PERKEMBANGAN TASAWUF
Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Tasawuf
Dosen Pengampu:
Dra. Robingatun, M.Pd
i
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kami kelompok satu haturkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan banyak nikmat, taufik serta hidayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Perkembangan Tasawuf” dengan baik tanpa ada halangan yang
berarti.
Makalah ini telah kami satu kelompok selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama
dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih
kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah
ini.
Diluar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat maupun
isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, saya selaku penyusun menerima segala
kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Dra. Robingatun, M.Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliah dasar jurnalistik yang telah memberikan tugas makalah ini.
Dengan karya ini kami berharap dapat membantu untuk menambah dan kejelasan
pengetahuan tentang perkembangan tasawuf ini.
Demikian yang dapat disampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khazanah
ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Cover.......................................................................................................................... i
Kata Pengantar........................................................................................................... ii
Daftar Isi..................................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah.............................................................................................. 1
Bab II Pembahasan..................................................................................................... 2
A. Pengertian Tasawuf........................................................................... 2
B. Sufisme Awal.................................................................................... 3
C. Sufisme Orthodoks............................................................................ 4
D. Sufisme –Theosufi............................................................................ 5
E. Neo-Sufisme...................................................................................... 6
F. Tasawuf di Era Modern..................................................................... 8
Bab III Kesimpulan.................................................................................................... 11
Daftar Pustaka............................................................................................................ 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sufisme dalam Islam adalah salah satu aspek keagamaan yang muncul
di antara berbagai agama dan peradaban. Mulai dari gagasan ketuhanan yang
muncul di zaman Neoplatonisme Yunani hingga tradisi gnostik dan asketik
yang muncul di agama-agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. 1 Tujuan dari
tulisan ini adalah untuk menyelidiki tasawuf dan menemukan jawaban tentang
keuntungan yang dapat diperoleh pada perkembangan tasawuf pada saat ini.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Tasawuf atau sufisme yang merupakan mistik pada dunia islam. Tuhan adalah
objek tasawuf karena Dia yang dibicarakan, dituntut, dan dicari. Metodenya
adalah mujahadah dengan bersarana hati, dan tujuannya adalah untuk menjadi
1
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Kelantan Malaysia: Pustaka Aman Press, 1977), hal.
67-78.
1
sedekat mungkin dengan Tuhan2. Tidak mungkin bagi seseorang untuk dekat
dengan Tuhan jika mereka penuh dengan dosa. Seperti yang dinyatakan dalam
Surat Al Baqarah ayat 222, Allah mencintai orang yang bertaubat dan mensucikan
diri. Agar dekat dengan Tuhan, bersihkan jiwamu dari segala dosa. Ini harus
dilakukan melalui mujahadah, yang berarti melawan hawa nafsu, keegoisan, dan
sifat lainnya.
Karena melibatkan masalah yang sangat kompleks, tasawuf sangat sulit untuk
didefinisikan dan dirumuskan. Ada banyak pendapat tentang etimologi kata ini.
Ada beberapa orang yang berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari suffah,
sufu, safa sophos, dan suf. Suffah adalah serambi di mesjid Nabawi Madinah di
mana sekelompok sahabat nabi berkumpul untuk beribadah dan berjihad di jalan
Allah. Suffu adalah barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan safa berarti
bersih, suci, dan bening, yang berarti bebas dari kekotoran jiwa. Selanjutnya, sufi
adalah bulu domba, kain kasar yang dipakai para sufi untuk menunjukkan
kesederhanaan dalam hidup mereka. Kemudian juga dalam buku Zhuhru al Islam,
Ahmad Amin mengatakan bahwa tasawuf adalah suatu kecendrungan dan
bukanlah sebuah sekte seperti Syi'ah, Muktazilah, dan Ahlu Sunnah. Dia juga
mengatakan bahwa seorang Nasrani, Yahudi, Hindu, atau Budha juga bisa
mencintai tasawuf.3
Di antara banyak istilah yang digunakan dalam ilmu tasawuf, istilah seperti
syari„ah, tharikah, dan hakikat adalah yang paling penting untuk diketahui. Dalam
pandangan sufi, syari„ah adalah amalan lahir yang termasuk rukun Islam,
sedangkan hakikat adalah hasil dari syari„ah dan thariqat adalah jalan yang
ditempuh sufi untuk mencapai hakikat. Untuk alasan ini, syari„ah hakikat dan
thariqat tidak boleh dipisahkan karena akan mengakibatkan kepincangan. Seperti
tempurung kelapa, kulitnya adalah syari„ah, isi adalah thariqat, dan santan atau
minyaknya adalah hakikat. Di sini, thariqat berarti jalan menuju Tuhan, bukan
thariqat yang sudah ditetapkan dengan guru dan murid.
Melalui thariqat, para Sufi melatih jiwanya yang kotor dan sifat seperti egois,
tamak, serakah, dengki, pendendam, dan ambisi jabatan. Sifat ini membuatnya
jauh dari Tuhan. Bagi para sufi, dunia adalah jembatan menuju Tuhan dan
hanyalah sementara. Namun, ini tidak berarti mereka tidak mengendalikan dunia;
sebaliknya, mereka berusaha mengontrol dunia, bukan dunia yang mengendalikan
mereka. Dunia bagi mereka bukanlah segala-galanya. Untuk mencapai kedekatan
dengan Tuhan, para sufi membersihkan rohaninya dari unsur-unsur duniawi.
Riyadhat a nafsi adalah istilah untuk penyucian jiwa tersebut melalui latihan.
2
Hamdani Anwar, Sufi al Yunaid, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), 60.
3
Ahmad Amin, Dzuhrul Islam, jld IV, (Kairo: Maktabah an Nahdh al Misriyah, 1964), 156-157.
2
B. Sufisme Awal
Setidaknya sampai akhir abad kedua Hijriah, fase asketisme ini berlanjut.
Namun, peralihan dari asketisme ke sufisme sudah terlihat pada awal abad ketiga.
Fase kedua dikenal sebagai pergeseran nama dari zahid menjadi sufi, antara lain.
Sebaliknya, selama periode ini, para zahid mulai berbicara tentang masalah
kerohanian seperti apa itu jiwa yang bersih, apa itu moralitas, dan bagaimana
pembinaannya. Berbagai konsepsi tentang jenjang perjalanan yang harus
ditempuh seorang sufi (al-maqamat) dan ciri-ciri seorang salik (calon sufi) pada
tingkat tertentu muncul setelah diskusi ini 4. Selain itu, diskusi tentang derajat fana
dan ittihad sudah mulai muncul pada masa ini. Bersamaan dengan itu, para penulis
tasawuf terkenal muncul, termasuk al-Muhasibi (w.234 H), al-Harraj (w. 277H),
dan al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H). Sebelum itu, sufisme hanya berupa
pengetahuan pribadi dan atau jenis keberagamaan, dan barulah pada periode ini
berkembang secara konseptual dan tekstual.
3
formalitas paham keagamaan semakin mengeringkan dan menyesakkan ruh al-din.
Ini menyebabkan terputusnya komunikasi langsung dan suasana intim antara
hamba dan Khaliqnya. Kondisi hukum dan teologi yang kering dan tanpa jiwa itu
membuat para zuhud berfokus pada moralitas, yang menyebabkan pergeseran dari
asketisme kesalehan ke sufisme. Doktrin al-zuhud, misalnya, yang awalnya
mendorong untuk meninggalkan ibadah hanya karena takut akan siksa neraka,
telah berubah menjadi dorongan untuk mencintai dan beribadah hanya karena
Allah, sehingga kita dapat berkomunikasi dengan-Nya setiap saat.
Tujuan akhir sufisme berubah sejak munculnya doktrin al-fana dan al-ittihad.
Dalam awal sufisme, tujuan itu adalah ethis, yaitu untuk selalu bersama Allah
sehingga dapat berkomunikasi secara langsung dengan Dia. Kemudian tujuan itu
berkembang menjadi tingkat penyatuan diri dengan Tuhan. Paradigma di balik
konsep ini adalah bahwa manusia, sebagai makhluk biologis, memiliki
kemampuan untuk melakukan transformasi dan transendensi melalui peluncuran
spiritual (mi'raj) ke alam ketuhanan. Selain itu, muncul sikap yang menentang
konsep al-ittihad, yang berkontribusi pada konflik dalam dunia pemikiran Islam,
baik di antara sufisme maupun dengan fuqaha dan teolog. Dua kelompok ini
menuduh penganut sufisme al-ittihad sebagai gerakan sempalan yang merusak
nilai Islam. Dari perspektif tasawuf fase ini adalah fase ketiga.6
C. Sufisme Orthodoks
Salah satu rumusan teologisnya adalah Islam adalah ilmu apriori dan
sederhananya, iman adalah pengetahuan tentang Tuhan, tentang keilahiannya
terletak pada qalbu (hati), ma'rifat adalah ilmu yang hakiki Tuhan sebagai pusat
6
Zuherni AB, Sejarah Perkembangan Tasawuf (Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011) hal. 249-255
7
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 301.
4
foud (pusat hati) dan pengakuan Keesaan Tuhan dengan sifat-sifat-Nya adalah
ilmu keesaan-Nya (kesatuannya) bersifat mutlak dan letaknya di dia (inti hati).
D. Sufisme –Theosufi
Pemahaman baru ini sekali lagi menimbulkan ketegangan dan konflik lebih
tajam dan mencakup seluruh cara berpikir Islam karena pemahaman ini bersifat
kategoris serta panteisme (kepercayaan terhadap tuhan) yang tidak dapat diterima
Iman Islam. Sebab para sufi menganggap konsepnya sangat ekstrim menuduhnya
8
Fazlur Rahman, Islam, penterjemah: Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1997), hal. 204
5
meninggalkan Islam (kafir). Jika dilihat dari perkembangannya tasawuf, maka
tahap ini masuk ke tahap keempat yang ditandai dengan pendapatan unsur filsafat
hingga tasawuf, baik metodologis maupun yang mengadopsi postulat filsafat
Yunani, khususnya Neoplatonisme.
E. Neo-Sufisme
Apa yang ingin dicoba ungkapkan dari sufisme terdahulu adalah bahwa
sufisme secara tegas menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar
pada pendekatan esoterik, pendekatan batiniyah. Dampak dari pendekatan esoterik
ini adalah timbulnya kepincangan dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih
mengutamakan makna batiniyahnya saja atau ketentuan yang tersirat saja dan
sangat kurang memperhatikan aspek lahiriyah formalnya. Oleh karena itu adalah
wajar apabila kemudian dalam penampilannya, kaum sufi tidak tertarik untuk
memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan terkesan mengarah
ke privatisasi agama. Di sisi lain, terdapat kelompok muslim yang mengutamakan
aspek-aspek formal-lahiriyah ajaran agama melalui pendekatan eksoteris-rasional.
Mereka lebih menitik-beratkan perhatian pada segi-segi syariah, sehingga
kelompok ini disebut kaum lahiri. Seperti disebut terdahulu, bahwa dalam sejarah
pemikiran Islam pernah terjadi polemik panjang yang menimbulkan ketegangan
antara dua kubu yang berbeda orientasi penghayatan keagamaan.
Dalam segi penamaan, neo-sufisme adalah istilah yang baru berkembang pada
abad dua puluh, yang dipopulerkan oleh Fazlur Rahman. Namun, sejatinya
gagasan neo-sufisme dalam sejarahnya telah ada sejak abad ke delapan Hijiriyah,
yaitu suatu corak tasawuf yang terintegrasi dengan syari’ah, dan adalah Ibn
Taymiyyah (w.728H), sebagai pencetus gagasan yang selanjutnya diteruskan oleh
muridnya Ibn Qayyim.15 Kebangkitan kembali sufisme di dunia Islam dengan
sebutan neo-sufisme, nampaknya tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan agama
sebagai penolakan kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi yang
notabene merupakan produk modernism. Modernism dinilai telah gagal
memberikan kehidupan yang bermakna bagi manusia, karenanya upaya kembali
ke agama dianggap sebagai solusi paling tepat sebagai jalan pemaknaan terhadap
kehidupan secara universal10.
9
Farida, M. "Perkembangan Pemikiran Tasawuf dan Implementasinya di Era Modern. Substantia: Jurnal Ilmu-
Ilmu Ushuluddin, 13 (1)." (2011).
6
Neo-Sufisme adalah sebuah gerakan atau aliran dalam pengembangan tasawuf
yang muncul pada abad ke-20. Neo-Sufisme sering kali mencoba untuk
menyatukan ajaran-ajaran tasawuf dengan pemikiran-pemikiran modern atau
kontemporer. Ini dapat mencakup interpretasi tasawuf yang lebih inklusif,
universal, atau adaptasi tasawuf dalam konteks sosial dan politik yang berbeda.
1. Inklusivitas
2. Pendekatan Modern
3. Aktivisme Sosial
5. Adaptasi Kontekstual
Penting untuk diingat bahwa Neo-Sufisme adalah istilah yang dapat mencakup
berbagai pendekatan yang berbeda, dan tidak ada satu definisi yang pasti.
Berbagai kelompok atau individu Neo-Sufi dapat memiliki pendekatan yang unik
terhadap pengembangan tasawuf11.
7
Teknologi dan globalisasi disamping membawa manfaat kepada manusia juga
mendatangkan bahaya. Teknologi dan globalisasi adalah produk Barat yang di
dalamnya terselubung konsep pemisahan diri dengan moral. Konsep mereka
berangkat dari ketidak percayaan kepada transendental dan alam ghaib, sehingga
peradabannya bermuara kepada pemujaan materi, sekuler. Kesuksesan dan
keberhasilan diukur dari nilai materi, sehingga manusia mulai menjauhkan diri
dari yang dianggap tidak rasional, tetapi kemudian mereka terjatuh pada pemujaan
terhadap akal, terjauh dari agama dan Tuhannya. Padahal pemujaan terhadap akal
tidak akan membawa kepada ketenangan dalam hidup, ibarat gelas kosong bagi
seorang sedang haus dan dahaga, yang tidak memuaskan kehausannya.
12
Meutia Farida, “Perkembangan Pemikiran Tasawuf,” Substantia 12, no. 1 (2011): 105–114.
8
Pengembangan tasawuf dalam era modern sering kali mencoba untuk
menjadikan ajaran-ajaran tasawuf relevan dalam konteks sosial, ekonomi,
dan politik yang kompleks. Tasawuf dapat diinterpretasikan sebagai
sumber inspirasi untuk mencari solusi bagi berbagai masalah dan tantangan
kontemporer.
5. Aktivisme Sosial
6. Diversifikasi Praktik
7. Pemahaman Gender
Penting untuk diingat bahwa pengembangan tasawuf dalam era modern dapat
sangat bervariasi tergantung pada kelompok, individu, atau konteks budaya dan
sosial tertentu. Meskipun tasawuf tetap memiliki akar-akar historisnya,
pengembangan tasawuf dalam era modern mencoba untuk menyesuaikan diri
dengan dunia yang terus berubah dan beragam13.
13
Ghulam Falach and Ridhatullah Assya’bani, “Peran Tasawuf Di Era Masyarakat Modern "Peluang Dan
Tantangan”,” Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 21, no. 2 (2022): 191–206.
9
BAB III
KESIMPULAN
Sufi melatih jiwanya yang kotor dan sifat seperti egois, tamak, serakah, dengki,
pendendam, dan ambisius untuk jabatan. Dia menjauh dari Tuhan karena sifat ini. Menurut
para sufi, dunia hanyalah sementara dan merupakan jalan menuju Tuhan. Sejak akhir abad
kedua Hijriah, sufisme menjadi populer di kalangan masyarakat di dunia Islam. Masa awal
sufisme dikenal sebagai masa sufisme. Tasawuf ortodoks dikenal dan sepertinya merupakan
gerakan pertama dalam pembaharuan tasawuf. Tasawuf Syiah melakukan penyimpangan
besar dari sudut pandang tauhid atau teologi. Corak ma'rifat yang dikembangkan oleh tokoh
kondang asal Murcia ini bertentangan dengan konsep ma'rifat yang lebih tua. Ini tidak hanya
menunjukkan solidaritas manusia dengan Tuhan, seperti halnya dengan Abu Yazid al-
Bistami, tetapi juga menawarkan cara pengobatan esoterik yang sebanding dengan filsafat.
10
Sebagai prinsip pemersatu yang melandasinya pada masa sufisme theosufi, ia berusaha
menjelaskan hubungan antara fenomena alam yang kompleks dengan Tuhan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Kelantan Malaysia:
Pustaka Aman Press, 1977
Ahmad Amin, Dzuhrul Islam, jld IV, (Kairo: Maktabah an Nahdh al Misriyah, 1964)
A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, terj: Bambang Herawan,
Mizan, Jakarta, 1991
Julian Baldick, Mystical Islam; An Introduction to Sufism, (London: I.B. Tauris &
Co Ltd., 1989)
Zuherni AB, Sejarah Perkembangan Tasawuf (Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2,
Oktober 2011)
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002)
Falach, Ghulam, and Ridhatullah Assya’bani. “Peran Tasawuf Di Era Masyarakat Modern
"Peluang Dan Tantangan”.” Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 21, no. 2
(2022): 191–206.
Meutia Farida. “Perkembangan Pemikiran Tasawuf.” Substantia 12, no. 1 (2011): 105–114.
Usman, Muh. Ilham. “Sufisme Dan Neo-Sufisme Dalam Pusaran Cendekiawan Muslim” 8
(2017): 223–239.
12