Anda di halaman 1dari 24

HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Ilmu Hadits”

Dosen Pengampu: Hj. Khaerun Nisa Nuur, S.S., M.Pd.I

NAMA KELOMPOK 7:

Andi Irwan Firdauzy 40400122091

Magfira 40400122090

Magfirah Syakira 40400122093

KELAS: 1 AP3

JURUSAN ILMU PERPUSTAKAAN

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang atas rahmat-Nya
dan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Adapun tema dari makalah ini adalah “Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar–


besarnya kepada dosen mata kuliah “Ilmu Hadits” yang telah memberikan tugas
terhadap penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak–pihak
yang turut membantu dalam pembuat makalah ini.

Penulis jauh dari sempurna dan ini merupakan Langkah yang baik dari studi
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan penulis,
maka kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan semoga
makalah ini dapat berguna bagi penulis pada khususnya dan pihak lain yang
berkepentingan pada umumnya.

Paccinongang, 26 Oktober 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

SAMPUL ......................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ..................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 4

A. Latar Belakang ..................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 6

A. Hadis Shahih ........................................................................................ 6


1. Pengertian hadis shahih .................................................................. 6
2. Syarat-syarat hadis shahih .............................................................. 7
3. Pembagian dan contoh-contoh hadis shahih .................................. 10
4. Kehujjahan hadis shahih ................................................................ 11
B. Hadis Hasan ......................................................................................... 11
1. Pengertian hadis hasan ................................................................... 11
2. Syarat-syarat hadis hasan ............................................................... 12
3. Pembagian dan contoh-contoh hadis hasan.................................... 13
4. Kehujjahan hadis hasan .................................................................. 14
C. Hadis Dhaif .......................................................................................... 15
1. Pengertian hadis dhaif .................................................................... 15
2. Pembagian dan contoh hadis dhaif ................................................. 16
3. Kehujjahan hadis dhaif ................................................................... 19

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 22

A. Kesimpulan .......................................................................................... 22
B. Saran..................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 24

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membicarakan tentang pembagian hadis dari segi kualitasnya ini


tidak dapat dipisahkan dari pembagian hadis menurut kuantitasnya.
Sebagaimana dipahami bahwa dari segi kuantitas, hadis dapat dibedakan
menjadi hadis mutawatir dan hadis ahad.
Untuk yang disebut pertama memberikan pengertian bahwa hadis
itu diterima secara yaqin bi-al-qat’I, yaitu nabi Muhammad saw. Memang
benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan dihadapan para sahabat,
berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-
sama sepakat untuk berbuat dusta. Oleh karena kebenaran sumber-
sumbernya telah menyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan
dengan tanpa mengadakan penelitian, baik terhadap sanad maupun
matannya.
Sedangkan tipe hadis yang disebut kedua, hanya memberikan faedah
zanny, (prasangka) dan karenanya harus diadakan penyelidikan lebih lanjut,
baik yang berhubungan dengan sanad maupun matannya, sehingga status
hadis tersebut menjadi jelas “apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak”.
Atas dasar inilah, kemudian para ulama hadis membagi hadis secara
kualitas, menjadi dua bagian, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. Yang
dimaksud dengan hadis maqbul adalah “ hadis yang telah memenuhi syarat-
syarat penerimaan (qabul) yaitu apabila sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh rawi yang adil dhabith, dan matannya tidak syaz dan tidak
ber’ilat. Hadis maqbul dapat dimaksud dengan hadis shahih dan hasan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadis mardud adalah hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadis maqbul, baik yang berhubungan dengan
sanad maupun matan. Hadis mardud ini juga disebut dengan hadis dhaif.

4
B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan pengertian dari hadits shahih, pembagian, dan contoh-


contohnya serta kehujahannya!
2. Jelaskan pengertian dari hadits hasan, pembagian, dan contoh-
contohnya serta kehujahannya!
3. Jelaskan pengertian dari hadits dhaif, pembagian, dan contoh-
contohnya serta kehujahannya!

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengertian dari hadits shahih, pembagian, dan


contoh-contohnya serta kehujahannya!
2. Untuk mengetahui pengertian dari hadits hasan, pembagian, dan
contoh-contohnya serta kehujahannya
3. Untuk mengetahui pengertian dari hadits dhaif, pembagian, dan
contoh-contohnya serta kehujahannya

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits Shahih

1. Pengertian hadis Shahih

Shahih menurut bahasa lawan dari kata saqim. (sakit). Kata sahih
juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti “sah ; benar,
sempurna sehat (tidak segalanya) pasti”. pengertian hadis sahih secara
definitive eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadis dari kalangan al-
muttaqaddimin (sampai abad III H). mereka pada umumnya hanya
memberikan penjelasan mengenai criteria penerimaan hadis yang dapat
dipegangi. Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah : “tidak diterima
periwayatan suatu hadis kecuali yang bersumber dari orang-orang yang
tsiqqah. tidak diterima periwanyatan suatu hadis yang bersumber dari
orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis, dusta,
mengkuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiannya”.
Bukhari dan Muslim, sebagai tokoh ahli khadis dan hadis-hadis yang
diriwayatkannya sebagai hadis yang sahih, ternyata juga belum membuat
definisi sahih sahh secara tegas. Namun setelah para ulama mengadakan
penelitian mengenai cara-cara dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran
mengenai kriteria sahih menurut keduanya.
kriteria-kriteria dimaksud adalah: (1) rangkaian perawinya dalam
sanad itu harus sampai perawi terakhir; (2) para perawinya harus terdiri dari
orang-orang yang dikenal tsiqqat, dalam arti ‘adil dan dhabit;(3) hadisnya
terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal); dan (4) para perawinya yang
terdekat dalam sanad harus se-zaman. Hanya saja antara keduanya terjadi
perbedaan pendapat mengenai persambungan sanad. Menurut Bukhari,
sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu
pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi tidak cukup hanya sezaman

6
(al-mu’asharah). Sedangkan menurut muslim, apabila antara perawi yang
terdekat hidup se-zaman sudah dikategorikan bersambung.

Ibnu Al-Shalah (w. 643 H) memberikan pengertian hadis sahih


sebagai berikut :

‫الحديث الصحيح هو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى منتهاه وال يكون شاذا وال‬
‫معلال‬.

“Hadis sahih yaitu musnad yang bersambung sanadnya dengan


periwanyatan oleh oaring yang adil-dhabith dari orang yang adil lagi
dhabith juga hingga akhir sanad, serta tidak ada yang kejanggalan dan
cacat.”

Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi :

‫ما إتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ وال علة‬

“Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang


adil lagi dhabith, tidak syaz dan tidak ber’illat.”

2. Syarat-syarat Hadits Shahih

Dari beberapa definisi tentang hadis sahih sebagaimana tersebut di


atas, dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadis sahih adalah :
a. Sanadnya bersambung
Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad
hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya;
keadaaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis

7
itu. Artinya, seluruh rangkaian para perawi hadis, sejak perawi
terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima hadis langsung
dari Nabi SAW, bersambung dalam periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu sanad,
biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai
berikut:
1) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti;
2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat;
3) Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat
dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah
kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasana,
akhbarana, ‘an, anna atau kata-kata lainnya.

b. Perawinya bersifat adil


Term ‘adil yang telah menjadi bahasa Indonesia, menurut bahasa
berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak dzalim, tidak menyimpang,
tulus dan jujur. Dengan demikian, perawi yang adil adalah perawi
yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam, yaitu seorang periwayat hadis haruslah
orang yang beragama Islam ketika menyampaikan
riwayatnya.
2) Bersetatus Mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh.
3) Melaksanakan ketentuan agama dan meninggalkan
larangannya.
4) Memelihara muru’ah yaitu memiliki rasa malu.

Sifat -sifat para perawi sebagaimana dimaksud sudah dapat


diketahui melalui:

a. Popularitas perawi dikalangan ulama ahi hadis; perawi


yang terkenal keutamaan pribadinya;

8
b. Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan
dan kekurangan yang ada pada diri perawi;

Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, bila tidak ada


kesepakatan di antara para kritikus perawi hadis mengenai kualitas
pribadi para perawi tertentu.

c. Perawinya bersifat Dhabith


Secara bahasa, dhabith berarti, “ yang kokoh, yang kuat, yang
tepat, yang hafal dengan sempurna. Sedangkan secara istilah,
dhabith dimaknai sebagai orang yang kuat hafalannya tentang apa
yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu
kapan saja bila menghendaki.
Dengan demikian, dhabith dapat dibedakan menjadi dua
kategori, yaitu dhabith shadran dan dhabith kitaban. Dhabith
shadran ialah terpeliharanya periwanyatan dalam ingatan, sejak ia
menerima hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain.
Sedangkan dhabith kitaban ialah terpeliharanya kebenaran suatu
periwayatan melalui tulisan.
Orang dikatakan dhabith, bukan berarti ia terhindar sama sekali
dari kekeliruan atau kesalahan. Sebagai manusia, kemungkinan
berbuat salah dan keliru sangatlah wajar. Namun, kekeliruan ini
tidak terjadi berulang kali. Oleh karenanya, yang demikian itu tidak
dianggap sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.
d. Tidak Syadz (Janggal)
Maksud dari syadz di sini adalah suatu hadis yang bertentangan
dengsn hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat
atau lebih tsiqah. Berdasarkan pengertian ini, maka dapat dipahami
bahwa hadis yang tidak syadz adalah hadis yang matannya tidak
bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.

9
e. Tidak berillat (Gair Mu’allal)
Secara etimologis, term ‘illat (jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal) berarti
cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Dengan makna ini,
maka disebut hadis ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau
penyakitnya.
Sedangkan secara terminologis, ‘illat berarti sebab yang
tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis. Keberadaannya
menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih
menjadi tidak sahih. Dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang
tidak ber’illat, adalah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat
kecacatan, kesamaran atau keragu-raguan.

3. Pembagian dan Contoh-contoh hadits Shahih

a. Hadis Sahih li-Dzatihi


Hadis sahih li-Dzatihi, ialah hadis yang dirinya sendiri telah
memenuhi kriteria kesahihan sebagaimana disebutkan, dan tidak
memerlukan penguat dari yang lainnya. Ini berarti bahwa hadis
sahih li-dzatihi, adalah hadis sebagaimana dimaksudkan dalam
pengertian sahih di atas.

Contoh:

‫لوال أن أشق على أمتى أو على الناس ألمرتهم باسواك مع كل صالة (رواه البخارى‬

“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan


kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan
salat.”(HR. Bukhori).

Hadis ini diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah.

b. Hadits Shahih li-Ghairhi


Hadis sahih li ghairihi, adalah hadis hasan li dzatihi apabila
diriwayatkan melalui jalan yang lain oleh perawi yang sama
kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.

10
Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami bahwa
sebenarnya hadis tipe ini asalnya bukan hadis sahih, melainkan
hadis hasan li-dzatih. Karena adanya Syahid atau Mutabi’ yang
menguatkannya, maka hadis hasan li-dzatih ini berubah kedudukan
menjadi sahih li gharihi, yakni hadis yang kesahihannya dibantu
oleh adanya matan atau sanad yang lainnya.
Contoh:
)41 ‫ص‬/ 1 ‫ (ج‬- ‫سنن الترمذى‬
‫ع ْن أَبي‬ َ َ‫سلَ َمة‬ َ ‫ع ْن أَبي‬ َ ‫ع ْمرو‬ َ ‫ع ْن ُم َح َّمد بْن‬ َ َ‫س َل ْي َمان‬
ُ ‫ع ْبدَة ُ ْب ُن‬ َ ‫َحدَّثَنَا أَبُو ُك َريْب َحدَّثَنَا‬
‫علَى أ ُ َّمتي َأل َ َم ْرت ُ ُه ْم‬ ُ َ ‫سلَّ َم لَ ْو َال أ َ ْن أ‬
َ ‫ش َّق‬ َ ‫علَيْه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َللا‬ َ ‫َللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ه َُري َْرة َ قَا َل قَا َل َر‬
َ ‫بالس َِّواك ع ْندَ ُك ِّل‬
‫ص َالة‬
4. Kehujjahan Hadits Shahih

Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh
sepakat menjadikan hadis sahih sebagai hujjah yang wajib beramal
dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan
dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal
yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i yaitu al-
Qur’an dan hadis mutawatir. Oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan aqidah. Sedang sebagian ulama lainnya dan ibn
Hazm al-Dhahiri menetapkan bahwa hadis sahih memfaedahkan ilmu
qat’i dan wajib diyakini. Dengan demikian sahih dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.

B. Hadits Hasan

1. Pengertian hadits hasan

Kata Hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu yang menurut bahasa
berarti sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan jiwa atau

11
nafsu. Maka sebutan hadis hasan secara bahasa berarti hadis yang baik,
atau yang sesuai dengan keinginan jiwa.
Adapun pengertian lain dari para ulama-ulama tentang hadis hasan
ini, antara lain:
a. At-Turmudzi mendefinisikan hadis hasan sebagai “Tiap-tiap
hadis yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh
dusta. (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan hadis
tersebut di riwayatkan pula melalui jalan lain.
b. Ibnu Hajar mendefinisikan hadis hasan sebagai “Khabar ahad
yang di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna
ingatannya,khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi yang
adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa
berilat dan syadz di sebut hadis shahih, namun bila kekuatan
ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih.
c. Ath-Thibi mengemukakan definisi hadis hasan sebagai “Hadis
musnad (muttashil dan marfu’) yang sanad-sanadnya mendekati
derajat tsiqah atau hadis mursal yang (sanadnya) tsiqah , akan
tetapi pada keduanya ada perawi lain: Hadis itu terhindar dari
syudzudz dan illat).”
d. Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadis hasan sebagai
“Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat
hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan
tidak syadz.”

Jadi dari definisi-definsi di atas, dapat dikatakan bahwa hadis


hasan hampir sama dengan hadis sahih, hanya saja terdapat
perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadis sahih, ingatan atau
daya hafalannya sempurna, sedangkan hadis hasan kurang
sempurna.

2. Syarat-syarat Hadits Hasan

Secara rinci syarat-syarat hadis hasan sebagai berikut:

12
a. Sanadnya bersambung;
b. Perawinya adil;
c. Perawinya dhabith, tetapi kualitasnya kedhabitan perawi hadits
sahih;
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz; dan
e. Tidak terillat

3. Pembagian dan contoh hadits hasan

a. Hadits Li Dzatihi
Yang dimaksud dengan hadis Hasan Li Dzatihi ialah hadis
yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit
meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa
ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
b. Hasan Li-Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi itu terjadi dari hadis dha’if
jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak di
ketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi mereka
tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau
sifat-sifat jelek lainnya.
Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat
kesahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para
perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat
kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadis tersebut
banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa (mitslahu) maupun
mirip (nahwahu).
Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-
Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakannya hasan, dari jalur
Syu’bah bin ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin
Rabi’ah dari bapaknya, bahwasanya ada seorang perempuan dari
Bani Fazarah menikah dengan mahar dua sendal. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:

13
َ‫نَعَ ْم فَأ َ َجاز‬: ‫ت‬
ْ َ‫»فَقَال‬. ‫أ َ َرضيت م ْن نَ ْفسك َو َمالك بنَ ْعلَيْن؟‬

“Apakah engkau rela (ridha) sebagai gantimu dan hartamu


dua sandal (maksudnya apakah engaku rela maharmu dua sandal).”
Perempuan itu menjawab:”Iya (saya rela)” Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wasallammembolehkannya.

Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata:”Dan dalam bab ini


ada hadits dari ‘Umar, Abu Hurairah, dan ‘Aisayhradhiyallahu
‘anhum.”

Maka ‘Ashim adalah seorang yang dha’if disebabkan


buruknya hafalan. Namun imam at-Tirmidzi telah mengatakan
bahwa hadits ini hasan dikarenakan datangnya riwayat ini dari
banyak versi (sisi).

4. Kehujjahan Hadits Hasan

Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan


seperti halnya hadis sahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan
ada segolongan ulama yang memasukan hadis hasan ini, baik hasan
li-dzatih maupun hasan li-ghairih ke dalam kelompok sahih, seperti
Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meski tanpa memberikan
penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama banyak
yang beramal dengan hadis hasan ini. Sepertinya Al-Khattabi lebih
teliti tentang penerimaan mereka terhadap hadis ini. Makanya Al-
Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud
dengan hasan disini (yang diterima sebagai hujjah) adalah hadis
hasan li-dzatihi. Sedangkan terhadap hadis hasan li-ghairihi jika
kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi oleh
banyaknya riwayat (riwayat lain) maka sah-lah berhujjah
dengannya. Bila tidak demikian maka tidak sah berhujjah
dengannya.

14
Kitab-kitab yang yang banyak memuat hadis hasan ini
adalah Sunan Al-Thirmidzi, Sunan Abi Daud dan Sunan Al-
Daruquthnya.

C. Hadits Dhaif

1. Pengertian Hadits Dhaif

Secara etimologis, term dhaif berasal dari kata dhuf’un yang berarti
lemah, lawan dari term Al-qawiy,yang berarti kuat. Dengan makna
bahasa ini, maka yang dimaksud dengan hadis dha’if adalah hadis yang
lemah atau hadis yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat, menurut Imam
al-Nawawi hadis dha’if adalah “hadis yang didalamnya tidak terdapat
syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan.” Sedangkan
menurut ‘Ajjaj al-Khattib, hadis dha’if didefinisikan sebagai sebagai
“Segala hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”.
Menurut Nur al-Din ‘Itr, merumuskan hadis dha’if sebagai “Hadis yang
hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul.

Sebaba-sebab hadis dhaif ditolak, dilihat dari dua jurusan:

a. Sanad Hadits
Dari sisi sanad hadis ini diperinci ke dalam dua bagian:
1) Ada kecacatam pada perawinya baik berupa keadilannya
maupun kedhabitannya, ada 10 macam: 1) dusta, 2) tertuduh
dusta, 3) fasiq, 4) banyak salah, 5) lengah dalam menghafal,
6) banyak wahamnya, 7) menyalahi riwayat yang lebih
tsiqqah atau dipercaya, 8) tidak diketahui identitasnya, 9)
penganut bi’dah, dan 10) tidak baik hafalannya.
2) Sanadnya tidak bersambung: 1) gugur pada sanadnya, 2)
gugur pada sanad terakhir (sahabat), 3) gugur dua orang rawi

15
atau lebih secara berurutan, dan 4) rawinya yang digugurkan
tidak berturut-turut.

2. Pembagian dan contoh hadits dhaif

a. Ditinjau dari segi persambungan sanadnya


Ditinjau dari segi persambungan sanadnya (ittisal al-sanad),
ternyata para ulama hadis menemukan banyak hadis yang sanadya
tdak beresambung atau terputus. Hadis –hadis yang tergolong dalam
kelompok ini, diantaranya adalah hadis mursal, hadis munqati’,
hadis mu’dal, dan hadis mudallas.
1) Hadits Mursal
Secara etimologis, “mursal” diambil dari kata “irsal” yang
berarti “melepaskan”. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk
menyebut sebagai suatu hadis, karena orang yang
meeriwayatkannya melepaskan itu kepada Nabi, tanpa
menyebut riwayatnya, yakni tidak menyebutkan rawinya, yakni
tidak menyebutkan seseorang yang pertama mengeluarkan
hadis itu.
Berdasarkan definisi diatas, maka hadis mursal dapat dibagi
dua macam, yaitu mursal al-jali dan mursal al-khafi. Jenis hadis
mursal al-jali yaitu tidak disebutkan nama sahabat tersebut oleh
tabi’in besar, sedang jenis kedua, mursal al-khafi, yaitu
pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih
kecil.
Termasuk dalam kategori hadis ini adalah hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat yang ia sendiri tidak langsung
menerima dari Rasul saw.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan hadis
mursal. Menurut Muhammad ‘Ajjal al-Khatib pertama,
membolehkan berhujjah dengan hadis mursal secara mulak.
Ulama yang termasuk kelompok pertama adalah Abu Hanifah,

16
Imam Malik, Imam Ahmad, dan pendapat sebagian ahli ilmu.
Kedua, tidak membolehkan secara mutlak. Diceritakan oleh
Imam Nawawi pendapat inididukung oleh jumhur ulama ahli
hadis, Imam Syafi’I, kebanyakan ulama ahl fiqih, dan ahli ushul,
dan ketiga, membolehkan menggunakan hadis mursal apabila
ada riwayat lain yang musnad, diamalkan oleh sebagian ulama.
Apabila terdapat riwayat lain yang musnad, maka hadis tersebut
bisa dijadikan hujjah.
2) Hadits munqati’
Menurut Muhammad al-Sabag, hadis munqati’ adalah “hadis
yang gugur pada sanadnya seorang perawi, atau pada sanad
tersebut disebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya.
Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadis munqati’
jelas termasuk kategori hadis dha’if. Oleh karenananya tidak
dapat dijadikan hujjah. Sebab dengan gugurnya seorang perawi
atau lebih, menyebabkan hilangnya salah satu syarat-syarat dari
hadis shahih.
3) Hadits Mu’dhal
Secara etimologis, kata mu’dhal berarti “sesuatu yang sulit
dicari” atau “sesuatu yang sulit dipahami”. Sedangkan secara
terminologis hadis mu’dhal didefinisikan sebagai “hadis yang
gugur dua sanadnya dua atau lebih,secara berturut-turut”.
Hadis mu’dhal berbeda dengan hadis munqati’. Ada hadis
mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-
turut. Sedang pada hadis munqati’, gugurnya dua orang perawi,
terjadi secara terpisah (tidak berturut-turut).
4) Hadits Mu’allaq
Secara etimologis, kata mu’allaq adalah isim maf’ul dari
kata “allaqa” yang berarti “menggantungkan sesuatu pada
sesuatu yang lain sehingga itu menjadi tergantung”.

17
Sedangkan secara terminologis hadis mu’allaq adalah “hadis
yang dihapus dari awal sanadnyaseorang perawi atau lebih
secara berturut-turut”.
Contoh hadis mu’allaq adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari pada mukaddimah bab mengenai “menutup
paha”,’berkata Abu Musa, “Rasulullah saw. Maenutupi kedua
lutut beliau ketika Usman masuk”. Hadis tersebut adalah hadis
mu’alla, karena bukhari menghapus seluruh sanadnya, kecuali
sahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
Hadits mu’allaq hukumnya mardud (tertolak), karena tidak
terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad.
Hukum ini adalah untuk hadis mu’allaq secara umum. Akan
tetapi hadis mu’allaq yang terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari
dan Muslim, mempunyai guru ketentuan khusus. Hal tersebut
dikarenakan pada dasarnya sanad dari hadi-hadis itu
bersambung, namun karena untuk meringkas dan mengurangi
terjadinya pengulangan, maka sebagian perawinya dihapus.
5) Hadits mudallas
Secara etimologis, kata mudallas merupakan isim maf’ul
dari kata tadlis yang berarti “menyumbunyikan cacat barang
yang dijual dari si pembeli”. Sedangkan secara terminologi ilmu
hadits, didefinisikan sebagai “menyembunyikan cacat dalam
sanad dan menampakkannya pada lahirnya dalam bentuk yang
baik.

b. Ditinjau dari sifat matannya


1) Hadits mauquf
Yaitu berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat
saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan
baik sanadnya bersambung maupun terputus. Contoh:
)39 ‫ص‬/ 20 ‫ (ج‬- ‫صحيح البخاري‬

18
َ ‫الرحْ َمن أَبُو ال ُم ْنذر الطفَاوي‬
‫ع ْن‬ َ ‫َللا َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ْب ُن‬
َّ ‫عبْد‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
َ ‫علي ْب ُن‬
َّ ‫عبْد‬
َ‫أ َ َخذ‬: ‫ع ْن ُه َما قَا َل‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫َللا‬ َ ‫ع َم َر َرض‬ َّ ‫عبْد‬
ُ ‫َللا بْن‬ َ ‫سلَ ْي َمانَ ْاأل َ ْع َمش قَا َل َحدَّثَني ُم َجاهد‬
َ ‫ع ْن‬ ُ
َ ‫سلَّ َم ب َم ْنكبي فَقَا َل ُك ْن في الد ْنيَا َكأَنَّكَ غَريب أ َ ْو‬
‫عاب ُر‬ َ ‫علَيْه َو‬
َ ُ‫َللا‬َّ ‫صلَّى‬َ ‫َللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َر‬
ْ َ ‫صبَا َح َوإذَا أ‬
‫صبَحْ تَ فَ َال ت َ ْنت َظ ْر‬ َ ‫ع َم َر يَقُو ُل إذَا أ َ ْم‬
َّ ‫سيْتَ فَ َال ت َ ْنت َظ ْر ال‬ ُ ‫ َو َكانَ ا ْب ُن‬.‫سبيل‬
َ
َ ‫ ْال َم‬.
َ‫سا َء َو ُخ ْذ م ْن صحَّتكَ ل َم َرضكَ َوم ْن َح َياتكَ ل َم ْوتك‬
Hadits diatas yang bergaris bawah adalah hadits mauquf,
karena itu adalah perkataan Ibnu Umar sendiri, tidak ada
petunjuk kalau itu adalah sabda Rasulullah .
2) Hadits maqthu’
Yaitu perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang
tabi'iy serta dimauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung
maupun tidak. Contohnya adalah perkataan Haram bin Jubair
yang merupakan salah seorang senior dikalangan tabi'iy:
‫واذا احبه اقبل اليه‬, ‫لمؤمن اذا عرف ربه عز وجل احبه‬.
Orang mukmin itu apabila telah mengenal Tuhannya ,
niscaya ia mencintai-Nya, dan apabila ia mencintai-Nya,
niscaya Allah menerimanya.

3. Kehujjahan hadits dhaif

Sebenarnya sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat beragam.


Diantaranya :
a. Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Bagi kalangan ini hadits dhaif itu sama sekali tidak akan
dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah),
kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai
masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat
hadits dhaif di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-
Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu
Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-
Albani dan para pengikutnya.

19
b. Kalangan yang menerima semua hadits dhaif
Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima
secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu
(maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap
saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk
dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal,
pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini
antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam
Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata,
‘Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami
ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan
sejenisnya, kami longgarkan.”

c. Kalangan menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima
sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat
tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab
yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits
dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu
Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
1) Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan
hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta,
atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan
hafalannya tetap tidak bisa diterima.
2) Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya.
3) Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau
anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan
sifat Allah, juga bukan masalah hukum.

20
4) Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas
tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah kami sebagai berikut: Hadits Shahih


adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang
adil lagi dhabith, tidak syaz dan tidak ber’illat. Hadis Shahih dibagi menjadi
dua, yaitu : 1) Hadis Sahih li Dzatihi, dan 2) Hadis Sahih li Ghairih.
Kehujahan hadis shahih : Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama
ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadis sahih sebagian hujjah
yang wajib beramal dengannya
Hadits Hasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,
kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan
tidak syadz. Hadis Shahih dibagi menjadi dua, yaitu : 1) Hadis Hasan li
Dzatihi, dan 2) Hadis Hasan li Ghairih. Jumhur ulama mengatakan bahwa
kehujjahan hadis hasan seperti halnya hadis sahih, walaupun derajatnya
tidak sama.
Hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan
syarat-syarat hadis hasan Macam-macam hadis Dhaif ditinjau dari
persambungan sanadnya : Hadits Mursal, Hadits Munqati’, Hadits Mu’dhal,
Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas.
Macam-macam hadis Dhaif ditinjau dari matannya: Hadits Mauquf
dan Hadits Maqthu'. Kehujahan Hadis Dloif, ada tiga kalangan : 1)
Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif, seperti : Al-Imam
Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu
Hazm dan lainnya, 2) Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif,
seperti : Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi,
Ibnul Mubarok dan yang lainnya, dan 3) Kalangan Menengah, seperti : Al-
Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah.

22
B. Saran

Sebagai orang Islam, Hendaknya kita semua memahami Hadits Nabi,


dengan kita memahami dan mengetahui Hadits Nabi dengan cara yang
benar, maka kita akan beruntung serta dapat menyelesaikan perselisihan-
perselisihan di kalangan masyarakat kita dan supaya kita tidak terisolir.
Wahai kawan, banyaklah jikir, mengingat Allah jangan lah mungkir,
hindarkan semua kerja mubajir supaya hidup kita tidak terisolir.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ichwan, Mohammad Nur. 2007. Studi Ilmu Hadis. Semarang: Rasail Media
Group. Hlm.133
Khon, Abdul Majid. 2012. Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH
Ranuwijaya, Utang. 1996. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hlm. 170
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Hlm.144
Zainuddin,dkk. 2011. Studi Hadits. IAIN Sunan Ampel Press.

24

Anda mungkin juga menyukai