Anda di halaman 1dari 20

KRITERIA HADITS SHAHIH

Tujuan Pembuatan Makalah ini untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Samsul Muarif, ME

Disusun oleh:
Ahmad Murtadho (11022030)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA


ISLAM JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Hadits Shahih” dapat saya
selesaikan dengan baik. Saya berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman pembaca. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah
SWT keruniai kepada saya sehingga makalah ini dapat saya susun melalui beberapa
sumber.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan saya semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Harapan
saya, informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Tiada yang sempurna didunia, melainkan Allah SWT.
Demikian makalah ini saya buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau
pun adanya ketidaksesuaian materi yang saya angkat dalam makalah ini. Saya mohon
maaf. Saya menerima kritik dan saran seluas luasnya dari pembaca agar bisa membuat
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Pati, 20 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................1

C. Tujuan..............................................................................................................2

BAB II........................................................................................................................3

PEMBAHASAN........................................................................................................3

A. Pengertian Hadits Shahih................................................................................3

B. Syarat-Syarat Hadits Shahih............................................................................5

C. Pembagian Hadits Shahih..............................................................................10

D. Tingkatan Hadits Shahih...............................................................................13

BAB III....................................................................................................................16

PENUTUP................................................................................................................16

A. Kesimpulan....................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Alquran, secara
resmi ditulis dan dikumpulkan dalam suatu kitab pada masa pemerintahan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Oleh karena itu umat Islam wajib menjadikan
hadits sebagai pedoman dalam segala aktivitas, baik dalam segala aktivitas
maupun dalam pengabdiannya sebagai hamba Allah maupun khalifah di muka
bumi ini.
Dari tahun wafatnya Rasulullah SAW, sampai tahun ditulisnya hadis sangat
memungkinkan munculnya pemalsuan-pemalsuan haditS. Hal inilah yang
mendorong ulama untuk mencari dan mengumpulkan hadis-hadis. Para ulama
dalam melakukan penelitian menitik beratkan terhadap perhatiannya pada sanad
dan matan hadits. Oleh karena itu para ulama menetapkan kaidah-kaidah yang
berkenaan dengan kedua hal tersebut sebagai syarat diterimanya suatu hadis.
Sesuai dengan perjalanan hadits ternyata tidak semua yang disebut hadis itu
benar-benar berasal dari nabi. Tidak semua hadis dapat kita gunakan karena ada
hadis tertentu yang lemah kedudukannya, ada pula hadis yang mempunyai
masalah dengan sanadnya rawinya dan lain sebagainya. Mengamalkan hadis yang
tidak seharusnya diamalkan dapat berakibat buruk bagi kehidupan. Mengingat
akan ke hati-hatian dalam memakai hadis sebagai sumber hukum yang kedua itu
penting. Maka kita harus mengetahui seperti apa syarat-syarat hadis yang dapat
kita pergunakan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian hadits shahih?
2. Bagaimana syarat-syarat hadits shahih?
3. Bagaimana pembagian hadits shahih?
4. Bagaimana tingkatan hadits shahih?

1
C. Tujuan
1. Mengetahui bagaimana pengertian hadits shahih.
2. Mengetahui bagaimana syarat-syarat hadits shahih.
3. Mengetahui bagaimana pembagian hadits shahih.
4. Mengetahui bagaimana tingkatan hadits shahih.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Shahih


Secara etimologi (bahasa), kata shahih yang berarti sehat. Maka, hadis shahih
dapat dimaknai sebagai hadits yang sehat, selamat, benar, sah, dan sempurna. Para
ulama berpendapat bahwa kata shahih merupakan lawan dari kata saqim yang
berarti sakit. Bila digunakan untuk menyakiti badan, maka makna yang digunakan
adalah makna hakiki (yang sebenarnya), tetapi bila diungkapkan di dalam hadis
dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Sedangkan secara istilah, pengertian yang paling bagus yang disampaikan
ulama hadis adalah:
‫ وال علة‬،‫ من غير شذوذ‬،‫ عن مثله إلى منتهاه‬،‫ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط‬
Hadis yang bersambung sanadnya (jalur periwayatan) melalui penyampaian
para perawi yang ‘adil, dhabit, dari perawi yang semisalnya sampai akhir jalur
periwayatan, tanpa ada syudzudz, dan juga tanpa ‘illat.
Di antara pendapat para ulama tentang defenisi hadis sahih adalah sebagai
berikut.
Hadis sahih adalah hadis yang susunan lafalnya tidak cacat dan maknanya
tidak menyalahi ayat (Al-Qur’an) atau hadis mutawatir atau ijma’ dan sanadnya
bersambung serta para rawinya adil dan dhabit. Hadis yang dinukil (diriwayatkan)
oleh periwayat yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung,
tidak ber-‘illat dan tidak syaz.
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan "hadis yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit (kuat
hafalan), tidak syadz (asing) dan tidak ber’illat (cacat)".
Definisi hadis sahih secara konkrit baru muncul setelah Imam
Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
1. Apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengamalan
agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang
diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi
perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara

3
hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadis yang ia
riwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas
dari tadlis (penyembuyian cacat);
2. Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW atau dapat
juga tidak sampai kepada Nabi.
Imam Bukhari dan Imam Muslim membuat kriteria hadis sahih sebagai berikut:
1. Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi
pertama sampai perawi terakhir.
2. Para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam
arti adil dan dhabit,
3. Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal)
4. Para perawi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
Mahmud at-Tahhan dalam kitab Taisir Fi Mustalahi al-Hadis mendefinisikan
hadis yang sambung sanadnya diriwayatkan oleh orang yang adil dan sempurna
kedhabitannya disemua tingkatan sanad, tidak syaz, dan tidak ber-‘illat.
Menurut Ibnu Salah, hadis sahih adalah hadis yang musnad, yang sanadnya
bersambung, diceritakan oleh orang-orang yang adil dan dhabit sampai akhir,
tidak ada syaz dan tidak ber-illat. Menurut Imam Nawawi, hadis sahih adalah
hadis yang sanadnya bersambung, rawi-rawinya adil, dah dhabit, tidak syaz, dan
tidak ber- ‘illat.
Al-Bagawi mendefinisikan hadis sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh
keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) atau salah satu dari keduanya. Al-Khatabi
mendefinisikan hadis sahih secara lebih sederhana yaitu hadis yang sanadnya
bersambung dan penyampaiannya adil.
Menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, hadis sahih adalah hadis yang sanad
bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang siqat (adil dan dhabit) dari
permulaan sampai akhir, tidak syaz dan tidak ber-‘illat.1

1 1
Mukarom Faisal Fosidin, Ngatiman, Menelaah Ilmu Hadis (Surakarta: PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2015), 89

4
Menurut Ibnu Sholah, hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanad.
Diriwayatkan oleh orang yang adil, dhabit dari orang yang adil, dhabit hingga
akhirnya tidak syaz (tidak bertentangan denga hadis lain yang lebih sahih) dan
tidak mu’allal (tidak cacat).2
Contoh Hadis Shahih :
‫حَّد َثِني َيْح َيى ْبُن َج ْع َفٍر َح َّد َثَنا َع ْبُد الَّر َّز اِق َع ْن َم ْع َمٍر َع ْن َهَّم اٍم َقاَل َسِم ْع ُت َأَبا ُهَر ْي َر َة َر ِض َي ُهَّللا َع ْن ُه َع ْن الَّنِبِّي‬
‫ره َفَل ُه ِنْص ُف َأْج ٍر‬rrr‫ب َز ْو ِج َه ا َع ْن َغْي ر أم‬rrr‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َق اَل ِإَذ ا َأْنَفَقْت اْلَم ْر َأُة ِم ْن كس‬

Artinya: Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Ja'far, telah menceritakan kepada
kami Abdur Razaq dari Ma'mar dari Hammam berkata, aku mendengar Abu
Hurairah RA berkata, Nabi SAW bersabda, "Jika seorang istri bersedekah dari harta
hasil usaha suaminya tanpa perintah suaminya maka bagi suaminya mendapat
separuh pahalanya." (HR Bukhari).
B. Syarat-Syarat Hadits Shahih
Hadis shahih bisa dikatakan shahih apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Sanadnya bersambung (itishal al-sanad)
Sanad bersambung ialah setiap periwayat hadis dalam sanad hadis
menerima riwayat hadis dari periwayat yang terdekat sebelumnya; keadaan
semacam itu terus berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis. Artinya
adalah sanad tersambung mulai dari mukharrij hadis sampai pada periwayat
pertama (kalangan sahabat) yang memang lansung bersangkutan dengan nabi.
Dalam istilah lain, sanad bersambung sejak sanad pertama hingga sanad yang
terakhir atau dibalik, sanad pertama sejak dariperiwayat pertama hingga
berakhir pada periwayat terakhir (mukharrij hadist).
Namun atas bersambungnya sanad masih belum bisa serta-merta
dikatakan hadis shahih. Sebab ada yang mengistilahkan hadis yang bersambung
sanadnya tersebut dengan istilah hadis musnad. Menurut Ibn ‘Abd al-Barr hadis
musnad adalah hadis yang didasarkan pada hadis Nabi (sebagai hadis marfu’),
sanad hadis musnad ada yang bersambung (muttashil) dan ada pula yang
terputus (munqathi’). Hadis ini bisa dijadikan patokan menetukan keshahihan
hadis, para ulama hadis bersepakat bahwa hadis musnad pasti marfu’ dan

2
Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam (Surabaya: Al Ikhlas, 1991), 16

5
bersambung sanadnya, tapi hadis marfu’ belum tentu hadis musnad.3
Dengan demikian hadis ini tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan
keshahihan hadis beda dengan hadis musnad. Dari keterputusan tersebut di
khawatirkan adanya keterputusan informasi dari Nabi. Untuk mengetahui
bersambung atau tidaknya sanad hadis, Menurut M. Syuhudi Ismail. Para
ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat yang dilakukan;
hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah periwayat tersebut dikenal
sebagai orang yang tsiqah (adil dan dhabith), serta bukan termasuk dari
orang yang tadlis. Juga untuk mendeteksi ada hubungan sezaman
antara guru-murid dalam periwayatan hadis.
c. Meneliti kata yang menghubungkan antara perawi dengan perawi yang
terdekat dalam sanad. Misalnya berupa: haddatsana, haddatsani,
akhbarani, akhbarana, sami’tu, an, anna, dan banyak lagi yang
lainnya.
Melalui cara diatas dapat diketahui ketersambungan sanad hadis. Dengan
mengetahui kedekatan perawi antara perawi satu dengan perawi sebelumnya.

2. Perawinya bersifat adil (‘adalat al-rawi)


Tentang perawi yang bersifat adil ini ada banyak pandangan dikalangan
para ulama hadis. Dan banyak pandangan ini sudah biasa dalam menetapkan
suatu ketentuan, pendapat dari Al-Hakim ia menyatakan bahwa seorang bisa
dikatakan, adil ketika ia beragama Islam, tidak berbuat bid‟ah, dan tidak
berbuat maksiat. Beda dengan Al-Irsyad “yang dimaksud adil ialah orang yang
berpegang teguh terhadap pedoman adab-adab syara”. 4 Beda pula yang keluar
dari kepala seorang Ar-Razi, ‘adil baginya adalah tenaga jiwa yang
mendorong untuk selalu bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi
kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-
perbuatan mubah

3
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 160-161
4
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis (Bandung: PT Alma’arif, 1974), 119

6
yang menodai muru’ah; makan sambil berdiri di jalanan, buang air kecil
di tempat yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebih-
lebihan.5
Dari sekian pandangan tersebut M. Syuhudi Ismail dalam buku yang diramu
oleh Kasman yang berjudul Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah
meringkas semuanya menjadi empat kriteria perawi yang adil diantaranya
adalah:
a. Beragama Islam.
b. Mukallaf.
c. Melakukan ketentuan agama.
d. Memelihara mur’ah.6
Untuk mengetahui kualitas ke-adilan perawi, para ulama menetapkan
untuk menetukan hal tersebut berdasarkan:
a. Popularitas keutamaan periwayat tersebut di kalangan ulama hadis
tersebut.
b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis penilaian ini mencakup
kelebihan atau kekurangan yang terdapat pada periwayat hadis
tersebut, hal ini bisa ditelaah melalui, ilmu al-jarh wa al-ta’dil.
c. Penerapan ilmu al-jarh wa al-ta’dil di pakai apabila dari kalangan
kritik hadis tidak menemukan kesepakatan tentang kualitas pribadi
periwayat tertentu.7

3. Perawinya bersifat dhabit (dhabth al-rawi)


Dhabit menurut bahasa mempunyai makna kokoh, yang kuat, yang hafal
secara sempurna. Seorang perawi mempunyai daya ingat yang kuat dan
sempurna terhadap hadis yang diriwayatkan. Ibn Hajar Al-Asqolani
berpendapat “bahwa perawi yang dhabit itu adalah dia yang kuat hafalannya
terhadap apa yang pernah di dengarnya, kemudian mampu menyampaikan

5
Badri Khaerruman, Ulumul Al-Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 151
6
Kasman, Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012), 39
7
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-MALIK PRESS, 2010), 116

7
hafalan tersebut pada saat dibutuhkan.8 Artinya, seorang perawi mempunyai
kualitas kesehatan yang maksimal mulai dari kesehatan pendengaran, otak,
psikis, dan oral. Hal ini sangat menjadi bagian penting bagi perawi sebab
dengan pendengaran yang kuat ia mampu mendengarkan secara utuh isi apa
yang didengar, mampu memahami dengan baik, tersimpan dalam memori
otaknya, kemudian mampu menyampaikan dengan fasih dan benar kepada
orang lain.
Lebih spesifik lagi dhabit dibelah menjadi dua macam diantaranya adalah
dhabit hati dan dhabit kitab. Dhabit hati maksudnya ialah seorang perawi
mampu menghafal setiap hadis yang di dengarnya dan sewaktu-waktu dia bisa
mengungkapnya atau sederhanya terpelihara periwayatan dalam ingatan sejak
menerima hadis sampai menyampaikan kembali kepada orang lain, sedangkan
dhabit kitab ialah seorang perawi yang ketika meriwayatkan hadis secara
tertulis, tulisannya sudah mendapatkan tashhih dan selalu terjaga.9
Sifat-sifat kedhabitan itu bisa dideteksi melalui; kesaksian para ulama dan
berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat orang lain yang telah
dikenal dengan kedhabitannya.

4. Terhindar dari syadz (‘adam al-syadz)


Syadz disini berarti hadis yang diriwayatkan tidak mengalami kerancuan
atau terjadi sangsi dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang lain yang
tingkat adil dan dhabitnya lebih tinggi.
Para ulama sepakat berikut adalah syarat syudzudz:
a. Periwayat hadis tersebut harus tsiqah.
b. Orang tsiqah meriwayatkan hadis yang berbeda dengan yang lebih
tsiqah baik dari segi hafalan, jumlah orang yang diriwayatkan atau
yang lainnya.

8
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 132
9
Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, trj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pusta
Pelajar, 2012), 53
8
c. Perbedaan tersebut bisa berupa penambahan atau mengurangi dalam
hal sanad dan matan.
d. Periwayat tersebut menimbulkan kerancuan yang begitu pelik sehingga
tidak bisa dikompromikan.
e. Adanya kesamaan guru dari hadis yang diriwayatkan.10

5. Terhindar dari illat (‘adam ‘illat)


Terhindar dari illat adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari
cacat kesahihannya. Yakni hadis tersebut terbebas dari sifat-sifat samar yang
membuatnya cacat, meskipun secara kasat mata hadis tersebut tidak
menujukkan adanya cacat. Menurut Ibn al-Shalah, an-Nawawi, dan Nur al-Din
‘Itr menyatakan bahwa ‘illat merupakan sebab yang tersembunyi yang
menjadi benalu (merusak) kualitas hadis, yang menyebabkan hadis yang pada
lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.
Menurut Mahmud al-Thahhan, hadis yang mengandung ‘illat bisa di lacak
ketika mengandung kriteria berikut:
a. Periwayatnya menyendiri.
b. Periwayat lain bertentangan dengannya.
c. Qarinah-qarinah lain yang berkaitan dengan keduanya. Detailnya untuk
mengetahui adanya ‘illat hadis bisa melakukan:
a) Menghimpun seluruh sanad, dengan maksud untuk mengetahui ada
tidaknya tawabi‟ dan/atau syawahid.
b) Melihat perbedaan di antara para periwayatnya.
c) Memerhatikan status kualitas para periwayat baik berkenaan
dengan keadilan, maupun ke-dhabitan masing-masing periwayat.11
Misalnya,
seorang ulama yang terpercaya meriwayatkan hadis yang
katanyamerupakan pernyataan Rasul saw, sementara kebanyakan ulama
menyampaikan hadis yang sama sebagai pernyataan sahabat. Di sini
jelas bahwa yang pertama melakukan kesalahan dalam menisbahkan
pernyataan itu kepada Nabi saw. Tapi, bila kita tidak menelaahnya lebih
10
Kasman, Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012), 42-
43
11
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Predata Group, 2010), 170-172

9
jauh, dan hanya melihat satu isnad saja, riwayat tersebut akan kelihatan
benar berdasarkan kedudukan periwayatnya dalam penggolongan
periwayat dan terpenuhinya persyaratan lain. Istilah ini, ‘illat qadihah,
mengisyaratan bahwa tidak setiap cacat (‘illat) di perhitungkan. Ini
dapat diumpamakan sebagai berikut:
Biasanya seluruh lembaga pelayanan umum membutuhkan surat
keterangan dokter dari pelamar. Kadang seorang pelamar nampak sangat
gagah dan cocok untuk suatu tugas, namun pengujian medis menyatakan
sebaliknya. Dalam kasus lain, sebagian pelamar mempunyai cacat rupa
atau badan yang nyata tapi sesudah pengujian medis, mereka dinyatakan
memadai untuk posisi itu, karena cacatnya penampilan mereka tidak
mempengaruhi kemampuan mereka melaksanakan tugas itu. Begitu pula
dengan ‘ilal al-hadis (“penyakit” hadis). Dalam beberap kasus, penyakit
ini mempengaruhi kesahihan hadis, yang disebut ‘illat qadihah,
sementara dalam hal lain tidak.12

C. Pembagian Hadits Shahih


Hadis sahih dibagi menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut.
1. Hadits Sahih li Zatihi
Hadis sahih li zatihi adalah hadis yang sanadnya bersambung diriwayatkan
oleh rijal al-hadis yang adil dan sempurna ke-dhabit-annya di setiap tingkatan
sanad, tidak terdapat syaz, dan tidak ber-‘illat. Contoh hadisnya adalah yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya, ia berkata,
‫ِه َق اَل‬r‫َح َّد َثَنا َع ْبُد ِهَّللا ْبُن ُيوُس َف َق اَل َأْخ َبَر َن ا َم اِل ٌك َع ْن اْبِن ِش َهاٍب َع ْن ُمَحَّم ِد ْبِن ُج َبْي ِر ْبِن ُم ْطِع ٍم َع ْن َأِبي‬
‫َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقَر َأ ِفي اْلَم ْغ ِر ِب ِبالُّطوِر‬

”Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata, ‘Telah


mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin
Jubairbin Muth’im dari ayahnya, ia berkata, ”Aku pernah mendengar
Rasulullah ‫ ﷺ‬dalam shalat Maghrib membaca “Ath-Thur.” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya, dalam Kitab Al-Adzan, no. 76]

12
Muhammad Musthafa Azami, Memahami Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1977),
108-109

1
0
Hadis di atas dinamakan hadis sahih li zatihi karena sebagai berikut.
a. Sanadnya muttasil, maksudnya semua periwayatnya mendengar hadis
lansung dari gurunya, adapu ‘an’anah-nya Malik dari Ibnu Syihab dan
Ibnu Jabir termasuk muttasil karena mereka bukan orang yang me-
mudallas-kan (menyamarkan cacatnya) sanad.
b. Para periwayatnya semua adil, sempurna dhabit-nya, dan menjaga
muru’ah.

1) Abdullah bin Yusuf dijuluki oleh ulama’ hadis sebagai rijal yang
siqah
dan muttaqin.
2) Malik bin Anas adalan imam muhaddisin dan fuqaha’, al-hafiz, dan
amirul mu’munin fi al-hadis ( hafal semua hadis yang jumlahnya lebih
dari 300.000 hadis)
3) Ibnu Syihab az-Zuhri adalah seorang yang faqih, muttaqin, amirul
mu’minin fi al-hadis).
4) Muhamad bin Jabir adalah siqah.
5) Jabir bin Mut’im adalah sahabat yang adil dan dhabit.
6) Hadisnya tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh rijal
yang lebih siqah.
7) Tidak terdapat cacat yang mengurangi derajat ke-sahih-an hadis.13

2. Hadits Sahih Lighairihi


Hadits Shahih Lighoirihi adalah hadis yang shahihnya lantaran dibantu
oleh keterangan yang lain jadi disimpulkan belum sampai kepada kualitas
shahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga
hadis tersebut meningkat hadis shahih lighairaihi.14

Para ulama mendefinisikan hadits shahih lighairihi sebagai berikut:


‫ير‬rr‫ ويروى من غ‬،‫هو الحديث الذي رواه العدل خفيف الضبط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ وال علة‬
‫وجه بنحو ذلك أو مثله‬

13
Mukarom Faisal Fosidin, Ngatiman, Menelaah Ilmu Hadis (Surakarta: PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2015), 92-93
14 14
M.Rozali, Pengantar Kuliah Ilmu Hadis (Medan: Azhar Center, 2019), 70

1
1
“Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang kurang dhabith, namun tidak
mengandung syadz maupun ‘illah. Lalu terdapat hadits lain bermatan sama
dengan derajat yang lebih kuat atau semisal.”

Definisi yang lebih singkat:

‫هو مجموع حديثين كل منهما حسن لذاته‬

“Yaitu dua hadits hasan lidzatihi yang memiliki matan yang sama.”

Berikut ini kami sampaikan contoh sebuah hadits hasan lighairihi:

: ‫َح َّد َثَنا َأُبو ُك َر ْيٍب َح َّد َثَنا َع ْبَد ُة ْبُن ُس َلْيَم اَن َع ْن ُمَحَّمِد ْبِن َع ْم ٍر و َع ْن َأِبي َس َلَم َة َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َقاَل‬

: ‫َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬

‫َلْو اَل َأْن َأُش َّق َع َلى ُأَّمِتي َأَلَم ْر ُتُهْم ِبالِّس َو اِك ِع ْنَد ُك ِّل َص اَل ٍة‬

Terjemahan: Telah menyampaikan sebuah hadits kepada kami Abu Kuraib, ia


berkata: Telah menyampaikan sebuah hadits kepada kami Abdah bin
Sulaiman dari Muhammad bin ‘Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sekiranya tidak
memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan untuk bersiwak setiap
kali akan shalat.” (HR. Tirmidzi).

Berkata Ibnu Shalah: Rawi yang bernama Muhammad bin amer bin
alqomah termasuk dari kalangan termasyhur (terkenal) karena kebenaran dan
penjagaannya, akan tetapi bukan termasuk dari “ahli itqan” sehingga sebagaian
para ulama hadits mendhaifkannya dari aspek jelek hafalannya, dan
sebagiannya lagi mentsiqatkannya karena kebenaran dan kemulyaannya, maka
hadits ini hasan. Maka ketika digabungkan dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dari jalur lain hadits ini menjadi shahih lighoirihi.

1
2
D. Tingkatan Hadits Shahih
Tingkatan hadis sahih berbeda dalam kualitasnya dengan alasan berbedanya
sifat- sifat yang mempengarui kualitas kesahihhan hadis. Hadis yang rawinya ada
dalam derajat tinggi dari segi adil, dhabit dan sifat-sifat lain yang menjadikan
keunggulan suatu hadis, maka hadis itu adalah lebih sahih dari pada hadis lainnya.
Dan diantara tingkatan tinggi dalam masalah itu ada diungkapkan oleh sebagian
imam nahwa sanad itu adalah ashohul asanid (sanad paling sahih), seperti sanad
Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar, Zuhri dari Salim ibn Abdillah ibn Umar dari
bapaknya. Dan tingkatan yang lain seperti riwayat Zayid ibn Abdillah ibn Abi
Bardah dari Jada dari Bapaknya Abi Musa al-Asyari, seperti Hamad ibn salamah
dari Tsabit dari Anas, dan selain dua tingkatan di atas seperti Suhai ibn Abi Sahih
dari bapaknya dari abi Hurairah, ‘Ala’ ibn Abdirahman dari bapaknya dari abi
Hurairah.
Semuanya itu mencakup nama adil dari dhabit, kecuali derajat pertama yang
memiliki sifat yang menjadikan ia unggul dan menghendaki didahulukan
riwayatnya mengakhirkan riwayat yang meninggikannya, dan dalam riwayat yang
mengikuti dari kualitas hafalannya, dan ada alasan lainnya adalah olehnya
dikehendaki mendahulukan yang lain mengakhirkan yang ketiga.15
Kitab hadist Shahih Bukhari Muslim adalah kitab yang paling shahih diantara
kitab hadist yang pernah di tulis berdasarkan kesepakatan ulama, Adapun ucapan
Imam Syafii radiyallahu anhu:
‫ال اعلم كتابا بعد كتاب هللا اصح من موطأ مالك رضى هللا عنه‬
"Saya tidak mengetahu ada kitab paling shahih setelah Al-Quran dari pada
kitab Muwatha-nya Imam Malik radhiyallahu anhu"

Imam Syafii mengucapkan itu sebelum kitab Shahih Bukhari Muslim terbit,
adapun setelah keduanya terbit maka kedua kitab itu lebih berhak dan lebih utama
menyandang gelar sebagai kitab yang paling shahih. Dan ini di tunjukaan oleh
ulama Hadits, yang membagi hadist shahih menjadi 7 tingkat, sebagai berikut:
1. Hadits shahih yang disepakati/dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Ini
adalah tingkatan Hadits yang paling tinggi).
2. Hadits shahih yang dikeluarkan oleh al-Bukhari, (namun tidak dikeluarkan oleh
Muslim.)
1
3
3. Hadits shahih yang dikeluarkan oleh Muslim, (namun tidak dikeluarkan oleh
al-Bukhari)
4. Hadits shahih yang sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim, (namun
mereka berdua tidak mengeluarkannya).
5. Hadits shahih yang sesuai dengan syarat al-Bukhari saja, (namun beliau tidak
mengeluarkannya).
6. Hadits shahih yang sesuai dengan syarat Muslim saja, (namun beliau tidak
mengeluarkannya).
7. Hadits yang dishahihkan oleh imam-imam ahli Hadits (selain al-Bukhari dan
Muslim, yang tidak memenuhi syarat al-Bukhari dan Muslim, atau salah satu di
antara keduanya. Ini adalah tingkatan Hadits shahih yang paling rendah).
Antara kitab shahih bukhori dan muslim manakah yang paling shahih?
Ulama jumhur berpendapat bahwa kitab hadist yang paling shahih adalah kitab
Shahih Bukhari. Abu 'Ali al-Naysaburi salah seorang guru Imam al-Hakim berkata:
‫ما تحت أديم السماء كتاب أصح من كتاب مسلم‬
"Tidak ada kitab yang lebih sahih dari kitab Muslim di bawah kolong langit ini".
Pernyataan ini disetujui oleh sebagian ulama Maghribi (Maroko). Ada juga yang
mengatakan bahwa keduanya (Kitab Bukhari dan Kitab Muslim) sama
kedudukannya.Tetapi pendapat yang paling di unggulkan adalah pendapat ulama
jumhur (bahwa kitab Shahih Bukhari lebih shahih dari kitab shahih Muslim) karena
beberapa alasan antara lain:
- Imam Bukhari mensyaratkan bahwa perawi hadits tidak meriwayatkan hadits
kecuali setelah bertemu dengan guru yang menyampaikan hadits kepadanya.
Sedangkan Imam Muslim mensyaratkan yang penting perawi dan gurunya
sezaman, itu saja sudah dianggap cukup.

- Ulama sepakat bahwa Imam Bukhari lebih alim dari pada Imam Muslim dalam
menguasai cabang ilmu disamping karena Imam Muslim adalah murid dari Imam
Bukhari yang banyak mentakhrij dan meriwayatkan hadist darinya. Dari situlah
berkata Imam Ad-Daruquthni: "Seandainya tidak ada Al-Bukhari maka Muslim
juga tidak ada."
Adapun ucapan Abi Ali tersebut di atas adalah :
("Tidak ada kitab yang lebih sahih dari kitab Muslim di bawah kolong langit ini")
tidak menjelaskan keasliannya kepada Al-Bukhari karena bertepatan dengan hal
1
4
yang sama (perbandingan), contohnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi
wasallam:
‫ وال أظلت الخضراء أصدق لهجة من أبي ذر‬، ‫ما أقلت الغبراء‬
"Tidak ada seorang lelaki yang berada di hamparan bumi ini dan di bawah naungan
langit ini yang lebih jujur dalam perkataanya dan lebih menepati (janjinya) dari
pada Abu Dzar"
Maka hadist tersebut bukan berarti menjelaskan bahwa sahabat Abu Dzar-lah
yang paling jujur di dunia, karena meniadakan kejujuran kepada seseorang bukan
berarti meniadakan kejujuran kepada yang lainnya, keterangan ini di jelaskan oleh
Imam Ibnu hajar. 15

15
Nasukha Moris, “Tingkatan Hadits Shahih”, Kompasiana, September 22, 2022,
https://www.kompasiana.com/nasmoris/6334d41a4addee4f790e5202/tingkatan-hadist-shahih
1
5
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadis shahih merupakan hadis yang di klasifikasikan berdasarkan kualitasnya
memberikan peran yang cukup besar dalam sumber hukum dan ajaran Islam.
Dengan cara penyeleksiannya yang cukup berat hadis ini memang menyajikan
kebenaran yang tidak bisa diragukan. Mulai dari sanadnya yang bersambung,
perawinya yang, adil, dhabit, terhindar dari kerancuan, dan terhindar dari cacat.
Sehingga hadis shahih tidak sembarangan keluar dari kepala orang-orang yang
tidak bertanggun jawab. Semunya keluar dari kepala orang yang mendekat dan
menrindukan ridha Allah serta mencintai Rasulullah Saw. hidupnya terpelihara
dari barang-barang yang membawa dirinya pada perbuatan dosa, sekecil apapun.
Kebenaran yang tidak diragukan itu menjadikan hadis shahih wajib untuk
diterima dan dilaksanakan. Hadis shahih mempunyai kualitas intelektual yang
luas, dilihat dari periwayat hadis shahih yang harus dhabit.

1
6
DAFTAR PUSTAKA

Al- Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis, trj. Adnan Qohar. Jakarta:
Pusta Pelajar, 2012
Azami, Muhammad Musthafa. Memahami Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Lentera
Basritama, 1977.
Fosidin, Mukarom Faisal, dan Ngatiman. Menelaah Ilmu Hadis. Surakarta: PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2015.
Hadi, Nur, dan Sulasih. Ilmu Hadis. Semarang: Mutiara Aksara, 2019.
Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana Predata Group, 2010.
Kasman. Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2012.
Khaerruman, Badri. Ulumul Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Muhammad, Abu Bakar. Subulus Salam. Surabaya: Al Ikhlas, 1991.
Nasukha Moris, “Tingkatan Hadits Shahih”, Kompasiana, September 22, 2022,
https://www.kompasiana.com/nasmoris/6334d41a4addee4f790e5202/tingka
tan-hadist-shahih
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis. Bandung: PT Alma’arif,
1974.
Rozali, M. Pengantar Kuliah Ilmu Hadis. Medan: Azhar Center, 2019.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-MALIK PRESS,
2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.

1
7

Anda mungkin juga menyukai