Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERKEMBANGAN TASAWUF
Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Tasawuf
Dosen Pengampu:
Dra. Robingatun, M.Pd

Disusun oleh kelompok 9:


1. Abduzzaki amrulloh (22103003)
2. Ivenda Chaifiah (22103005)
3. Axse Subur Prayoga (22103016)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH


PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2022-2023

i
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami kelompok satu haturkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan banyak nikmat, taufik serta hidayahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Perkembangan Tasawuf” dengan baik tanpa ada halangan yang
berarti.
Makalah ini telah kami satu kelompok selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama
dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih
kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah
ini.

Diluar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat maupun
isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, saya selaku penyusun menerima segala
kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Dra. Robingatun, M.Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliah dasar jurnalistik yang telah memberikan tugas makalah ini.
Dengan karya ini kami berharap dapat membantu untuk menambah dan kejelasan
pengetahuan tentang perkembangan tasawuf ini.

Demikian yang dapat disampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khazanah
ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.

Kediri, 02 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Cover.......................................................................................................................... i
Kata Pengantar........................................................................................................... ii
Daftar Isi..................................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah.............................................................................................. 1
Bab II Pembahasan..................................................................................................... 2
A. Pengertian Tasawuf........................................................................... 2
B. Sufisme Awal.................................................................................... 3
C. Sufisme Orthodoks............................................................................ 4
D. Sufisme –Theosufi............................................................................ 5
E. Neo-Sufisme...................................................................................... 6
F. Tasawuf di Era Modern..................................................................... 8
Bab III Kesimpulan.................................................................................................... 11
Daftar Pustaka............................................................................................................ 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Karena kemajuan sains yang menghasilkan teknologi modern, dunia


Barat telah kehilangan nilai kemanusiaannya. Mereka telah menjauh dari nilai
spiritual dan Tuhannya, dan menjalani kehidupan yang dibelenggu oleh
paham individualis, kasih sayang, dan silaturrahmi. Tidak mengherankan
bahwa tasawuf baru-baru ini muncul. Tasawuf mengandung konsep spiritual
Islam yang kaya dan mendalam, yang menjadikannya salah satu cara untuk
melawan hal-hal material dan sekular.

Sufisme dalam Islam adalah salah satu aspek keagamaan yang muncul
di antara berbagai agama dan peradaban. Mulai dari gagasan ketuhanan yang
muncul di zaman Neoplatonisme Yunani hingga tradisi gnostik dan asketik
yang muncul di agama-agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. 1 Tujuan dari
tulisan ini adalah untuk menyelidiki tasawuf dan menemukan jawaban tentang
keuntungan yang dapat diperoleh pada perkembangan tasawuf pada saat ini.

B. Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan tasawuf?


2. Apa yang dimaksud dengan Sufisme Awal?
3. Apa yang dimaksud Sufisme Orthodoks?
4. Apa yang dimaksud Sufisme –Theosufi?
5. Apa yang dimaksud Neo-Sufisme?
6. Dan bagaimana Tasawuf di Era Modern?

C. Tujuan

1. Memahami Apa yang dimaksud dengan tasawuf


2. Memahami Apa yang dimaksud dengan Sufisme Awal
3. Memahami Apa yang dimaksud Sufisme Orthodoks
4. Memahami Apa yang dimaksud Sufisme –Theosufi
5. Memahami Apa yang dimaksud Neo-Sufisme
6. Dan memahami bagaimana Tasawuf di Era Modern saat ini

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf

Tasawuf atau sufisme yang merupakan mistik pada dunia islam. Tuhan adalah
objek tasawuf karena Dia yang dibicarakan, dituntut, dan dicari. Metodenya
adalah mujahadah dengan bersarana hati, dan tujuannya adalah untuk menjadi
1
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Kelantan Malaysia: Pustaka Aman Press, 1977), hal.
67-78.

1
sedekat mungkin dengan Tuhan2. Tidak mungkin bagi seseorang untuk dekat
dengan Tuhan jika mereka penuh dengan dosa. Seperti yang dinyatakan dalam
Surat Al Baqarah ayat 222, Allah mencintai orang yang bertaubat dan mensucikan
diri. Agar dekat dengan Tuhan, bersihkan jiwamu dari segala dosa. Ini harus
dilakukan melalui mujahadah, yang berarti melawan hawa nafsu, keegoisan, dan
sifat lainnya.

Karena melibatkan masalah yang sangat kompleks, tasawuf sangat sulit untuk
didefinisikan dan dirumuskan. Ada banyak pendapat tentang etimologi kata ini.
Ada beberapa orang yang berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari suffah,
sufu, safa sophos, dan suf. Suffah adalah serambi di mesjid Nabawi Madinah di
mana sekelompok sahabat nabi berkumpul untuk beribadah dan berjihad di jalan
Allah. Suffu adalah barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan safa berarti
bersih, suci, dan bening, yang berarti bebas dari kekotoran jiwa. Selanjutnya, sufi
adalah bulu domba, kain kasar yang dipakai para sufi untuk menunjukkan
kesederhanaan dalam hidup mereka. Kemudian juga dalam buku Zhuhru al Islam,
Ahmad Amin mengatakan bahwa tasawuf adalah suatu kecendrungan dan
bukanlah sebuah sekte seperti Syi'ah, Muktazilah, dan Ahlu Sunnah. Dia juga
mengatakan bahwa seorang Nasrani, Yahudi, Hindu, atau Budha juga bisa
mencintai tasawuf.3

Munculnya teori emanasi berasal dari filsafat Neo Platonisme, yang


berkembang secara bertahap. Itu berasal dari India (Hindu, Budha), dengan
praktik beribadah yang memakai tasbih. Konsep nirwana dalam agama Budha
mirip dengan konsep Fana dan Baqa. Menurutnya Ahmad Amin mengatakan,
meskipun tasawuf memiliki hubungan dengan agama dan budaya lain,
perkembangan tasawuf didasarkan pada karakternya sendiri. Konsep cinta Rabi'ah
al Adawiah berasal dari nalurinya, seperti yang ditunjukkan oleh fakta bahwa dia
berasal dari suku Arab asli dan tidak pernah terpengaruh oleh budaya lain.

Di antara banyak istilah yang digunakan dalam ilmu tasawuf, istilah seperti
syari„ah, tharikah, dan hakikat adalah yang paling penting untuk diketahui. Dalam
pandangan sufi, syari„ah adalah amalan lahir yang termasuk rukun Islam,
sedangkan hakikat adalah hasil dari syari„ah dan thariqat adalah jalan yang
ditempuh sufi untuk mencapai hakikat. Untuk alasan ini, syari„ah hakikat dan
thariqat tidak boleh dipisahkan karena akan mengakibatkan kepincangan. Seperti
tempurung kelapa, kulitnya adalah syari„ah, isi adalah thariqat, dan santan atau
minyaknya adalah hakikat. Di sini, thariqat berarti jalan menuju Tuhan, bukan
thariqat yang sudah ditetapkan dengan guru dan murid.

Melalui thariqat, para Sufi melatih jiwanya yang kotor dan sifat seperti egois,
tamak, serakah, dengki, pendendam, dan ambisi jabatan. Sifat ini membuatnya
jauh dari Tuhan. Bagi para sufi, dunia adalah jembatan menuju Tuhan dan
hanyalah sementara. Namun, ini tidak berarti mereka tidak mengendalikan dunia;
sebaliknya, mereka berusaha mengontrol dunia, bukan dunia yang mengendalikan
mereka. Dunia bagi mereka bukanlah segala-galanya. Untuk mencapai kedekatan
dengan Tuhan, para sufi membersihkan rohaninya dari unsur-unsur duniawi.
Riyadhat a nafsi adalah istilah untuk penyucian jiwa tersebut melalui latihan.
2
Hamdani Anwar, Sufi al Yunaid, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), 60.
3
Ahmad Amin, Dzuhrul Islam, jld IV, (Kairo: Maktabah an Nahdh al Misriyah, 1964), 156-157.

2
B. Sufisme Awal

Sufisme menjadi populer di kalangan masyarakat di kawasan dunia Islam


sejak akhir abad kedua Hijriah. Ini merupakan perkembangan lanjutan dari gaya
keberagaman para zahid dan "abid, kesalehan yang mengelompok di serambi
mesjid Madinah.6 Fase awal, yang juga dikenal sebagai fase asketisme,
merupakan awal perkembangan sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini
ditandai oleh orang-orang yang lebih mengutamakan kehidupan akhirat,
mengabaikan kesenangan duniawi dan berkonsentrasi pada beribadah.

Setidaknya sampai akhir abad kedua Hijriah, fase asketisme ini berlanjut.
Namun, peralihan dari asketisme ke sufisme sudah terlihat pada awal abad ketiga.
Fase kedua dikenal sebagai pergeseran nama dari zahid menjadi sufi, antara lain.
Sebaliknya, selama periode ini, para zahid mulai berbicara tentang masalah
kerohanian seperti apa itu jiwa yang bersih, apa itu moralitas, dan bagaimana
pembinaannya. Berbagai konsepsi tentang jenjang perjalanan yang harus
ditempuh seorang sufi (al-maqamat) dan ciri-ciri seorang salik (calon sufi) pada
tingkat tertentu muncul setelah diskusi ini 4. Selain itu, diskusi tentang derajat fana
dan ittihad sudah mulai muncul pada masa ini. Bersamaan dengan itu, para penulis
tasawuf terkenal muncul, termasuk al-Muhasibi (w.234 H), al-Harraj (w. 277H),
dan al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H). Sebelum itu, sufisme hanya berupa
pengetahuan pribadi dan atau jenis keberagamaan, dan barulah pada periode ini
berkembang secara konseptual dan tekstual.

Setidaknya tiga faktor utama tampaknya bertanggung jawab atas kegagalan


sufisme untuk berkembang. Yang pertama adalah karena gaya hidup glamor-
profanistik dan gaya hidup materialis-konsumeris yang dipromosikan oleh para
penguasa negara, yang segera menyebar ke masyarakat luas. Dari sudut pandang
ini, respons terhadap norma etis yang murni melalui pengembangan kehidupan
rohaniah-spiritual adalah dorongan yang paling kuat. Salah satu tokoh terkenal
dari kelompok ini adalah Hasan al-Bashri (w. 110H), yang menggunakan doktrin
al-zuhd, al-khauf, dan al-raja' untuk mempengaruhi kesejahteraan spiritual Islam.
Rabiah al-Adawiyah (w. 185H), dengan ajaran populernya al-mahabbah, dan
Ma’ruf al-Kharki (w. 200H), dengan ajaran al-syauq.5

Kedua, sebagai reaksi maksimal terhadap radikalisme Khawarij dan polaritas


politik yang ditimbulkannya, muncul sikap apatis. Orang-orang yang ingin
mempertahankan kesalehan dalam suasana kedamaian rohaniah dan keakraban
cinta satu sama lain terpaksa menghindari kehidupan masyarakat ramai dan
menghindari konflik politik karena kekerasan pergulatan kekuasaan yang terjadi
pada masa itu. Surri al-Saqathi menciptakan ajaran "uzlah" dari perspektif ini (w.
253H).

Ketiga, tampaknya karena unsur-unsur dialektis-rasional yang terkandung


dalam kodifikasi hukum Islam (fiqh) dan ilmu kalam (teologi) yang menyebabkan
kurangnya dorongan moral, yang mengakibatkan kehilangan nilai spiritualnya dan
berubah menjadi sesuatu yang tanpa isi dan tanpa jiwa. Seiring berjalannya waktu,
4
A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, terj: Bambang Herawan, Mizan, Jakarta, 1991, hal.
81-90.
5
Julian Baldick, Mystical Islam; An Introduction to Sufism, (London: I.B. Tauris & Co Ltd., 1989,) , hal. 33

3
formalitas paham keagamaan semakin mengeringkan dan menyesakkan ruh al-din.
Ini menyebabkan terputusnya komunikasi langsung dan suasana intim antara
hamba dan Khaliqnya. Kondisi hukum dan teologi yang kering dan tanpa jiwa itu
membuat para zuhud berfokus pada moralitas, yang menyebabkan pergeseran dari
asketisme kesalehan ke sufisme. Doktrin al-zuhud, misalnya, yang awalnya
mendorong untuk meninggalkan ibadah hanya karena takut akan siksa neraka,
telah berubah menjadi dorongan untuk mencintai dan beribadah hanya karena
Allah, sehingga kita dapat berkomunikasi dengan-Nya setiap saat.

Tujuan akhir sufisme berubah sejak munculnya doktrin al-fana dan al-ittihad.
Dalam awal sufisme, tujuan itu adalah ethis, yaitu untuk selalu bersama Allah
sehingga dapat berkomunikasi secara langsung dengan Dia. Kemudian tujuan itu
berkembang menjadi tingkat penyatuan diri dengan Tuhan. Paradigma di balik
konsep ini adalah bahwa manusia, sebagai makhluk biologis, memiliki
kemampuan untuk melakukan transformasi dan transendensi melalui peluncuran
spiritual (mi'raj) ke alam ketuhanan. Selain itu, muncul sikap yang menentang
konsep al-ittihad, yang berkontribusi pada konflik dalam dunia pemikiran Islam,
baik di antara sufisme maupun dengan fuqaha dan teolog. Dua kelompok ini
menuduh penganut sufisme al-ittihad sebagai gerakan sempalan yang merusak
nilai Islam. Dari perspektif tasawuf fase ini adalah fase ketiga.6

C. Sufisme Orthodoks

Padahal, jika dicermati dan dicermati, terdapat ketegangan-ketegangan apa


yang terjadi seperti disebutkan di atas, bukan hanya karena masalah .Karena
Sufila atau perbedaan tasawuf atau perbedaan pemahaman agama, namun juga
karena didorong oleh kepentingan politik yaitu Sunni vs Syiah Sebab sejak abad
ketiga Hijriah istilah tasawuf mulai populer ortodoks, diprakarsai oleh Harith al-
Muhasibi, seperti disebutkan sebelumnya berbeda dengan tasawuf populer yang
didukung penuh oleh masyarakat Syiah. Tujuan tasawuf ortodoks adalah ihya
atsar al-salaf, yaitu realisasi kembali pemahaman Salafiyah, berusaha
mengembalikan warisan kesalehan sufi. Yang sebelumnya adalah teman dan
generasi setelahnya tetap sama praktik kehidupan eksternal. Dengan kata lain, ini
Ide al-Muhasib adalah untuk menyeberangi jurang tersebut memisahkan Islam
ortodoks dan menjamin kesucian tasawuf di bidang murni Islam.7

Usaha Al-Muhasib dilanjutkan oleh para pengikutnya merumuskan prinsip-


prinsip tasawuf ortodoks waktu itu (abad III) istilah tasawuf ortodoks dikenal dan
sepertinya merupakan gerakan pertama pembaharuan tasawuf. Penyimpangan
besar menurut tasawuf ortodoks yang dilakukan tasawuf Syiah adalah dari sudut
pandang tauhid atau teologi.Oleh Oleh karena itu, tema sentral pembaharuan
tasawuf ini adalah rekonsiliasi antar teologi tasawuf dengan teologi ortodoks,
khususnya teologi Ahlusunnah wal jama'ah.

Salah satu rumusan teologisnya adalah Islam adalah ilmu apriori dan
sederhananya, iman adalah pengetahuan tentang Tuhan, tentang keilahiannya
terletak pada qalbu (hati), ma'rifat adalah ilmu yang hakiki Tuhan sebagai pusat

6
Zuherni AB, Sejarah Perkembangan Tasawuf (Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011) hal. 249-255
7
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 301.

4
foud (pusat hati) dan pengakuan Keesaan Tuhan dengan sifat-sifat-Nya adalah
ilmu keesaan-Nya (kesatuannya) bersifat mutlak dan letaknya di dia (inti hati).

Upaya mediasi yang diprakarsai oleh al-Muhasibi dilanjutkan oleh al-Kharraj


dan al-Junaid dengan usulannya tentang kompromi konsep tasawuf antara tasawuf
dan kelompok fundamentalis (Salafiyah). Tujuan dari gerakan ini adalah
membangun jembatan dan, jika mungkin, mengintegrasikan keduanyakesadaran
mistik dengan hukum Islam. Layanan mereka yang paling berharga adalah
lahirnya doktrin al-baqa (mata pencaharian) sebagai tandingan dan legitimasi al-
fana. Sebagai hasil umum dari upaya integrasi ini, muncullah istilah tasawuf.

Kategori ini dikaitkan dengan tujuan mendamaikan kesadaran mistik


dengansyariah adalah legal sebagai sebuah institusi.Gerakan sufi Ortodoks
mencapai puncaknya pada abad ke-5 Hijriah melalui tokoh monumental al-
Ghazali (w. 503H). gerakan itu terutama disengaja untuk mencegah perambahan
tumbuhnya penganut teologi sufi. Oleh karena itu, pandangan ortodoks dapat
merusak fondasi monoteisme Ghazali datang dengan desain yang diharapkan
dapat memenuhi aspirasinya dari kedua sisi. Kalau dalam kesalehan zuhud (zahid)
diawali dengan penekanannya pada motif esoteris sebagai respons terhadap
pemahaman luar hak kelompok intelektual rasional, al-Ghazali memaparkan
doktrin all- marifat. Yang dia maksud dengan istilah ini adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui eksplorasi batin atau eksperimen batin, yang merupakan
kebalikan dari dengan pengetahuan intelektual seperti teologi dialektika. Desain
ini tidak menentang teologi namun ia menentang konstruksi teologi yang
dilakukan dengan cara tersebut rasional-dialektis.

D. Sufisme –Theosufi

Penjelasan sebelumnya menunjukkan bahwa tasawuf merupakan ilmu teoritis


dan ternyata telah mencapai tingkat kematangan (tahap keempat), ditandai
dengan terpecahnya tasawuf menjadi dua aliran besar, yaitu tasawuf Sunni dan
tasawuf Syiah, disebut juga tasawuf filosofis atau teosufisme. Ternyata pada
akhirnya hakikat pengalaman sufi yang menurut al-Ghazali tak terlukiskan, juga
meresap dalam konsepsi Ibnu Arabi (w. 638H). 8Corak ma'rifat yang
dikembangkan tokoh kondang asal Murcia ini tidak sesuai dengan gagasan
ma'rifat sebelumnya. Itu tidak hanya menunjukkan solidaritas manusia dengan
Tuhan seperti halnya dengan Abu Yazid al-Bistami tapi dia menawarkan bentuk
pengobatan esoterik yang mirip dengan filsafat. Ia berupaya memperjelas
hubungan antara fenomena alam yang majemuk dengan Tuhan sebagai prinsip
pemersatu yang melandasinya. Berangkat dari pandangan tasawuf bahwa hanya
Allah yang mutlak, beliau kemudian mengatakan bahwa hakikat tersebut adalah
asma (mazhar) dan bahwa hakikat Allah, pada hakikatnya adalah hakikat-Nya.
Yang absolut adalah diri seperti batas-batas empiris yang kemudian dipopulerkan
dengan doktrin wahdah al-wujud.

Pemahaman baru ini sekali lagi menimbulkan ketegangan dan konflik lebih
tajam dan mencakup seluruh cara berpikir Islam karena pemahaman ini bersifat
kategoris serta panteisme (kepercayaan terhadap tuhan) yang tidak dapat diterima
Iman Islam. Sebab para sufi menganggap konsepnya sangat ekstrim menuduhnya
8
Fazlur Rahman, Islam, penterjemah: Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1997), hal. 204

5
meninggalkan Islam (kafir). Jika dilihat dari perkembangannya tasawuf, maka
tahap ini masuk ke tahap keempat yang ditandai dengan pendapatan unsur filsafat
hingga tasawuf, baik metodologis maupun yang mengadopsi postulat filsafat
Yunani, khususnya Neoplatonisme.

Permasalahan ini rupanya juga mendasari gerakan Ibnu pada khususnya


Taymiyah dan Ibnu Qayyim pada abad kedelapan Hijriyah meneruskan
perjalanannya usaha al-Ghazal. Ibnu Taimiyah pun mengakui keabsahannya.
Metode pengujian internal (ma'rifat) dalam tasawuf, namun kualitas validitasnya
baru. Rumusan ini menolak keras doktrin monisme wahdah al-wujud) Ibnu
'araabi sekaligus juga menolak berbagai amalan ritual tasawuf Dengan demikian
dapat diketahui bahwa masa kejayaan tasawuf cukup panjang dan menyebar ke
seluruh dunia Islam. Namun memasuki abad kedelapan Hijriyah Tasawuf
sepertinya sudah memasuki masa stagnasi. Karena sejak saat itu Tidak ada lagi
konsep tasawuf yang baru dan orisinal. Apa yang sedang terjadi hanya ulasan
karya-karya lama. Amalan tasawuf bekerja dengan penuh semangat, tetapi tareks
tasawuf dan aspek ritualnya lebih terlihat daripada ramuannya.9

E. Neo-Sufisme

Apa yang ingin dicoba ungkapkan dari sufisme terdahulu adalah bahwa
sufisme secara tegas menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar
pada pendekatan esoterik, pendekatan batiniyah. Dampak dari pendekatan esoterik
ini adalah timbulnya kepincangan dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih
mengutamakan makna batiniyahnya saja atau ketentuan yang tersirat saja dan
sangat kurang memperhatikan aspek lahiriyah formalnya. Oleh karena itu adalah
wajar apabila kemudian dalam penampilannya, kaum sufi tidak tertarik untuk
memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan terkesan mengarah
ke privatisasi agama. Di sisi lain, terdapat kelompok muslim yang mengutamakan
aspek-aspek formal-lahiriyah ajaran agama melalui pendekatan eksoteris-rasional.
Mereka lebih menitik-beratkan perhatian pada segi-segi syariah, sehingga
kelompok ini disebut kaum lahiri. Seperti disebut terdahulu, bahwa dalam sejarah
pemikiran Islam pernah terjadi polemik panjang yang menimbulkan ketegangan
antara dua kubu yang berbeda orientasi penghayatan keagamaan.

Dalam segi penamaan, neo-sufisme adalah istilah yang baru berkembang pada
abad dua puluh, yang dipopulerkan oleh Fazlur Rahman. Namun, sejatinya
gagasan neo-sufisme dalam sejarahnya telah ada sejak abad ke delapan Hijiriyah,
yaitu suatu corak tasawuf yang terintegrasi dengan syari’ah, dan adalah Ibn
Taymiyyah (w.728H), sebagai pencetus gagasan yang selanjutnya diteruskan oleh
muridnya Ibn Qayyim.15 Kebangkitan kembali sufisme di dunia Islam dengan
sebutan neo-sufisme, nampaknya tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan agama
sebagai penolakan kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi yang
notabene merupakan produk modernism. Modernism dinilai telah gagal
memberikan kehidupan yang bermakna bagi manusia, karenanya upaya kembali
ke agama dianggap sebagai solusi paling tepat sebagai jalan pemaknaan terhadap
kehidupan secara universal10.

9
Farida, M. "Perkembangan Pemikiran Tasawuf dan Implementasinya di Era Modern. Substantia: Jurnal Ilmu-
Ilmu Ushuluddin, 13 (1)." (2011).

6
Neo-Sufisme adalah sebuah gerakan atau aliran dalam pengembangan tasawuf
yang muncul pada abad ke-20. Neo-Sufisme sering kali mencoba untuk
menyatukan ajaran-ajaran tasawuf dengan pemikiran-pemikiran modern atau
kontemporer. Ini dapat mencakup interpretasi tasawuf yang lebih inklusif,
universal, atau adaptasi tasawuf dalam konteks sosial dan politik yang berbeda.

Beberapa ciri khas Neo-Sufisme dalam pengembangan tasawuf adalah:

1. Inklusivitas

Neo-Sufisme cenderung lebih inklusif dalam hal menerima berbagai


tradisi agama dan spiritual. Mereka mungkin mencoba untuk menemukan
persamaan atau kesamaan dalam berbagai agama dan mempromosikan
pemahaman yang lebih luas tentang keberagaman agama.

2. Pendekatan Modern

Neo-Sufisme sering mencoba untuk menghubungkan ajaran-ajaran


tasawuf dengan masalah-masalah dan pemikiran-pemikiran modern.
Mereka mungkin menggunakan bahasa dan metode yang lebih sesuai
dengan dunia kontemporer.

3. Aktivisme Sosial

Beberapa aliran Neo-Sufisme dapat menggabungkan elemen aktivisme


sosial dalam ajaran-ajarannya. Mereka mungkin berusaha untuk mencapai
perubahan sosial positif melalui praktik-praktik spiritual.

4. Penekanan pada Pemahaman Pribadi

Neo-Sufisme cenderung lebih menekankan pada pengalaman pribadi


dan hubungan individu dengan Tuhan. Mereka mungkin memandang
tasawuf sebagai jalan untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam
tentang diri dan alam semesta.

5. Adaptasi Kontekstual

Neo-Sufisme dapat menyesuaikan praktik-praktik tasawuf dengan


konteks sosial, budaya, dan politik yang berbeda. Ini bisa termasuk
integrasi unsur-unsur lokal dalam praktik-praktik spiritual.

Penting untuk diingat bahwa Neo-Sufisme adalah istilah yang dapat mencakup
berbagai pendekatan yang berbeda, dan tidak ada satu definisi yang pasti.
Berbagai kelompok atau individu Neo-Sufi dapat memiliki pendekatan yang unik
terhadap pengembangan tasawuf11.

F. Tasawuf di Era Modern


10
A. B Zuherni, “Sejarah Perkembangan Tasawuf,” Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 13, no. 2 (2011):
249–256.
11
Muh. Ilham Usman, “Sufisme Dan Neo-Sufisme Dalam Pusaran Cendekiawan Muslim” 8 (2017): 223–239.

7
Teknologi dan globalisasi disamping membawa manfaat kepada manusia juga
mendatangkan bahaya. Teknologi dan globalisasi adalah produk Barat yang di
dalamnya terselubung konsep pemisahan diri dengan moral. Konsep mereka
berangkat dari ketidak percayaan kepada transendental dan alam ghaib, sehingga
peradabannya bermuara kepada pemujaan materi, sekuler. Kesuksesan dan
keberhasilan diukur dari nilai materi, sehingga manusia mulai menjauhkan diri
dari yang dianggap tidak rasional, tetapi kemudian mereka terjatuh pada pemujaan
terhadap akal, terjauh dari agama dan Tuhannya. Padahal pemujaan terhadap akal
tidak akan membawa kepada ketenangan dalam hidup, ibarat gelas kosong bagi
seorang sedang haus dan dahaga, yang tidak memuaskan kehausannya.

Teknologi, globalisasi, modernisasi dan industrialisasi adalah suatu proses


yang tidak dapat dielakkan, di mana teknologi dan ilmu pengetahuan merupakan
tulang punggung, namun hal ini telah membawa dampak negatif bagi kehidupan
manusia. Yudi Latif di dalam bukunya mengatakan: Hegemoni sains dan
teknologi yang memicu revolusi industri dan informasi, telah mempersoalkan
bangsa manusia, apabila tidak disokong dengan ide-ide mulia keagamaan akan
terus membawa manusia menjadi setengah manusia.8 Disatu pihak dia telah
memberi produksi yang melimpah dan konsumsi tinggi untuk memenuhi
kebutuhan biologis. Namun disisi lain dia mengabaikan kebutuhan rasa aman,
kasih sayang, martabat kemanusiaan, kebebasan, kebenaran, keadilan dan
tanggung jawab sains dan teknologi telah membawa kemajuan-kemajuan yang
agung dan luhur diberbagai bidang kehidupan, tetapi di wilayah lain, seperti
kebijakan-kebijakan nasional dan internasional menyangkut hubungan manusia
kita masih primitif.

Akibat dari persenyawaan sains dan teknologi, keserakahan dan kejahatan


telah melambung proses katastrofi dunia yang menggetarkan jati diri manusia.
Dunia di hadapkan pada rona-rona ancaman yang mengerikan, bencana kelaparan,
pencemaran lingkungan, rusaknya ekosistem, terkuras habis sumber-sumber daya
alam, pengendoran norma-norma sosial, ancaman yang ditimbulkan oleh militari
complek, armanment system, war system yang dilengkapi bom nuklir yang
sanggup menghancurkan dunia berpuluh-puluh kali12.

Tasawuf dalam era modern mengalami berbagai perubahan dan tantangan


yang mempengaruhi perkembangannya. Dalam pengembangan tasawuf pada era
modern, ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan:

1. Teknologi dan Komunikasi

Era modern telah membawa perubahan besar dalam teknologi dan


komunikasi, yang memungkinkan penyebaran ajaran tasawuf secara lebih
luas melalui internet, media sosial, dan berbagai platform online. Ini
memungkinkan orang-orang dari berbagai belahan dunia untuk mengakses
sumber-sumber tasawuf, kajian, dan praktik-praktik spiritual.

2. Relevansi dalam Konteks Modern

12
Meutia Farida, “Perkembangan Pemikiran Tasawuf,” Substantia 12, no. 1 (2011): 105–114.

8
Pengembangan tasawuf dalam era modern sering kali mencoba untuk
menjadikan ajaran-ajaran tasawuf relevan dalam konteks sosial, ekonomi,
dan politik yang kompleks. Tasawuf dapat diinterpretasikan sebagai
sumber inspirasi untuk mencari solusi bagi berbagai masalah dan tantangan
kontemporer.

3. Pendidikan dan Penelitian

Banyak institusi pendidikan dan penelitian di seluruh dunia telah


memulai studi akademis tentang tasawuf. Ini membantu dalam pemahaman
yang lebih mendalam tentang sejarah, filosofi, dan praktik-praktik tasawuf,
serta membantu mengembangkan gagasan tasawuf dalam konteks modern.

4. Dialog Antaragama dan Antarkultur

Tasawuf dalam era modern juga sering terlibat dalam dialog


antaragama dan antarkultur. Ada upaya untuk mempromosikan
pemahaman antara berbagai tradisi agama dan budaya melalui perspektif
tasawuf, yang sering menekankan persamaan dan nilai-nilai universal.

5. Aktivisme Sosial

Beberapa kelompok dan individu yang terlibat dalam tasawuf di era


modern mungkin menggabungkan ajaran-ajaran spiritual dengan aktivisme
sosial. Mereka mungkin berusaha untuk menciptakan perubahan sosial
positif berdasarkan prinsip-prinsip tasawuf, seperti kasih sayang, keadilan,
dan perdamaian.

6. Diversifikasi Praktik

Tasawuf telah mengalami diversifikasi dalam praktik-praktiknya.


Orang-orang mungkin menggabungkan unsur-unsur tasawuf dengan
berbagai tradisi spiritual atau praktik meditasi lainnya untuk mencapai
pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan alam semesta.

7. Pemahaman Gender

Beberapa kelompok tasawuf di era modern berusaha untuk mengatasi


isu-isu gender dan kesetaraan, mencari cara untuk memahami ajaran-ajaran
tasawuf dalam kerangka kesetaraan gender.

Penting untuk diingat bahwa pengembangan tasawuf dalam era modern dapat
sangat bervariasi tergantung pada kelompok, individu, atau konteks budaya dan
sosial tertentu. Meskipun tasawuf tetap memiliki akar-akar historisnya,
pengembangan tasawuf dalam era modern mencoba untuk menyesuaikan diri
dengan dunia yang terus berubah dan beragam13.

13
Ghulam Falach and Ridhatullah Assya’bani, “Peran Tasawuf Di Era Masyarakat Modern "Peluang Dan
Tantangan”,” Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 21, no. 2 (2022): 191–206.

9
BAB III
KESIMPULAN
Sufi melatih jiwanya yang kotor dan sifat seperti egois, tamak, serakah, dengki,
pendendam, dan ambisius untuk jabatan. Dia menjauh dari Tuhan karena sifat ini. Menurut
para sufi, dunia hanyalah sementara dan merupakan jalan menuju Tuhan. Sejak akhir abad
kedua Hijriah, sufisme menjadi populer di kalangan masyarakat di dunia Islam. Masa awal
sufisme dikenal sebagai masa sufisme. Tasawuf ortodoks dikenal dan sepertinya merupakan
gerakan pertama dalam pembaharuan tasawuf. Tasawuf Syiah melakukan penyimpangan
besar dari sudut pandang tauhid atau teologi. Corak ma'rifat yang dikembangkan oleh tokoh
kondang asal Murcia ini bertentangan dengan konsep ma'rifat yang lebih tua. Ini tidak hanya
menunjukkan solidaritas manusia dengan Tuhan, seperti halnya dengan Abu Yazid al-
Bistami, tetapi juga menawarkan cara pengobatan esoterik yang sebanding dengan filsafat.

10
Sebagai prinsip pemersatu yang melandasinya pada masa sufisme theosufi, ia berusaha
menjelaskan hubungan antara fenomena alam yang kompleks dengan Tuhan.

11
DAFTAR PUSTAKA
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Kelantan Malaysia:
Pustaka Aman Press, 1977

Hamdani Anwar, Sufi al Yunaid, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995)

Ahmad Amin, Dzuhrul Islam, jld IV, (Kairo: Maktabah an Nahdh al Misriyah, 1964)

A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, terj: Bambang Herawan,
Mizan, Jakarta, 1991

Julian Baldick, Mystical Islam; An Introduction to Sufism, (London: I.B. Tauris &
Co Ltd., 1989)

Zuherni AB, Sejarah Perkembangan Tasawuf (Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2,
Oktober 2011)

Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002)

Fazlur Rahman, Islam, penterjemah: Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1997)

Farida, M. "Perkembangan Pemikiran Tasawuf dan Implementasinya di Era


Modern. (Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 13 (1)." 2011).

Falach, Ghulam, and Ridhatullah Assya’bani. “Peran Tasawuf Di Era Masyarakat Modern
"Peluang Dan Tantangan”.” Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 21, no. 2
(2022): 191–206.

Meutia Farida. “Perkembangan Pemikiran Tasawuf.” Substantia 12, no. 1 (2011): 105–114.

Usman, Muh. Ilham. “Sufisme Dan Neo-Sufisme Dalam Pusaran Cendekiawan Muslim” 8
(2017): 223–239.

Zuherni, A. B. “Sejarah Perkembangan Tasawuf.” Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin


13, no. 2 (2011): 249–256.

12

Anda mungkin juga menyukai