dengan maniplationist dalam filsafat kelompok ini kemudian mengklaim memiliki
ilmu yang khusus dan tidak dapat diberikan kepada sembarang orang untuk memeiliki
kualitas ilmu yang seperti itu, harus melalui proses inisiasi yang panjang dan
bertingkat-tingkat.
Pada abad itu juga, tampil Dzu al-nun Al-Mishri (W 246H) nama
lengkapnya Abu Al-Faidz Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran
tinggi Mesir, pada tahun 180 H / 796 M. Julukan Dzu An-nun diberikan kepadanya
11
Sejak munculnya doktrin fana dan itihad, terjadilah pergeseran tujuan akhir
dari kehidupan spiritual kalau mulaya tasawuf bertujuan hanya untuk mencintai dan
selalu dekat dengan-Nya sehingga dapat berkomunikasi langsung, tujuan itu telah
menarik lagi pada tingkat penyatuan drii dengan Tuhan, konsep ini berangkat dari
paradigma, bahwa manusia secara niologis adalah jenis makhluk yang mampu
melakukan transformasi atau transendensi melalui Mi’raj spiritual kealam illahiyat,
berbarengan dengan itu, terjadi pula sikap pro dan kontra terhadap konsepsi Al-Ittihad
yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik dalam dunia pemikiran islam baik
intern terakhir menuduh sufisme sebagai gerakan sempalan yang sesat.
Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase
ketiga yang ditandai dengan mulainya unsur-unsur diluar islam berakulturasi dnegan
tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum
orthodox denan kelompok sufi berpaham Ittijad dipihak lain.
Akibat lanjut dari perbenturan pemikiran itu, maka seklitar akhir abad tiga
hijriyah tampil al-Karraj (W 277 H). bersama Al-Junaidi (yang memiliki nama
lengkap Asy-Syaikh Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi adalah guru kelompok ahli
tasawuf secara mutlak dan imam Bilittifaq (menurut kesepakatan semua kelompok
tasawuf) sehingga mnedapat gelar Sayyidut-Tha’ifah Ash-Shufiyyah. Beliau belajar
ilmu kepada pamannya sendiri (adik laku-laki dari ibunya) yang bernama Asy-Syaikh
Sirri As-Siathi (W 253 H / 867 M). ayahnya seorang penjual kaca yang mendapatkan
julukan al Qawariri (sebangsa kaca). Al Junaedi lahir di Negeri Nahawand dan
dibesarkan di Irak. Beliau adalah seorang Ahli fiqih yang memberikan fatwa kepada
masyarakat, mengikuti mafzhab Abu Tsaur, yaitu murid Al-Imam Asy-Syafi’I dan
yang meriwayatkan madzab Asy-Syafi’i Qaul Qadim. Disamping beliau belajar
menjadimurid Sirri As-Siqthi, beliau juga menjadi Asy-Syaikh Al-Harits Al Muhabisi
dan Asy –Syaikh Muhammad bin Ali Al-Qashshab. Beliau adalah termasuk pembesar
imam – imam kauh shufi dan pemimpin mereka. Perkataanya dapat diterima dalam
semua bahasa. Beliau wafat pada hari sabtu 297 H). menawarkan konsep-konsep
tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan ortodoksi. Tujuan gerakan ini adalah
untuk menjembatani dan atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran
mistik dengan syari’at islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin
Al-Baqa atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas Al-Fana. Hasil keseluruhan
dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan
kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’at sebagai suatu
13
lembaga. Upaya tajdid itu mendapatkan sambutan luas dengan tampilannya penulis.
Penulis tasawuf tipologi ini, seperti Al-Sarraj dengan Al-Luma, Al Kalabazi dengan
Al Ta’aruf Li Madzab ahl Al Tasawuf dan Al Qusyairi dengan Al Risalah.
Sesudah masanya ketiha tokoh sufi ini, muncul jenis jenis tasawuf yang
berbeda, yaitu Ibn Masarrah (memiliki nama lengkap Muhammad bin Abdullah bin
Masarrah (269-319 H). ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filosoft dari
Andalusia. Ia memberikan pengaruh yang besar terhadap esoteric Mazhab Al
Mariyyah lebih jauh Ibn Hazm mengatakan bahwa Ibn Masarrah memiliki
kecenderungan yang besar terhadap filsafat, sedangkan dalam kacamata Mushthafa
Abdul Raziq, Ibn Masarrah termasuk sufi aliran Ittihadiyyah berbarengan dengan
masa Ibn Masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf filosof. Ia lebih banyak disebut
–sebut sebagai filosof ketimbangan seorang sufi Namun, pandangan pandanganya
tentang filsafat tertutupi oleh kezahidannya. Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan
penganut sejati aliran Mu’tazillah, lalu berpaling pada Madzab neo-Platonisme. Oleh
karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani Kuno).
Gagasan Ibn Masarrah ini, sesudah masa Al-Ghazali dikembangkan oleh Suhrawardi
Al-Maqtul ( W 578 H) dengan doktrin Al –Isyraqiyah atau illuminasi. Gerakan
orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriyah melalui tokoh
monumental Al-Ghazali. Berikut biografi singkat tentang Al-Ghazali.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Ta’lis Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al Ghazali. Secara singkat dipanggil Al Ghazali atau
Abu Hamid Al-Ghazali. Beliau lahir dikota Thus daerah rasan pada tahun 450 H /
1058 M. ayahnya wafat sebelum ia baligh. Beliau hidup berdikasi, mula –mula ia
belajar ilmu Khat dari Ayahnya, kemudian setelah ayahnya wafat ia belajar Mabadi.
Al-Lughah. Wa Al-fi’ah di negaranya sendiri kepada Al-Imam Abu Hamid Ahmad bin
Muhammad Ar-Razikani At-Thusi.
Kemudian beliah pergi ke Jurja untuk mengaji kepada Abu Nasr Al-Isma’ili.
Di Jurjan dalam waktu yang tidak lama beliau sudah mampu mengarang Ta’liqah
(Penjabaran) tentang ilmu-ilmu yang diperoleh dari gurunya. Setelah itu beliau
kembali ke Thus negeri kelahirannya guna mendalami ilmu-ilmunya selama 3 tahun.
Kemudian beliau pergi ke Naisabur mengaji kepada Al-Imam Khilaf. Ilmu Jadal, Ilmu
Ushuluddin, Ushul Fiqh , Ilmu Mantiq, Ilmu Hikmah dan filsafat kesemuannya
dikuasai secara mendalam hanya selama dua tahun. Memang imam Al-Ghazali orang
yang sangat cerdas, tepat pendapatnya, sangat luas pandanganya, dan sangat kuat
14
hafalannya dan pandai mendalami ilmu yang rumit, sehingga imam Haramain
memberinya julukan Bahr Mughriq (lautan yang menenggelamkan) Al-Ghazali wafat
pada tahun 503 H.
Al-Ghazali berupaya mengikis semua jaran tasawuf yang tidak islami,
sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapatkan tempat
yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran umat islam cara yang ditempuhnya
untuk menyelesaikan pertikaian itu. Adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik
berasal dari orang yang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima, sebab
dalam kenyataanya, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki,
tetapi kesatuan simbiolistik.
Pendekatan yang dilakukan oleh Al-Ghazali, nampaknya bagi satu pihak
memberikan jaminan untukmempertahankan prinsip, bahwa Allah dan alam ciptaan
Nya adalah dua hal yang berbeda sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di
pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untukmemasuki pengalaman-
pengalaman kesufian puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini
menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau
memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu
tasawuf sunni dan tasawuf filsafati. Sebab, ternyata pada akhirnya intisari pengalaman
kesufian yang menuru Al-Ghazali tidak mungkin diungkapkan, menerobos juga keluar
lewat konsep-konsep Ibn Arabi (W 638 H). Tetapi corak Ma’rifat yang diajarkan Sufi
kelahiran Murcia ini tidak sama dengan konsep Ma’rifat yang sebelumnya. Ia bukan
saja mengungkapkan kesatuan dirinya dengan Tuhan seperti halnya Abu Yazid Al-
Busthomi dan Al-Hallaj, tetapi ia memberikan satu pemikiran yang hamper
menyerupai filsafat. Ia menjelaskan hubungan antara fenomena lama semester yang
pluralistic dengan tuhan sebagai. Prinsip keesaan yang melandasinya. Bertolak dari
pendapat para sufi, bahwa yang ada mutlak hanya Allah, ia lalu mengatakan bahwa ala
mini sebagai penampakan (Mazhohir) dari nama dan sifat Allah, yang sebenarnya
adalah esensi-Nya keterbatasan.
Inti ajaran Ibn Arabi yang dikenal dengan sebutan wahdatul Wujud
berkembang pula kemana-mana. Pada abad tujuh hijriyah, ajaran ini berkembang di
Mesi melalui sufi penyair Ibn Al Faridh (W 633 H) dan Ibn Saba’in (W 669 H) di
Andalusia, serta meluas di Persia lewat syair-syair jalaludin rumi (W 672 H). seperti
dinyatakan oleh dengan inti ajaran ma’rifat, menurut ajaran ini Tuhan sebagai esensi
mutlak-yang menurut Al-Ghazali dapat dikenal tidak mungkin dikenal oleh siapapun,
15
walau oleh Nabi sekalipun menurut Ibn Arabi, Tuhan sebagai Dzat Mutlak hanya bisa
dikenal melalui nama dan Sifat-Sifat-Nya, yakni melalui penampakan lahir dari esensi
Dzat-Nya, yang mutlak itu. Unsur-unsur ajaran ini, sebenarnya sudah ditemukan
dalam konsep bentuk yang sempurna ditemukan pertama kali didunia islam dalam
tulisan Ibn Arabi.
Dari uraian ringkas ini terlihat bahwa lima ciri atau karakteristik tasawuf
yang dikemukakan terdahulu, ternyata tidak pernah tampil secara utuh pada satu fase
dan disemua kawasan barangkali kemunculan tasawuf yang hamper utuh dengan
kelima cirinya itu hanyalah pada abad tiga Hijriyah, pada periode tasawuf meningkat
menjadi ilmu tentang moralitas. Fase kejayaan dan kematangan tasawuf berlangsung
sampai abad ketujuh hijriyah , sebab sejak abad delapan, nampaknya tasawuf mulai
mengalami kemunduran dan bahkan stagnasi karena sejak abad ini tidak ada lagi
konsep-konsep tasawuf yang baru, yang tertinggal hanyalah sekedar komentar-
komentar dan resensi-resensi terhadap karya-karya lama disisi lain, para pengikut
tasawuf sudah lebih cenderung kepada penakanan perhatian terhadap berbagai bentuk
ritus dan formalisme yang tidak terdapat dalam substansi ajaran. Kemandikan tasawuf
sebagai ilmu moralitas, nampaknya seiring dengan situasi global yang menyelimuti
dunia pemikiran islam pada masa itu perkembangan tasawuf selanjutnya sudah
berganti baju, yaitu dalam bentuk tarikat sufi, yang lebih menonjolkan perkembangan
pada aspek ritus dan pengalamanya, bukan pada aspek subtansi ajarannya. Namun
bagaimanapun tasawuf bukanlah ilmu yang statis dan penampilannya adalah dalam
cara-cara tertentu yang mencerminkan masanya. Dalam tulisan Abdul Karim Al-Jilli
(W 832 H) dalam bukunya Al-Insan Al Kamil yang cukup popular, ternyata ajaranya
sudah mengalami perubahan-perubahan tertentu. Demikian pula dengan konsep-
konsep tasawuf di Indonesia. Sebagaimana terlihat dalam tasawuf Al Raruri adalah
pemaduan antara tasawuf Al-Ghazali dengan Al Fansyuri, atau antara paham kesatuan
wujud dengan transentalisme. Hal ini berarti, tasawuf selalu dalam kesejahteraannya,
karena memang ia bersifat dinamik bukan statis. Akan tetapi satu hal perlu diingat,
bahwa tidak setiap orang yang mengerti tasawuf disebut sufi, karena seseorang tidak
mungkin dapat mengetahui bahwa ia benar-benar memahami dan merasakan ap ayang
dilihat dan dirasakan oleh sufi dalam mi’raj Spiritualnya. Menjadi seorang sufi berarti
menjadikan ajaran itu sebagai penggerak hidupnya. It is to become and not to learn
second hand. Manusia sempurna adalah idola Sufi, manusia yang telah dapat
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian tasawuf secara lughawi adalah Ahlu Suffah yang berarti sekelompok
orang imasa Rasulullah yang hidupnya hanya berdiam diserambi-serambi masjid, dan
mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan pengertian
tasawuf berdasarkan istilah adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri,
berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju
keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah
dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan-Nya.
Fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia adalah menjadikan manusia berada
sedekat mungkin dengan Allah dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi.
Perkembangan tasawuf mengalami kejayaan yaitu pada abad ke-3 hijriah dengan
munculnya tokoh monumental Al-Ghazali, tetapi ketika memasuki abad ke-8 tasawuf
mengalami kemunduran karena tidak ada lagi konsep-konsep tasawuf yang baru.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Slihin, 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung : “Pustaka Setia”
Siregar, A. Rivay. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke NCO. Sufisme. Jakarta : Rajawali
Pers
Djamaluddin Ahmad, Moch. 2013. Dua figur tokoh agung, Jombang : Pustaka Al-Muhibbin
Zaki Ibrahim, Muhammad. 2004. Tasawuf Hitam Putih. Solo : Tiga Serangkai
Qoyyinm Al Jauziyah, Ibn dan Haris bin Asad Al-Muhasibi. 1990. Tasawuf Murni.
Surabaya : Al-Ihsan
Abdul Khaliq, Dr. Abdurrahman dan Ihsan Ilahi Zhahir. 2001
Abdirrahman Al-Sulami, Abu. 2007. Tasawuf. Jakarta : Erlangga
AL-Ghazali. 1961. Ihya’ Ulum Ad-Din, Dar Tsawafah Islamiyah, Kairo. Mesir
Umari, Barmawi. 1966. Systematika Tasawuf , Solo : Penerbit Siti Syamsiyah
Hamka. 1986. Tasawuf : Perkembangan dan pemurniannya Jakarta : Pustaka Panjimas
Nasution, Harun. 1978. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam Jakarta : Bulan Bintang
Al-Hafani, Abd. Al-Munin, 1992. Al Mausu’ah Ash-Shufiyah. Kairo. Dar Ar-Rasyad
Mahmud, Abdul Qodir. 1966. Falsasafah Ash-Shufiyyah fi Al-Islam. Kairo : Dar Al-Fikr Al-
Arab