Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ULUMUL HADITS

HADITS SHAHIH

Oleh:
Kelompok 6
Muhammad Iqbal Muwafa Hasan (232103050026)
Rovidatul Lailia (232103050060)
Siti Nur Aziza (232103050064)
Diana Safitri (232103050068)

Dosen Pengampu
Nasirudin Al Hasani,Lc., M.Ag.

FAKULTAS DAKWAH
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
OKTOBER 2023
KATA PENGANTAR
Dengan segala puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Hadis
Shahih” ini dengan tepat waktu.

Penulis menyusun makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Ulumul
Hadits serta menambah wawasan terkait dengan “Hadis Shahih” bagi penulis maupun pembaca.
Oleh sebab itu, penulis mengucap banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Ulumul Hadits, yaitu bapak Nasirudin Al Ahsani, Le., M.Ag. yang telah memberikan bimbingan
penuh sekaligus dukungan kepada penulis untuk menyusun makalah ini, dan memberikan
motivasi kepada penulis untuk terus meningkatkan kualitas dalam berkarya.

Penulis sangat menyadari jika penulisan makalah ini dibuat masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi materi ataupun dari cara penulisannya. Akan tetapi, penulis telah
berusaha mengerahkan kemampuan yang dimiliki dan segala pengetahuan dalam menyusun
makalah ini. Oleh sebab itu, penulis sangat haus akan menerima masukan, saran dan kritikan
untuk bisa melakakukan penyempurnaan terhadap makalah yang dibuat.

Jember, Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah...........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
C. Tujuan Masalah.......................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................5
A. Definisi Hadits Shahih..............................................................................................................5
B. Syarat- Syarat Hadits Shahih....................................................................................................6
1. Sanadnya Bersambung..............................................................................................................................6
2. Rawinya bersifat Adil.................................................................................................................................8
3. Rawinya bersifat Dhabit............................................................................................................................8
4. Tidak Syadz (janggal).................................................................................................................................8
5. Tidak Ber'illat............................................................................................................................................ 9

C. Macam- Macam Hadits Shahih Beserta Contohnya..................................................................9


1. Hadis Shahih Li Dzatihi..............................................................................................................................9
2. Hadist Shahih Li-Ghairih..........................................................................................................................10
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hadis adalah sumber hukum kedua setelah Al Quran, sehingga umat Islam dalam
menentukan hukum taklifi musti berdalil dan berargumentasi dengan menggunakan Al Quran
dan jika tidak ada keterangan yang jelas di dalam Al Quran biasanya mengambil dari hadis.
Sedangkan menurut terminologi, hadis diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para ulama
berdasarkan bidang keilmuannya, antara lain menurut ulama usul dan menurut jumhur
muhaddisin.

Perbedaan pengertian antara ulama ushul dan ulama hadis disebabkan adanya perbedaan
disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing-masing. Ulama usul membahas
pribadi dan perilaku Nabi saw sebagai peletak dasar hukum syara yang dijadikan landasan ijtihad
oleh kaum mujtahid di zaman sesudah beliau. Sedangkan ulama hadis membahas pribadi dan
perilaku Nabi saw sebagai tokoh panutan yang telah diberi gelar oleh Allah swt. Sebagai Uswah
wa Qudwah (teladan dan tuntunban). Sehingga hadis-hadis yang dikemukakan oleh ahli usul
hanya mencakup aspek hukum syara saja, adalah hadis sebagai sumber tasyri. Sedangkan definisi
yang dikemukakan oleh ulama hadis mencakup hal -hal yang lebih luas.

B. Rumusan Masalah
 Apa pengetian hadis shahih?
 Lima syarat hadis shahih
 Macam-macam hadis shahih beserta contohnya
 Kehujjahan hadis shahih

C. Tujuan Masalah
 Untuk mengetahui pengertian hadis shahih
 Agar tau tentang lima syarat hadis shahih
 Untuk mengetahui macam-macam hadis sahih beserta contohnya
 Agar tau kehujjahan hadis shahih
BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Hadits Shahih

Secara etimologi, kata shahih artinya: sehat. Kata ini meurupakan antonim dari kata
saqim yang artinya sakit. Bila digunakan untuk menyifati badan, maka makna yang digunakan
adalah makna yang hakiki (yang sebenarnya), tetapi bila diungkapkan di dalam hadis dan
pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya yang bersifat kiasan (majaz).

Sedangkan hadits shahih menurut isitilah ialah yang sanadnya bersambung,


diriwayatkan oleh perawi yang berkualitas dan tidak lemah hafalannya, di dalam sanad dan
matanya tidak ada syadz dan illat. 1 Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalahil Hadits
menjelaskan hadis shahih adalah:

‫ما اتصل سنده بنقل العدل الظابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ وال علة‬

Artinya: “Hadis yang bersambung (jalur periwayatan) melalui para perawi yang adil,
dabit, dari perawi yang misalnya sampai akhir jalur periwayatan, tanpa ada syunuz, dan juga
tanpa illat”2

Bersambung sanadnya, berarti masing-masing perawi mengambil hadis dari perawi di


atasnya secara langsung, dari awal periwayatan hingga ujung (akhir) periwayatan. Seorang
perawi disebut adil jika memenuhi kriteria: muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan juga tidak
cacat muruah wibawanya (dimasyarakat). Perawi yang dabit adalah orang yang kuat hafalannya.
Sehingga hadits yang dibawa tidak mengalami perubahan. 3

1
Hamid, A. (2016). Pengantar Studi Al-Quran.
2
Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalahil Hadits
3
Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, (Beirut 1988), h. 145-146
Definisi hadist shohih secara konkrit baru muncul setelah imam syafi’I memberikan
penjelasan tentang Riwayat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengamalan
agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur memahami hadist yang diriwayatkan dengan baik,
mengetahui perubahan arti hadist bila terjadi perubahan lafadznya; mampu meriwayatkan hadist
secara lafadz terpelihara hafalannya biala meriwayatkan hadist secara lafadz, bunyi hadist yang
dia riwayatkan sama dengan hadist yang diriwayatkan orang lain dan tak lepas dari tadlis
(penyembunyian cacat).
Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada nabi Muhammad SAW. atau
dapat juga tidak sampai kepada nabi.

Satu hal yang penting untuk kita jadikan catatan, berdasarkan keterangan bahwa
seseorang tidak mungkin bisa menilai keshohihan suatau hadist sampai dia betul-betul
mendalami ilmu hadist. Karena itu, bagi orang yang merasa belum memiliki ilmu yang cukup
tentang masalah hadist, selayaknya dia merujuk kepada ahlinya, ketika hendak menilai
keafshahan suatu hadist.

Imam Bukhari dan Imam Muslim membuat kriteria hadist shohih sebagai berikut:
1. Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai
perawi terakhir,
2. Para perawinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil dan
dabit,
3. Hadisnya terhindar dari illat (cacat) dan syadz (janggal), juga
4. Para perawi yang terdekat dalam sanad harus sezaman.4

B. Syarat- Syarat Hadits Shahih

Menurut muhadditsin, suatu hadis dapat dinilai sahih, apabila memenuhi syarat berikut.

4
Mudah meahami ilmu mustholah hadis: Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah (Pustaka Hudaya, 2021)
1. Sanadnya Bersambung
Seperti yang telah disinggung di awal, yang dimaksud dengan ketersambungan sanad
adalah bahwa setiap perawi dalam sebuah hadis menerima secara sebenar- benarnya oleh perawi
di atasnya, dan seterusnya hingga kembali kepada perawi yang pertama dari kalangan sahabat
yang menerima secara langsung dari rasul Muhammad SAW.5

Kemudian Istilah hadits “muttashil” dan “mawshul” juga digunakan apabila sehubungan
dengan sanad. Ibnu al-Shalah dan al-Nawawi mendefinisikan hadis muttashil atau mawshul
sebagai hadis yang bersambung melalui sanad, tanpa memandang apakah persambungan itu
sampai kepada Nabi Saw atau hanya para sahabat saja.6

Menurut M. Syuhudi Ismail, hadis muttashil atau mawshul ada yang disandarkan kepada
nabi (marfu’) secara langsung, ada pula yang disandarkan pada sahabat (mawkuf) dan ada pula
yang disandarkan pada tabi'in (maqthu’). Dapat dikatakan bahwa hadis-hadis musnad pasti
muttashil dan mawshul, namun tidak semua hadis muttashil atau mawshul itu hadis musnad.7

Berbeda dengan ketersambungan hadis Musnad, ketersambungan hadis muttashil atau


mawshul tidak bisa dijadikan tolak ukur dalam menentukan keshahihan suatu hadis. Hal ini
dikarenakan hadis muttashil atau mawshul ada yang disandarkan kepada Nabi SAW, ada pula
yang hanya disandarkan pada sahabat atau tabiin sehingga terdapat kemungkinan terputusnya
sanad. Berbeda dengan hadis musnad yang menjamin bersambungnya sanad kepada Nabi SAW
dan dapat dijadikan patokan syarat- syarat bersambungnya sanad.

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis
menempuh tata kerja penelitian berikut:
a. Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.

5
Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabawi, (1975)
6
Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib al-Nawawi Fann Ushul al-Hadits
7
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1995), hal. 127
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat
dengan sanad.8

Jadi suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung apabila; Antara masing-masing
rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan
periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan ketentuan yang telah diurai diatas.

2. Rawinya bersifat Adil


Menurut ar Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak
takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan
meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru'ah, seperti makan sambil berdiri
di jalanan, buang air kencing di tempat yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang
berlebihan.
Menurut syuhudi Ismail, kriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil, adalah;
a. Beragama Islam.
b. Berstatus mukallaf.
c. Melaksanakan ketentuan agama.
d. Memelihara muru'ah.

3. Rawinya bersifat Dhabit


Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik,
baik dengan hafalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali
ketika meriwayatkannya.

Jika seseorang mempunyai ingatan yang kuat sejak menerima hingga menyampaikan
kepada orang lain, dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja dikehendaki,
orang itu dinamakan dhabtu shadri. Kemudian, jika apa yang disampaikan itu berdasar pada
buku catatannya (teks book), ia disebut dhabtu kitab. Rawi yang adil dan sekaligus Dhabit
disebut tsiqat.

8
Ibid hal. 128
4. Tidak Syadz (janggal)
Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah sanad
dalam ke-dhabit-an atau adanya segi segi tarjih yang lain.
Jadi hadits shahih adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabit-annya, sanadnya
muttashil, dan tidak cacat matannya marfu', tidak cacat dan tidak janggal.

5. Tidak Ber'illat
Maksudnya bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat ke-shahih-annya, yakni
hadis itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis
itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.

C. Macam- Macam Hadits Shahih Beserta Contohnya

1. Hadis Shahih Li Dzatihi


Ialah suatu hadits yang shahih apabila memenuhi seluruh kriteria hadis dengan, antara
lain sanadnya berkesinambungan, diceritakan oleh orang adil yang mempunyai ingatan yang
cukup untuk mengingat orang-orang dari awal, berikutnya sampai akhir sanadnya, dan terhindar
dari segala yang mengganjal, hal- hal yang cacat dan kekurangan.9

Sanad bersambung disini secara luas bermaksud sanadnya mencakup syarat- syarat
diatas, tidak terputus ditengah- tengah dan terhindar dari kecacatan atau cukup disebut dengan
hadits shahih hasan10. Adapun contoh hadits li dzatihi;

Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya, ia berkata

‫َح َّد َثَنا َع ْبُد ِهَّللا ْبُن ُيوُسَف َقاَل َأْخ َبَر َنا َم اِلٌك َع ْن اْبِن ِش َهاٍب َع ْن ُمَحَّمِد ْبِن ُج َبْيِر ْبِن ُم ْطِع ٍم َع ْن َأِبيِه‬
‫َقاَل َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقَر َأ ِفي اْلَم ْغ ِر ِب ِبالُّطوِر‬

9
Muh, Zuhri. Hadis Nabi: Telaah Histories Dan Mitodologis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana1997) ; 117
10
Ibid : 118
Artinya: ”Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata, ‘Telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari
ayahnya, ia berkata, ”Aku pernah mendengar Rasulullah dalam shalat Maghrib membaca “Ath-
Thur.” (hadits shahih Al- Bukhori)11
Hadits diatas dapat dikatakan sebagai hadits shahih karena telah mencakup kriteria-
kriteria syarat diatas di antaranya sanadnya bersambung, perawinya adil dan dhabit, hadits
tersebut tidak ditemukat syadz dan tidak terdapat ‘illat

2. Hadist Shahih Li-Ghairih


Hadits shahih Li-Ghairihi adalah Hadits yang kebenaran shahihnya dibuktikan dengan
keterangan lain yang lebih lanjut. Pada mulanya, keshahih an pada hadits ini lemah dalam segi
kedhabitannya. Akibatnya, hadis-hadis tersebut dianggap tidak memenuhi standar untuk
diklasifikasikan sebagai hadis shahih.

Untuk hadits shahih li ghairihi, kita bisa merujuk pada artian tingkat dhabitnya berada
pada tingkat kedua. Misalnya, jika kita menganalisis sebuah hadis, kita menemukan bahwa salah
satu perawi hadis tersebut memiliki kualitas intelektual yang tidak sempurna. 12

Salah satu contoh hadits li ghairihi antara lain:

:‫َح َّد َثَنا َأُبو ُك َر ْيٍب َح َّد َثَنا َع ْبَد ُة ْبُن ُس َلْيَم اَن َع ْن ُمَحَّمِد ْبِن َع ْم ٍر و َع ْن َأِبي َس َلَم َة َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة‬
‫َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َلْو اَل َأْن َأُش َّق َع َلى ُأَّمِتي َأَلَم ْر ُتُهْم ِبالِّس َو اِك ِع ْنَد ُك ِّل َص اَل ٍة‬: ‫َقال‬
Artinya: “Telah menyampaikan sebuah hadits kepada kami Abu Kuraib, ia berkata: Telah
menyampaikan sebuah hadits kepada kami Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin ‘Amru dari
Abu Salamah dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Sekiranya tidak memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan untuk bersiwak setiap
kali akan shalat.” (H.R Tirmidzi)

Berkaitan dengan hadits di atas, dalam Kitab Ulumul Haditsnya al-Imam Ibnu
Shalah memberikan keterangan sebagai berikut:
11
dalam Kitab Al-Adzan, no. 765
12
‘Ulûm al-Hadîts, al-Maktabah al-Islamiyah, al- Madinah al-Munawwarah, tahun 1972)
“Perawi yang bernama Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah (perawi nomor tiga dalam
sanad di atas) merupakan salah satu perawi yang terkenal akan sifat shidiq dan zuhud. Namun
dia bukan termasuk seorang perawi yang kuat hafalan (dhabith). Sehingga sebagian ulama hadits
menggolongkannya sebagai perawi yang lemah (dha’if) dari segi hafalan. Namun sebagian
ulama menggolongkannya sebagai perawi yang kuat (tsiqah) dari segi shidiq dan terpercaya.
Sehingga hadits di atas termasuk hadits hasan.
“Ketika terdapat hadits yang semisal (sanad yang lain dengan matan yang sama), maka
sifat lemah hafalan seperti yang dikhawatirkan itu pun menjadi musnah. Dan kekurangan yang
sedikit itu pun bisa ditambal. Sehingga sanadnya pun menjadi shahih. Dan derajat hadits pun
naik menjadi shahih”13

13
Kitab Taisir fi ‘Ulumil Haidts, Syeikh Mahmud ath-Thahhan.

Anda mungkin juga menyukai