Anda di halaman 1dari 17

Konsep Desentralisasi Pendidikan

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Manajemen Berbasis Sekolah

Dosen Pengampu :
Dr. Arum Fatayan, M.Pd

Disusun Oleh :

Kelompok 4

1. Siti Agustia (1801025133)


2. Nadira Rifiyani Zahwa (1801025107)
3. Ade Fitriana (1801025354)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Manajemen Berbasis Sekolah dengan
judul “Konsep Desentralisasi Pendidikan”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan do’a, saran dan kritik sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu,
kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan yang membangun dari berbagai
pihak. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi dunia
pendidikan.

Jakarta, 06 November 2021

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. Pengertian Desentralisasi Pendidikan..........................................................................................3
B. Urgensi dan Tujuan Desentralisasi Pendidikan..........................................................................4
C. Implementasi Desentralisasi Pendidikan.....................................................................................9
D. Kritik Implementasi Desentralisasi Pendidikan di Indonesia..................................................11
BAB III.....................................................................................................................................................13
PENUTUP................................................................................................................................................13
A. Simpulan.......................................................................................................................................13
B. Saran.............................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan sistem pendidikan di Indonesia telah melalui perkembangan yang
panjang, hal ini seiring dengan kondisi bangsa Indonesia. Jauh sebelum Indonesia
mencapai kemerdekaan, sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia adalah sistem
pendidikan tradisional yang disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Pada awal kemerdekaan, para pendiri republik yang sebagian besar adalah para tokoh
pendidikan, memusatkan usahanya untuk membangun sistem pendidikan nasional
sebagai pengganti dari sistem pendidikan kolonial yang telah berlangsung lebih dari tiga
abad. Sistem pendidikan nasional mulai menampakan bentuknya sejak terbitnya Undang-
Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.

Sistem pendidikan nasional telah mengalami tiga kali perubahan dari Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1950, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954, dan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1989. Selama waktu tersebut, telah terjadi berbagai perubahan
dan perkembangan, baik dari aspek substansi maupun kekuasaan dan kewenangan
penyelenggaraannya.

Dari aspek substansi, telah terjadi perubahan dan perkembangan, antara lain
tentang tujuan pendidikan, kurikulum, metode mengajar, penilaian pendidikan terus
berlangsung dengan adanya perubahan rencana pelajaran 1964, kurikulum 1968,
kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, KTSP dan kini berlangsung
Kurikulum 2013. Perubahan pada aspek kekuasaan dan kewenangan penyelenggaraan
pendidikan, antara lain tampak pada perubahan sistem pendidikan nasional yang mulanya
sentralistik kini menjadi sistem pendidikan nasional yang mengalami desentralisasi.

Desentralisasi adalah merupakan penyerahan wewenang pemerintah oleh


pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai suatu sistem yang dipakai
dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi, dimana sebagian

1
kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan. Dalam
konteks pelaksanaan otonomi daerah ditegaskan bahwa sistem pendidikan nasional yang
bersifat sentralistis selama ini kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan
desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Sebab sistem pendidikan yang sentralisasi
diakui kurang bisa mengakomodasi keberagaman daerah, keberagaman sekolah, serta
keberagaman peserta didik, bahkan cenderung mematikan partisipasi masyarakat dalam
pengembangan pendidikan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian dari desentralisasi pendidikan?
2. Bagaimana urgensi dan tujuan desentralisasi pendidikan?
3. Bagaimana implementasi desentralisasi pendidikan?
4. Bagaimana kritik atas implementasi desentralisasi pendidikan di Indonesia?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka terdapat beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Untuk dapat mengetahui apa desentralisasi pendidikan
2. Untuk dapat mengetahui urgensi desentralisasi pendidikan
3. Untuk dapat mengetahui implementasi desentralisasi pendidikan
4. Untuk dapat mengetahui kritik atas implementasi desentralisasi pendidikan di
Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Desentralisasi Pendidikan


Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin de, artinya lepas
dan centrum, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat.
Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia(Rohil, 2016).
Pengertian desentralisasi pendidikan menurut (Hurst dalam Nugroho, 2000: 2),
“the decentralization process implies the transfer of certain function from small group of
policy makers to a small group of authorities at the local level” dengan kata lain
desentralisasi merupakan proses penyerahan fungsi-fungsi tertentu dari sekelompok kecil
pembuat kebijakan kepada satu kelompok kecil pemegang kekuasaan pada tataran lokal.
Definisi Hurst tersebut telah menggambarkan dengan jelas proses penyerahan fungsi-
fungsi pemerintahan yang kemudian diberikan kepada pemerintah daerah. Sedangkan
pengertian desentralisasi menurut (Chau dalam Nugroho, 2000: 2), desentralisasi pada
konsep pendelegasian kekuasaan kepada pemerintah daerah, dengan tujuan meningkatkan
efisiensi dalam penggunaan sumberdaya(Rohil, 2016).
Pengertian desentralisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengemukakan
bahwa sistem pemerintahan yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada
pemerintah daerah. Selanjutnya, pengertian desentralisasi menurut (Hoogerwert dalam
Hasbullah, 2010: 5), desentralisasi adalah sebagai pengakuan atau penyerahan wewenang
oleh badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan
pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan pemerintahan, serta
struktur wewenang yang terjadi dari hal itu.
Dari beberapa pernyataan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa
desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah
kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas
pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta

3
penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Atau dapat dikatakan desentralisasi
pendidikan diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan dan wewenang dalam mengatasi
permasalahan di bidang pendidikan, namun harus tetap mengacu pada
tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan nasional(Rohil,
2016).

B. Urgensi dan Tujuan Desentralisasi Pendidikan


Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bak Hak dan Kewajiban Warga Negara,
Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban
Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan; pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara
yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi,
pasal 24 ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri
lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan
pengabdian kepada masyarakat(Rohil, 2016).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan


mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan
serta manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus
memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan
pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan
masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya,
merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia
yang Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020.

Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis
faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi

4
daerah sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya
mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing
tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.

Pelaksanaan desentralisasi sistem pendidikan tentunya memerlukan kebijakan


untuk perubahan atau peningkatan mutu. Kebijakanlah yang secara langsung bersentuhan
dengan keperluan peningkatan mutu sekolah, karena di dalamnya berkenan dengan
proses pembudayaan. Dengan begitu eksistensi sekolah sangat strategis dalam kerangka
kelangusngan hidup dan kebudayaan manusia. Sekolah menjadi pranata sosial yang
berperan dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan untuk
menjadi pelaku dalam proses pembangunan bangsa. Untuk itu peranan pendidikan harus
ditingkatkan sejalan dengan semakin besarnya tantangan yang dihadapi oleh setiap
sekolah dalam era globalisasi abad ke-21. Bahkan dalam era otonomi daerah saat ini,
tantangan dalam bidang manajemen berbasis sekolah (MBS), kurikulum berbasis
kompetensi, pendidikan berbasis masyarakat, sertifikasi guru untuk memperdayakan
tenaga kependidikan, dan teknologi pembelajaran yang up to date, memerlukan kebijakan
pendidikan yang akurat dalam implementasikan desentralisasi pendidikan, dan kebijakan
pendidikan yang berkelanjutan.

Dengan demikian, plus minusnya desentralisasi pendidikan harus dicermarti,


sekaligus memerlukan sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur
pelaksanaan-nya. Karena dengan sejumlah kewenangan yang begitu besar dimiliki
pemerintah daerah tentu membawah perubahan struktur dalam pengelolaan pendidikan
sesuai dengan harapan stakeholder pendidikan didalamnya, jika sebelum diberlakukan
otonomi daerah stakeholder pendidikan sepenuhnya berada ditangan aparat pusat, maka
di era otonomi pendidikan sekarang ini, peranan sebagai stakeholder akan tersebar
kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Sejalan dengan arah kebijakan otonomi dan
desentralisasi pendidikan yang diwujudkan pemerintah, tanggung jawab pemerintah
daerah akan meningkat tahapan pembangunan pendidikan, sejak tahap perumusan
kebijakan daerah, perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan atau monitoring
kebijakan di daerah masing-masing yang sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional
yang digariskan pemerintah.

5
Umiarso (2010:27) mengemukakan otonomi atau desentralisasi pendidikan
mempunyai dua arti: Pertama menata kembali sistem pendidikan nasional yang
sentralistik menuju suatu sistem menuju yang memberikan kesempatan luas kepada
inisiatif masyarakat setempat, Kedua otonomi pendidikan bukan berarti melepaskan
segala ikatan untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan untuk
memperkuat dasar-dasar pendidikan pada tingkat grass root guna membentuk suatu
masyarakat Indonesia yang bersatu berdasarkan kebinekaan masyarakat. Jadi makna
otonomi pendidikan ialah pendidikan dikembalikan kepada stakeholder (masyarakat).

Konsep penyelenggaraan pendidikan yang bersifat desentralisasi dikenal dengan


Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) (School Based Management) yang merupakan
perubahan paradigma pengelolaan pendidikan yang awalnya bersifat sentralistis menuju
desentralistis. Artinya pengelolaan pendidikan yang semula berpusat pada pemerintah
pusat mulai dari yang bersifat mikro maupun makro beralih kepengelolaan pendidikan
pada pola manajemen sekolah di mana sekolah tersebut yang mengelolanya(Rohil, 2016).

Tujuan Desentralisasi Pendidikan Terdapat delapan tujuan utama desentralisasi


menurut (Hanson dalam Hadiyanto, 2004: 27), yaitu:

1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi (accelerated economic development),


2. Meningkatkan efesiensi manajemen (increased management efficiency),
3. Distribusi tanggung jawab dalam bidang keuangan (redistribution of financial
responsibility),
4. Meningkatkan demokratisasi mealalui distribusi kekuasaan (increased
democratization trough the distribution of power),
5. Control local menjadi lebih besar melalui deregulasi (greater local control trough
deregulation),
6. Pendidikan berbasis kebutuhan pasar (market-based education),
7. Menetralisasi pusat-pusat kekuasaan (neutralizing competing centers of power),
8. Meningkatkan kualitas pendidikan (improving the quality of education),

Menurut Hadiyanto (2004: 30), secara konseptual, terdapat dua jenis


desentralisasi pendidikan, yaitu:

6
1. Desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan
aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan
distrik)
2. Desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih
besar di tingkat sekolah Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama
berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan
dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan
pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan
motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Adapun tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi


berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara 6
Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah
pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah,
maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan
kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah.
Implisit ke dalam strategi desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk
mencapai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan
yang berasal yang pemerintah dan masyarakat)(Rohil, 2016).

Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah


peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar
mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi
proses belajar-mengajar. Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap
merupakan salah satu faktor yang paling menentukan. Desentralisasi pendidikan
merupakan peluang bagi peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dengan
kata lain, ia merupakan peluang bagi peningkatan mutu pendidikan di setiap daerah. Hal
ini karena perhatian terhadap peningkatan mutu guru, peningkatan mutu manajemen
kepala sekolah, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan
menjadi lebih baik jika dikelola oleh para pejabat pendidikan yang ada di daerah. Pada
akhirnya, tujuan desentralisasi pendidikan adalah pada pemerataan mutu pendidikan yang
meningkat ini.

7
Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan
yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah
satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk
profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara
regional maupun secara internasional.

Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan
sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan
dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem
birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam
proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh
kekuasaan birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan
semakin buruk dalam era reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru
sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang
“dikendalikan”. Merekalah 7 seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil
keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya
peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan
tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak
sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah.

Disamping itu pula, kekuasaan birokrasi juga yang menjadi faktor sebab dari
menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang
membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk
mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat
hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu.

Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang
berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik
masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional
pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang,
melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-
benar kurang mampu.

8
C. Implementasi Desentralisasi Pendidikan
Implementasi sisteln pendidikan nasional di Indonesia tidak bisa dilepaskatl dari
paradigma tata pemerintahan yang dikembangkan. Menurut Tlloha (1999: 1-7), dengan
adanya perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi
kewenangan, visi pendidikan pada masadepan harus berorientasi pada aspirasi dan
kebutuhan Inasyarakat. Terkait dengan otonomi daerah desentralisasi pendidikan harus
dapat menjawab situas, kebutuhan, dan nilai-nilai yang berkelnbang di daerah. Hal itu
sejalan dengan pendapat Satori (1999: 1-22) bahwa para perencana dan pengelola
pendidikan dipersyaratkall merniliki kernampuan untuk mengkaji rnasalah-masalah
pendidikan strategik dalarn konteks pernbangunan kewilayahan(Pendidikan, 2001).

Esensi desentralisasi pendidikan adalah penyerahan seluruh atau sebagian


wewenang pengelolaan layanan pendidikan dari pelnerintah pusat kepada pelnerintah
daerahlkota (Huda, 1999: 5 - 25, Thoha~ 1999: 1 - 7 ). Menurut Mahdiansah (1999: 30-
59) desentralisasi pengambilan keputusan dalam mengatasi persoalan pendidikan di
daerah harus rnengacu pada tujuan pendidikan nasional. Perspektif pembangunan
pendidikan dipengaruhi kebutuhan SDM dan kornitrnen pemerintah serta potensi
keuangan daerah kota yang dialokasikan untuk fasilitas dan layanan pendidikan yang
dibutuhkan masyarakat. Menurut Makmun (1999: 1-24) analisis kebutuhan pendidikan
mencakup perkiraan populasi angkatan kerja, kualifikasi dan entitas SDM, serta sarana,
prasarana dan fasilitas pendidikan yang diperlukan.

Tujuan dikeluarkannya kebijakan nasional tentang desentralisasi adalah dapat


dipersatukannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, rambu-
rambu dibuat oleh pusat berkait dengan kebutuhan daerah. Daerah diberi kewenangan
untuk mengaktualisasikan daerahnya masing-masing, tetapi kebijakan yang diambil oleh
setiap daerah tidak boleh bertentangan dengan rambu-rambu dari pusat. Kebijakan-
kebijakan yang diberikan daerah seharusnya meliputi penentuan kurikulum, kebutuhan
akan guru, model penerimaan siswa baru, penentuan nama sekolah dan sistem belajar
mengajar. Dengan demikian, dalam mengembangkan lembaga pendidikan pemberdayaan
diperlukan kesadaran kolektif masyarakat atas performance pengelola lembaga

9
pendidikan sehingga pengelola sekolah perlu melibatkan seluruh stake holder yang ada di
daerah(Pendidikan, 2001).

Perwujudan pemberdayaan daerah dalam kaitannya dengan implementasi


desentralisasi pendidikan antara lain sebagai berikut :

1. Setiap lembaga pendidikan diberi kewenangan penuh untuk menentukan taksonomi


keilmuan sehingga lembaga pendidikan akan memiliki kepercayaan diri baik secara
legalitas maupun secara keilmuan
2. Kurikulum selama ini baik SD, SLTP, SMK, SMU dan Perguruan Tinggi terasa
terlalu biasa pada kepentingan negara sehingga membatasi ruang dan gerak lembaga
pendidikan. Sehingga hal ini harus diperbaiki.
3. Substansi kurikulum yang digunakan kurang sesuai dengan perkembangan dinamika
kehidupan masyarakat sehingga dipandang kurang efektif untuk pemberdayaan siswa
4. Masih terdapat beberapa tenaga pengajar yang kurang kompeten dengan bidang
keilmuan yang diajarkan, khususnya di SMK, SMU atau bahkan perguruan tinggi
baik negeri atau swasta.
5. Di Indonesia pada umumnya, dan khususnya di SMK, SMU dan perguruan tinggi
belum memiliki system proses belajar mengajar yang cocok, sebagai contoh setiap
ganti menteri akan diikuti dengan pergantian kebijakan tentang pelaksanaan
pendidikan sehingga berbagai pihak yang terlibat di dalam proses belajar masih
tradisional.

Untuk mengatasi berbagai kendala perlu kiranya regulasi pemerintah yang terlalu
membatasi otonomi lembaga pendidikan di daerah diturunkan porsinya dan diarahkan
untuk mendukung kebijakan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar serta
peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Terkait dengan alokasi anggaran
pembangunan, propinsi mempunyai tugas dan wewenang untuk memperjuangkan
proporsi- anggaran pendidikan yang dapat diamankan dalam persaingan dengan sektor
lainnya serta menetapkan alokasi per jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan skala
prioritas nasional. Dalam otonomi, anggaran pendidikan yang dialokasikan dari APBD
hendaknya lebih operasional dan konsisten dengan laju pertumbuhan penduduk serta
kebutuhan pendidikan Inasyarakat. Rancangan-rancangan program pembangunan daerah

10
akan menentukan spesifikasi tenaga yang dibutuhkan untuk melaksanakan program dan
kegiatan pembangunan yang dikembangkan. Dalam pemikiran yang lebih pragmatis,
pendidikan merupakan salah satu penentu pertumbuhan ekonomi (Satori, 1999: 1-22).
Sebagai bagian dari proses pembangunan, pendidikan dinyatakan sebagai investasi
pengembangan SDM akan meningkatkan kemampuan dan kecakapan sesuai aspirasi
kebutuhan masyarakat dan pembangunan daerah(Pendidikan, 2001).

D. Kritik Implementasi Desentralisasi Pendidikan di Indonesia


Undang-Undang RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal- I
disebutkan bahwa “desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah
pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem
negara kesatuan RI”. (Undang-Undang RI dalam Arif Rahman, 2010: 130). Desentralisasi
dipilih karena sesuai dengan asas demokrasi. Desentralisasi pendidikan merupakan
perubahan paradigma yang awalnya adalah sentaralistik, dan ini adalah konsekuensi dari
ditetapkannya Undang-Undang tentang pemerintah otonomi daerah nomor 22 tahun 1999.
Pemerintah mengambil kebijakan ini dengan pertimbangan agar pemerintah daerah
sepenuhnya bertanggung jawab untuk mengelola pendidikan di daerahnya masing- masing.
Pada masa orde baru pendidikan sifatnya secara holistik sangat sentralis, diyakini atau tidak,
menejemen yang sentralis akan menyebabkan kebijakan seragam yang tidak mampu
mewadahi segala perbedaan, atau heterogenitas kepentingan setiap daerah, sekolah, dan
peserta didik. Hal ini kemudian akan mematikan partisipasi masyarakat dalam proses
pendidikan, serta mendorong terjadinya pemborosan dan kebocoran alokasi anggaran
pendidikan(Maisyanah, 2018).

Oleh karena itu, penguasa reformasi berupaya memformulasikan arah kebijakan


pembangunan pendidikan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1999- 1994), yaitu
sebagai berikut: Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh bagi seluruh rakyat Indonesia, menuju
terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, dengan peningkatan anggaran
pendidikan secara berarti(Maisyanah, 2018).
Reformulasi sistem pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dari konteks dan
dinamika suatu bangsa. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang diaksentuasikan sebagai
modal atau alat utama untuk memecahkan masalah-masalah nasional, yaitu masalahmasalah
yang terkait dengan upaya menjaga, mengembangkan dan mempertahankan keberadaan citra
bangsa di dunia dalam keseluruhan rentang fungsi ruang dan waktu. 28 29 Tiga kekuatan
besar, yakni globalisasi, demokratisasi, revolusi teknologi informasi dan komunikasi
menuntut perancang dan pengambil kebijakan pendidikan di tanah air untuk mencari dan
merumuskan kebijakan pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman dan dalam
waktu bersamaan mampu menjaga nilai-nilai luhur yang telah menjadi identitas
bangsa(Musanna et al., n.d.).

11
Kebijakan desentralisasi pendidikan harus mendorong pemberdayaan daerah dan
masyarakat. Pemberdayaan yang dalam Kamus Oxford dijelaskan berasal dari kata
empower, yang berarti “memberikan kewenangan, memberikan kemampuan untuk
melakukan sesuatu.Menyatakan bahwa pemberdayaan bermakna penghilangan batasan
birokratis yang mengkotak-kotakkan orang, dan membuat mereka menggunakan seefektif
mungkin keterampilan, pengalaman, energi dan ambisinya. Kebijakan yang ditetapkan
pemerintah dalam memberi kewenangan ke tingkat lebih rendah, misalnya dari
pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah seharusnya memberikan keleluasan dalam
merencanakan dan memilih bahan yang sesuai dengan kondisi daerah.
Terkait tujuan utama desentralisasi pendidikan untuk memberdayakan segenap
stakeholders pendidikan terdapat dua persyaratan yang harus mendapat perhatian, yakni
pendelegasian dan fasilitasi.35 Desentralisasi tanpa pendelegasian kewenangan tidak
masuk akal. Pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan
sebahagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power) kepada masyarakat, organisasi
dan individu agar menjadi lebih berdaya. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan
primer dari makna pemberdayaan. Prasyarat lainnya adalah fasilitasi, artinya pemerintah
pusat tidak sama sekali berlepas tangan memberi dukungan kepada daerah untuk dapat
melaksanakan desentralisasi secara bertanggungjawab. Kecenderungan yang banyak
terjadi adalah dengan keterbatasan yang dimiliki daerah, baik dalam pembiayaan dan
terutama dalam kapasitas sumber daya manusia yang melaksanakan kebijakan ini,
desentralisasi cenderung menimbulkan komplikasi dan menyebabkan terjadinya
inefesiensi dalam pengelolaan pendidikan. Komitmen pemerintah memotivasi, memberi
masukan dan kritik-kritik yang konstruktif terhadap pelaksanaan desentralisasi ini,
merupakan kecenderungan skunder yang perannya akan sangat menentukan berhasil atau
tidaknya desentralisasi pendidikan(Musanna et al., n.d.).

12
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa desentralisasi
pendidikan pada hakikatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu lulusan
lembaga pendidikan dan efesiensi pengelolaan pendidikan. Apabila sekolah dapat
dikelola dengan optimal oleh personalia yang profesional, pengambilan keputusan
dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu tentang kebutuhan dan potensi
sekolah, maka mutu pendidikan akan lebih maksimal sesuai yang diharapkan.
Pengelolaan pendidikan yang baik menghasilkan Indonesia yang baru, desentralisasi
pendidikan merupakan suatu keharusan jika kita ingin cepat mengejar ketertinggalan dari
bangsa lain. Melalui pendidikan yang demokratis akan melahirkan masyarakat yang kritis
dan bertanggung jawab. Masyarakat yang demokratis akan mampu menciptakan
masyarakat madani yaitu masyarakat yang berbudaya tinggi yang menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan yang mana sangat menghargai hak-hak asasi manusia.

B. Saran
Penulis menyarankan agar pembaca lebih memperbanyak lagi referensi-referensi
mengenai desentralisasi pendidikan selain makalah ini. Ini dikarenakan oleh keterbatasan
penulis dalam mencari referensi-referensi dalam penyusunan makalah ini.

13
DAFTAR PUSTAKA
Maisyanah, M. (2018). Analisis Dampak Desentralisasi Pendidikan Dan Relevansi School Based
Management. Quality, 6(2), 1. https://doi.org/10.21043/quality.v6i2.5773
Musanna, A., Stai, D., Putih, G., Bahri, S., Fakultas, D., Iain, T., & Aceh, B. (n.d.). Tinjauan Historis ,
Orientasi dan Reformulasi Desentralisasi Pendidikan.
Pendidikan, I. D. (2001). Implementasi Desentralisasi Pendidikan Terhadapotonomidaerah. Jurnal
Cakrawala Pendidikan, 3(3), 284–293. https://doi.org/10.21831/cp.v3i3.8767
Rohil, Z. (2016). Desentralisasi Pendidikan. JOIES: Journal of Islamic Education Studies, 1(1), 155–166.

14

Anda mungkin juga menyukai