Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TENTANG PEMBAGIAN HADITS


Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah Studi hadits

Dosen pembimbing :

Prof. Dr. H. Abu Azam Al Hadi, M.Ag.

NIP : 195808121991031001

Disusun oleh :

1. Muhammad Maulana Ghofari (05010221017)


2. Zefinanda Dwi Aurelita (05010221028)

KELAS A

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberi kita kekuatan dan kesanggupan
untuk bisa menyelesaikan makalah ini. Serta tidak lupa shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi kita tercinta Nabi Muhammad SAW Yang kita nantikan syafaat nya
di akhirat nanti.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk melengkapi tugas dari bapak
Prof. Dr. H. Abu Azam Al Hadi, M.Ag. Pada mata kuliah Studi Hadits. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang mengenai Memahami Pembagian
hadits. Sebagai pembelajaran bagi Mahasiswa yang baru mempelajari mata kuliah Studi
Hadits.

Harapan Kami, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua serta menjadi
tambahan informasi terkait bagaimana Kita sebagai umat muslim Memahami Pembagian
hadits. Kami menyadari bahwa makalah yang telah Kami buat masih sangatlah jauh dari kata
sempurna dan memiliki banyak kekurangan dan kesalahan didalamnnya. Untuk itu penulis
sangat mengharapkan saran dan kritikan pembaca, agar makalah ini bisa menjadi lebih baik
lagi. Kemudian penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat banyak
kesalahan di dalam makalah ini.

Sidoarjo, 17 September 2021

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... I

BAB I ........................................................................................... Error! Bookmark not defined.

PENDAHULUAN ...................................................................... Error! Bookmark not defined.

1.1 Latar belakang ................................................................ Error! Bookmark not defined.

1.2 Rumusan masalah ............................................................................................................. 2

1.3 Tujuan penulisan .............................................................................................................. 2

BAB II ....................................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3

2.1 Dari segi kuantitas sanad, mutawatir, masyhur dan ahad ............. Error! Bookmark not
defined.

2.2 Dari segi kualitas shahih, hasan dan dhaif, ma’mul bih dan ghayir ma’mul bih ............. 7

BAB III.................................................................................................................................... 11

PENUTUP............................................................................................................................... 11

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 11

3.2 Saran ............................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang
berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai
sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi
sebagai penjelas terhadap ayat-ayt al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat
44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai
pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar
bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu
sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits
sebagai sumber ajaran.
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits
adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya
penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak
juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya
digunakan sebagai sumber ajaran agama.
Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat,
sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa
sahabat yang dilakukan secara selektif. Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya
suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi
yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-
sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang
memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut.

1
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana pembagian hadits dari segi kuantitas
2. Bagaimana pembagian hadits dari segi kualitas

1.3 Tujuan penulisan


1. Untuk mengetahui pembagian hadits dari segi kuantitas sanad, mutawatir, masyhur
dan ahad
2. Untuk mengetahui dari segi kualitas shahih, hasan dan dhaif, ma’mul bih dan ghayir
ma’mul bih

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembagian hadits dari segi kuantitas

Pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas perawinya dibagi menjadi tiga
bagian yaitu Mutawatir:Masyhur:Ahad.

A. Sanad
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad , yaitu “ yang diperpegangi (yang
kuat/ yang bisa dijadikan pegangan”. Dapat juga diartikan “ sesuatu yang
terangkat (tinggi) dari tanah”

Sedangkan secara terminology, sanad adalah jalannya matan, ayitu silsilah


para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang
pertama.

Jalan matan tersebut dinamakan dengan sanad adalah karena musnid


berpegang kepadanya katika menyadarkan matan ke sumbernya. Demikian juga,
para Huffazh menjadikannya sebagai pegangan (pedoman) dalam menilai sesuatu
Hadis

Fungsi Sanad
Fungsi sanad adalah untuk mengetahui derajat kesahihan suatu hadis.
Apabila ada cacat dalam sanadnya baik itu karena kefasikannya, lemahnya
hafalan, tertuduh dusta atau selainnya maka hadits tersebut tidak dapat mencapai
derajat sahih.

Manfaat Sanad
Selain Alquran, sanad inilah yang menjadi ukuran sebuah hadis benar dan
valid, shahih, hasan, dhaif atau palsu. Inilah keunggulan ajaran Islam. Demi
menjaga keutuhan umat dari kesesatan, setiap yang diajarkan harus selalu ada
rujukannya sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dalam dunia
akademis disebut ilmiah. Tak boleh satupun pernyataan dalam tesis atau disertasi
tanpa referensi.

3
B. Hadist Mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan


atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Hadits mutawatir merupakan
hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi
shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya
mustahil untuk berbohong.

Suatu hadist baru dapat dikatakan hadist mutawatir, bila hadist itu
memenuhi tiga syarat, yaitu :

1. Hadist yang diriwayatkan itu haruslah mengenai sesuatu dari Rasulullah


SAW yang dapat ditangkap oleh panca indera, seperti sikap dan
perbuatannya yang dapat dilihat dengan mata kepala atau sabdanya yang
dapat didengar dengan telinga.
2. Para rawi (orang-orang yang meriwayatkan hadist) itu haruslah
mencapai jumlah yang menurut kebiasaan (adat) mustahil mereka
sepakat untuk berbohong. Tentang beberapa jumlah minimal para rawi
tersebut terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama, sebagian
menetapkan dua belas orang rawi, sebagian yang lain menetapkan dua
puluh, empat puluh dan tujuh puluh orang rawi.
3. Jumlah rawi dalam setiap tingkatan tidak boleh kurang dari jumlah
minimal seperti yang ditetapkan pada syarat kedua.

C. Hadist Masyhur

Hadits masyhur adalah hadist yang di riwayatkan oleh tiga orang atau
lebih,serta belum mencapai derajat Mutawatir. Hadis ini dinamakan masyhur
karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ulama Hanafiah mengatakan
bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan
wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.

Adapun Contoh hadist masyhur adalah sebagai berikut:Hadits ini juga


diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini ahad. Tetapi
sepengetahuan kami, hadits ini masyhur, yaitu dari jalan Ibnu Umar,

4
‫ شهادة أن‬: ‫ بني اإلسالم على خمس‬:‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وآل وسلم‬
‫ وحج‬، ‫ وإيتاء الزكاة‬، ‫ وإقام الصالة‬، ‫ال إله إال هللا وأن محمد ا رسول هللا‬
‫ وصوم رمضان‬، ‫البيت‬
Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
‘Islam dibangun di atas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa
tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan syahadat
bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan
zakat, haji dan puasa ramadhan (dalam riwayat lain puasa ramadhan
baru haji).( HR. Muslim )

D. Hadist Ahad

Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa al-wahid atau satu. Dengan
demikian khabar wahid adalah berita yang disampaikan oleh satu orang. Ada juga
ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, hadis selain hadis mutawatir atau hadis
yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi)
tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak samapi
kepada qat’i dan yaqin.

Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang
diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak
sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir. Jumhur ulama sepakat bahwa
beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya
wajib, sedangkan golongan Qadariah, Rafidhah dan sebagain ahli Zhahir
menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib.

Menurut Al-Ma’udi, Hafidz dalam bukunya Ilmu Musthalahah Hadist, yang


dimaksud dengan hadist Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau
lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah
"zhanniy".

5
Contoh:

“Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW


bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya
(memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan
lain-lain)

Kedudukan hadits ahad :


Bila hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah
SAW, maka tidak demikian hadits ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari
Rasulullah SAW, tetapi diduga ( zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan
ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadits ahad mungkin benar berasal dari
Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Maka
kedudukan hadits ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan
hadits mutawatir. Lain berarti bahwa bila suatu hadits, yang termasuk kelompok
hadits ahad, bertentangan isinya dengan hadits mutawatir, maka hadits tersebut
harus ditolak.

ُ‫ام ِر ٍئ َما َن َوى فَ َم أن كَا َنتأ ِه أج َرتُه‬ ِ ‫إنَّ َما أاْلَ أع َما ُل ِبالنِيَّا‬
‫ت َو ِإنَّ َما ِلك ُِل أ‬
‫ام َرأَ ٍة يَ أن ِك ُح َها فَ ِه أج َرتُهُ إِلَى َما َها َج َر إِلَ أي ِه‬
‫إِلَى ُد أنيَا يُ ِصيبُ َها أَ أو إِلَى أ‬
“Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing
orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang
akan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil)
hijrahnya adalah apa yang dia niatkan”. [Muttafaqun ‘alaih].
Penjelasan Hadits
Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah? Bahkan hadits ini berbicara
tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat
diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, karena tidak
diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang
meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada
yang meriwayatkan darinya, kecuali Muhammad bin Ibrahim
At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Yahya bin
Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi,
bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah
satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar
ulama.

6
2.2 Pembagian hadist dari segi kualitas

Pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas terdiri dari shahih, hasan dan
dhaif, ma’mul bih dan ghayir ma’mul bih

1. Hadits Shahih

Menurut Bahasa, shahih berasal dari kata shahha, yashihhu, suhhan wa


shihhatan wa shahahan yang berarti yang sehat, yang selamat, yang benar dan yang
sah. Definisi Hadits Shahih meurut Ibnu Ash Shalah adalah "Hadist yang
disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
(perawi) yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan
dan tidak ber'illat." Dan kemudian definisi hadits tersebut diringkas Ibnu Hajar al-
Asqalani : "Hadist yang diriwayatkan oleh orang–orang yang adil, sempurna
kedzabittannya, bersambung sanadnya, tidak ber'illat dan tidak syadz. Dari kedua
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa hadist shahih merupakan hadist yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sanadnya bersambung, perawinya
yang adil, kuat ingatannya atau kecerdasannya, tidak ada cacat atau rusak.

Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalahil Hadits menjelaskan hadits


shahih adalah:
‫ما اتصل سنده بنقل العدل الظابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ وال علة‬

Setiap hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh


perawi yang adil dan dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di
dalamnya syadz dan ‘illah.

Menurut ta'rif muhadditsin, hadist dikatakan shahih jika memenuhi 5 syarat:


• Sanadnya bersambung
• Periwayatan bersifat adil.
• Periwayatan bersifat dhabit.
• Tidak janggal atau Syadz.
• Terhindar dari 'illat (cacat).

7
Hadist Shahih dibagi menjadi 2 macam oleh para ulama dan ahli :

❖ Hadist Shahih Li-Dzatih = mempunyai 5 syarat yang sudah disebutkan


diatas / “hadist yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan
kita menerimanya.”
❖ Hadist Shahih Li-Ghairih = keshahihannya dibantu dengan keterangan lain
dan terdapat kelemahan pada aspek ke-dhabitannya.Sehingga dianggap tidak
memenuhi syarat hadist shahih.

2. Hadits Hasan

Hadist Hasan menurut Ibnu Hajar adalah hadist yang dinukilkan oleh orang
yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan
tidak ganjil. Disamping itu Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan adalah
“Tiap-tiap hadist yang sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta
(pada matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadist tersebut)
diriwayatkan pula melalui jalan lain”. Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan
bahwa hadist hasan tidak memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya, akan tetapi
hadist hasan hampir sama dengan hadist shahih. Perbedaannya hanya mengenai
hafalan, di mana hadist hasan rawinya tidak kuat hafalannya.

‫هو ما اتصل سنده بنقل العدل الذي خف ضبطه عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ وال علة‬
Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi adil,
namun kualitas hafalannya tidak seperti hadits shahih, tidak terdapat syadz
dan ‘illah.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar hadist tersebut dapat
dikategorikan sebagai hadist hasan :

• Para perawinya yang adil,


• Ke-Dhabith-an perawinya dibawah perawi Hadist shahih,
• Sanad-sanadnya bersambung,
• Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,
• Tidak mengandung 'illat.

8
Terdapat macam-macam hadist hasan yang dibagi oleh para ulama dan ahli
hadist, yaitu sebagai berikut :

❖ Hadist Hasan Li-Dzatih = hadits yang telah memenuhi 5 persyaratan.


Menurut Ibn Ash-Shalah, hadist hasan Li-Dzatih para perawinya terkenal
dengan kebaikannya, tetapi daya kekuatan hafalan belum sampai kepada
derajat hafalan para perawi yang shahih.
❖ Hadist Hasan Li-Ghairih = hadist berkualitas hasan karena dibantu oleh
keterangan hadist lain yang sanadnya Hasan. Jadi Hadist yang pertama dapat
terangkat derajatnya oleh keberadaan hadist yang kedua.

3. Hadits Dhaif

Menurut Bahasa, kata dhaif berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang
kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata dhaif secara bahasa yaitu hadist yang
lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.

Hadits shahih kualitasnya paling tinggi, kemudian di bawahnya yaitu


hadits hasan. Para ulama sepakat bahwa hadits shahih dan hasan bisa dijadikan
sumber hukum. Sementara hadits dhaif ialah hadits yang lemah dan tidak bisa
dijadikan sumber hukum. Tetapi dalam beberapa kasus, menurut ulama hadits,
hadits dhaif boleh diamalkan selama tidak terlalu lemah dan untuk fadhail amal.
Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan
hadits hasan. Dalam Mandzumah Bayquni disebutkan hadits hasan adalah:

‫ فهو الضعيف وهو اقسام كثر‬# ‫وكل ما عن رتبة الحسن قصر‬


Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah
dhaif dan hadits dhaif memiliki banyak ragam.

Pembagian Hadist Dhaif dari sudut sandaran matannya :

❖ Hadits Mauquf = hadist yang diriwayatkan dari para sahabat berupa


perkataan, perbuatan dan taqrirnya.
❖ Hadits Maqhtu = hadist yang diriwayatkan dari Tabi'in berupa perkataan,
perbuatan atau taqrirnya.
9
4. Ma’mul bih
Ma’mul bih dalah hadits yang bisa diterima menjadi hujjah dan dapat dimalkan.
Berikut ini hadits yang ma’mul bih :

• Hadits muhkam = adalah hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits
lain dan tidak membutuhkan ta’wil. Dapat dikatakan muhkam (dapat dipakai
dalam hukum) karena dapat diamalkan secara pasti, tanpa subhat sedikit pun.
• Hadits muhktalif (berlawanan) = adalah hadits yang ada mempunyai lawan dan
sama kuatnya. Akan tetapi dapat dapat disepakati apabila keduanya diamalkan.
• Hadits rajih = adalah hadits yang terkuat diantara 2 hadits yang berlawanan/
• Hadits nasikh = hadits yang akhir datangnya dan meniadakan ketetapan hukum
yang tertera dalam hadits yang mendahuluinya.

5. Ghayir ma’mul bih


Hadits yang tidak dapat digunakan dan tidak dapat diamalkan menjadi
hujjah untuk suatu kaum syara. Yang termasuk dalam hadits ghayir ma’mul bih
yaitu sebagai berikut ini :

• Hadits Mutasyabih = hadits yangsamar/ sukar dipahami. Ketentuannya yaitu


harus diimankan adanya, tetapi tidak boleh diamalkan. Jumlahnya sangat sedikit
disbanding dengan muhkam dan kebanyakan terdapat persoalan gaib.
• Hadits Mutawaqqaf fihi = 2 hadits maqbul yang berlawanan sehngga tidak bisa
di kompromikan, ditarjihkan dan dinasakhkan.
• Hadits Marjuh = sebuah hadits maqbul yang ditenggang
dengan hadits Maqbul lain yang lebih kuat.
• Hadits Mansukh = Secara bahasa berarti yang dihapus,hatits ini ialah hadits
maqbul yang sudah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang
kemudian.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari beberapa pembahasan yang telah diuraikan bisa ditarik
kesimpulan bahwa pembagian hadits adalah suatu proses, cara atau perbuatan membagi hadits
menjadi beberapa yang bertujuan untuk mengklasifikasikan suatu hadits dengan hadits lain
sehingga hadits dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi
hadits mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau menunjukan
kualitas hadits ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadits yang
makbul.

Hadits ahad masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat
kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran
berita secara individu yaitu sifat keadilan dan ke dhabithan, ketersambungan sanad dan
ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadits mutawatir secara absolute dan pasti (qath’i),
sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadits ahad bersifat relative ( zhanni ) yang
wajib diamalkan.

Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari
zhan dan itu sah-sah saja, misalnya menghadap ke kiblat ketika shalat, pemeraan air mandi
janabah pada seluruh anggota badan, masuknya waktu imsak dan fajar bagi orang yang
berpuasa, dan lain-lain. Pengertian zhan tidak terpaut dengan syakk (ragu) dan juga tidak
terpaut dengan waham. Zhan diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan,
sedangkan Syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah
dugaan lemah (marjuh).

3.2 Saran

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan,
masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan
penyusunannya.Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang
dapat membangun penulisan makalah ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Azami, Mustafa, Studies In Hadits Metodologis and Structure,


Washintong: American Trust, 1977.

Fazlurahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis,


Bandung: al-Ma’arif, 1995.

Ahmad Muhammad Syakir, al-Ba’ith al-Hadits fi Ikhtisar al-Hadits, Baeirut:


Dar al-Fikr, t. th.

Ismail, Syuhudi M., Kaedah Kesahihan Sanad Hadist Telaah Kritis Dan
Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,
Jakarta; Bulan Bintang, 1988.

Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis,


Bandung :CV Pustaka Setia, 1998.

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarata:


PT Raja Grafindo Persada,2002.

Rahman, Fatchur, Ikhtisar Musthalahul Hadits,


Bandung:PT Alma’arif, 1974.

Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahu‟ul Hadits, Al-Ma‟arif,


Bandung, Cet. V, 1987

Hasbi Ash-Shidiqi, Diroyah Hadits, Bulan Bintang,


Jakarta, 1986

12

Anda mungkin juga menyukai