Anda di halaman 1dari 26

STUDI TASAWUF FALSAFI

MAKALAH

Disusun Oleh :
Kelompok 9
1. Lailatul Qodriyah D20191001
2. Hisien Khofiah F D20191025
3. Nurul Yaqin D20191038

FAKULTAS DAKWAH

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

2020
STUDI TASAWUF FALSAFI

Makalah Tugas Mata Kuliah Akhlaq Tasawuf yang Diampui oleh : Hilmi Azizi,
M.Pd.I, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Kelompok 9
1. Lailatul Qodriyah D20191001
2. Hisien Khofiah F D20191025
3. Nurul Yaqin D20191038

FAKULTAS DAKWAH

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Hilmi Azizi,


M.Pd.I, M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Akhlaq Tasawuf yang telah
membimbing kita dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis mengharapkan makalah ini bermanfaat untuk orang lain serta
menambah wawasan mengenai akhlaq tasawuf.

Penulis sangat menyadari, bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari
kata sempurna sebab banyaknya kekurangan. Oleh sebab itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar nanti makalah ini bisa menjadi
lebih baik lagi.

Demikian jika ada kesalahan rangkaian makalah ini, penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Terima kasih.

Jember, 16 November 2020

ii
DAFTAR ISI

COVER...............................................................................................................................i

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii

BAB I.................................................................................................................................1

PPENDAHULUAN....................................................................................................1

A. Latar Belakang...................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................................2

C. Tujuan Pembahasan............................................................................................2

BAB II...............................................................................................................................3

PEMBAHASAN........................................................................................................3

A. Pengertian Tasawuf Falsafi................................................................................3

B. Perkembangan Tasawuf Falsafi..........................................................................5

C. Karakteristik Tasawuf Falsafi.............................................................................7

D. Tokoh dan Ajaran Tasawuf Falsafi.....................................................................8

KESIMPULAN................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................22

iii
BAB I

PPENDAHULUAN

A. Latar Belakangg
Banyak sekali teori dan pendapat mengenai tasawuf dan ajarannya.
Dari definisi-definisinya dapat dilihat terdapat dua kelompok yang
menganggap bahwa tasawuf merupakan ajaran murni islam yang diajarkan
oleh rasulullah, seperti yang dikemukakan oleh Julian Baldic bahwa
wacana-wacana Al Quran sangat mendukung tasawuf. Kemudian Ibnu
Khaldun dengan telaah sejarah dan sosiologinya mengatakan bahwa
tasawuf bersumber dari agama islam dengan bukti mengikuti praktek-
praktek umat muslim generasi awal.

Kemudian ada yang berpendapat sebaliknya bahwa tasawuf berasal


dari pengaruh budaya dan agama lain. Meskipun secara ajaran tasawuf
memang menggunakan metodologi Al Quran dan Sunnah Nabi, namun
secara bukti historis tasawuf telah diwarnai oleh unsur - unsur luar sejalan
dengan perkembangannya. Salah satu tasawuf yang tercampur oleh unsur
luar adalah tasawuf falsafi yang akan kita bahas kali ini.

Menurut Fazlur Rahman, tasawuf falsafi ini juga terkena pengaruh


Grego-gnostik dan doktrin-doktrin Kristen yang dikembangkan oleh Ibnu
Arabi. Tasawuf filosofis juga merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara
rasional filosofis1.

Tasawuf ini ada karena mendapat pengaruh oleh filsafat Neo –


Platonisme, ajaran atau faham filsafat yang paling banyak dipergunakan
dalam analisis tasawuf. Konsep-konsep tasawuf falsafi yakni tasawuf yang
kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat khususnya paham tersebut.

1
AbrarM Dawud Faza, Tasawuf falsafi, Vol.1 No.1 tahun 2019

1
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari tasawuf falsafi?
b. Bagaimana perkembangan tasawuf falsafi?
c. Bagaimana karakteristik tasawuf falsafi?
d. Bagaimana tokoh dan ajaran mengenai tasawuf falsafi?

C. Tujuan Pembahasan
a. Mengetahui pengertian tasawuf falsafi
b. Mengetahui perkembangan tasawuf falsafi
c. Mengetahui karakteristik tasawuf falsafi
d. Mengetahui tokoh-tokoh dan ajaran tasawuf falsafi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Falsafi


Tasawuf berasal dari bahasa Arab isim mashdar dari fi’il Tashawwafa
– Yatashawafu menjadi Tashawufan yang bermakna berpindah2. Menurut
para ahli ada berbagai pendapat atas pengertian tasawuf secara etimologi atau
segi bahasa, dari sekian pendapat ada 6 pengertian yang dikemukakan oleh
para ahli tersebut, yakni :

(1) Suffah yang berarti emperan masjid.

(2) Shaf yang berarti barisan karena, para sufi adalah orang yang berhati suci
dan diharapkan berada pada barisan pertama di sisi Allah,

(3) Shafa yang berarti bersih.

(4) Shufabah, yakni nama kayu yang tumbuh di padang pasir yang
menunjukkan bahwa tasawuf ada dalam situasi apapun,

(5) Teoshofi yang berasal dari bahasa Yunani dan mempunyi arti ilmu
ketuhanan,

(6) Shuf yang berarti bulu domba dikarenakan, para sufi menggunakan
pakaian yang sederhana yang terbuat dari bulu domba.

Tasawuf secara terminologi juga mempunyai banyak pendapat dan


pembahasan oleh para praktisi dan ahli tasawuf dan uniknya pembahasan
tersebut dikemas menjadi sebuah puisi dalam bahasa Persia yang didalamnya
mengandung definisi-definisi tasawuf sebagai berikut :

(1) Akhlak mulia dan muraqabah kepada Tuhan (Ihsan).

(2) Cinta dan kasih sayang (Mahabbah) kepada Tuhan.

2
Miswar, Pembentukan dan Perkembangan Tasawwuf Falsafi, Vol. II NO. 1 tahun 2019

3
(3) Inti atau akar agama guna mencapai kedamaian hati.

(4) Mengkonsentrasikan pikiran (sesuai ajaran Muhammad) kepada Allah


(penyatuan).

(5) Kontemplasi yang bertualang menuju tahta ketuhanan.

(6) Penjagaan seseorang terhadap imajinasi dan perkiraan guna mendapatkan


keyakinan atau kepastian.

(7) Penyerahan jiwa kepada Tuhan

(8) Jalan iman dan penegasan persatuan kepada Tuhan.

(9) Jalan yang halus dan diterangi untuk menuju surga yang paling mulia.

(10) Jalan untuk menemukan rasa agama.

(11) Syari‟at3.

Adapun yang berpendapat bahwa tasawuf adalah akhlak, pendapat ini


dikemukakan oleh Al-Kattani. Dinamakan akhlak karena tasawuf merupakan
upaya menghindari hal-hal yang buruk dan berhias dengan hal-hal yang baik.

Kemudian, pengertian falsafi secara singkat adalah falsafi diambil


dari kata filsafat. Kajian filsafat adalah kajian tentang esensi karena, yang
menjadi fokus adalah hakikat sesuatu. Secara garis besar tasawuf falsafi
adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional4.

Jika dilihat dari berbagai definisi tersebut dapat diambil kesimpulan


bahwa tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal
Tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tingkat
yang lebih tinggi. Bukan hanya mengenal tuhan saja (makrifatullah)

3
Aly Mashar, Tasawuf : Sejarah, Madzhab dan Inti Ajarannya, Vol. XII, No. 1, tahun 2015
4
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, kencana tahun 2014

4
melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud)5.
Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya
yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya.

B. Perkembangan Tasawuf Falsafi


Berkembangnya masyarakat Islam memang membutuhkan fase yang
panjang, dari masa keislaman pertama dengan diangkatnya nabi Muhammad
SAW menjadi rasul sampai para tabi’in hingga sekarang. Pada masa awal
Islam belum ada istilah tasawuf namun, meski demikian bukan berarti praktek
seperti puasa, zuhud dan senadanya tidak ada. Hal ini dibuktikan dengan
perilaku Abdullah ibn Umar yang banyak melakukan puasa sepanjang hari
dan shalat serta membaca al-Qur’an di malam harinya.6

Masa ini disebut dengan fase asketisme (zuhud)7. Kemudian, pada


paruh abad ke- 1 Hijriyah muncul lah tokoh bernama Hasan Al-Basri, seorang
tokoh Zahid yang termasyhur dalam sejarah tasawuf. Pada masa ini bisa
dikatan tasawuf masih sangat murni tidak terpengaruh oleh ajaran filsafat.

Pada abad ini para individu dari kalangan muslim lebih memusatkan
dirinya pada hal ibadah. Mereka tidak mementingkan hal duniawi seperti
gaya berpakaian, makan, minum dan bertempat tinggal dengan seadanya8.

Perkembangan tasawuf sangat pesat dimulai pada abad ke-3 Hijriyah


dengan ditandainya berbagai macam tasawuf yang berkembang pada masa
itu. Secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, pertama
tasawuf yang berintikan ilmu jiwa (tasawuf murni), ke-dua tasawuf yang
5
Muis Sad Imam, Peran Tasawuf Falsafi Dalam metodologi Pendidikan Islam, Vol.6 No.2 thn
2015
6
Aly Mashar, Tasawuf : Sejarah, Madzhab dan Inti Ajarannya, Vol. XII, No. 1, tahun 2015. (Hal.
121)
7
Miswar, Pembentukan dan Perkembangan Tasawwuf Falsafi, Vol. II NO. 1 tahun 2019
8
Aly Mashar, Tasawuf : Sejarah, Madzhab dan Inti Ajarannya, Vol. XII, No. 1, tahun 2015. (Hal.
122)

5
terfokus pada petunjuk tentang cara berbuat baik serta cara menghindarkan
keburukan yang bisanya disebut tasawuf akhlaqi.

Adapun yang ke-tiga adalah tasawuf yang berintikan metafisika


yang di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan ketunggalan hakikat
yang maha kuasa, juga merupakan satu-satu nya yang ada dalam pengertian
yang mutlak, serta melukiskan sifat-sifat tuhan. Dari penjelasan tersebut dapat
dilihat bahwa tasawuf falsafi mulai terrlihat pada abad ke-3 hijriyah. Hal ini
dibuktikan dengan munculnya tokoh yang bisa dikatakan ekstrim yakni Al-
Hallaj dengan teorinya tentang hulul atau ingkarnasi tuhan.

Masuk pada abad ke-4 hijriyah yang dimana tasawuf semakin


berkembang pesat dari tahun sebelumnya dengan semakin banyaknya tokoh
yang muncul dalam ajaran tasawuf, pada masa kisaran abad ke-3 dan ke-4
hijriyah dinamakan sebagai fase perkembangan tasawuf falsafi dan tasawuf
lainnya.

Kemudian masuk pada abad ke-5 hijriyah dimana muncul


pertentangan antara ulama tasawuf dan ulama fikih pada masa itu
dikarenakan berkembangnya madzhab Syiah yang meresahkan para ulama
fikih. Sehingga pada masa ini mendatangkan pertentangan antara golongan
ulama fikih, ulama tasawuf falsafi dan tasawuf sunni.

Kemudian muncul tokoh yang berniat untuk meleraikan


pertentangan antar ulama tersebut yang bernama Al-Ghozali yang dimana
hanya sepenuhnya menerima tasawuf berdasarkan al-Qur’an dan hadis.
Serta bertujuan kehidupan yang seederhana, penyucian jiwa serta
pembinaan moral. Di sisi lain beliau memberikan kritikan yang tajam
terhadap para filosof, seperti kaum Mu’tazilah dan Batiniyah yang
akhirnya Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang
moderat. Sehingga pada abad ini tasawuf falsafi mulai tenggelam9

9
Aly Mashar, Tasawuf : Sejarah, Madzhab dan Inti Ajarannya, Vol. XII, No. 1, tahun 2015. (Hal.
124)

6
Kemudian pada abad ke-6 hijriyah tasawuf falsafi mulai muncul
kembali dengan ditandai oleh kelompok tasawuf yang memadukan tasawuf
dengan ilmu filsafat dengan teori mereka sendiri dan pada abad ke 6-7
hijriyah merupakan masa tasawuf falsafi bangkit dan mengajarkan ajarannya
dengan tokoh-tokoh yang baru.

C. Karakteristik Tasawuf Falsafi


Karakteristik dari tasawuf falsafi yakni ajarannya lebih mengarah pada teori-
teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam,
mengedepankan akal, ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional.
Tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang paling berbeda dengan tasawuf lainnya,
dimana metodologinya tetap menggunakan Al Quran dan Sunnah namun
pendekatannya lebih kepada rasionalitas ( filsafat ). Konsep-konsep tasawaf
mereka disebut tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-
pemikiran filsafat. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajaran dan
konsepsinya disusun secara mendalam dengan bahasa-bahasa yang simbolik-
filosofis. Sehingga tidak heran apabila mayoritas sufi yang mempunyai paham
tasawuf ini mengalami sikap ekstasi (kemabukan spiritual) dan mengeluarkan
statement yang terkesan tidak awam (syathahat)10. Dari bahasan diatas dapat
dilihat karakteristik tasawuf falsafi adalah sebagai berikut :

a. Konsep pemahaman tasawuf falsafi adalah gabungan pemikiran


rasional-filosofis dengan perasaan (dhauq). Kendatipun demikian tasawuf
jenis ini sering mendasarkan pemikirannya dengan dalil naqliyah,
namun diungkapkan dengan kata-kata yang samar sehingga sulit
dipahami oleh orang lain. Kalaupun bisa diinterpretasikan orang lain,
cenderung kurang tepat dan sering bersifat subyektif,
b. Terdapat latihan-latihan rohaniah (riyadhoh) sebagai peningkata moral
untuk mencapai kebahagiaan,

10
Abrar M Dawud Faza, Tasawuf falsafi, Vol.1 No.1 tahun 2019

7
c. Tasawuf falsafi memandang illuminasi sebagai metode untuk
mengetahui hakekat sesuatu, yang menurut penganutnya dapat dicapai
dengan fana’.
d. Menyamarkan ungkapan-ungkapan dengan berbagai simbol dan
terminologi11.

Karakteristik tersebut menunjukkan bahwa tasawuf falsafi memang benar –


benar berbeda dari tasawuf lain seperti tasawuf sunni atau salafi dalam
pengkajiannya terhadap ilmu ketuhanan dan metode pencapaiannya.

D. Tokoh dan Ajaran Tasawuf Falsafi


Dalam mempelajari tasawuf falsafi ini pun ada teori yang dikemukakan
oleh para tokoh-tokoh, juga termasuk ajaran-ajarannya, diantaranya adalah :

Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-


samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja
yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang
sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) tetapi,
tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni
karena, ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.

Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan


tasawuf Sunni. Dalam hal ini Ibnu Kladun, sebagaimana yang dikutip oleh At-
Taftazani, dalam karyanya Al-Muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat
objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, yaitu:

a. Ciri Umum Tasawuf Falsafi antara lain:


1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul
darinya. Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan (maqam) maupun
keadaan (hal) rohaniah serta rasa (dzauq), para sufi filosof cenderung
sependapat dengan para sufi Sunni. Sebab, masalah tersebut menurut

11
Ibid, hlm 66

8
Ibnu Khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapa
pun.
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat
rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas
segala yang wujud, yang gaib yang tampak, dan susunan komos,
terutama tentang Penciptanya dan penciptaannya. Mengenai iluminasi
ini para sufi melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan
syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan dzikir.
3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh
terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-
samar, yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengikarinya, menyetujuinya ataupun menginterpretasikannya dengan
interpretasi yang berbeda-beda.

b. Ciri-ciri khusus dari Tasawuf Falsafi antara lain :


1. Mengkonsepsikan ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara
rasional dan perasaan.
2. Mendasarkan pada latihan-latihan ruhaniah (riyadah)
3. Iluminasi atau bayangan sebagai metode untuk mengatahui berbagai
hakekat, yang menurut penganutnya bisa dicapai dengan fana’
4. Selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakekat realitas-
realitas dengan berbagai simbol atau terminologi filsafat, dan cenderung
mendalam ke dalam panteisme (teori yang berpendapat bahwa segala
sesuatu merupakan perwujudan Tuhan).
5. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul
darinya. Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan (maqam) maupun
keadaan (hal) rohaniah serta rasa (dzauq), para sufi filosof cenderung
sependapat dengan para sufi Sunni. Sebab, masalah tersebut menurut
Ibnu Khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapa
pun.

9
6. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat
rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas
segala yang wujud, yang gaib yang tampak, dan susunan komos,
terutama tentang Penciptanya dan penciptaannya. Mengenai iluminasi
ini para sufi melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan
syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan dzikir.
7. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh
terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
8. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-
samar, yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengikarinya, menyetujuinya ataupun menginterpretasikannya dengan
interpretasi yang berbeda-beda.

c. Tokoh dan Ajaran-Ajaran Tasawuf Falsafi

A. Ibn Arabi (560-638 H)


1. Biografi Singkat Ibn ‘Arabi

Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin


Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami. Beliau lahir di Murcia,
Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H dari keluarga berpangkat,
hartawan, dan ilmuwan. Tahun 620 H, beliau tinggal di Hijaz dan
meninggal dunia di sana pada tahun 638 H. Di Sevilla (Spanyol), beliau
mempelajari Al-Quran, hadis serta fiqih pada sejumlah murid seorang
faqih Andalusia terkenal, yaitu Ibn Hazm Az-Zhahiri

2. Ajaran-Ajaran Tasawuf Ibn ‘Arabi

a. Wahdat Al-Wujud

Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua


kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal
atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian
wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata al-wahdah digunakan

10
oleh para ahli filsafat sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi
dan roh, hakikat dan bentuk, antara yang nampak dan yang batin,
antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan
berasal dari Tuhan. Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah
yang digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan
Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.

Wahdat al-wujud menurut Ibn Taimiyah, adalah penyamaan


Tuhan dengan alam. Menurutnya orang-orang yang mempunyai
pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu
sesungguhnya hanya satu dan mengatakan bahwa wujud alam sama
dengan wujud Tuhan tidak ada perbedaan.

Sedangkan, menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari


semua wujud yang ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat
dari wujud khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi
hakikat. Menurutnya wujud alam pada hakikatnya adalah wujud
Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara
wujud yang qadim (khaliq) dengan wujud yang baru (makhluk). Hal
itu tersimpul dalam ucapan Ibn ‘Arabi berikut ini: “Maha Suci
Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah
hakikat segala sesuatu itu”.

Apabila dilihat dari kesamaan antara wujud Tuhan dan


wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam. Menurut
Ibn Arabi wujud yang mutlak adalah wujud Tuhan dan tidak ada
wujud selain Wujud-Nya. Berarti, apapun selain Tuhan, baik berupa
alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud.
Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh
khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan. Semua
yang berwujud selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud
seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya

11
yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya
mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu
wujud Tuhan. Alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan
wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya. Oleh
karena itu alam merupakan tempat tajalli (penampakaan Tuhan).

b. Haqiqah Muhammadiyyah

Menurut Ibn ‘Arabi, Tuhan adalah Pencipta alam semesta.


Adapun proses penciptaanya adalah sebagai berikut:

1. Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabith.


2. Tanazul dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat)
realitas realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah
berfikir.
4. Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi,
yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
5. Alam materi, yaitu alam indrawi.

Selain itu, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini


tidak dipisahkan dari ajaran Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur
Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses
penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat
dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang


mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apa pun. Kedua, wujud
haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama
dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan
proses tahapan-tahapan sebagaimana yang dikemukakan di atas

c. Wahdatul Adyan (kesamaan agama)

12
Ibn ‘Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu,
yaitu hakikat Muhammadiyyah. Konsekuensinya, semua agama
adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-
benar arif adalah orang yang menyambah Allah dalam setiap bidang
kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang
benar hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai
bagian dari luang lingkup realitas dzat Tuhan yang Tunggal.

Sebagai kesimpulan, Hamka mengatakan:

“Jadi Ibn Arabi telah menegakan faham serba Esa dan


menolak faham serba dua. Segala sesuatu adalah atau hanyalah satu.
Tetapi dia merupa dalam bentuk yang berbagi-bagi atau berubah-
ubah. Berhampir dengan faham Phitagoras dalam dunia Filsafat, yang
mengatakan “Jiwa segala bilangan adalah satu.”

Pandangan-pandangan Ibn Arabi di atas terutama wahdat al-


wujud telah menimbulkan kontroversi. Berbagai analisis dikemukakan
oleh para ulama-ulama Islam tentang konsep wahdat al-wujud Ibn
Arabi ini. Ibn Taimiyah misalnya berpandangan bahwa wahdat al-
wujud adalah penyamaan (tasyabbuh) antara Tuhan dan alam.
Sedangkan Allah seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran berbeda
dengan segala sesuatu.

B. Al-JILI (1365-1417 M)
1. Biografi Al-Jili

Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia


lahir pada tahun 1365, di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah
selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. ia adalah seorang sufi
yang terkenal dari Baghdad. Sebuah sumber mengatakan bahwa ia
pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M, kemudian belajar
tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Jailani, seorang pendiri dan

13
pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu,
berguru pula pada Syekh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di
Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.

2. Ajaran Tasawuf Al-Jili

a. Insan Kamil

Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu Insan dan Kamil.
Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti sempurna. Jadi,
insan kamil berarti manusia yang sempuran.

Menurut Al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan,


seperti disebutkan dalam hadist yang artinya “Allah menciptakan Adam
dalam bentuk yang Maharahman”.

Sebagaiman diketahui, Tuhan mempunyai sifat hidup, pandai,


mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia Adam pun
mempunyai sifat seperti itu dan dapat dipahami bahwa Adam dilihat
dari sisi penciptaanya merupakan salah seorang insan kamil dengan
segala kesempurnaanya. Sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama
ilahiyah. Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah
itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian
inheren dengan esensinya. Sebab sifat-sifat dan nama-nama tersebut
tidak memiliki tempat berwujud, tetapi pada insan kamil.

Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan


cermin. Seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin
itu. Demikian pula halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat
dirinya kecuali demngan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak
dapat meliht dirinya, kecuali melalui cermin insan kamil. Dan
dijelaskan dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 33 :

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada


langit, bumi dan gunung-gunung, maka semunya enggan untuk

14
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhya manusia itu amat
dzalim dan amat bodoh.”

Ketidak sempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang


bersifat ‘ardhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al
kamal dalam konsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh manusia secara
profesional (bi al-quwwah) dan mungkin secara aktual (bi al-fi’il)
seperti yang terdapat dalam wali-wali, dan nabi-nabi meskipun dalam
intensitas yang berbeda.

Ciri-ciri Insan Kamil, yaitu:

 Berfungsi Akalnya Secara Optimal

Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan


perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat
mendekati tingkat insan kamil.

 Berfungsi Intuisinya

Intuisi ini dalam pandangan Ibnu Sina disebut jiwa manusia


(rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia
adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat
dan mendekati kesempurnaan.

 Menghiasi Diri dengan Sifat-Sifat Ketuhanan

Pada uraian tentang arti insan di atas telah disebutkan bahwa


manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah).
Ia cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan
mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil
Tuhan di muka bumi.

 Berakhlak Mulia

15
Sejalan dengan ciri keempat di atas, insan kamil juga adalah
manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali
Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki
tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan.

 Berjiwa Seimbang

Perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara


pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual. Ini berarti perlunya
ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat
Islam, terutama ibadah, zikir, tafakur, muhasabbah, dst.

Uraian diatas diyakini belum menjelaskan ciri-ciri insan kamil


secara keseluruhan. Tetapi ciri-ciri itu saja jika diamalkan secara
konsisten dipastikan akan mewujudkan insan kamil. Seluruh ciri
tersebut menunjukan bahwa insan kamil lebih menunjukan kepada
manusia yang segenap potensi intlektual, intuisi, rohani, hati sanubari,
ketuhanan, fitrah dan kejiwaannya berfungsi dengan baik.

Jadi yang dimaksud dengan insan kamil oleh Al-Jilli adalah


manusia dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya terdapat
sifat-sifat dan nama-nama illahi. Hal ini sama dengan Al-Arabi yang
ajarannya lebih mengedepankan akal.

b. Maqamat (Al-Martabah)

Al-Jilli sebagai seorang sufi dengan membawa ajaran insan


kamil, maka ia juga merumuskan maqam/tingkatan yang harus
dijalani oleh serang sufi pula, diantaranya:

1. Islam, yamg didasarkan pada lima pokok atau rukun, dalam


pemahaman kaum sufi, tidak hanya melakukan kelima pokok
itu secara ritual, tetapi juga harus dipahami dan
direalisasikannya.

16
2. Iman, yakni membenarkan dalam hati denagan keyakinan yang
sebenar-benarnya. Iman merupakan tangga pertama untuk
mengungkap tabir alam ghaib, dan alat yang membantu
seseorang untuk mencapai maqam yang lebih tinggi.
3. ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai
tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah, sehingga hal
ini untuk mencapai maqam tertinggi dihadapan Allah dengan
menjalankan syari’at-syari’atnya dengan baik.
4. Ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang
sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek nama dan sifat
Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan
berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada
maqam ini adalah sikap istiqomah dalam tobat, inabah, zuhud,
tawakal, tafwidh, ridha ataupun ikhlas.
5. Syahadah, yakni seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai
iradah dengan ciri-ciri: mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih,
mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-
hal yang bersifat pribadi.
6. shiddiqiyah, yakni seorang sufi dalm tingkatan derajat shiddiq
akan menyaksikan hal-hal yang ghaib sehingga dapat
mengetahui hakikat dirinya.
7. qurbah, yakni maqam ini meupakan maqam yang
memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat
dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya manusia


mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, akan tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa manusia itu tidak bisa menyamai sifat dan
nama-nama Tuhan.

C. IBN SAB’IN (614-669 H)


1. Biografi Ibn Sab’in

17
Nama lengkap Ibn Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim
Muhammad ibn Nashr, seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Ia di
panggil Ibn Sabi’in dan digelari Quthbuddin dan dikenal pula dengan
panggilan Abu Muhammad. Dia berasal dari keturunan Arab dan
dilahirkan tahun 614 H (1217/1218 M) di kawasan Murcia dan lahir dari
keluarga terhormat. Dia mempelajari bahasa arab dan sastra, dia juga
mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika dan
filsafat. Dia mengemukakan bahwa guru-gurunya itu adalah Ibn Dihaq,
yang dikenal dengan Ibn Mir’ah (wafat 611 H).

2. Ajaran Tasawuf Ibn Sab’in

a. Kesatuan Mutlak

Ibn Sabi’in adalah pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf


filosofis yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan
esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata.
Wujud yang lainnya hanyalah wujud Yang Satu itu sendiri. Paham ini
lebih dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau
kesatuan murni, atau menguasai, menurut terminologi Ibn Sabi’in,
hampir tidak mugkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri.

Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat


pertama. Sebab wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang ada
pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Pemikiran-pemikiran Ibn
Sabi’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an yang diinterpretasikan secara
filosofis maupun khusus. Misalnya dalam surat Al-Hadid ayat 3

“Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin..” Dan
diperkuat dengan hadist qudsi yang artinya: ”Apa yang pertama-tama
diciptakan adalah akal budi, maka firman Allah kepadanya maka
Terimalah! Ia pun menerimanya.

18
Pendapat Ibn sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut merupakan
dasar paham, khusunya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun
pengakraban Allah SWT. Paham ini sama dengan paham hakikat
Muhammad SAW. Pencapai kesatuan mutlak menurut Ibn Sabi’in
adalah individu yang paling sempurna, sempurna yang dimilki seoran
faqih, teolog, filsuf ataupun sufi.

b. Penolakan terhadap Logika Aristotelian

Paham kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika


Aristotelian. Terbukti dalam karyanya Budd Al-A’rif, ia menyusun suatu
logika baru yang bercorak iluminatif sebagai pengganti logika yang
berdasaarkan pada konsepsi jamak. Ibn sabi’in menamakan logika
barunya itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk
kategori logika yang bisa dicapai dengan panalaran, tetapi termasuk
tembusan illahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah
dilihatnya maupun yang pernah didengarnya.

Kesimpulan penting Ibn Sabi’in dengan logikanya tersebut adalah


bahwa realitasa-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah yang
memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka. Ibn Sab’in
mengembankan pahamnyan tentang kesatuan mutlak, ke berbagai bidang
bahasan filosofis. Misalnya, menurutnya jiwa dan akal-budi tidak
mempunyai wujudnya sendiri, tetapi wujud keduanya berasal dari yang
satu , dan yang satu tersebut tidak terbilang.

Di samping itu, Ibn Sab’in berpendapat bahwa para pencapai


kesatuan mutlak adalah kebahagiaan itu sendiri, kebajikan itu senidri, dan
kedermawanan itu sendiri. Yang menarik dari pendapat Ibn Sa’bin ialah
bahwa latihan-latihan rohaniah, yang bisa mengantar pada moral luhur,
tunduk di bawah konsepsinya tentang wujud. Misalnya saja dzikir
seorang pencapai kesatuan mutlak adalah ungkapan “tidak ada yang
wujud selain Allah” sebagai ganti “tidak ada Tuhan selain Allah”. Si

19
pendzikir dalam dzikir ini sendiri adalah yang dzikir. Sementara
tingkatan dan keadaan, yang merupaka buah dari dzikir, tidak keluar dari
ruang lingkup kesatuan mutlak tersebut.

KESIMPULAN

Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang


mengenal Tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga
menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Bukan hanya mengenal tuhan saja

20
(makrifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud
(kesatuan wujud). Tasawuf falsafi berkonsep kepada pemikiran-pemikiran
filsafat namun masih tetap menggunakan rasa (dhauq) sehingga pemikiran
yang diungkapkan lebih cenderung samar dan susah dimengerti bagi orang
awam.

Awal munculnya Tasawuf falsafi terlihat pada abad ke-3 Hijriyah,


dimana pada masa itu merupakan masa perkembangan ilmu-ilmu tasawuf,
banyak muncul para tokoh-tokoh sufi dengan ajaran-ajaran mereka
masing-masing. Kemudian pada abad ke-5 muncul pertentangan kelompok
tasawuf dan ulama fiqih sehingga menyebabkan tasawuf falsafi hilang atau
tenggelam. Kemudian bangkit kembali pada abad ke 6 dan semakin
berkembang sampai abad ke 7 dengan tokoh-tokoh baru dan ajarannya.

Tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang paling beda dengan


tasawuf lainnya, selain pendekatannya yang menggunakan rasio filsafat
tasawuf falsafi juga mempunya karakter atau ciri umum tersendiri yakni ;
riyadhoh, dilakukan dengan latihan-latihan, Iluminasi atau hakikat yang
tersingkap dari alam gaib dan Penciptaan ungkapan-ungkapan yang
pengertiannya sepintas samar-samar.

DAFTAR PUSTAKA

Miswar, PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN TASAWWUF


FALSAFI, Vol. II NO. 1 tahun 2019
Aly Mashar, Tasawuf : SEJARAH, MADZHAB DAN INTI
AJARANNYA, Vol. XII, No. 1, tahun 2015

21
Haidar Putra Daulay, PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF
FILSAFAT, kencana tahun 2014
Muis Sad Imam, Peran Tasawuf Falsafi Dalam metodologi Pendidikan
Islam, Vol.6 No.2 thn 2015
Abrar M Dawud Faza, TASAWUF FALSAFI, Vol.1 No.1 tahun 2019

22

Anda mungkin juga menyukai