Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“KLASIFIKASI HADIST”

Disusun Oleh :

1. ANDI MAHENDRA ( 0403213083)


2. RAMADHANNUR (0403213149)

FAKULTAS USHULUDDIN

JURUSAN ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

2022

i
KATA PENGANTAR

‫ب‬ ْ ِ ‫مي ِحرااَِّنِ َم ْحر ِالَّﷲا مــــــــــــــــ‬


ِ ‫س‬

Alhamdulillahirrabil’alamiin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt


yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah ini dengan judul materi “Klasifikasi Hadis” dengan tepat waktu.
Tugas ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadist.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah
membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.

Dalam menyelesaikan tugas ini, kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan tegur sapa, kritik dan saran
yang bersifat membangun dari dosen dan seluruh pembaca, agar dapat dijadikan
pedoman perbaikan untuk selanjutnya.

Medan, 21 Mei 2022


Penyusun,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................2

C. Tujuan...............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadist Berdasarkan Jumlah Perawi..............................................3

B. Tingkatan Hadist Sahih....................................................................................5

C. Macam- Macam Hadist Sahih..........................................................................6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................................8

B. Saran.................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits, sebagai pernyataan, perbuatan, taqrir dan hal-ikhwal nabi SAW.
Merupakan sebuah ajaaran islam kedua setelah al-quran. Sebelum terhimpun
dalamkitab-kitab hadits seperti sekarang, hadits diajarkan dan diriwayatkan secara
lisan danhafalan, sesuai dengan keadaan masyarakat waktu itu yang memiliki
daya hafal sangatkuat. Tapi tidak berarti kegiatan penulisan hadits tidak ada sma
sekali. Sebab, bahkandimasa paling awal sekalipun, banyak sahabat yang sudah
mencatat hadits, mesihanya untuk kepentingan pribadi
Dalam masa yang cukup panjang, antara wafatnya Nabi Saw. Dengan
diangkatnyaUmar bin Abdul Aziz sebagai khalifah, terjadilah pemalsuan hadits
yang dilakukanoleh kelompok-kelompok tertetu demi berbagai tujuan. Atas
keyakinan inilah khalifahUmar bin Abdul Aziz mengeluarkan kebijakan untuk
menghimpun hadits nabi Sawsecara masal. Kebijakan resmi ini membuat para ahli
hadits sangat antusias danberusaha semaksimal mungkin untuk menghimpun
hadits. Bagi mereka, melakukanlawatan keberbagai daerah yang jauh untuk
menghubungi para perawi bukanpermasalahan. Bahkan ketika apa yang mereka
dapat disana harus diteliti dan disaringsecara ketat demi mengetahui palsu
tidaknya, sejauh mana kulitasnya
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal
yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits
diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu
hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayt al-Qur’an
sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan
teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi
masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar
bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam
hadits itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta
asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran. Mengingat banyaknya
permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya
terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa

1
sahabat yang dilakukan secara selektif. Para muhaddisin, dalam menentukan dapat
diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-
syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai
rawi yang teruntai dalam sanad sanadnya sangatlah panjang.
Penulis memilih tema klasifikasi hadis ditinjau dari segi kwantitas dan kualitas
sanad serta status wurudnya pada makalah ini, karena disamping mengandung arti
dan masalah komplek yang perlu dicermati dan membutuhkan kreatifitas dalam
memecahkannya, tetapi juga dengan adanya pengkajian ini diharapkan akan
memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat bagi eksistensi
pendidikan dalam bidang agama, khususnya pada studi hadis. Tentunya hal itu
akan memperkaya pengetahuan kita tentang segala hal yang menyangkut studi
hadis, baik dimasa lampau maupun dimasa yang akan datang.
Pembagian hadis diperlukan dalam upaya untuk mengklasifikasikan hadis,
dari sisi kuantitas pembagian hadis bertujuan untuk mengetahui jumlah rawi pada
tiap tingkatan sehingga muncul klasifikasi hadis mutawattir dan hadis ahad.
Sedangkan dari sisi kualitas bertujuan untuk mengetahui keontetikan hadis dilihat
dari shahih, hasan, dhaif dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Bagaiamna pembagian hadist berdasarkan jumlah perawi ?
2. Bagaimana mengetahui tingkatan hadist sahih ?
3. Apa saja macam- macam hadist sahih ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penelitian dari penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pembagian hadist berdasarkan jumlah perawi !
2. Untuk mengetahui mengetahui tingkatan hadist sahih !
3. Untuk mengetahui macam- macam hadist sahih !

2
BAB II
PEMBAHASAN

4. Pembagian Hadist Berdasarkan Jumlah Perawi


Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari
aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka
ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur,
dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan
hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri
sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama
ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama
golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama
kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits
ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
Berdasarkan jumlah perawinya, kita bisa membagi hadits menjadi dua
bagian. Yang pertama adalah hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh sejumlah orang yang banyak. Yang kedua adalah hadits Ahad, yang
diriwayatkan oleh orang yang banyak, tapi tidak sampai sejumlah hadits
mutawatir. Jadi hadits ahad itu bukanlah hadits palsu atau hadits bohong, namun
hadits yang shahih pun bisa termasuk hadits ahad juga, yang tidak sampai derajat
mutawatir. Hadits ahad tidak ditempatkan secara berlawanan dengan hadits
shahih, melainkan ditempatkan berlawanan dengan hadits mutawatir.
1. Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir adalah hadits hasil tanggapan dari pancaindera yang
diriwayatkan oleh oleh sejumlah besar rawi yang menurut adat kebiasaan,
mustahil mereka berkumpul dan bersepakat berdusta. Syarat-Syarat Hadits
Mutawatir Untuk bisa dikatakan sebagai hadits mutawatir, ada beberapa syarat
minimal yang harus terpenuhi.
a. Pemberitaan yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan tanggapan
pancainderanya sendiri.

3
b. Jumlah perawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak
memungkinkan mereka bersepakat dusta. Sebagian ulama menetapkan 20
orang berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Anfal:65. Sebagian yang lain
menetapkan sejumlah 40 orang berdasarkan QS. Al-Anfal:64.
c. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan)
pertama dengan jumlah perawi dalam lapisan berikutnya.
Karena syaratnya yang sedemikian ketat, maka kemungkinan adanya
hadits mutawatir sedikit sekali dibandingkan dengan hadits-hadits ahad.
Klasifikasi Hadits Mutawatir Hadits mutawatir itu sendiri masih terbagi lagi
menjadi dua jenis, yaitu mutawatir lafdhy dan mutawatir ma’nawy. Hadits
mutawatir lafzhy adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang
susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang
lainnya. Atau boleh disebut juga dengan hadits yang mutawatir lafadznya. Hadits
mutawatir ma’nawy adalah hadits mutawatir yang perawinya berlainan dalam
menyusun redaksi hadits, tetapi terdapat persamaan dalam maknanya. Atau
menurut definisi lain adalah kutipan sekian banyak orang yang menurut adat
kebiasaan mustahil bersepakat dusta atas kejadian-kejadian yang berbeda-beda
tetapi bertemu pada titik persamaan. Manfaat Hadits Mutawatir Hadits Mutawatir
memberi manfaat ilmudh-dharury yakni keharusan untuk menerimanya bulat-
bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir sehingga membawa kepada
keyakinan yang qath’i (pasti).
5. Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah Semua hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Dengan demikian, sudah bisa dipastikan bahwa jumlah hadits ahad itu pasti lebih
banyak dibandingkan dengan hadits mutawatir. Bahkan boleh dibilang bahwa
nyaris semua hadits yang kita miliki dalam ribuan kitab, derajatnya hanyalah ahad
saja, sebab yang mutawatir itu sangat sedikit, bahkan lebih sedikit dari ayat-ayat
Al-Quran Al-Kariem. Klasifikasi Hadits Ahad Kalau kita berbicara hadits ahad,
sebenarnya kita sedang membicarakan sebagian besar hadits. Sehingga kita masih
leluasa untuk mengklasifikasikannya lagi menjadi beberapa kelompok hadits
ahad.

4
 Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
serta belum mencapai derajat mutawatir. Hadits masyhur sendiri masih
terbagi lagi menjadi tiga macam, yaitu masyhur di kalangan para
muhadditsin dan golongannya. masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu
dan masyhur dikalangan orang umum.
 Hadits Aziz
Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun dua
orang rawi tersebut terdapar pada satu lapisan saja, kemudian setelah itu
orang-orang lain meriwayatkannya.
 Hadits Gharib
Hadits gharib adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang (rawi)
yang menyendiri dalam meriwayatkan di mana saja penyendirian dalam
sanad itu terjadi.
Pembagian hadits ahad menjadi masyhur, aziz dan gharib tidaklah
bertentangan dengan pembagian hadits ahad kepada shahih, hasan dan dhaif.
Sebab membaginya dalam tiga macam tersebut bukan bertujuan untuk
menentukan makbul dan mardud- nya suatu hadits tetapi untuk mengetahui
banyak atau sedikitnya sanad. Sedangkan membagi hadits Ahad menjadi Shahih,
Hasan dan Dhaif adalah untuk menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu
hadits. Maka hadits Masyhur dan Aziz, masing-masing ada yang shahih, hasan
dan dhaif dan tidak semua hadits gharib itu dhaif walaupun hanya sedikit sekali.

6. Tingkatan Hadist Sahih


Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan
rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan
martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
1. ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya.
seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla
(mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.

5
2. ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya
dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad
bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
3. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih
rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih
dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh
tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
1) Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan
Muslim,
5) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
6) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim
dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
dan lain-lain.

7. Macam- Macam Hadist Sahih


Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yang
benar berasal dari Rasulullah SAW. Sebagaimana para ulama telah sepakati
kebenarannya oleh para ahli hadits, bahwa hadits shahih merupakan hadits yang
bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit rawi lain
yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta
tidak cacat (illat)
Para ulama hadits membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu:
a. Shahih lidzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-
sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana
tersebut diatas. Contohnya:

6
ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ال‬
‫ْت‬ َ َ‫ْت اَبِ ْي ق‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ال َح َّدثَنَا ُم َس َّد ٌد َح َّدثَنَا ُم ْعتَ ِم ُر قَا َل‬ ِ َ‫َما اَ ْخ َر َجهُ ْالبُخ‬
َ َ‫اريْ ق‬
‫ اَللَّهُ َّم‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُوْ ُل‬
َ ‫ َكانَ النَّبِ ُّي‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫ك َر‬ِ ِ‫َس ْبنَ َمال‬ َ ‫اَن‬
‫ك ِم ْن ِف ْتنَ ِة ْال َمحْ يَا‬
َ ِ‫ َو اَ ُعوْ ُذ ب‬,‫ َو ْال ُجب ِْن َو ْالهَ َر ِم‬,‫ك ِمنَ ْال َعجْ ِز َو ْال َك َس ِل‬
َ ِ‫اِنِّ ْي اَ ُعوْ ُذ ب‬
‫ب ْالقَبْر‬ ِ ‫ َواَ ُعوْ ُذ بِكَ ِم ْن َع َذا‬,‫ت‬ ِ ‫و ْال َم َما‬.
َ

Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, ia berkata memberitakan


kepada kami musaddad, memberitakan kepada kami mu’tamir ia berkata: aku
mendengar ayahku berkata: aku mendengar anas bin malik berkata: nabi saw
berdo’a: “Ya Allah sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada engkau dari
sifat lemah, lelah, penakut, dan pikun. Aku mohon perlindungan kepada engkau
dari fitnah hidup dan mati, dan aku mohon perlindungan kepada engkau dari
adzab kubur.”
b. Shahih li ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna
syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul. Hadits di bawah ini
merupakan hadits contoh hadits hasan lidzatihi yang naik derajadnya menjadi
hadits shahih li ghairihi:

ِ ‫اس َأَل َمرْ تَهُ ْم بِالس َِّو‬


َ ِّ‫اك َم َع ُكل‬
‫صاَل ٍة‬ ِ َّ‫ق َعلَى اُ َّمتِ ْي اَوْ َعلَى الن‬
َّ ‫لَوْ اَل اَ ْن اَ ُش‬
(‫)رواه البخاري‬

“Andaikan tidak memberatkan kepada umatku, niscaya akan kuperintahkan


bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat” (HR. Bukhari).

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari maalah ini adalah sebagai berikut :
1. Pembagian hadist berdasarkan jumlah perawi dibagi menjadi dua yaitu
Hadits Mutawatir dan hadist ahad
2. para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu, ashah al-asanid,
ahsan al-asanid, ad’af al-asanid,
3. Para ulama hadits membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu:
Shahih lidzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat
hadits maqbul secara sempurna dan hadis Shahih li ghairihi, yaitu hadits yang
tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah
hadits maqbul.

B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah kami uraikan kepada pembaca maka
penulis menyarankan kepada pembaca untuk membaca sumber lain yang
berkaitan dengan, perkembangan siswa agar dapat menambah pemahamanya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Oemar Hasyim, 2004. ‫ قواعد أصول الحديث‬Cairo: Maktabah al Azhar


as Syarif
Al-Maliki, Muhammad Alwi. 2009. “Ilmu Ushul Hadits”. Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR.
Ithr, Nuruddin, 2003. “Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadits”. Beirut: Dar al-
Fikri al-Mu’ashir
Kusnanto, Najib (2006). Qur’an Hadits Madrasah Aliyah. Sragen: Akik
Pustaka.
Rahman,Zufran.1995. “Kajian Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam”.
Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya
Suparta, Munzier dan Utang Ranuwijaya. 1993. “Ilmu Hadits”.
Jakarta: Raja G.
Zuhri Muh (2003).Hadits Nabi: Telaah Historis dan Metodologis.
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Anda mungkin juga menyukai