Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PEMBAGIAN HADITS

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK II

MARYAM KHAERANI RAHMAN (10120210020)


SRI BERLIAN (10120210021)
FEBRI AYU FADHILAH SAPUTRI (10120210024)
WULAN PURNAMA SARI (10120210026)
RISKA DAMAYANTI (10120210028)
HASNIA SALSYABILA (10120210029)
ANDI SUCI RAMADANI (10120210031)
AMANDA MARSELIANTI (10120210034)
WANDA SULFINA SYALINA (10120210036)

Fakultas Agama Islam


Pendidikan Agama Islam
Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu.


Puji syukur atas nikmat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “pembagian hadis” tepat waktu.

Makalah citra dan komitmen guru ptofesional disusun guna memenuhi tugas bunda
johariyah pada Mata Kuliah ulum Al-hadits di Universitas Muslim Indonesia. Selain itu, kami
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi teman-teman dan para
pembaca sekalian.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bunda johariyah selaku Dosen
Mata kuliah ulum Al-hadits. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang ditekuni kami. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 25 oktober 22

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL HALAMAN ...................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

A. LATAR BELAKANG ....................................................................................................... 1


B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................... 1
C. TUJUAN ............................................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 2

A. PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUANTITAS PERAWI ................................... 2


B. PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITAS ........................................................ 6

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 10

A. KESIMPULAN ............................................................................................................... 10
B. SARAN ............................................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A . Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian
keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang
sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam.
Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata
dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja.
Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas
sanad dan matan.

B . Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pembagian hadits dari segi kuantitatif perawi
2. Bagaimana Pembagian hadits dari segi kualitas

C . Tujuan
1. Mengetahui pembagian hadits dari segi kuantitatif perawi
2. Mengetahui pembagian hadits dari segi kualitas

1
BAB II
PEMBAHASAN

A . Pembagian Hadits dari segi Kuantitas Perawi


Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga
yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan
pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits
ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-
370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun)
dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits
ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits
ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.

1 . Hadits Mutawatir
a . Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi‟ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan
berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan
seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang
terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :

ِ ‫عهـَٗ اْنكـَـ ِز‬


‫ب‬ ُ ‫ ُم اْنعَادَج َ ذ ََٕا‬ْٛ ‫عحً تَهـَغُ ْٕا فِٗ اْنكـَثْ َشجِ َي ْثهَغـًا ذ ُ ِح‬
َ ‫ط ُإ ُْ ْى‬ َ ‫س ْٕ ٍط أ َ ْخثَ َش تِ ِّ َجًــَا‬
ُ ْ‫ع ٍْ َيح‬
َ ٌَ‫يـَا َكا‬
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat
berbohong.
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta‟akhirin tentang syarat-syarat
hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk
dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya
suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir
masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka
wajib diyakini dan diamalkan.

b . Syarat Hadits Mutawatir


1. Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini
bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang
jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits
mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat
gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10
itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan
jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.

2
2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3. Berdasarkan tanggapan pancaindra Berita yang disampaikan para perawi harus
berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang
lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.

c . Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaiyu:
1. Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang
sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :

ِ َُّ‫َرَثَ َّٕأْ َي ْقعَذَُِ ِيٍَ ان‬ٛ‫ فـ َ ْه‬ٙ


‫اس‬ َّ َ‫عه‬ َ َ‫سهَّ َى َي ٍْ َكز‬
َ ‫ب‬ َ َٔ ِّ ْٛ َ‫عه‬
َ ‫س ْٕ ُل هللا‬
ُ ‫قـَا َل َس‬
“Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.”
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi
menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2. Hadits Mutawatir Ma‟nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai
makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu
Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo‟a.

ٗ‫اض اتطّ فٗ شئ يٍ دعائّ ئال ف‬ٛ‫ّ حرٗ سؤ٘ ت‬ٚ‫ذ‬ٚ ‫ّ ٔسهى‬ٛ‫قال اتٕ يسٗ و سفع سسٕل هللا صهٗ عه‬
)‫اإلسرسقاء (سٔاِ انثخاسٖ ٔيسهى‬
“Abu Musa Al-Asy‟ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat
kedua tangannya dalam berdo‟a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat
melakukan do‟a dalam sholat istisqo‟ (HR. Bukhori dan Muslim)”
3. Hadits Mutawatir „Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh
Tabi‟in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi
tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala
amal ibadah yang sudah menjadi ijma‟ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits
mutawatir „amali.

Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi,
maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada.
Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk
yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani,
Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara
menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui
dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut:
1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi.
Muhammad „Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.

3
2. Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin
Ja‟far Al-Kattani (w. 1345 H)

2 . Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara
ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad
berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi
belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad
adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur.
Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.

a . Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan
menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :

َّ ‫َ ْثهُ ُغ َحذَّ ذ ََـٕاذِش تَ ْعذَ ان‬ٚ ‫عذَدٌ ال‬


‫ص َحاتَ ِّ َٔ ِي ٍْ تَ ْع ِذ ِْ ْى‬ َ ِّ َ‫ص َحات‬
َّ ‫اس َٔاُِ ِيٍَ ان‬
َ َ ‫يـ‬
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”

Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang
berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun
matannya. Seperti hadits ibnu Umar.

‫َ ْغس ِْم‬ٛ‫اِرَا َجا َء ُك ُى اْن ُج ًْ َعُّ فَ ْه‬


“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi”

Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-
ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang
berbunyi:

َ ‫ض َش َس َٔالَ ضـــ ِ َش‬


: ‫اس‬ َ َ‫ال‬
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”

Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits:

َ ْٚ ‫ة اْن ِع ْه ِى فَ ِش‬
ٍّ ‫ ُك ِّم ُي ْس ِه ٍى َٔ ُي ْس ِه ًَــــ‬َٙ‫ضــٌّ عــَـه‬ ُ َ‫طه‬
َ
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”

Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1. Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa
Rasulullah SAW membaca do‟a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh
berdo‟a atas golongan Ri‟il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2. Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain,
dan juga dikalangan orang awam, seperti :

4
ِِ ‫ ِذ‬َٚٔ ِّ َِ‫ســـــ ِه َى اْن ًُ ْس ِه ًُ ٌَْٕ ِي ٍْ ِنســـَـا‬
َ ٍْ ‫اْن ًُ ْس ِه ُى َي‬
3. Masyhur dikalangan ahli fighi, seperti:

َ ‫سهَّ َى‬
‫ْعِ اْنغ ََش ِس‬َٛ‫ع ٍْ ت‬ َ ِ‫ هللا‬َّٙ‫صه‬
َ َٔ ِّ ‫ْــــ‬َٛ‫عه‬ َ ِ‫س ْٕ َل هللا‬
ُ ‫ َس‬َٙٓ ََ
“Rasulullah SAW melarang jual beli yang didalmnya terdapat tipu daya”
4. Masyhur dikalangan ahli ushul fiqih, seperti:

‫طأ َ فَهـَُّ أَجْ ٌش‬


َ ‫ــــى فَاجْ ر َ َٓذَ ث ُ َّى أَخَــــ‬ ِ ‫اب فَهـَــُّ أَجْ َش‬
َ ‫اٌ َٔاِرَا َح َك‬ َ ‫ص‬َ َ ‫اِرَا َح َك َى اْن َحا ِك ُى ث ُ َّى اجْ ر َ َٓذَ فَـــأ‬
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan
kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan
pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu
pahala (pahala Ijtihad).
5. Masyhur dikalangan ahli sufi, seoerti:

َ ‫ًّا فَأَحْ ثَثْدُ أ َ ٌْ أُع ِْش‬ٛ‫ُك ُْدُ َك ُْ ًضا َي ْخ ِف‬


َ ٙ‫ف فَخَهـ َ ْقدُ اْنخ َْهقَ فَ ِث‬
َِْٕٙ ُ‫ع َشف‬
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal,
maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku”
6. Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag
paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.

b . Hadits Ghairu Masyhur


Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib.
Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah
hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan
sanad.” Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat
perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu
thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan
bahwa hadits „azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.” Dari
pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya
yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang
diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits „aziz :

ٍَْٛ‫ـاط أَجْ ًَ ِع‬


ِ َّ ‫ ِّ ِي ٍْ َٔا ِنـ ِذ ِِ َٔ َٔنــ ِ ِذ ِِ َٔانُـ‬ْٛ َ‫ أ َ ُك ٌَْٕ أ َ َحةَّ ئِن‬َّٙ‫ُإْ ِي ٍُ أ َ َحذُ ُك ْى َحر‬ٚ َ‫ال‬
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang
tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)”

Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi
ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian
dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan
personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai
sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan

5
sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu,
penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.

B . Pembagian hadits dari segi Kualitas


Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian yang
yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir
(persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil
mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah
meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap
sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni
(dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan,
baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah
diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi
kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.

1 . Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa
ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
a. Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung
(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan
dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber‟illat”
b. Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber‟illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1)
sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya
tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung „illat.

2 . Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (‫ ) ال ح سن‬bermakna al-jamal (‫ )ال جمال‬yang
berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara
beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-
Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :

َّ ‫اء ٌْ خ‬
َّ َ َّ ‫ ُْش ُي َعهَّ ٍم َٔالَ شَا ٍرّ ُْ َٕ ان‬ٛ‫غ‬
ِ َ‫ْحِ ِنزَاذِ ِّ ف‬ٛ‫ص ِح‬ ِ َّ ‫ضث ِْظ ُير‬
َّ ‫ص ُم ان‬
َ ‫سَُ ِذ‬ َ ‫ َحادَ ِتَُ ْق ِم‬ْٜ‫َٔ َخثَ ُش ا‬
َّ ‫ع ْذ ِل ذ َا ُّو ان‬
ِّ ِ‫ظ فَ ْه ُحس ٍُْ ِنزَاذ‬
ُ ‫ض ْث‬
َ ‫ان‬
“khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya,
bersambung sanadnya, tidak ber‟illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika
kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.”

Dengan kata lain hadits hasan adalah:

ِّ َّ‫شزُ ْٔ ِر َٔاْن ِعه‬


ُّ ‫طُّ َٔ َخالَّ ِيٍَ ان‬ َ ‫سَُذُُِ ِتَُ ْق ِم اْن َع ْذ ِل انّزِ٘ قَ َّم‬
ُ ‫ض ْث‬ َ َّ ‫ُْ َٕ َيا اذ‬
َ ‫ص َم‬
“Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil,
kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak „illat. “

6
Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak
pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm
(sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding
dengan hadits shahih.
b. Contoh hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan
bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah,
bahwa Nabi SAW bersabda :

َ‫َ ُج ْٕ ُص رَانِك‬ٚ ٍْ ‫ٍَْ َٔأَقَهُّ ُٓ ْى َي‬ٛ‫س ْث ِع‬ ُ ًَ ‫أ َ ْع‬


ّ ِ ‫ٍَْ ان‬َٛ‫ َيا ت‬ِٙ‫اس ا ُ َّير‬
َ ‫ٍَْ ا‬ّٛ ‫س ِر‬
َّ ‫ ان‬ٙ‫ِن‬
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.”
c. Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi
menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih. Hadits hasan lidzatih
adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala criteria dan
persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan
diatas. Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :

ُُّْ ‫ق أ ُ ْخ َش٘ ِيثْهُُّ أ َ ْٔ أ َ ْق َٕ٘ ِي‬ َ ٍْ ‫٘ ِي‬


ِ ْٚ ‫ط ِش‬ َ ِٔ ‫ْ َّ اِرَا ُس‬
ُ ٛ‫ض ِع‬ ُ ٚ‫ُْ َٕ اْن َح ِذ‬
َّ ‫ْث ان‬
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih
kuat.”
ُُّ‫انشا ِٔ٘ أ َ ْٔ ِك ْزت‬
َّ َ‫ض ْع ِف ِّ فِسْق‬
َ ‫ة‬
ُ َ‫سث‬ ُ ‫خ‬
َ ٍْ ‫َ ُك‬ٚ ‫ط ُشقُُّ َٔنـ َ ْى‬ ْ َ‫ْ َّ اِرَا ذَعَذَّد‬ َّ ‫ُْ َٕ ان‬
ُ ٛ‫ض ِع‬
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena
fasik atau dustanya perawi. “

Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan
lighairih dengan dua syarat yaitu :
1. Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2. Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti
hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas
(majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua
fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari
kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin).
Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih
(mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan
Ibnu Khuzaimah.

3 . Hadits Dhaif
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (‫ )ال ض ع يف‬berarti lemah
lawan dari Al-Qawi (‫ )ال قوي‬yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad
dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam
istilah hadits dhaif adalah :

7
ِّ ‫ش ُش ْٔ ِط‬ َ ‫صفَُّ ْان َح‬
ُ ٍْ ‫س ٍِ تِفَ ْق ِذ ش َْشطٍ ِي‬ ِ ‫َجْ ًَ ْع‬ٚ ‫ُْ َٕ َيا نَ ْى‬
“Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat
yang tidak terpenuhi. “
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :

َ ‫ْحِ َٔاْن َح‬ٛ‫ص ِح‬


ٍِ ‫س‬ ِ ‫َجْ ًَ ْع‬ٚ ‫ُْ َٕ َيا نَ ْى‬
َّ ‫صفَُّ ان‬
“Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.”

Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan
hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para
perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan
(syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi („Illat) pada sanad atau matan.
b. contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu
Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :

َ ‫ضا أ َ ِٔ ْاي َشأ َ ٍِ ِي ٍْ دُت ُِش أ َ ْٔ َكا َُِْا فَقَ ْذ َكفَ َش ِت ًَا ا ُ َْ ِض َل‬
‫ ُي َح ًَّ ٍذ‬َٙ‫عه‬ َ ِ‫ َحائ‬َٙ ‫َٔ َي ٍْ أَذ‬
“barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan
belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. “

Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai
dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan
komentar : ٌٍ ِّٛ َ‫ ِّ ن‬ْٛ ‫ ِف‬padanya lemah.
c. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu‟ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif
terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang
kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu‟ perawinya pendusta. Maka
para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara‟ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,
berkaitan dengan masalah maui‟zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman
dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak
menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma‟lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya
dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan
(tamridh) misalnya : ‫ ي‬diriwayatkan, ‫ ق‬dipindahkan, ‫ ي يما‬pada sesuatu yang
diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
d. Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi
menjadi 3 pendapat, yaitu :

8
1. Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal
(Fadhail al a‟mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh
Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma‟in. pendapat pertama ini adalah
pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2. Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a‟mal atau
dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad.
Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3. Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a‟mal, mau‟izhah, targhib
(janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika
memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu
Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
a. Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu‟)
atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya
sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid‟ah baik dalam perkataan atau
perbuatan (hadits mungkar).
b. Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma‟mul bih) seperti
hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan
hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits
sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan
oposisinya).
c. Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena
berhati-hati semata atau ikhtiyath.

e. Tingkatan hadits dhaif


Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu
dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak
dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a‟mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits
dhaif yang terburuk adalah mawdhu‟‟, matruk, mu‟allal, mudraj, maqlub, kemudian
mudhatahrib.

9
BAB III
PENUTUP

A . Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu
: mutawatir ma‟nawi dan mutawatir „amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam,
yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian
yaitu, aziz dan ghairu aziz. Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua
macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud
adalah hadits yang dahif.

B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian
hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita
dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus
mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-orang
yang menyebarkan hadits-hadits palsu.

10
DAFTAR PUSTAKA

M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.

M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.

Ibid, hlm. 88

Ibid. Hlm. 91

Ibid. Hlm. 90

Ibid. hlm. 93

Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.

Ibid. hlm. 164

Ibid. hlm. 167.

11

Anda mungkin juga menyukai