NAMA KELOMPOK 7:
Magfira 40400122090
KELAS: 1 AP3
2022
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang atas rahmat-Nya
dan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Adapun tema dari makalah ini adalah “Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas”.
Penulis jauh dari sempurna dan ini merupakan Langkah yang baik dari studi
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan penulis,
maka kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan semoga
makalah ini dapat berguna bagi penulis pada khususnya dan pihak lain yang
berkepentingan pada umumnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
SAMPUL ......................................................................................................... 1
A. Kesimpulan .......................................................................................... 22
B. Saran..................................................................................................... 23
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Shahih
Shahih menurut bahasa lawan dari kata saqim. (sakit). Kata sahih
juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti “sah ; benar,
sempurna sehat (tidak segalanya) pasti”. pengertian hadis sahih secara
definitive eksplisit belum dinyatakan oleh ahli hadis dari kalangan al-
muttaqaddimin (sampai abad III H). mereka pada umumnya hanya
memberikan penjelasan mengenai criteria penerimaan hadis yang dapat
dipegangi. Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah : “tidak diterima
periwayatan suatu hadis kecuali yang bersumber dari orang-orang yang
tsiqqah. tidak diterima periwanyatan suatu hadis yang bersumber dari
orang-orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis, dusta,
mengkuti hawa nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiannya”.
Bukhari dan Muslim, sebagai tokoh ahli khadis dan hadis-hadis yang
diriwayatkannya sebagai hadis yang sahih, ternyata juga belum membuat
definisi sahih sahh secara tegas. Namun setelah para ulama mengadakan
penelitian mengenai cara-cara dijadikan hujjah, diperoleh suatu gambaran
mengenai kriteria sahih menurut keduanya.
kriteria-kriteria dimaksud adalah: (1) rangkaian perawinya dalam
sanad itu harus sampai perawi terakhir; (2) para perawinya harus terdiri dari
orang-orang yang dikenal tsiqqat, dalam arti ‘adil dan dhabit;(3) hadisnya
terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal); dan (4) para perawinya yang
terdekat dalam sanad harus se-zaman. Hanya saja antara keduanya terjadi
perbedaan pendapat mengenai persambungan sanad. Menurut Bukhari,
sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu
pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi tidak cukup hanya sezaman
6
(al-mu’asharah). Sedangkan menurut muslim, apabila antara perawi yang
terdekat hidup se-zaman sudah dikategorikan bersambung.
الحديث الصحيح هو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى منتهاه وال يكون شاذا وال
معلال.
7
itu. Artinya, seluruh rangkaian para perawi hadis, sejak perawi
terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima hadis langsung
dari Nabi SAW, bersambung dalam periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu sanad,
biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai
berikut:
1) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti;
2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat;
3) Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat
dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah
kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasana,
akhbarana, ‘an, anna atau kata-kata lainnya.
8
b. Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan
dan kekurangan yang ada pada diri perawi;
9
e. Tidak berillat (Gair Mu’allal)
Secara etimologis, term ‘illat (jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal) berarti
cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Dengan makna ini,
maka disebut hadis ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau
penyakitnya.
Sedangkan secara terminologis, ‘illat berarti sebab yang
tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis. Keberadaannya
menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih
menjadi tidak sahih. Dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang
tidak ber’illat, adalah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat
kecacatan, kesamaran atau keragu-raguan.
Contoh:
لوال أن أشق على أمتى أو على الناس ألمرتهم باسواك مع كل صالة (رواه البخارى
10
Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami bahwa
sebenarnya hadis tipe ini asalnya bukan hadis sahih, melainkan
hadis hasan li-dzatih. Karena adanya Syahid atau Mutabi’ yang
menguatkannya, maka hadis hasan li-dzatih ini berubah kedudukan
menjadi sahih li gharihi, yakni hadis yang kesahihannya dibantu
oleh adanya matan atau sanad yang lainnya.
Contoh:
)41 ص/ 1 (ج- سنن الترمذى
ع ْن أَبي َ َسلَ َمة َ ع ْن أَبي َ ع ْمرو َ ع ْن ُم َح َّمد بْن َ َس َل ْي َمان
ُ ع ْبدَة ُ ْب ُن َ َحدَّثَنَا أَبُو ُك َريْب َحدَّثَنَا
علَى أ ُ َّمتي َأل َ َم ْرت ُ ُه ْم ُ َ سلَّ َم لَ ْو َال أ َ ْن أ
َ ش َّق َ علَيْه َو َّ صلَّى
َ َُللا َ َللا َّ سو ُل ُ ه َُري َْرة َ قَا َل قَا َل َر
َ بالس َِّواك ع ْندَ ُك ِّل
ص َالة
4. Kehujjahan Hadits Shahih
Para ulama ahli hadis dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh
sepakat menjadikan hadis sahih sebagai hujjah yang wajib beramal
dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan
dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal
yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i yaitu al-
Qur’an dan hadis mutawatir. Oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan aqidah. Sedang sebagian ulama lainnya dan ibn
Hazm al-Dhahiri menetapkan bahwa hadis sahih memfaedahkan ilmu
qat’i dan wajib diyakini. Dengan demikian sahih dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.
B. Hadits Hasan
Kata Hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu yang menurut bahasa
berarti sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan jiwa atau
11
nafsu. Maka sebutan hadis hasan secara bahasa berarti hadis yang baik,
atau yang sesuai dengan keinginan jiwa.
Adapun pengertian lain dari para ulama-ulama tentang hadis hasan
ini, antara lain:
a. At-Turmudzi mendefinisikan hadis hasan sebagai “Tiap-tiap
hadis yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh
dusta. (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan hadis
tersebut di riwayatkan pula melalui jalan lain.
b. Ibnu Hajar mendefinisikan hadis hasan sebagai “Khabar ahad
yang di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna
ingatannya,khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi yang
adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa
berilat dan syadz di sebut hadis shahih, namun bila kekuatan
ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih.
c. Ath-Thibi mengemukakan definisi hadis hasan sebagai “Hadis
musnad (muttashil dan marfu’) yang sanad-sanadnya mendekati
derajat tsiqah atau hadis mursal yang (sanadnya) tsiqah , akan
tetapi pada keduanya ada perawi lain: Hadis itu terhindar dari
syudzudz dan illat).”
d. Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadis hasan sebagai
“Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat
hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan
tidak syadz.”
12
a. Sanadnya bersambung;
b. Perawinya adil;
c. Perawinya dhabith, tetapi kualitasnya kedhabitan perawi hadits
sahih;
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz; dan
e. Tidak terillat
a. Hadits Li Dzatihi
Yang dimaksud dengan hadis Hasan Li Dzatihi ialah hadis
yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit
meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa
ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
b. Hasan Li-Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi itu terjadi dari hadis dha’if
jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak di
ketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi mereka
tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau
sifat-sifat jelek lainnya.
Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat
kesahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para
perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat
kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadis tersebut
banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa (mitslahu) maupun
mirip (nahwahu).
Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-
Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakannya hasan, dari jalur
Syu’bah bin ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin
Rabi’ah dari bapaknya, bahwasanya ada seorang perempuan dari
Bani Fazarah menikah dengan mahar dua sendal. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
13
َنَعَ ْم فَأ َ َجاز: ت
ْ َ»فَقَال. أ َ َرضيت م ْن نَ ْفسك َو َمالك بنَ ْعلَيْن؟
14
Kitab-kitab yang yang banyak memuat hadis hasan ini
adalah Sunan Al-Thirmidzi, Sunan Abi Daud dan Sunan Al-
Daruquthnya.
C. Hadits Dhaif
Secara etimologis, term dhaif berasal dari kata dhuf’un yang berarti
lemah, lawan dari term Al-qawiy,yang berarti kuat. Dengan makna
bahasa ini, maka yang dimaksud dengan hadis dha’if adalah hadis yang
lemah atau hadis yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat, menurut Imam
al-Nawawi hadis dha’if adalah “hadis yang didalamnya tidak terdapat
syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan.” Sedangkan
menurut ‘Ajjaj al-Khattib, hadis dha’if didefinisikan sebagai sebagai
“Segala hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”.
Menurut Nur al-Din ‘Itr, merumuskan hadis dha’if sebagai “Hadis yang
hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul.
a. Sanad Hadits
Dari sisi sanad hadis ini diperinci ke dalam dua bagian:
1) Ada kecacatam pada perawinya baik berupa keadilannya
maupun kedhabitannya, ada 10 macam: 1) dusta, 2) tertuduh
dusta, 3) fasiq, 4) banyak salah, 5) lengah dalam menghafal,
6) banyak wahamnya, 7) menyalahi riwayat yang lebih
tsiqqah atau dipercaya, 8) tidak diketahui identitasnya, 9)
penganut bi’dah, dan 10) tidak baik hafalannya.
2) Sanadnya tidak bersambung: 1) gugur pada sanadnya, 2)
gugur pada sanad terakhir (sahabat), 3) gugur dua orang rawi
15
atau lebih secara berurutan, dan 4) rawinya yang digugurkan
tidak berturut-turut.
16
Imam Malik, Imam Ahmad, dan pendapat sebagian ahli ilmu.
Kedua, tidak membolehkan secara mutlak. Diceritakan oleh
Imam Nawawi pendapat inididukung oleh jumhur ulama ahli
hadis, Imam Syafi’I, kebanyakan ulama ahl fiqih, dan ahli ushul,
dan ketiga, membolehkan menggunakan hadis mursal apabila
ada riwayat lain yang musnad, diamalkan oleh sebagian ulama.
Apabila terdapat riwayat lain yang musnad, maka hadis tersebut
bisa dijadikan hujjah.
2) Hadits munqati’
Menurut Muhammad al-Sabag, hadis munqati’ adalah “hadis
yang gugur pada sanadnya seorang perawi, atau pada sanad
tersebut disebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya.
Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadis munqati’
jelas termasuk kategori hadis dha’if. Oleh karenananya tidak
dapat dijadikan hujjah. Sebab dengan gugurnya seorang perawi
atau lebih, menyebabkan hilangnya salah satu syarat-syarat dari
hadis shahih.
3) Hadits Mu’dhal
Secara etimologis, kata mu’dhal berarti “sesuatu yang sulit
dicari” atau “sesuatu yang sulit dipahami”. Sedangkan secara
terminologis hadis mu’dhal didefinisikan sebagai “hadis yang
gugur dua sanadnya dua atau lebih,secara berturut-turut”.
Hadis mu’dhal berbeda dengan hadis munqati’. Ada hadis
mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-
turut. Sedang pada hadis munqati’, gugurnya dua orang perawi,
terjadi secara terpisah (tidak berturut-turut).
4) Hadits Mu’allaq
Secara etimologis, kata mu’allaq adalah isim maf’ul dari
kata “allaqa” yang berarti “menggantungkan sesuatu pada
sesuatu yang lain sehingga itu menjadi tergantung”.
17
Sedangkan secara terminologis hadis mu’allaq adalah “hadis
yang dihapus dari awal sanadnyaseorang perawi atau lebih
secara berturut-turut”.
Contoh hadis mu’allaq adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari pada mukaddimah bab mengenai “menutup
paha”,’berkata Abu Musa, “Rasulullah saw. Maenutupi kedua
lutut beliau ketika Usman masuk”. Hadis tersebut adalah hadis
mu’alla, karena bukhari menghapus seluruh sanadnya, kecuali
sahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
Hadits mu’allaq hukumnya mardud (tertolak), karena tidak
terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad.
Hukum ini adalah untuk hadis mu’allaq secara umum. Akan
tetapi hadis mu’allaq yang terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari
dan Muslim, mempunyai guru ketentuan khusus. Hal tersebut
dikarenakan pada dasarnya sanad dari hadi-hadis itu
bersambung, namun karena untuk meringkas dan mengurangi
terjadinya pengulangan, maka sebagian perawinya dihapus.
5) Hadits mudallas
Secara etimologis, kata mudallas merupakan isim maf’ul
dari kata tadlis yang berarti “menyumbunyikan cacat barang
yang dijual dari si pembeli”. Sedangkan secara terminologi ilmu
hadits, didefinisikan sebagai “menyembunyikan cacat dalam
sanad dan menampakkannya pada lahirnya dalam bentuk yang
baik.
18
َ الرحْ َمن أَبُو ال ُم ْنذر الطفَاوي
ع ْن َ َللا َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ْب ُن
َّ عبْد َ َحدَّثَنَا
َ علي ْب ُن
َّ عبْد
َأ َ َخذ: ع ْن ُه َما قَا َل َّ ي
َ َُللا َ ع َم َر َرض َّ عبْد
ُ َللا بْن َ سلَ ْي َمانَ ْاأل َ ْع َمش قَا َل َحدَّثَني ُم َجاهد
َ ع ْن ُ
َ سلَّ َم ب َم ْنكبي فَقَا َل ُك ْن في الد ْنيَا َكأَنَّكَ غَريب أ َ ْو
عاب ُر َ علَيْه َو
َ َُللاَّ صلَّىَ َللا َّ سو ُل ُ َر
ْ َ صبَا َح َوإذَا أ
صبَحْ تَ فَ َال ت َ ْنت َظ ْر َ ع َم َر يَقُو ُل إذَا أ َ ْم
َّ سيْتَ فَ َال ت َ ْنت َظ ْر ال ُ َو َكانَ ا ْب ُن.سبيل
َ
َ ْال َم.
َسا َء َو ُخ ْذ م ْن صحَّتكَ ل َم َرضكَ َوم ْن َح َياتكَ ل َم ْوتك
Hadits diatas yang bergaris bawah adalah hadits mauquf,
karena itu adalah perkataan Ibnu Umar sendiri, tidak ada
petunjuk kalau itu adalah sabda Rasulullah .
2) Hadits maqthu’
Yaitu perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang
tabi'iy serta dimauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung
maupun tidak. Contohnya adalah perkataan Haram bin Jubair
yang merupakan salah seorang senior dikalangan tabi'iy:
واذا احبه اقبل اليه, لمؤمن اذا عرف ربه عز وجل احبه.
Orang mukmin itu apabila telah mengenal Tuhannya ,
niscaya ia mencintai-Nya, dan apabila ia mencintai-Nya,
niscaya Allah menerimanya.
19
b. Kalangan yang menerima semua hadits dhaif
Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima
secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu
(maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap
saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk
dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal,
pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini
antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam
Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata,
‘Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami
ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan
sejenisnya, kami longgarkan.”
c. Kalangan menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima
sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat
tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab
yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits
dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu
Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
1) Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan
hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta,
atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan
hafalannya tetap tidak bisa diterima.
2) Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya.
3) Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau
anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan
sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
20
4) Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas
tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
22
B. Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
Ichwan, Mohammad Nur. 2007. Studi Ilmu Hadis. Semarang: Rasail Media
Group. Hlm.133
Khon, Abdul Majid. 2012. Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH
Ranuwijaya, Utang. 1996. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hlm. 170
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Hlm.144
Zainuddin,dkk. 2011. Studi Hadits. IAIN Sunan Ampel Press.
24