Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HADITS DARI SEGI KUALITASNYA

Disusun untuk memenuhi mata kuliah ilmu hadits


Dosen Pengampuh Prof.Dr.H.Muhammadiyah Amin,M.Ag

Oleh :
1.Putri Wardah (11000121057)
2. Muh Fadhil (11000121056)
3. Abu Dujanah Hasan (11000121058)

Kelas B

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur (alhamdulillah wa syukur lillah) dipersembahkan ke hadirat
Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya, makalah ini dapat terselesaikan
dan telah rampung.
Shalawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan shabatnya, dengan harapan semoga umatnya dapat mengikuti akhlak
dan budi pekerti yang mulia.
Makalah ini berjudul “Hadits Ditnjau dari Segi Kulaitasnya” dan disusun
dalam rangka memenuhi tugas Ulumul Hadits. Pada kesempatan ini tidak lupa kami
sampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Mukhsan S.Pd.I selaku dosen
pembimbing mata kuliah Ulumul Hadits yang senantiasa membimbing dan
memberikan ilmunya kepada kami. Kami juga berterima kasih kepada rekan-rekan
yang telah memberikan semangat dan ide yang luar biasa dalam mendukung
penyelesaian makalah ini.
Kami juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kekeliruan dan masih
jauh dari kata sempurna dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca yang bersifat membangun.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada penulis khususnya
dan kepada pembaca guna memperkaya ilmu pengetahuan tentang materi yang kami
sampaikan dalam makalah ini.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………. 3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………… 4
A.    Latar Belakang Masalah……………………………………………………………........... 4
B.     Rumusan Masalah…………………………………………………………………............4
C.     Tujuan Makalah……………………………………………………………………........... 4
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………. 5
A.    Pembagian Hadits Ditinjau dari segi Kualitasnya………..…………..……………........... 5
B.     Hadits Shahih……………………………………..…………..……….…………............. 5
C.     Hadits Hasan……………………………………………..………………………............. 7
D.    Hadits Dha’if…………………………………….. …………………….…………........... 7
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………….. 10
A.    Kesimpulan………………………………………………………………………..........… 10
B.     Saran………………………………………………………………………………........... 10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………... 11

3
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Hadist merupakan sumber ajaran agama islam, disamping Al-qur’an. Bila dilihat
dari segi periwatannya jelas berbeda antara Al-qur’an dengan hadist. Untuk Al-qur’an
semua periwayatan berlangsung secara mutawatir, sedangkan periwayatan hadist
sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahead.
Berawal dari hal tersebut sehingga timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas
sebuah hadist sekaligus sebagai sumber perdebatan, yang akibatnya bukan
kesepakatanyang didapatkan tetapi sebaliknya justru perpecahan.
Kemudian berawal dari sebuah pertanyaan, “apakah hadis ini atau hadist itu dapat
dijadikan hujjah atau tidak?” salah satu kelompok dengan kuat mempertahankan
pendapatnya sementara kelompok lain dengan gigih bersikap serupa.
Mayoritas ulama’ berbeda pendapat dalam pengkajian hadist. Hadist yang sering
dijumpai tidak serta merta dapat diterima secara langsung, hadist yang didapati perlu
adanya pencarian jati diri hadist tersebut untuk dijadikan landasan hidup.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk memuat pembagian
hadist yang selama ini beredar terutama hadist dari segi kuantitas dan kualitas
sanadnya, mudah-mudahan dapat mengurangi tingkat kekeliruan dalam memahami
hadist, baik dari segi kuantitas dan kualitas sanadnya. Penulis menyadari didalam
makalah sangat jauh dari kesempurnaan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sekalian sangat diharapkan sebagai kontribusi merevisi makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
Adapun pokok pembahasan dalam makalah ini dirumuskan masalah berikut ini:
1.      Bagaimana pembagain hadits dari segi kualitasnya?
2.      Apa yang dimaksud dengan hadits Shahih?
3.      Apa yang dimaksud dengan hadits Hasan?
4.      Apa yang dimaksud dengan hadits Dha’if?
C.     Tujuan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah;
1.      Memberikan wawasan baru terhadap penulis khususnya dan pembaca mengenai
Hadits ditinjau dari segi kualitasnya.
2.      Makalah ini ditulis guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Hadits

4
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembagian Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitasnya


Ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan-nya, atau berdasarkan kepada kuat
dan lemahnya, Hadits terbagi menjadi 2 golongan, yaitu: Hadits Maqbul & Hadits
Mardud.
Yang dimaksud dengan Hadits Maqbul adalah hadits yang memenuhi syarat
untuk diterima sebagai dalil dalam perumusan hukum atau untuk beramal
dengannya. Hadits Maqbul ini terdiri dari Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
Sedangkan yang dimaksud dengan Hadits Mardud adalah Hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat qabul, dan Hadits Mardud dinamai juga dengan Hadits
Dha’if.

B.     Hadits Shahih


1.      Pengertian Hadits Shahih
Kata “Shahih” menurut bahasa berarti: sehat, selamat, sah dan sempurna. Ulama
biasa menyebut kata shahih sebagai lawan dari kata “saqim” yang bermakna sakit.
Makna hadits shahih secara bahasa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah,
sempurna dan yang tidak sakit. Sedangkan menurut istilah yaitu “ Hadis yang
dinukilkan (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung
sanadnya, tidak ber’illat (cacat), dan tidak syadz (janggal).” Demikian pengertian
hadis shahih menurut pendapat muhadditsin.
2.      Syarat-syarat Hadis Shahih
Dari pengertian di atas bahwa suatu hadis dapat dikatakan shahih apabila
memenuhi lima syarat, yaitu:
a.       Bersambung sanadnya, maksudnya tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan
menerima langsung dari guru yang memberinya dan tidak terdapat rawi yang gugur.
b.      Perawinya adil, terdapat beberapa kriteria yaitu beragama Islam, dewasa, sehat
jasmanai dan rohani, mukallaf, memelihara muru’ahnya, dan tidak mengikuti salah
satu pendapat mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
c.       Perawinya dhabith, maksudnya kuatnya daya ingat perawi hadis terhadap hadis
yang didengar maupun menyampaikannya sebagaimana mestinya, kapan saja ketika
diperlukan. Para muhadditsin membaginya menjadi dua bagian, yaitu:
Ø  Dhabith shadr atau dhabith fu’ad yaitu terpeliharanya semua hadis dalam hafalan,
mulai dari ia menerima sampai meriwayatkannya kepada orang lain dan ingatannya
itu sanggup dikeluarkan kapan saja, dimana saja ia kehendaki.

5
Ø  Dhabith kitab yaitu terpeliharanya ingatan itu melalui tulisan-tulisan atau catatan-
catatan yang dimilikinya. Ia ingat betul hadis-hadis yang telah ditulis sejak ia
mendengarnya, meriwayatkannya kepada orang lain yang benar. Jika ditemukan
adanya kesalahan tulisan dalam kitab, ia mengetahui kesalahannya.
d.      Tanpa syadz (janggal) yaitu hadis yang sanad dan matannya tidak bertentangan
dengan hadis lain yang lebih tsiqqah.
e.       Tanpa ‘illat (cacat) maksudnya hadis yang secara lahiriyyah tidak cacat, tetapi
apabila diteliti cacat itu ada sehingga keberadaannya dapat mencacatkan
keshahihannya.
3.      Macam-macam Hadis Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam, yaitu:
a.       Hadis Shahih Li Dzatihi
Hadis shahih li dzatihi adalah hadis yang didalamnya telah terpenuhi syarat-
syarat hadis maqbul atau yang memenuhi syarat-syarat diatas secara sempurna. Akan
tetapi jika kualitas daya ingat perawi kurang sempurna, maka hadis shahih li dzatihi
akan turun menjadi hadis hasan lidzatihi, akan tetapi jika kekurangan tersebut dapat
ditutupi dengan adanya hadis lain yang kualitas daya ingatnya lebih kuat maka
naiklah hadis hasan li dzatihi menjadi hadis shahih lighairihi.
b.      Hadis Shahih Li Ghairihi
Hadis shahih li ghairihi adalah hadis yang keshahihannya dibantu oleh adanya
hadis lain. Pada mulanya hadis ini memiliki kelemahan berupa periwayatan yang
kurang dhabith, sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai
hadis shahih. Tetapi setelah diketahiu ada hadis lain dengan kandungan matan yang
sama dengan kualitas shahih maka hadis tersebut naik menjadi hadis shahih, kata lain
hadis shahih li ghairihi pada asalnya adalah hadis hasan yang karena hadis ada hadis
shahih dengan matan yang sama maka hadis hasan tersebut naik menjadi hadis
shahih. Contoh hadis hasan menjadi shahih li ghirihi:
ِ ‫ق َعلَى أُ َّمتِي اَل َ َمرْ تُهَ ْم بِال ِّس َو‬
َ ‫اك ِع ْن َد ُك ِّل‬
)‫ ( رواه الترمذي‬.‫صاَل ٍة‬ َّ ‫لَوْ اَل أَ ْن أَ ُش‬
Kalau tidak memberatkan ummatku, sungguh aku akan menyuruh mereka siwak
(sikat gigi) setiap hendak shalat. (HR TIRMIDZI)
Dalam redaksi yang sama persis, hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Tirmizi
juga Imam Bukhari. Hadis yang melalui jalur Imam Tirmidzi melalui rawi
Muhammad bin Amir yang terkenal sebagai orang yang jujur namun dinilai kurang
dhabit, maka hadis tersebut adalah hasan li dzatihi. Akan tetapi ada hadis lain
dengan redaksi dan makna yang sama melalui jalur Bukhari yang shahih, maka
hadis yang melalui jalur Tirmidzi naik menjadi hadis Shahih li ghairihi.

6
4.      Kehujjahan Hadis Shahih
Dalam menanggapi masalah apakah hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai
hujjah dalam menetapkan hokum secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin,
sebagian ahli ushul dan ahli fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih
dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.
Sekalipun demikian, kesepakatan tersebut hanya terbatas pada masalah-masalah
yang berkaitan dengan penetapan status halal dan haram, bukan yang berhubungan
dengan keyakinan atau aqidah, sebab masalh keyakinan atau aqidah harus ditetapkan
dengan dasar Al-Qur’an dan hadis mutawwatir bukan dengan hadis ahadi, sedangkan
hadis shahih termasuk kedalam salah satu macam hadis ahadi jika dilihat dari sisi
kualitasnya.
Dari faktor itulah, maka stratifikasi hadis shahih tergantung pada sejauh mana
kedhabitan dan keadilan para perawinya, semakin dhabit dan adil maka semakin
tinggi pula strata kualitas hadis yang diriwayatkan.

C. Hadits Hasan

1.      Pengertian Hadis Hasan


Secara bahasa Hasan artinya sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu.
Sedangkan secara istilah menurut Ibnu Hajar al-Asqalani adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya,
bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘illat (cacat), dan tidak mengandung
kejanggalan (syadz)”.
Para ulama sepakat bahwa istilah hadis hasan diperkenalkan pertama kali oleh
Tirmidzi, karena sebelum beliau pembagian hadis hanya ada shahih dan saqim atau
maqbul dan mardud.
2.      Macam-macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih, demikian pula hadis hasan juga dibagi menjadi 2, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi
Hadis yang memenuhi lima unsur persyaratan hadis shahih, tetapi salah satu rawi
ditengarai kurang kuat hafalannya.
Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, hadis hasan li dzatihi ialah hadis yang bersambung
sanadnya dengan penukilan perawi yang ‘adil dan ringan kedhabitannya dan yang
semisalnya atau dari perawi yang lebih tinggi darinya sampai akhirnya berhentinya
sanad dan bukan hadis yang syadz, juga bukan mu’allal (yang bercacat).

7
b.      Hadis hasan li ghairihz
Yaitu hadis dha’if yang karena didukung oleh hadis lain yang shahih dengan
matan yang sama, sehingga naik menjadi hadis hasan li ghairihi. Hadis yang naik
peringkatnya menjadi hadis hasan hanyalah hadis dha’if yang tidak terlalu dha’if.
Adapun hadis yang sangat lemah tidak dapan menjadi hadis hasan meskipun terdapat
hadis hadis dengan matan yang sama berkualitas shahih.

Contoh hadis dha’if yang menjadi hadis hasan li ghairihi:


َ ‫َح َّدثَنَا ع ُْث َمان ْب ِن الهَ ْيت َِم َح ّدثَنَا َعوفُ ع َْن أَبِي َر َجا ٍء ع َْن ِع ْم َرا ٍن ْب ِن ُح َس ْي ٍن ع َِن النَّبِى‬
َ ‫لَ ِم‬u‫ ِه َو َس‬u‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي‬
: ‫قَال‬
)‫ ( رواه البخارى‬.‫ْت أَ ْكثَ َر أ ْهلِهَا النِّ َسا ُء‬
ُ ‫ار فَ َرأَي‬ ُ ‫ْت فِى ْال َجنَّ ِة فَ َرأَيْتَ أَ ْكثَ َر أَ ْهلِهَا ْالفُقَ َرا ُء َواطَلَع‬
ِ َّ‫ْت فِي الن‬ ُ ‫اطَلَع‬
Aku pergi ke surga dan aku dapati kebanyakan penghuninya adalah orang faqir
dan aku pergi ke neraka kudapati sebagian besar penghuninya adalah wanita. (HR
BUKHARI)
Hadis yang diriwayatkan melalui jalur Bukhari menjadi dha’if karena adanya
Usman bin Haitam yang dinilai lemah, namun menjadi hasan li ghairihi karena
adanya jalur lain melalui Tirmizi yang bernilai hasan.
3.        Kehujjahan Hadits Hasan
Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan
bahwa hadits hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama,
bahkan ada sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits
shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi.
Maka dari itu, para ahli hukum banyak beramal menggunakan dasar dari hadits
hasan, sekalipun mereka tetap berpegang pada persyaratan keafsahan hasan li ghairihi
sebagai hujjah, yaitu:
a.         Meminimalisir kekurangan-kekurangan yang ada.
b.         Hadits tersebut tertutup oleh banyaknya periwayatan hadits lain, baik
redaksinya sama atau hamper sama.

D. Hadis Dha’if

1.      Pengertian Hadis Dha’if


Kata dha’if menurut bahasa berarti lemah, kebalikannya adalah (‫ )ﻗﻮﻯ‬yang
berarti kuat. Maka sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, sakit,
tidak kuat. Sedangkan pengertian hadis dha’if secara therminologi menurut an-
Nawawi dan al-Qasimi adalah:
‫الص َّح ِة َواَل ُشرُوْ طُ ْال َح َس ِن‬
ِ ُ‫َما لَ ْم يُوْ َج ْد فِ ْي ِه ُشرُوْ ط‬

8
Hadis dha’if adlah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis
shahih dan syarat-syarat hadis hasan.
Dari definisi tersebut dapat difahami bahwa jika dalam satu hadis telah hilang
satu syarat saja dari sekian syara-syarat hadis hasan, maka hadis tersebut dinyatakan
sebagai hadis dha’if. Apalagi yang hilang itu sambai dua atau tiga syarat maka inilah
yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan status semua hadis dha’if adalah mardud
(tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.
2.      Klasifikasi Hadis Dha’if
Hadis dhaif berdasarkan tingkat kedha’ifannya dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Dhaif muhtamal, yaitu yang bias ditahan (diterima) atau ringan, bukan dha’if
yang berat. Hal ini ketika ada hadis semisal yang membantu tertutupnya kedha’ifan
hadis tersebut dan terangkat menjadi hadis hasan li ghairihi.
b.      Dha’if syadid, yaitu dha’if yang sangat berat. Hal ini ketika ada hadis yang
semisalnya tertapi tetap tidak tertutup kedha’ifan hadis tersebut dan tidak terangkat
derajatnya.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam menanggapi masalah apakah hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai
hujjah dalam menetapkan hokum secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin,
sebagian ahli ushul dan ahli fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih
dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.
Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa
hadits hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan
ada sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih
baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi.
Jika dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian syara-syarat hadis
hasan, maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dha’if. Apalagi yang hilang itu
sambai dua atau tiga syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan
status semua hadis dha’if adalah mardud (tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiannya kami selaku


manusia biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami
mnegharapkan kritik maupun saran khususnya dari Dosen Pembimbing Bapak
Mukhsan S.Pd.I yang bersifat membantu dan membangun agar kami tidak melakukan
kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan datang.

10
DAFTAR PUSTAKA

Zein, Muhammad Ma’shum.2007.Ulumul Hadits & Musthalah Hadits.Jakarta:Darul


Hikmah
Yuslem, Nawir.2001.Ulumul Hadis.Jakarta:PT. Mutiara Sumber Widya
TIM MGMP PROVINSI YOGYAKARTA.2011.Ilmu Hadits.Yogyakarta:Kementrian
Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

11

Anda mungkin juga menyukai