MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Studi Keislaman”
Dosen Pengampu:
NIP. 19690331199403
SEPTEMBER 2019
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, taufik , hidayah
dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “HADIST DARI
SEGI KUANTITAS DAN KUALITAS PERAWI”. Dengan hadirnya makalah ini diharapkan
dapat memberikan informasi bagi para pembaca, khususnya mahasiswa program studi Tadris
Kimia (TKIM).
Sholawat dan salam tetap tercurahkan dan dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW.
Penulis menyadari tanpa bantuan dari semua pihak, penulisan makalah ini mungkin tidak
dapat terlaksana. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Maftukhin, M.Ag selaku rektor IAIN Tulungagung yang telah memberi kesempatan
untuk kami dapat menempuh pendidikan di IAIN Tulungagung.
2. Prof. Dr. H . Imam Fuadi, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Studi Keislaman yang telah
memberikan bimbingan dan mengarahkan kami sehingga kami mendapatkan pemahaman yang
benar mengenai mata kuliah ini.
3. Teman-teman se-angkatan Jurusan Tadris Kimia semuanya yang telah memberikan motivasinya.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah
ini, karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mohon kritik
dan sarannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
JUDUL ...........................................................................................................
PRAKATA..................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ............................................................................................... 15
B. Saran .......................................................................................................... 16
Pembagian hadits ada 2 yaitu Hadist dari segi Kuantitas dan Hadist dari segi Kualitas
.Pembagian hadits diperlukan dalam upaya untuk mengklasifikasikan hadits, dari sisi kuantitas
pembagian hadits bertujuan untuk mengetahui jumlah rawi pada tiap tingkatan sehingga muncul
klasifikasi hadits mutawattir dan hadits ahad. Sedangkan dari sisi kualitas bertujuan untuk
mengetahui keontetikan hadits dilihat dari shahih, hasan, dan dhaif.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Batasan Masalah
Agar penulisan makalah ini lebih terarah, dan permasalahan yang dihadapi tidak terlalu luas,
maka perlu dilakukan batasan masalah. Penulisan makalah ini hanya membahas “Pengertian dan
Macam-Macam pembagian Hadis yang ditinjau dari Segi Kuantitas dan Kualitas Perawi”
Mutawatir
Kuantitas
Ahaad
Hadis
Sahih
Kualitas Hasan
Daif
Hadis dari satu segi dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara kuantitas dan kualitas. Yang
dimaksud segi kuantitasnya adalah penggolongan hadis ditinjau dari banyaknya rawi yang
meriwayatkan hadis. Sedangkan hadis berdasarkan kualitasnya adalah penggolongan hadis dilihat
dari aspek diterima atau ditolaknya.
a. Hadis Mutawatir
Kata Mutawatir secara etimologi berarti Muttabi’ (ٌ ) ُمتَّبِعatau (ٌ ) ُمتَتَبِعyang artinya yang datang
beturut-turut dan tidak ada jarak. Sedangkan secara terminologi hadis mutawatir adalah
“Hadis mutawatir adalah hadis yang merupakan tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk
dusta.”
Menurut al-Bagdadi, hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok
orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil bersepakat untuk berdusta. Dan
sebelum al-Bagdadi Menurut imam Syafi’i, ia telah mengemukakan istilah hadis mutawatir dengan
istilah khabar al-‘ammah.
Ada ulama yang menerangkan hadis mutawatir dengan jelas dan terperinci yaitu Ibnu Hajar
al-Asqalani. Menurut al-Asqalani, hadis mutawatir yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang yang mustahil melakukan kesepakatan untuk berdusta. Mereka itulah yang meriwayatkan
hadis dari awal hingga akhir sanad.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan Para ulama tentang ketentuan batas minimal berapa
jumlah rawi pada hadis mutawatir. Menurut Abu gayyib adalah sekurang-kurangnya ada 4 orang
pada tiap habaqah (tingkatan) rawinya. Imam Syafi’i mengemukakan paling sedikit ( minimal ) 5
orang pada tiap habaqah. Ada juga ulama lain yang menentukan paling sedikit 20 orang pada tiap
habaqah. Ada juga pendapat yang keras dari sebagian ulama’ bahwa mereka menentukan hadis
mutawatir harus memenuhi syarat 40 rawi pada tiap-tiap habaqah (tingkatan).
Perbedaan pendapat di atas akan berpengaruh pada kedudukan suatu hadis. karena, pasti
setiap ahli hadis berbeda pula dalam melihat sebuah hadis, apakah mutawatir atau tidak.
Contohnya Ibnu Hibban dan al-Hazimi berpendapat bahwa hadis mutawatir mungkin jadi tidak
ada, jika hadis mutawatir syarat-syaratnya sangat ketat. Namun menurut Ibnu Shalah, hadis
mutawatir tetap ada namun jumlahnya tidak banyak.
mutawatir lafki
Mutawatir lafki yaitu hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak dan mencapai
syarat-syarat mutawatir dengan redaksi dan makna hadis yang sama antara riwayat satu dan
riwayat yang lain.
Menurut pendapat para ulama’ ahli hadis, bahwa tidak boleh ada keraguan sedikit pun dalam
memakai hadis mutawatir. Hadis mutawatir harus diyakini dan dipercayai dengan sepenuh hati.
Hal ini sama halnya dengan pengetahuan kita tentang adanya udara, angin, panas, dingin, air, api
dan jiwa, yang tanpa membutuhkan penelitian ulang kita sudah percaya akan keberadaannya. Jadi,
dengan kata lain nahwa hukum hadis mutawatir adalah bersifat qah’i (pasti).
1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa
mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal
perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-
kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5
orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan
banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir
sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar
dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan
hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil
yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
Menurut Abu Thayyib, minimal 4 orang, mengkiaskan saksi dalam persidangan. Kelompok
Asy-Syafi’i berpendapat, minimal 5 orang mengkiyaskan Nabi-nabi Ulul Azmi. Sebagian ulama
lain menentukan minimal 20 orang berdasar QS. Al-Anfal 65, yang menjelaskan tentang 20 orang
yang tahan uji sehingga dapat mengalahkan 200 orang kafir. Ada pula yang menentukan minimal
rawinya berjumlah 40 orang, berdasar QS. Al-Anfal 64, yaitu jumlah orang mukmin ketika itu.
Dengan demikian jika misalnya suatu hadits diriwayatkan oleh 10 sahabat, kemudian diterima oleh
5 orang tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh 2 orang tabi’it tabi’in, maka tidak termasuk
hadits mutawatir.
Artinya : “Barang siapa berbuat dusta terhadap diriku (yang mengatakan sesuatu yang tiada aku
katakan atau aku kerjakan), hendaklah ia menempati neraka”.
b. Hadis Ahad
Yang dimaksud Hadis ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, tiga orang atau
lebih namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Artinya, pada tiap-tiap habaqah (tingkatan),
jumlah rawi hadis ahad bisa hanya terdiri dari satu rawi, dua, atau tiga rawi saja dan tidak mencapai
derajat mutawatir.
Di kalangan para ulama’ ahli hadis terjadi perbedaan pendapat mengenai kedudukan hadis
ahad untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama’ ahli hadis berkeyakinan bahwa
hadis ahad tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk masalah akidah. Sebab, menurut mereka,
hadis ahad bukanlah qah’i af-fubut (pasti ketetapannya). Namun menurut para ahli hadis yang lain
dan mayoritas ulama, bahwa hadis ahad wajib diamalkan jika telah memenuhi syarat kesahihan
hadis yang telah disepakati.
Hadis ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis garib.
1) Hadis Masyhur
Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, namun belum mencapai derajat mutawatir.
Dari definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis masyhur adalah hadis yang
diriwayatkan dari Nabi saw. oleh beberapa orang sahabat namun tidak mencapai tingkat
mutawatir. bisa jadi, pada habaqah (tingkatan) tabiin atau setelahnya hadis itu diriwayatkan secara
mutawatir. Tetapi, ini tidak terjadi pada setiap habaqah. Dari segi tingkatannya, hadis masyhur
adalah termasuk paling tinggi, sebab rawi hadis Masyhur ini yang paling dekat untuk mencapai
derajat mutawatir. Hanya saja, ada pada salah satu tingkatan rawinya tidak mencapai derajat
mutawatir.
“Mandi Jum’at wajib atas setiap orang yang telah ihtilam (mimpi basah).”
Hadits ini dikeluarkan oleh tiga orang shabat diantaranya: Umar bin Khattab, Abdullah bin
Umar, dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhum.
2) Hadis Aziz
“Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang pada satu habaqah. Kemudian pada habaqah selanjutnya
banyak rawi yang meriwayatkannya.”
Dari definisi tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan hadis aziz yaitu hadis
yang pada salah satu atau setiap habaqah (tingkatan) rawinya hanya dijumpai dua rawi saja.
Suatu hadis yang dikatagorikan sebagai hadis aziz yaitu:
Pada tiap-tiap habaqah (tingkatan) hanya terdapat dua rawi saja.
Pada salah satu habaqah (tingkatan) hanya terdapat dua rawi, meskipun habaqah yang lainnya lebih
dari tiga rawi.
َأ َ َحد ُ ُك ْم يُؤْ ِمنُ ل، اس َو َولَ ِد ِه َوا ِل ِد ِه ِم ْن ِإلَ ْي ِه أَ َحبَّ أَ ُكونَ َحتَّى
ِ َّأَجْ َمعينَ َوالن
3) Hadis Garib
Secara etimologi kata garib dari garaba - yagribu yang artinya menyendiri, asing, atau terpisah.
Sedangkan secara terminologi hadis garib adalah:
سنَ ٌِد
َّ ٌمنَ ٌال َ َماٌا ْنفَ َردٌَبِ ِر َوايَتِ ِهٌش َْخصٌفِىٌأ َ ِىٌ َم ْو ِض ٍع
ِ ٌوقَ َعٌالتَّفَ ُّردٌُبِ ِه
“Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi, di manapun tempat sanad itu terjadi.”
Dari definisi tersebutٌdi atas, dapat katakan bahwa yang dimaksud dengan hadis garib yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh hanya seorang rawi saja, baik dalam seluruh tingkatan sanad atau
pada salah satu tingkatan sanadnya. Adapun yang dimaksud dengan sanad menyendiri pada suatu
hadis yaitu rawi yang meriwayatkan hadis secara sendirian tanpa ada rawi yang lain.
Hadis garib juga biasa disebut hadis fardun yang arinya sendirian. Ibnu Hajar menganggap
bahwa antara garib dan fardun adalah sinonim, baik secara bahasa maupun secara istilah. Akan
tetapi, kebanyakan para ahli hadis membedakan antara garib dan fardun, yakni istilah fardun
merujuk kepada garib mutlak, sedangkan istilah garib dipakai pada garib nisbi. Hal ini sesuai
dengan pengklasifisian hadis garib yang memang dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Hadis Garib Mutlak (fardun) adalah hadis yang ke-gariban-nya terletak pada asal sanad.
Maksudnya, hadis pada saat disampaikan oleh Rasul saw hanya diterima oleh satu orang sahabat
.
b) Hadis Garib Nisbi
Yang termasuk sebagai hadis garib nisbi yaitu apabila kegariban terjadi pada pertengahan
sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari satu
orang rawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua rawi itu hadis ini diriwayatkan oleh satu
orang rawi saja yang mengambil dari para rawi tersebut.
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan mengenakan topi baju
besi di kepalanya.” HR. Bukhari
1. Hadist Sahih
Sahih li Zatihi
Yaitu Hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis sahih, seperti rawi harus adil, rawi kuat
ingatannya (iabih), sanadnya tidak putus, matannya tidak mempunyai cacat, dan tidak ada
kejanggalan.
Sahih li Gairihi
Yaitu hadist yang memenuhi syarat – syarat hadis sahih, tetapi salah satu syaratnya tidak
sempurna. Dalam hal ini, syarat kuatnya tidak sempurna. Dalam hal ini, syarat kiatnya hafalan
rawi tidak terpenuhi. Jadi, hadis sahih li gairihi adalah hadis yang berkualitas sahih, namun salah
satu rawinya tidak dabit (lemah hafalan)
Hukum memakai hadis sahih adalah wajib, sebagaimana kesepakatan para ahli hadis dan
para fuqaha. Argumennya adalah hadis sahih adalah salah satu sumber hukum syariat, sehingga
tidak ada alasan untuk mengingkarinya.
2. Hadist Hasan
Kata hasan berasal dari kata al-husnu yang berarti al-jamalu, yang artinya kecantikan dan
keinahan.’ Adapun tentang definisi hadis hasan, ada perbedaan pendapat di kalangan para
muhadditsin.
Pendapat Abu Isa at-Tirmizi tentang hadis hasan:
Hadis yang dalam sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh bohong, hadisnya tidak janggal,
serta diriwayatkan tidak hanya dalam satu jalur rawian.
Definisi hadis hasan yang dikemukakan oleh at-Tirmizi ini masih umum dan hampir sama
denan definisi hadis sahih. Sebab, hadis sahih juga mensyaratkan sanadnya tidak tertuduh dusta,
hadisnya tidak janggal, dan tidak hanya terdapat satu jalur rawi saja.
Definisi yang lebih jelas dan detail adalah yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama hadis,
yaitu:
ٍ ٌوالٌَش
ٌَاذ َ ٌِسنَد
َ غي ُْرٌ ُم َعلَّ ٍل َّ عدْلٌ َق ِل ْيلٌُال
َّ ضب ِْطٌ ُمت َّ ِصلٌُال َ ٌَُماٌنـَقَلَه
Hadis yang dinukil oleh seorang yang adil tetapi tidak begitu kuat ingatannya, bersambung
sanadnya, dan tidak terdapat cacat serta kejanggalan pada matannya.
ٌْ َيٌاْل
ٌ:ٌَش َع ِر ْيٌقَال ْ س َ انٌا ْلج َْو ِنيٌع َْنٌأ َ ِبيٌ َبك ِْرٌب ِْنٌأ َ ِبيٌ ُم ْو
ِ ض َب ِعيٌع َْنٌأ َ ِب ْيٌ ِع ْم َر ُ ٌ ُح َّدثَنَاٌقُتَ ْي َبةٌُ َح َّدثَنَاٌ َج ْعفَ ُرٌ ْبن
ُّ سلَ ْي َمانَ ٌال
“ٌٌالحديث..…ٌف ُّ ٌظالَ ِلٌال
ِ سيُ ْو َ ٌ ِإنَّ ٌأَب َْو:ٌس ْولٌُهللاٌِصٌم
ِ َابٌا ْل َجنَّ ِةٌتَحْ ت ُ ٌَرَ ٌقَال:ٌُض َر ِةٌال َع ُد ِوٌ َيقُ ْولْ س ِم ْعتُ ٌأ َ ِبيٌ ِب َح َ
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin
sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku
mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya
pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil
jihadi).
Perbedaan antara hadis sahih dan hadis hasan memang sangat sedikit dan tipis. Bahkan
sebagian ulama’ hadis mengatakan bahwa antara hadis sahih li gairihi dan hadis hasan li katihi
adalah sama. Hal ini bisa dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani
bahwa hadis hasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang adil, sanadnya bersambung,
memiliki daya ingat yang kuat, tidak terdapat ‘illah, dan tidak syak. Maka inilah yang disebut sahih
li katihi. Namun, jika daya ingat (keiabihan) rawi kurang, maka hadis yang diriwayatkannya
dinamakan hasan li katihi.
Hukum memakai hadis hasan sama dengan hadis sahih, walaupun dari sisi kekuatannya hadis
hasan berada di bawah level hadis sahih. Demikian menurut ahli fikih (fuqaha’) dan mayoritas ahli
hadis juga memakai hadis hasan sebagai hujjah, seperti al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu
Khuzaimah. Namun, pengelompokan hadis hasan ke dalam hadis sahih itu disertai pendapat bahwa
hadis hasan tersebut di bawah kualitas hadis sahih.
1. Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits
hasan.
2. Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits shohih atau yang
hasan)
3. Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas,bahwa Hadits dhoif adalah hadits yang jika
satu syaratnya hilang.
4. Ada syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih
tsiqah dibandingkan dengan dirinya
5. Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu
hadits shohih meski secara zohir terlihat bebas dari cacat.
o hadits syaz
Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang maqbul, akan Tetapi
bertentangan dengan periwayatannya dari orang yang kualitasnya Lebih utama.
o Hadits mu’allal
Hadits mu’allal adalah hadits yang diketahui ‘illat nya setelah dilakukan Penelitian dan
penyelidikan meskipun pada lahirnya telah tampak Selamat dari cacat.
Sementara Ibnu Hajar mengemukakan tiga syarat yang harus ada pada hadits dhaif yang bias
diterima dan diamalkan, yaitu:
1. tingkat kelemahannya tidak parah (orang yang meriwayatkan bukan termasuk pendusta atau
tertuduh berdusta).
2. tercakup dalam dasar hadits yang masih dibenarkan atau tidak bertentangan dengan hadits
yang shahih.
3. ketika mengamalkannya tidak seratus persen menyakini bahwa hadits tersebut benar-benar
datang dari rasulullah, tetapi maksud mengamalkannya semata-mata untuk ikhtiyar.
A. KESIMPULAN
Dari segi kuantitas para ahli hadis membagi hadis menjadi dua yakni, hadis mutawatir dan
hadis ahad:
1 Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang rawi yang mustahil
melakukan kesepakatan untuk berdusta.
2 Hadis ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, tiga orang atau lebih namun tidak
mencapai tingkatan mutawatir. Hadis ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu hadis masyhur, hadis
aziz, dan hadis garib.
Sedangkan dari segi kulaitas sanad, hadis di bagi menjadi tiga, sahih, hasan dan daif:
1. Hadis sahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung (tidak putus) dan para rawi yang meriwayatkan
hadis tersebut adalah adil dan iabit, serta dalam matan hadis tersebut tidak ada kejanggalan (syaz)
dan cacat (‘illah). Hadis sahih dibagi menjadi dua yaitu, sahih li katihi dan sahih li-gairihi.
2. Hadis hasan yaitu hadis hasan yang kriterianya sama dengan hadis sahih hanya saja ada salah
seorang rawinya yang kurang iabit. Hadis hasan juga diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hasan li
katihi dan hasan li gairihi.
3. Hadis iaif yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat hadis sahih dan hasan.
Setelah kita mempelajari pembagian hadis dari segi kuantitas dan kualitas sanad, maka ada
beberapa hal yang seharusnya kita lakukan sebagai penerapan dari apa yang telah kita pahami
antara lain.
1. Senantiasa menumbuhkan sikap selektif dalam menerima berita sebelum kita meneliti terlebih
dahulu kebenaran berita tersebut.
2. Selalu menerima kebenaran hadis mutawatir dikarenakan hadis yang termasuk dalam kategori
tersebut bersifat qat’i (pasti) kebenarannya. Sedangkan selain hadis mutawatir perlu terlebih
dahulu diteliti apakah sahih, hasan, atau bahkan daif.
3. Selalu berusaha mengamalkan hadis-hadis yang termasuk ke dalam kategori maqbul (diterima)
yaitu berupa hadis-hadis sahih dan hasan.
4. Untuk kepentingan memperbagus amal (faiw’il al-a’mwl), kita senantiasa mencoba untuk
mengamalkannya.
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian hadits
baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita
dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus
mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-orang
yang menyebarkan hadits-hadits palsu.