Anda di halaman 1dari 14

HADITS SHOHIH

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

STUDI HADITS

Dosen Pengampu :

Ziyadatur Rif`ah, M.Pd.I

Disusun oleh :

 Ainur Rohmatun Nisa’ (201643113620)


 Elis Rosita (201643113637)
 Wanda Rahmatul Chamida (2020043260360)

Program Studi Pendidikan Agama Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Daruttaqwa
Suci Manyar Gresik
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun telah panjatkan atas kehadirat Alloh Ta’ala, sang Pencipta alam
semesta dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat,
taufik, serta inayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah membahas
tentang HADITS SHOHIH yang sederhana ini.

Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah
satu dari sekian kewajiban mata kuliah STUDI HADITS serta merupakan bentuk langsung
tanggung jawab penyusun pada tugas yang diberikan. Pada kesempatan ini, penyusun juga
ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen Studi Hadits.

Demikian pengantar yang dapat penyusun sampaikan, di mana penyusun pun sadar
bahwasanya penyusun hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Ta’ala hingga dalam penulisan dan
penyusunan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif
akan senantiasa penyusun terima sebagai upaya evaluasi diri.

Akhirnya penyusun hanya bisa berharap, bahwa dibalik tidak kesempurnaan


penyusunan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan suatu yang dapat memberikan
manfaat atau bahkan hikmah bagi penyusun, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa STAI
DARUTTAQWA.

Gresik, 06 November 2021

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3

1.

A. Pengertian Hadist Shahih...............................................................................3


B. Syarat-syarat Hadist Shahih...........................................................................4
C. Macam-macam Hadist Shahih.......................................................................5
D. Kualitas Persambungan Sanad Hadist Shahih...............................................6

1.
2.
2.1.
BAB III PENUTUP.........................................................................................................8

2.

A. Kesimpulan.....................................................................................................8
B. Saran...............................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................10

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Hadits dalam pandangan umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam yang
ke dua sesudah Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah
keagamaan dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian
keislaman. Secara struktural hadits merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an yang
bersifat global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika
kehidupan di dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena
itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu
hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.

Dengan demikian, tujuan utama penelitian hadist adalah untuk menilai apakah secara
historis sesuatu yang dikatakan sebagai hadist Nabi itu benar-benar dapat dipertanggung
jawabkan keshahihannya, berasal dari Nabi ataukah tidak.

Hal ini sangat penting, mengingat kedudukan kualitas hadist erat sekali kaitannya
dengan dapat atau tidak dapatnya suatu hadist dijadikan hujjah (dalil) agama. Dengan melihat
dari syarat-syarat yang telah di penuhi dalam suatu hadits sehingga dapat dikatakan sebagai
hadits shahih.

B.Rumusan Masalah

Dengan latar belakang yang telang kami tuliskan di atas, kami merumuskan rumusan
masalah sebagai berikut :

1. Apa pengertian dari Hadist Shahih ?


2. Apakah syarat syarat dari Hadist Shahih ?
3. Berapakah macam-macam Hadist Shahih itu ?
4. Bagaimana kualitas persambungan sanad Hadist Shahih?

1
C.Tujuan Penulisan

Dengan rumusan masalah di atas, kami memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian dari hadist Shahih.


2. Untuk mengetahui syarat-syarat dari Hadist Shahih.
3. Untuk mengetahui macam-macam Hadist Shahih..
4. Untuk mengetahui kualitas persambungan sanad Hadist Shahih.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Hadist Shahih

Yang dimaksud dengan hadist shahih menurut muhhaditsin, ialah :

ٍ‫ص ُل ال َّسنَ ِد َغ ْي ُر ُم َعلَّ ٍل َو اَل َشا ّذ‬


ِ َّ‫ضب ِْط ُمت‬
َّ ‫ َما نَقَلَهُ َع ْد ٌل تَا ُّم ال‬.

“Hadist yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.”

Shahih menurut bahasa (etimologi) berarti “sehat” kebalikan “sakit” . Bila diungkapkan
terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di
dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan
(majaz).

Secara istilah (terminologi), maknanya adalah: hadits yang muttasil ( bersambung )


sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan dabith, tidak syadz dan tidak pula terdapat billat
yang merusak. Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan
seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir
jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)

Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan
penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:

pertama, apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengamalan
agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur memahami hadits yang diriwayatkan dengan
baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafazhnya; mampu
meriwayatkan hadits secara lafazh, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara
lafazh, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain
dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),

kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi shalallahu `alaihi wa


sallam. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi shalallahu `alaihi wa sallam.

Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadits shahih sebagai berikut:

3
1. Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi pertama
sampai perawi terakhir.
2. Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqat, dalam arti adil
dan dhobith,
3. Haditsnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal)
4. Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sezaman.

Berdasarkan definisi hadits shahih diatas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih
dapat dirumuskan sebagaimana yang akan kami jelaskan berikut.

B. Syarat-syarat Hadist Shahih

Menurut ta’rif muhadditsin tersebut, bahwa suatu hadist dapat dinilai shahih, apabila
telah memenuhi lima syarat :

1. Rawinya bersifat adil


2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak putus
4. Hadist itu tidak ber’illat
5. Tidak Janggal

Ibnu Shalah berpendapat, bahwa syarat hadist shahih seperti tersebut di atas, telah
disepakati oleh para muhadditsin. Hanya saja, kalaupun mereka berselisih tentang keshahihan
suatu hadist, bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan karena adanya perselisihan
dalam menetapkan terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut, atau karena adanya perselisihan
dalam mensyaratkan sebagian sifat-sifat tersebut.

Misalnya Abi Zinad mensyaratkan bagi hadist shahih, hendaknya rawinya mempunyai
ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan menyampaikan hadits.

Ibnu As-Sam’any mengatakan, bahwa hadist shahih itu tidak cukup hanya
diriwayatkan oleh rawi yang tsiqoh (adil dan dzabith) saja, tetapi juga harus diriwayatkan
oleh orang yang paham benar terhadap apa yang diriwayatkan, banyak sekali hadist yang
telah didengarnya dan kuat ingatannya.

Abu Hanifah mensyaratkan , perawinya harus paham benar. Ibnu Hajar tidak
sependapat tentang ketentuan-ketentuan syarat-syarat hadist shahih sebagaimana yang telah

4
diutarakan oleh ulama-ulama tersebut. Sebab syarat-syarat sebagaimana yang dikemukakan
oleh Ibnu As-Sam’any sudah termasuk dalam syarat “tidak ber-illat”.

Karena dengan diketahuinya bahwa suatu hadist itu tidak ber’illat, membuktikan
bahwa rawinya adalah orang yang sudah paham sekali dan ingat benar tentang apa yang
diriwayatkan-nya. Adapun syarat yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, bahwa perawinya
harus paham, itu hanya diperlukan di kala ada perlawanan dengan perawi lain atau dikala
menyendiri dengan periwayatan umum.

Menurut Jumhurul-Muhadditsin, bahwa suatu hadist dinilai shahih, bukanlah karena


tergantung pada banyaknya sanad. Suatu hadist dinilai shahih cukup kiranya kalau sanadnya
atau matannya shahih, kendatipun rawinya itu hanya seorang saja pada tiap-tiap thabaqat.

Dalam hal itu , sebagian ahli hadist : Abi ‘Ali Al-Jubbaiy dan Abu Bakar
Ibnu’l-‘Araby, mensyaratkan untuk hadist shahih itu sekurang-kurangnya diriwayatkan oleh
dua orang dalam tiap-tiap thabaqat.

C. Macam-macam Hadist Shahih

Para ulama hadits membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu:

a) Shahih lidzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits
maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas.

Contohnya:

َ‫ان‬r‫ َك‬: ‫ا َل‬rَ‫هُ ق‬r‫ َي هللاُ َع ْن‬r‫ض‬ ِ ‫ك َر‬r ِ ِ‫َس ْبنَ َمال‬ َ ‫ْت اَن‬ ُ ‫ ِمع‬r‫ َس‬: ‫ال‬r َ َ‫ْت اَبِ ْي ق‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ال َح َّدثَنَا ُم َس َّد ٌد َح َّدثَنَا ُم ْعتَ ِم ُر قَا َل‬ َ َ‫اريْ ق‬ ِ ‫َما اَ ْخ َر َجهُ ْالبُ َخ‬
‫ا‬rrَ‫ ِة ْال َمحْ ي‬rَ‫ك ِم ْن فِ ْتن‬ َ rَ‫ َو ْال ُج ْب ِن َو ْاله‬,‫ ِل‬r‫ ِز َو ْال َك َس‬rْ‫ك ِمنَ ْال َعج‬
َ rِ‫وْ ُذ ب‬rr‫ َو اَ ُع‬,‫ر ِم‬r َ rِ‫وْ ُذ ب‬rr‫ اَللَّهُ َّم اِنِّ ْي اَ ُع‬: ‫وْ ُل‬rrُ‫لَّ َم يَق‬r‫ ِه َو َس‬r‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬r‫ص‬ َ ‫النَّبِ ُّي‬
‫ب ْالقَبْر‬ ِ ‫و ْال َم َما‬.
ِ ‫ َواَ ُعوْ ُذ بِكَ ِم ْن َع َذا‬,‫ت‬ َ

Artinya : Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, ia berkata memberitakan kepada kami
musaddad, memberitakan kepada kami mu’tamir ia berkata: aku mendengar ayahku berkata:
aku mendengar anas bin malik berkata: nabi saw berdo’a: “Ya Allah sesungguhnya aku
mohon perlindungan kepada engkau dari sifat lemah, lelah, penakut, dan pikun. Aku mohon
perlindungan kepada engkau dari fitnah hidup dan mati, dan aku mohon perlindungan kepada
engkau dari adzab kubur.”

b) Shahih li ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat
tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul.

5
Hadits di bawah ini merupakan contoh hadits shahih li ghairihi:

ِ ‫اس َأَل َمرْ تَهُ ْم بِال ِّس َوا‬


َ ‫ك َم َع ُك ِّل‬
‫صاَل ٍة‬ ِ َّ‫ق َعلَى اُ َّمتِ ْي اَوْ َعلَى الن‬
َّ ‫لَوْ اَل اَ ْن اَ ُش‬

(‫)رواه البخاري‬

“Andaikan tidak memberatkan kepada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada
setiap kali hendak melaksanakan shalat” (HR. Bukhari).

D. Kualitas Persambungan Sanad Hadist Shahih

1. Hubungan Para Periwayat yang Terdekat

Hadist yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya dalam al-kutub al-khamsah,
terdiri dari matan dan sanad. Dalam sanad hadist termuat nama-nama periwayat dan kata-kata
atau singkatan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing periwayat dengan
periwayat lainnya yang terdekat.

Matan hadist yang shahih, atau tampak shahih, belum tentu sanad-nya shahih. Sebab
boleh jadi, dalam sanad hadist itu terdapat periwayat yang tidak tsiqoh (adil dan dhabit).
Suatu sanad yang memuat nama-nama periwayat yang tsiqoh , belum tentu pula sanad itu
shahih. Sebab boleh jadi, dalam rangkaian nama-nama periwayat yang tsiqoh itu terdapat
keterputusan hubungan periwayatan. Ini berarti, terpenuhinya qoidah sanad bersambung
bukan hanya ditentukan oleh ke-tsiqoh-an para periwayatan saja, melainkan juga ditentukan
oleh terjadinya hubungan periwayatan secara sah antara masing-masing periwayat dengan
periwayat yang terdekat dalam sanad tersebut.

2. Kata-kata yang Menghubungkan Nama-nama periwayat

Persambungan sanad ditentukan oleh kata-kata, singkatan kata-kata, atau harf, pada
sanad yang menghubungkan masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat
sebelumnya. Kata-kata dimaksud merupakan “lambang” tentang cara-cara yang telah
ditempuh oleh periwayat tatkala menerima riwayat hadist yang bersangkutan. Kata-kata
dimaksud bermacam-macam bentuknya dan beragam tingkat kualitasnya.

Menurut ketentuan, apabila periwayat menerima hadits dengan cara al-sama’,


misalnya, maka dalam sanad, sebelumnya dia menyebutkan nama periwayat yang telah
menyampaikan hadits kepadanya, terlebih dahulu dia menyebutkan kata sami’na, atau
haddasaniy, atau haddasana. Tetapi dalam praktek, suatu sanad yang periwayatannya

6
menggunakan salah satu dari ketiga macam kata tersebut tidak selalu mununjukkan bahwa
periwayat yag bersangkutan telah menerima riwayat dimaksud dengan cara al-sama’. Hal ini
terjadi pada sanad yang periwayatannya bersifat shiqoh. Sebagai contoh, dapat dikemukakan
hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, sebagai berikut :

‫ كا ن النّب ٌّي‬: ‫ قا ل‬،‫لك‬ ْ ، ‫عن حميد الطو ْي ِل‬


ٍ ‫عن ا نس ْب ِن ما‬ ْ ‫يج‬
ٍ ‫ ثنا ا بْن جر‬، ‫ ثنا مسلمة بْنُ عل ٍّي‬، ‫ح ّد ثنا هشا م بْن عما ٍر‬
‫(روا ه ابن ما جه عن ا نس بن ما لك‬.‫ث‬
ٍ ‫م ال يعو د مر ايضا اِ ال بعْد ثال‬.‫ص‬

Artinya : Hisyam bin ‘Ammar telah memberitahukan kepada kami, (katanya) Maslamah bin
‘Ulayy telah memberitahukan kepada kami, (katanya) Ibn Jurayj telah memberitahukan
kepada kami, (berita itu) dari Humayd al-Thawil dan Anas bin Malik katanya : Nabi telah
menjenguk orang yang sakit, kecuali sesudah tiga hari. (Hadist riwayat Ibn Majah dari Anas
bin Malik).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

7
1. Pengertian hadits Shahih

secara istilah (terminologi), maknanya adalah: hadits yang muttasil ( bersambung )


sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan dabith, tidak syadz dan tidak pula terdapat billat
yang merusak. Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan
seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir
jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit).

2. Syarat-Syarat Hadist Shahih.

Menurut ta’rif muhadditsin tersebut, bahwa suatu hadist dapat dinilai shahih, apabila
telah memenuhi lima syarat :

a) Rawinya bersifat adil


b) Sempurna ingatan
c) Sanadnya tidak putus
d) Hadist itu tidak ber’illat
e) Tidak Janggal

3. Macam-macam Hadist Shahih

Para ulama hadits membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu:

a) Shahih lidzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits
maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut diatas.
b) Shahih li ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat
tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul.

4. Kualitas Persambungan Sanad Hadist Shahih

a) Hubungan Para Periwayat yang Terdekat

Hadist yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya dalam al-kutub al-khamsah,
terdiri dari matan dan sanad. Dalam sanad hadist termuat nama-nama periwayat dan kata-kata
atau singkatan kata-kata yang menghubungkan antara masing-masing periwayat dengan
periwayat lainnya yang terdekat.

8
b) Kata-kata yang Menghubungkan Nama-nama periwayat

Persambungan sanad ditentukan oleh kata-kata, singkatan kata-kata, atau harf, pada sanad
yang menghubungkan masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya.

B. Kritik dan Saran

Alhamdulilah, akhirnya penyusunan makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan apa
yang telah ditentukan oleh ibu dosen. Penulis menyadari, dalam pembuatan makalah ini
banyak kekurangan. Semoga penulisan makalah ini bisa menambah wawasan kita dalam
mengetahui lebih jauh tentang Hadist Shahih. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun sehingga bisa meminimalisasikan kekurangan dan kesalahan guna
penyusunan makalah yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Drs. Fathur. 1970. Musthalahul Hadist. Bandung: PT Al Ma’rif.

Ismail, Dr. Syuhudi.1995. Kaedah Keshahihan Hadist. Jakarta: PT Bulan Bintang.

9
Qohar, Adnan. 2009. Ilmu usulul hadits. Yogyakarta: pustaka pelajar offse

https://fadhlihsan.wordpress.com/2014/02/16/jenis-jenis-jual-beli-yang-terlarang/ diakses
pada tanggal 11 September 2015.

10

Anda mungkin juga menyukai