PEMBAGIAN HADITS
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK II
i
KATA PENGANTAR
Makalah citra dan komitmen guru ptofesional disusun guna memenuhi tugas bunda
johariyah pada Mata Kuliah ulum Al-hadits di Universitas Muslim Indonesia. Selain itu, kami
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi teman-teman dan para
pembaca sekalian.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bunda johariyah selaku Dosen
Mata kuliah ulum Al-hadits. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang ditekuni kami. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Makassar, 25 oktober 22
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. KESIMPULAN ............................................................................................................... 10
B. SARAN ............................................................................................................................. 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian
keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang
sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam.
Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata
dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja.
Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas
sanad dan matan.
B . Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pembagian hadits dari segi kuantitatif perawi
2. Bagaimana Pembagian hadits dari segi kualitas
C . Tujuan
1. Mengetahui pembagian hadits dari segi kuantitatif perawi
2. Mengetahui pembagian hadits dari segi kualitas
1
BAB II
PEMBAHASAN
1 . Hadits Mutawatir
a . Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi‟ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan
berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan
seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang
terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
2
2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3. Berdasarkan tanggapan pancaindra Berita yang disampaikan para perawi harus
berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang
lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
c . Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaiyu:
1. Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang
sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
ٗاض اتطّ فٗ شئ يٍ دعائّ ئال فّٛ حرٗ سؤ٘ تٚذٚ ّ ٔسهىٛقال اتٕ يسٗ و سفع سسٕل هللا صهٗ عه
)اإلسرسقاء (سٔاِ انثخاسٖ ٔيسهى
“Abu Musa Al-Asy‟ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat
kedua tangannya dalam berdo‟a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat
melakukan do‟a dalam sholat istisqo‟ (HR. Bukhori dan Muslim)”
3. Hadits Mutawatir „Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh
Tabi‟in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi
tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala
amal ibadah yang sudah menjadi ijma‟ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits
mutawatir „amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi,
maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada.
Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk
yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani,
Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara
menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui
dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut:
1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi.
Muhammad „Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
3
2. Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin
Ja‟far Al-Kattani (w. 1345 H)
2 . Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara
ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad
berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi
belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad
adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur.
Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
a . Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan
menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang
berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun
matannya. Seperti hadits ibnu Umar.
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-
ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang
berbunyi:
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits:
َ ْٚ ة اْن ِع ْه ِى فَ ِش
ٍّ ُك ِّم ُي ْس ِه ٍى َٔ ُي ْس ِه ًَــــَٙضــٌّ عــَـه ُ َطه
َ
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1. Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa
Rasulullah SAW membaca do‟a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh
berdo‟a atas golongan Ri‟il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2. Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain,
dan juga dikalangan orang awam, seperti :
4
ِِ ِذَٚٔ ِّ َِســـــ ِه َى اْن ًُ ْس ِه ًُ ٌَْٕ ِي ٍْ ِنســـَـا
َ ٍْ اْن ًُ ْس ِه ُى َي
3. Masyhur dikalangan ahli fighi, seperti:
َ سهَّ َى
ْعِ اْنغ ََش ِسَٛع ٍْ ت َ ِ هللاَّٙصه
َ َٔ ِّ ْــــَٛعه َ ِس ْٕ َل هللا
ُ َسَٙٓ ََ
“Rasulullah SAW melarang jual beli yang didalmnya terdapat tipu daya”
4. Masyhur dikalangan ahli ushul fiqih, seperti:
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi
ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian
dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan
personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai
sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan
5
sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu,
penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
1 . Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa
ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
a. Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung
(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan
dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber‟illat”
b. Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber‟illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1)
sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya
tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung „illat.
2 . Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu ( ) ال ح سنbermakna al-jamal ( )ال جمالyang
berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara
beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-
Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :
َّ اء ٌْ خ
َّ َ َّ ُْش ُي َعهَّ ٍم َٔالَ شَا ٍرّ ُْ َٕ انٛغ
ِ َْحِ ِنزَاذِ ِّ فٛص ِح ِ َّ ضث ِْظ ُير
َّ ص ُم ان
َ سَُ ِذ َ َحادَ ِتَُ ْق ِمَْٜٔ َخثَ ُش ا
َّ ع ْذ ِل ذ َا ُّو ان
ِّ ِظ فَ ْه ُحس ٍُْ ِنزَاذ
ُ ض ْث
َ ان
“khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya,
bersambung sanadnya, tidak ber‟illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika
kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.”
6
Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak
pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm
(sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding
dengan hadits shahih.
b. Contoh hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan
bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah,
bahwa Nabi SAW bersabda :
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan
lighairih dengan dua syarat yaitu :
1. Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2. Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti
hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas
(majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua
fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari
kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin).
Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih
(mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan
Ibnu Khuzaimah.
3 . Hadits Dhaif
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif ( )ال ض ع يفberarti lemah
lawan dari Al-Qawi ( )ال قويyang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad
dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam
istilah hadits dhaif adalah :
7
ِّ ش ُش ْٔ ِط َ صفَُّ ْان َح
ُ ٍْ س ٍِ تِفَ ْق ِذ ش َْشطٍ ِي ِ َجْ ًَ ْعٚ ُْ َٕ َيا نَ ْى
“Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat
yang tidak terpenuhi. “
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan
hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para
perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan
(syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi („Illat) pada sanad atau matan.
b. contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu
Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
َ ضا أ َ ِٔ ْاي َشأ َ ٍِ ِي ٍْ دُت ُِش أ َ ْٔ َكا َُِْا فَقَ ْذ َكفَ َش ِت ًَا ا ُ َْ ِض َل
ُي َح ًَّ ٍذَٙعه َ ِ َحائَٙ َٔ َي ٍْ أَذ
“barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan
belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. “
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai
dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan
komentar : ٌٍ ِّٛ َ ِّ نْٛ ِفpadanya lemah.
c. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu‟ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif
terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang
kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu‟ perawinya pendusta. Maka
para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara‟ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,
berkaitan dengan masalah maui‟zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman
dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak
menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma‟lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya
dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan
(tamridh) misalnya : يdiriwayatkan, قdipindahkan, ي يماpada sesuatu yang
diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
d. Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi
menjadi 3 pendapat, yaitu :
8
1. Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal
(Fadhail al a‟mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh
Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma‟in. pendapat pertama ini adalah
pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2. Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a‟mal atau
dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad.
Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3. Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a‟mal, mau‟izhah, targhib
(janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika
memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu
Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
a. Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu‟)
atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya
sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid‟ah baik dalam perkataan atau
perbuatan (hadits mungkar).
b. Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma‟mul bih) seperti
hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan
hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits
sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan
oposisinya).
c. Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena
berhati-hati semata atau ikhtiyath.
9
BAB III
PENUTUP
A . Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu
: mutawatir ma‟nawi dan mutawatir „amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam,
yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian
yaitu, aziz dan ghairu aziz. Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua
macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud
adalah hadits yang dahif.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian
hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita
dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus
mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-orang
yang menyebarkan hadits-hadits palsu.
10
DAFTAR PUSTAKA
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
Ibid, hlm. 88
Ibid. Hlm. 91
Ibid. Hlm. 90
Ibid. hlm. 93
11