Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FILSAFAT UMUM

TEORI – TEORI TENTANG NILAI

DISUSUN OLEH :
SITI NUR FITRY

INSTITUT EDI HARYONO MADANI RIAU


2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Teori – Teori Tentang Nilai”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membimbing
dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
.

Duri, Desember 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................1

B. Rumusan Masalah..........................................................................................1

C. Tujuan Penulisan ...........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................2

A. Pengertian Aksiologi........................................................................................2

B. Konsep Tentang Nilai.......................................................................................3

C. Karakteristik dan Tingkatan Nilai....................................................................6

D. Jenis Nilai.........................................................................................................7

E. Hakikat dan Makna Nilai..................................................................................8

BAB III PENUTUP..................................................................................................9

KESIMPULAN..........................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia dikenal sebagai makhluk berfikir. Dan hal inilah yang menjadikan
manusia istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya
nalar manusia yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan
berfilsafatnya. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang
baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus manusia
diberikan berbagai pilihan.
Perilaku manusia sangat berhubungan dengan nilai. Semua yang dikerjakan
manusia dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai. Salah satu kajian di dalam filsafat
adalah aksiologi. Pada pembahasan aksiologi ini, maka manusia akan berfikir “apakah
yang saya lakukan ini pantas atau tidak?” atau muncul pertanyaan “apakah benda itu
bernilai karena kita menilainya, ataukah kita menilainya karena benda itu bernilai?”.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas lebih jauh mengenai
dimensi aksiologi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah:
2. Apa pengertian aksiologi?
3. Bagaimana konsep nilai, karakteristik dan tingkatan nilai?
4. Bagaimana jenis, hakikat, dan makna nilai?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian aksiologi.
2. Untuk memahami konsep nilai, karakteristik dan tingkatan nilai.
3. Untuk mengetahui jenis, hakikat, dan makna nilai.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Aksiologi
Kata aksiologi berasal dari bahasa Inggris “axiology”; dari kata Yunani “axios”
yang artinya layak; pantas; nilai, dan “logos” artinya ilmu; studi mengenai. Aksiologi
dipahami sebagai teori nilai. Dari pengertian menurut bahasa tersebut, ada beberapa
pengertian secara istilah, yaitu:
1. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi
arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.
2. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu
studi yang menyangkut segala yang bernilai.
3. Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai
hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga macam cara, yaitu:
a. Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini,
nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai
pelaku. Pengikut teori idealisme subjektif (positivisme logis, emotivisme,
analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomena
kasadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan
psikologis, sikap subjektif manusia kepada objek yang dinilainya.
b. Nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat dalam ruang waktu.
Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
c. Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.

Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada
pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial, dan agama. Sistem mempunyai
rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian
terhadap satu institusi dapat terwujud.
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi, cabang filsafat yang
mempelajarinya muncul pertama kali pada paroh kedua abad ke-19. Aksiologi ialah
ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut
pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang
bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika
dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan
dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Menurut Richard Bender, suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang
memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan
kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyumbangkan pada pemuasan yang
demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah
pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.
Lorens Bagus (2002) dalam bukunya Kamus Filsafat menjelaskan tentang nilai
yaitu sebagai berikut:
1. Nilai dalam bahasa Inggris value, bahasa Latin valere (berguna,mampu akan,
berdaya, berlaku, kuat). 

2
2. Nilai ditinjau dari segi Harkat adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu
dapat disukai,diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan. 
3. Nilai ditinjau dari segi Keistimewaan adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi atau
dihargai sebagai sesuatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak
bernilai” atau “nilai negatif”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek,
buruk) akan menjadi suatu “nilai negatif” atau “tidak bernilai”. 
4. Nilai ditinjau dari sudut Ilmu Ekonomi yang bergelut dengan kegunaan dan nilai
tukar benda-benda material, pertama kali menggunakan kata “nilai”.

Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004:318), mengatakan bahwa nilai itu


sangat erat kaitannya dengan kebaikan atau dengan kata baik, walaupun fakta baiknya,
bisa berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral
(morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai
dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori
nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and
bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends).
Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia
bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka
memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata
atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should).
Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-
konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.

B. Konsep Tentang Nilai


Konsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta. Kita
memang hanya mengetahui fakta, tetapi mesti mencari nilai. Karena apapun, sikap
apapun, ideal mana saja, maksud apa saja, maksud manapun, atau tujuan mana saja
pasti mempunyai nilai, maka nilai mesti merupakan objek preferensi atau penilaian
kepentingan. Dalam sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong
dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber nilai.
Meinong memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau
kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu objek. Ehrenfels (juga Spinoza)
melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Suatu objek menyatu
dengan nilai melalui keinginan aktual atau yang memungkinkan, artinya suatu objek
memiliki nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik
objek itu sendiri-obyektivisme aksiologis.

1. Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hari


Diskusi pada umumnya menunjukkan sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua
orang tidak sependapat mengenai makanan atau minuman yang menyenangkan
atau tidak, dan mereka gagal untuk saling meyakinkan, diskusi pada umumnya
berakhir dengan pernyataan dari salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia

3
menyenangi atau tidak menyenangi hal itu, dan tidak seorang pun yang dapat
meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat persoalan dalam sebuah diskusi di
antara dua orang terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang sering
diucapakan: “selera tidak dapat diperdebatkan” (de gustibus non disputandum).
Orang yang mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan
satu ciri khas nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat menggelitik bagi aksiologi kontemporer.
Sebenarnya, hal itu lahir bersama aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai dapat
ditulis, dengan memandang persoalan ini sebagai sumber dan dengan
mensketsakan berbagai penyelesaian yang telah dikemukakan dalam rangka
menyelesaikannya. Meskipun maknanya mungkin berbeda, persoalan tersebut telah
muncul pada Plato; shakespeare yang menempatkannya dalam Troilus and Cresida
(II,2) dan Spinoza memilih salah satu alternatif di dalam Etika-nya (III, prop.IX).

2. Nilai itu Objektif atau Subjektif


Inti persoalan tersebut dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah
objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau apakah kita
mendambakannya karena objek tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat,
kenikmatan atau perhatian yang memberikan nilai kepada suatu objek, ataukah
sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena kenyataan bahwa objek tersebut
memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis
kita? Atau, jika orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan
tradisional: apakah nilai itu objektif atau subjektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti itu, sebelumnya diperlukan penjelasan
istilah untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam disputatio de
nominem. Nilai itu “objektif” jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran
yang menilai; sebaliknya nilai itu“subjektif”  jika eksistensinya, maknanya, dan
validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
a) Obyektivisme atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur atau berada dalam
objek atau berada pada realitas obyektif (kata Alexander); atau ia dianggap
berasal dari suatu objek melalui ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan
sebuah nilai memiliki makna, yakni benar atau salah, meskipun nilai itu tidak
dapat diverifikasi, yakni tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah tertentu.
Nilai berada dalam suatu objek seperti halnya warna atau suhu. Nilai terletak
dalam realitas. Bahwa nilai-nilai – seperti kebaikan, kebenaran, keindahan  -
ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-
kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa nilai-nilai adalah objektif, dalam arti bahwa
nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten
sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Pendukung obyektivisme aksiologis
mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban,
Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander, dan lain-lain.

4
b) Subyektivisme Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan pandangan ini mereduksi penentuan nilai-
nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan ke dalam statmen yang
berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu objek atau situasi. Penentuan
nilai sejalan dengan pernyataan setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas
hanya sebagai suatu keadaan pikiran terhadap suatu objek.
Subyektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori etika yang
disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai
kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat
direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan
pengalaman manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas yang
independen (relativisme aksiologis). Yang termasuk pendukung
subyektivisme aksiologis adalah Hume, Perry, Prall, Parker, Santayana,
Sartre, dan lain-lain. Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai
yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku
serta abasah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa
memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan
bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.

3. Relasionisme Aksiologis
Nilai tidak bersifat privat (subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun tidak
bersifat obyektif dalam arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur
relasionisme aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-
lain.

4.  Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)


Teori-teori yang didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan
nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk. Yang semuanya tidak
faktual. Ilmu tentang nilai – aksiologi – adalah mustahil. Ajaran G. E. Moore tentang
kebahagiaan yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual
diletakkan pada suatu tindakan atau suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan tidak
dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan antara makna faktual dan makna emotif. Catatan
sejarah menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme:
bahwa nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski
memiliki makna secara faktual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai
keadaan suatu subyek, obyek ataupun sebagai hubungan. Pendukung emotivisme
antara lain: Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick, Carnap, dan lain-lain.

5.  Nilai dan Kebaikan


Sebelum masa Rudolf H. Lotze (1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang
saja membicarakan tentang nilai. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat
selalu bergelut dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum et
bonitas). Filsafat nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze

5
membuat pembedaan tajam antara nilai dan kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini
dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia
nyata dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori “idealisme
nilai”. Lawan idealisme nilai adalah realisme nilai atau lebih baik, metafisika nilai,
yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada (al-mawjud).

6.  Nilai dan Persepsi


Ciri khusus dari persepsi-nilai kita tergantung pada sifat hakiki nilai itu
sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat dimasuki
oleh akal manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Karena nilai itu menampakkan
dirinya hanya kepada perasaan emosional, akibatnya terdapat sejenis irasionalisme-
nilai. Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai yang mereduksikan ciri
khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua ekstrim ini terdapat hal seperti
persepsi intelektual terhadap nilai. Karena persepsi-nilai intelektual selalu
dikondisikan oleh emosi dan hasrat.

C. Karakteristik dan Tingkatan Nilai


Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu :
1. Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai;
sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat psikis atau fisik.
2. Nilai absolut atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah
berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku sepanjang masa, serta akan berlaku
bagi siapa pun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Di pihak lain ada
yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan atau harapan
manusia.

Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan atau hierarki nilai :
1. Kaum Idealis
2. Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual
lebih tinggi dari pada nilai non spiritual (nilai material).
3. Kaum Realis
4. Mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab
membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan
berfikir logis.
5. Kaum Pragmatis
6. Menurut mereka, suatu aktivitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila
memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka
sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.

6
D. Jenis Nilai
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi 2, yaitu:
a. Etika dan Pendidikan
 Etika
Etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan.
Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan
dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Etika
merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu
kesusilaan yang memuat dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral
pelaksanaannya dalam kehidupan. Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang
membicarakan perbuatan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan
tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia.
 Filsafat Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan
Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral
tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran,
sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan
kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sangat sulit membayangkan
perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika agama. Untuk
itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan
sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-
moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif
yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru,
pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam
diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan
dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya
kondisi mental-moral dan spiritual religius menjadi target arah pengembangan
sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan pada pendekatan etik
moral pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan
kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan
Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai
dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-
masing.

b. Estetika dan Pendidikan


 Estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan
pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil
ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai
rekayasa, pola, bentuk dsb.
   Filsafat Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan
Adapun yang mendasari hubungan antara filsafat pendidikan Islam dan estetika
pendidikan adalah lebih menitik beratkan kepada “predikat” keindahan yang

7
diberikan pada hasil seni. Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan
oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat
seni:
1.      Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman.
2.      Seni sebagai alat kesenangan.
3.      Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi
patokan penting dalam proses pengembangan pendidikan yakni dengan
menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan
Islam dilihat dari perspektif yang mengikutsertakan kepentingan masing-masing
pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini
berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu
kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).

E. Hakikat dan Makna Nilai


Hakikat dan makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat
kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan
berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada dibalik fakta, memunculkan
tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis, dan
berkembang kearah yang lebih kompleks.
Mengenai makna nilai Kattsoff mengatakan, bahwa nilai mempunyai beberapa macam
makna. Sejalan dengan itu, maka makna nilai juga bermacam-macam. Rumusan yang
bisa penulis kemukakan tentang makna nilai itu adalah bahwa sesuatu itu harus
mengandung nilai (berguna), merupakan nilai (baik, benar, atau indah), mempunyai
nilai artinya merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan
orang mengambil sikap “menyetujui” atau mempunyai sifat nilai tertentu, dan memberi
nilai, artinya menanggapi seseuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang
menggambarkan nilai tertentu.

8
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Filsafat nilai atau aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang
nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai secara filosofis, mendasar,
menyeluruh, sistematis, sampai pada hakikat nilai itu sendiri untuk mendapatkan kebenaran
sesuai dengan kenyataan. Aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan
konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Selain itu, aksiologi berhubungan dengan etika dan estetika, baik nilai itu sesuatu yang
bersifat subjektif maupun objektif. Tujuan nilai adalah untuk mengetahui apakah sesuatu itu
baik atau buruk, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, dan sebagainya. Sehingga
dengan mengetahui nilai, maka akan tercapai apa yang menjadi tujuan manusia.

9
DAFTAR PUSTAKA

Bagus Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


O. Kattsoff, Louis. (2004). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Gazalba, Sidi. (2002). Sistematika Filsafat, Buku keempat, Pengantar Kepada Teori Nilai.
Jakarta : Bulan Bintang.
“Filsafat Nilai”. Melalui <https://sites.google.com/site/rosadteaconr/artikel/filsafat-nilai-
aksiologi> [28/09/15]

10

Anda mungkin juga menyukai