Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS PERAWI

HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS PERAWI

OLEH:

NAMA NIM

NURHALIMAH HASIBUAN 1620200080

JAMIAH NUR HASIBUAN 1720200063

ELDA YANTI PULUNGAN 1720200098

DOSEN PENGAMPU

SAIFUL BAHRI, M.Pd.I.

JURUSAN TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


IAIN PADANGSIDIMPUAN

2019

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya, makalah ini
dapat terselesaikan dan telah rampung. Shalawat dan salam kita hadiahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari alam kedohohan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan seperti
yang kita rasakan sekarang ini. Makalah ini berjudul “Hadits Ditnjau dariSegi Kualitas perawi” dan
disusun dalam rangka memenuhi tugas Ulumul Hadits. Pada kesempatan ini tidak lupa kami sampaikan
ucapan terima kasih kepada Bapak selaku dosen pembimbing mata kuliah Ulumul Hadits yang
senantiasa membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami. Kami juga berterima kasih kepada
rekan-rekan yang telah memberikan semangat dan ide yang luar biasa dalam mendukung penyelesaian
makalah ini.

Kami juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kekeliruan dan masih jauh dari kata
sempurna dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
kepada pembaca yang bersifat membangun.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada penulis khususnya dan kepada pembaca guna
memperkaya ilmu pengetahuan tentang materi yang kami sampaikan dalam makalah ini.

Padangsidimpuan Maret 2019

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1

A. Latar Belakang................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah........................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 2

A. Pengertian Hadits ditinjau dari kualitas perawi ............................ 2

B. Macam-macam Hadits ditinjau dari kualitas perawi..................... 2

BAB III PENUTUP..................................................................................... 11

A. Simpulan.......................................................................................... 11

B. Saran................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dilihat dari segi kualitasnya, hadits dapat diklasifikasikan menjadi hadits sahih, hasan, dan dhaif.
Pembahasan tentang hadits sahih dan hasan mengkaji tentang dua jenis hadits yang hampir sama, tidak
hanya karena keduanya berstatus sebagai hadits maqbul, dapat diterima sebagai hujjah dan dalil agama,
tetapi juga dilihat dari segi persyaratatan dan kriteria-kriterianya sama kecuali pada hadits hasan,
diantara periwayatannya ada yang kurang kuat hafalannya, sedangkan pada hadits sahih diharuskan
kuat hafalannya. Sedang persyaratan lain terkait dengan persambungan sanad, keadilan periwayat,
keterlepasan dari kejanggalan dan cacat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian hadits di tinjau dari segi kualitas perawi?

2. Apa saja macam-macam dari hadist di tinjau dari segi kualitas perawi?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian dari hadits di tinjau dari segi kualitas perawi

2. Mengetahui macam-macam hadits di tinjau dari segi kualitas perawi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits di tinjau dari segi kualitas perawi

Dilihat dari segi kualitasnya, hadits dapat diklasifikasi menjadi

hadits sahih, hasan dan dha’if. Pembahasan tentang hadits sahih dan hasan mengkaji tentang dua jenis
yang hampir sama, tidak hanya keduanya berstatus sabagai hadits maqbul, dapat diterima sebagai
hujjah dan dalil agama, tetapi juga dilihat dari segi persyaratannya dan kriteria-kriterianya sama kecuali
pada hadits hasan, diantara periwayatnya ada yang kurang kuat hapalannyanya, sementara pada hadits
sahih diharuskan kuat hafalan. Sedang persyaratan lain, terkait dengan persambungan sanad, keadilan
periwayat, keterlepasan dari syadz dan ‘illat. Sedangkan hadits dha’if adalah hadits yang tidak
memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau sahih.[1]

B. Macam-macam Hadits ditinjau dari segi kualitas perawi

1. Hadits sahih

a. Pengertian Hadits Sahih

Kata sahih ‫ ))الصحيح‬dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim ‫الشقيم‬
diartikan orang yang sakit jadi, yang dimaksud hadits sahih adalah hadits yang sehat atau benar tidak
terdapat penyakit dan cacat.[2]

Dalam defenisi lain, hadits sahih adalah

‫هو مااتصل سنده بنقل العد الضا بط ضبط كا مال عن مثله وخال منالشذوذ والعلة‬

Hadits yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit (kuat daya
ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syazd), dan cacat (‘illat).

Para ulama hadits membagi hadits sahih menjadi dua bagian, yaitu shahih li dzatihi dan sahih li
ghairihi. Perbedaan antara kedua bagian ini terletak pada segi hafalanatau ingatan perawinya. Pada
hadits shahih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna.[3]

Yang dimaksud dengan hadits shahih li dzatihi adalah hadits sahih yang mencapai tingkat
kesahihannya dengan sendirinya tanpa dukungan hadits lain yang menguatkannya.

Sedangkan yang dimaksud dengan hadits sahih li ghairihi adalah hadits hasan li dzatihi yang
diriwayatkan melalui jalur lain yang semisal atau yang lebih kuat, baik dengan redaksi yang sama
maupun hanya maknanya saja yang sama, maka kedudukan hadits tersebut menjadi kuat dan meningkat
kualitasnya dari tingkatan hasan kepada tingkatan sahih. Dengan kata lain, hadits ini kesahihannhya
tidak berasal dari sanadnya sendiri melainkan dibantu oleh adanya matan atau sanad yang lainnya.

Para ulama hadits membagi tingkatan hadits sahih menjadi tujuh, yang secara berurutan
adalah sebagai berikut:

1) Hadits yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim yang lazim disebut dengan istilah
“Muttafaqun `alaihi.”

2) Hadits yang disahihkan oleh Bukhari saja

3) Hadits yang disahihkan oleh Muslim sajaa


4) Hadits sahih yang diriwayatkan oleh selain Bukhari dan Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat
shahih Bukhari dan Muslim

5) Hadits sahih yang diriwayatkan oleh selain Bukhari dan Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat
kesahihan Bukhari

6) Hadits sahih yang diriwayatkan oleh selain Bukhari dan Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat
kesahihan Muslim

7) Hadits sahih yang diriwayatkan selain oleh ahli hadits yang terkenal selain Bukhari dan Muslim,
tetapi tidak mengikuti syarat-syarat kesahihann Bukhari dan Muslim dan tidak pula mengikuti syarat-
syarat kesahihan salah satu dari Bukhari dan Muslim.

b. Syarat-syarat hadits sahih

1) Rawinya bersifat Adil

Menurut Ar-Razi keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa,
menjauhi dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah,
seperti makan sambil berdiri dijalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya,
dan bergurau yang berlebihan.

Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil adalah :

a) Beragama islam

b) Berstatus mukalaf (Al-Mukallaf)

c) Melaksanakan ketentuan agama

d) Memelihara muru’ah

2) Rawinya bersifat dhabit

Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai haditsnya dengan baik dengan
hapalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika
meriwayatkannya.[4]

Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada
orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikendaki orang itu
dinamakan dhabtu shadri. Kemudian apa yang disampaikan itu berdasar pada buku catatannya ia
disebut dhabtu kitab. Rawi yang ‘adil dan sekaligus dhabith disebut tsiqat.

3) Sanadnya bersambung
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadits yang
bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di atsnya dan begitu selanjutnya sampai
kepada pembicara yang pertama.

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh
tata kerja penelitian berikut:

a) Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti

b) Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi

c) Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para perawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.

Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung apabila :

a) Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)

b) Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah
terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadits.[5]

4) Tidak ber-‘illat

Maksudnya bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari catat kesahihannya, yakni hadits
itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat meskipun tampak bahwa hadits itu itu tidak
menunjukan adanya cacat tersebut.

5) Tidak syadz (janggal)

Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu haits yang diriwayatkan oleh
rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya
segi-segi tarjih yang lain.

Jadi, hadits sahih adalah hadits yang rawinya adil dan sempurna ked dhabit-annya, sanadnya
muttashil dan tidak cacat matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal.

c. Klasifikasi hadits sahih


Hadits sahih terbagi menjadi dua, yaitu sahih li dzatih dan sahih li ghairih.Sahih li dzatihi adalah hadits
sahih yang menmenuhi syarat-syarat secara maksimal, seperti telah disebuutkan diatas. Adapun hadits
sahih li ghairih adalah hadits sahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal. Misalnya
rawinya yang tidak sempurna ke-dhabit-annya (kapasitas intelektualnya rendah). Bila jenis ini
dikukuhkan oleh jalur lain semisal, ia menjadi sahih li ghairih. Dengan demikian, sahih li ghairih adalah
hadits yang kesahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat-syarat secara
maksimal.Misalnya hadits hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajat dari hasan
ke derajat sahih.[6]

2. Hadits hasan

a. Pengertian hadits hasan

Hasan, menurut lughat adalah sifat musybahah dari ‘Al-Husna’, artinya bagus.

Menurut Ibnu Hajar, hadits hasan adalah

‫خبر االحادبنقل عدل تام الضبط متصل السندغير معلل والشاذ‬

Khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna ke-dhabit-tannya,
bersambung sanadnya, tidak ber’illat tidak ada syadz

Untuk membedakan antara hadits sahih dan hadits hasan, kita harus mengetahui batasan dari
kedua hadits tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadits hasan disandang oleh orang yang tidak
begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadits sahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat
ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai
hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat.

b. Klafisikasi hadits hasan

Sebagaimana hadits sahih, hadits hasan pun terbagi atas hasan li dzatih dan hasan li ghairih.

Hadits yang memenuhi segala syarat-syarat hadits hasan disebut hasan li dzatih. Syarat untuk
hadits hasan adalah sebagaimana syarat untuk hadits sahih, kecuali bahwa perawinya hanya termasuk
kelompok keempat atau istilah lain yang setaraf atau sama dengan tingkatan tersebut.

Adapun hasan li ghairih adalah hadits dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak
salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadits dhaif yang karena rawinya buruk
hapalannya, tidak dikenal identitasnya dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya
menjadi hasan li ghairih karena dibantu oleh hadits-hadits lain semisal dan semakna atau karena banyak
rawi yang meriwayatkannya.
c. Kedudukan hadits sahih dan hasan dalam berhujjah

Kebanyakan ulama ahli hadits dan fuqaha berpsepakat untuk menggunakan hadits sahih dan
hadits hasan sebagai hujjah. Disamping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadits hasan dapat
diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat
diterima itu ada yang tinggi, menengah, dan rendah. Hadits yang sifat dapat diterimanya tinggi dan
menengah adalah hadits sahih, sedangkan hadits yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadits
hasan.

Hadits-hadits yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadits maqbul, dan
hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadits maudu’.

Yang termasuk hadis maqbul adalah :

1. Hadits sahih, baik yang sahih li dzatihi maupun sahih li ghairih`

2. Hadits hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih.

Yang termasuk hadits mardud adalah segala macam hadits dhaif. Hadits mardudu tidak dapat
diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.

3. Hadits dhaif

a. Pengertian hadits dhaif

Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat).

Adapun menurut Muhaditsin,

‫هوكل حديث لم تحتمع فيه صفاتالقبول وقال اكثرالعلماءهو مالم يحمع صفةالصحيحوالحسن‬

Hadits dhaif adalah semua hadits yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadits yang diterima
dan menurut pendapat kebanyakan ulama, hadits dhaif adalah hadits yang tidak terkumpul padanya
sifat hadits sahih dan hasan.

b. Kriteria-kriteria hadits dhaif


Dari defenisi diatas terlihat bahwa hadits dhaif tidak memenuhisalah satu kriteria hadits sahih dan
hasan. Sebagaimana dijelaskan bahwa kriteria-kriteria hadits sahih adalah sanadnya bersambung,
periwayat adil, periwayat dhabit, tidak syadz, terhindar dari ‘illat. Adapun kriteria-kriteria hadits hasan
adalah sanadnya bersambung, periwayat adil, periwayat kurang dhabit, tidak syadz, dan terhindar dari
‘illat.

Berhubung hadits dhaif tidak memenuhi salah satu dari beberapa kriteria diatas, maka kriteria-
kriteria hadits dhaif adalah :

1) Sanadnya terputus

2) Periwatnya tidak adil

3) Periwayatannya tidak dhabith

4) Mengandung syadz

5) Mengandung ‘illat.

c. Klasifikasi hadits dhaif

Para ulama Muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan, yakni
jurusan sanad dan jurusan matan.

Sebab-sebab tertolaknya hadits dari jurusan sanad adalah:

1) Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-aanya.

2) Ketidakbersambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan
atau salingg tidak bertemu satu sama lain.

Adapun cacat pada keadilan da-adhbit-an rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut :[7]

1) Dusta

2) Tertuduh dusta

3) Fasik

4) Banyak salah

5) Lengah dalam menghapal

6) Menyalahi riwayat orang kepercayaan

7) Banyak waham (purbasangka)


8) Tidak diketahui identitasnya

9) Penganut bid’ah

10) Tidak baik hafalannya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadits di tinjau dari segi kualitasnya menjajadi hadits sahih, hasan dan dhaif. Perbedaan anatara hadits
sahih dan hadits hasan terdapat pada hafalan perawinya. Sedangkan hadits dhif adalah hadits yang
ditolak (tidak dapat diterima) karena hadits ini tidak terdapat syarat-syarat hadits sahih dan hasan.

B. Saran

Dari pembahasan pemakalah tentang hadits di tinjau dari segi kualitas perawi masih banyak
kekurangan-kekurangan didalam makalah ini, kami berharap pembaca dapat memahaminya. Pemakalah
berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan pembaca mengenai hadits di tinjau
dari segi kualitas perawi.

DAFTAR PUSTAKA
M. Agus Solahudin & Agus Suyadi. 2018. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.

Idri. 2010. Studi Hadits. Jakarta: Kencana.

Abdul Majid Khon. 2007. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.

Munzier Supatra. 2010. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai