Anda di halaman 1dari 14

Tugas Individu Dosen Pengampu

Studi Hadist Dr. Hairul Hudaya, M.Ag.


Dr. Ahmad Muradi, M.Ag.

KAIDAH KE’ADILAN DAN KEDHABITAN


PERAWI HADIST

Oleh:
Muhammad Infithar Al Ahqaf
200211060125

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
BANJARMASIN
2020 M/1442 H
KATA PENGANTAR

‫اميحرلا نمحرلا هلل‬ ‫بسم‬


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ilmiah yang berjudul: Kaidah Ke’adilan dan
Kedhabitan Perawi Hadist
Harapannya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para
pembaca. Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat, isi, maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ilmiah ini dapat memberikan
manfaat dan menambah wawasan terhadap pembaca.

Banjarmasin, Oktober 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ..................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian „Adil dan Dhabit ..................................................... 2
1. Pengertian „Adil .................................................................. 2
2. Pengertian Dhabit ................................................................. 3
B. Kaidah Ke‟adilan dan Kedhabitan Perawi Hadist .................... 4
1. Syarat-Syarat Menetapkan Ke‟adilan dan Kedhabitan
Perawi................................................................................... 4
2. Penyebab Rusaknya Ke‟adilan dan Kedhabitan Perawi ...... 5
3. Hubungan Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil Terhadap Kaidah
Ke‟adilan dan Kedhabitan Perawi Hadist ............................ 6

BAB III PENUTUP


Keimpulan ..................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadist Rasulullah sampai kepada kita hingga zaman sekarang karena
berkat perantara para perawi. Mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui
shahih atau tidaknya suatu hadist. Karena itu pula para ulama hadist sangat
memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang
rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya
pandangan para ulama hadist, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode
yang mereka miliki.1
Tidak semua hadist itu perawinya bersifat terpuji, dan tidak semua hadis-
hadis itu bersifat dhaif perawinya. Para periwayat mulai dari generasi sahabat
sampai generasi mukharijul hadist tidak bisa kita jumpai lagi secara fisik karena
mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan
maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi
dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.
Kritikan para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal
yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal demikan dapat
dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat
atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih
jelasnya disini penulis akan membahas mengenai kaidah kedhabitan dan keadilan
para perawi yang akan dikupas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian „adil dan dhabit?
2. Bagaimana kaidah ke‟adilan dan kedhabitan perawi hadist?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian „adil dan dhabit.
2. Untuk mengetahui kaidah ke‟adilan dan kedhabitan perawi hadist.

1
Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010), h. 185.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Adil dan Dhabit


1. Pengertian ‘Adil
Kata “adil” dalam ilmu hadist tidak sepenuhnya sama sebagaimana dengan
kata adil menurut bahasa Indonesia. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, adil
berarti “tidak memihak/tidak berat sebelah, sepatutnya, tidak sewenang-wenang”.
Kata ‘adil disini diambil dari bahasa Arab, yaitu (‘adl) yang berarti pertengahan,
lurus, atau condong kepada kebenaran.2
Adil merupakan suatu sifat yang melekat pada seseorang berupa ketaqwaan
dan menjaga harga diri (muru’ah). Seseorang yang dinyatakan ‘adil artinya dia
adalah seorang muslim yang sudah mukallaf dan terhindar dari segala perbuatan
yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri.3
Sifat-sifat ‘adil para perawi dapat diketahui melalui:4
a. Popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadist.
periwayat yang dikenal keutamaan pribadinya, misalnya Malik bin Anas
dan Sufyan al-Tsauri yang mana tidak lagi diragukan ke-‘adil-annya.
b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadist.
Penilaian ini berisi kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
periwayat hadist.
c. Penerapan kaidah al-Jarh wa al-Ta’dil.
Cara ini ditempuh apabila para kritikus hadist tidak sepakat tentang
kualitas pribadi periwayat tertentu.

2
Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadis Kajian Tentang Metodologi Takhrij dan Kegiatan
Penelitian Hadis, cet. 1, (Bandung: Tafakkur, 2012), h. 149.
3
Alamsyah, Ilmu-Ilmu Hadis (Ulum al-Hadis), (Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama
Raharja (AURA), 2013), h. 48.
Muhammad Nabiel, “Heresiologi Para Perawi Hadis Desakralisasi Penilaian Kritikus
4

Hadis dalam Jarh wa Ta’dil”, dalam Jurnal Samawat, Vol. 02, No. 01, 2018, h. 40.

2
2. Pengertian Dhabit
Secara bahasa, kata dhabit terdapat beberapa arti, yaitu: kokoh, kuat, tepat
dan yang hafal dengan sempurna. Pengertian harfiah tersebut diserap ke dalam
pengertian istilah dengan dihubungkan dengan kapasitas intelektual.
Ulama hadist berbeda pendapat dalam memberikan definisi istilah untuk
kata dhabit, namun perbedaan itu dapat dipertemukan dengan memberi rumusan
yaitu: periwayat yang bersifat dhabit adalah periwayat yang hafal dengan
sempurna hadist yang diterimanya, dan mampu menyampaikan dengan baik hadis
yang dihafalnya itu kepada orang lain.5 Oleh karena itu dhabith tidak hanya harus
kuat hafalan, tetapi juga harus paham terhadap apa yang dihafalnya itu. Bila „adil
saja tetapi kurang dhabit disebut shaduq dan menempati peringkat kedua dalam
sanad. Sedang perawi yang „adil dan dhabith, menempati peringkat tertinggi
dalam sanad.6
Dapat disimpulkan beberapa point mengenai definisi dhabit di atas yaitu
bahwa perawi yang dhabit ialah:
a. memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya.
b. hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya.
c. tidak mudah lupa.
d. mampu menyampaikan riwayat yang telah ia hafal kepada orang lain
kapan saja dan dimana saja ia mengendakinya.
Karena kapasitas intelektual perawi sifatnya beragam, maka kualitas sifat
dhabith seorang perawi pun diklasifikasi menjadi dua macam dua macam, yaitu:7
a. Dhabit ash-shodri, yaitu terpeliharanya hafalan hadist yang diterima oleh
perawi, sejak menerima hingga menyampaikannya kepada orang lain
kapan dan di mana saja diperlukan dan dikehendaki, dan juga mampu
meriwayatkannya dengan sempurna.
b. Dhabit al-kitab, yaitu terpeliharanya periwayatan melalui tulisan yang
dimilikinya dengan benar-benar mengingat hadist yang ditulis, menjaga
dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar.
5
Ahmad Izzan, Studi Takhrij ...., h. 151.
Alfiah, Fitriadi, dan Suja‟i, Studi Ilmu Hadis, (Kreasi Edukasi, 2016), h. 120.
6
7
Ibid, h. 104-105.

3
B. Kaidah Ke’adilan dan Kedhabitan Perawi Hadist
1. Syarat-Syarat Menetapkan Ke’adilan dan Kedhabitan Perawi
Terdapat empat butir kriteria yang telah dihimpun dari berbagai pendapat
ulama sebagai syarat untuk menjadikan seorang perawi hadist itu ‘adil. Keempat
butir kriteria tersebut yaitu:8
a. Beragama Islam.
Beragama Islam merupakan salah satu kriteria ke-‘adil-an periwayat
apabila periwayat yang bersangkutan melakukan kegiatan penyampaian
riwayat hadist.
b. Mukallaf.
Mukallaf artinya orang yang dibebani ketentuan-ketentuan syara‟/hukum
agama, yang mana sudah memasuki fase baligh dan berakal sehat.
c. Melaksanakan ketentuan agama.
Artinya melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya, memiliki akhlak mulia, teguh dalam agama, dan tidak
melakukan perbuatan maksiat yang menyebabkan dosa besar.
d. Memelihara muru’ah.
Muru’ah artinya kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri
manusia pada tegaknya moral dan kebiasaan-kebiasaan.9 Contohnya
seperti tidak buang air kecil di sembarang tempat, tidak bergaul dengan
orang yang berperilaku buruk, dan lain sebagainya.
Kemudian diantara syarat-syarat ke-dhabith-an periwayat hadist
diantaranya:
a. Mampu memahami dengan baik riwayat yang telah diterimanya.
b. Hafal dengan baik riwayat yang telah diterimanya.
c. Mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafal oleh perawi tersebut
dengan baik kepada orang lain kapan saja dan dimana saja ia
menghendakinya.

8
Ahmad Izzan, Studi Takhrij ...., h. 149.
9
Suryadi, Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, cet. 1,
(Yogyakarta: TH-Press, 2009), h. 104.

4
Kemudian tentang cara penetapan ke-dhabit-an perawi menurut pendapat
Subhi al-Shalih yaitu:10
a. Ke-dhabit-an periwayat dapat diketahui berdasarkan persaksian para
ulama. Dalam hal ini, peneliti harus menelusurinya pada kitab-kitab yang
menjelaskan kedhabithan periwayat. Seperti kitab tahzibut –tahzib.
b. Ke-dhabit-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian
riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang
telah dikenal ke-dhabit-annya juga. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin
hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiah. Hal ini
dapat dilakukan dengan mencari hadist lain dengan riwayat yang tsiqah
yang berkaitan dengan hadis yang bersangkutan. Kemudian
membandingkan kesesuaian teks hadistnya.
c. Apabila seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, maka dia
masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit. Tetapi apabila
kesalahan itu sering terjadi maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi
sebagai periwayat yang dhabit.
2. Penyebab Rusaknya Ke’adilan dan Kedhabitan Perawi
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, yang pendapatnya dalam hal ini diperjelas
oleh „Ali al-Qari, mengatakan bahwa perilaku atau keadaan yang merusak sifat
‘adil yang termasuk berat yaitu:11
a. Suka berdusta (al-kadzib),
b. tertuduh telah berbuat dusta (al-Tuhmah bil kadzib),
c. berbuat atau berkata fasik tetapi belum menjadikannya kafir (al-fasiq),
d. tidak dikenal jelas pribadi dan keadan diri orang itu sebagai periwayat
hadis (al-Jahalah), dan
e. berbuat bid’ah yang mengarah kepada fasik, tetapi belum menjadikannya
kafir (al-bid’ah).
Jika pada sifat ‘adil ada perilaku atau keadaan yang bisa merusaknya, maka
pada sifat dhabit pun juga ada perilaku atau keadaan yang dapat merusaknya.

Siti Badi‟ah, “Metode Kritik Hadits di Kalangan Ilmuwan Hadits”, dalam Jurnal Al-
10

Dzikra, Vol. 9, No. 2, 2015, h. 104.


11
Ahmad Izzan, Studi Takhrij ...., h. 150-151.

5
Menurut Ibnu Hajar al-„Asqalani, yang dalam hal ini pendapatnya dijelaskan oleh
„Ali al-Qari juga, perilaku atau keadaan yang dapat merusak ke-dhabit-an
periwayat ada lima macam, diantaranya:12
a. Dalam meriwayatkan hadist, lebih banyak salahnya daripada benarnya
(fahusya galatuhu),
b. lebih menonjol sifat lupanya dari pada hafalnya (al-gaflah ‘anil itqan),
c. riwayat yang disampaikan diduga kuat mengandung kekeliruan (al-
wahm),
d. riwayatnya betentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang-
orang yang tsiqah (mukhalafah ‘anis-tsiqah), dan
e. jelek hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu yang benar
(su’ul-hifz).
3. Hubungan Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil Terhadap Kaidah Ke’adilan dan
Kedhabitan Perawi Hadist
Para ulama ahli kritik hadis telah menetapkan suatu teknik atau teori agar
penelitian terhadap periwayat hadis dapat lebih objektif, yaitu sebagai berikut:

a. ‫التعديل مق ّدم على اجلرح‬


“At-ta’dil didahulukan atas al-jarh.”
Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan
dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikus yang
bersifat pujian.13 Alasannya yaitu sifat dasar periwayat hadist adalah terpuji,
sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Karenanya, bila
sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang
dimenangkan adalah sifat dasarnya.

b. ‫اجلرح مق ّدم على التّعديل‬


“Al-jarh didahulukan atas at-ta’dil.”
Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai tercela oleh kritikus dan dinilai
terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi

12
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
71
13
Abdullah Karim, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2010),
h. 56.

6
celaan.14 Alasannya yaitu kritikus yang menyatakan celaan lebih mengerti tentang
pribadi periwayat yang dicelanya. Dasar untuk memuji seorang periwayat adalah
prasangka baik dari pribadi kritikus hadis, dan prasangka baik itu harus
dikalahkan jika ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh
periwayat hadist yang bersangkutan.

c. ‫فسر‬
ّ ‫اذا تعارض اجلارح واملع ّدل فاحلكم للمع ّدل اال اذا ثبت اجلرح امل‬
“Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang
mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji,
kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-
sebabnya.”

Maksudnya yaitu apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus


tetapi dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan
adalah kritikus yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela tersebut mampu
menyertakan bukti-bukti akan ketercelaan periwayat yang bersangkutan.15
Alasannya karena kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan
periwayat yang dinilainya tersebut lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat
tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat
yang sama.

d. ‫اذا كان اجلارح ضعيفا فال يقبل جرحو للثّقة‬


“Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang
tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang tsiqah tidak
diterima.”
Maksudnya yaitu apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak tsiqah,
sedangkan orang yang dikritik adalah orang yang tsiqah, maka kritikan orang
yang tidak tsiqah tersebut tertolak.16 Alasannya karena orang yang
bersifat tsiqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang
tidak tsiqah.

14
Ibid, h. 56.
15
Ibid, h. 57.
16
Ibid, h. 57.

7
e. ‫ال يقبل اجلرح االّ بعد التّثبّت خشية االشباه ىف اجملروحن‬
“Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat)
dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang
yang dicelanya.”
Maksudnya apabila seorang periwayat memiliki kesamaan nama atau
kemiripan dengan nama periwayat yang lain, lalu salah seorang dari mereka itu
dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali setelah
dapat dipastikan bahwa nama itu terhindar dari kekeliruan akibat kesamaan atau
kemiripan nama tadi.17 Alasanya yaitu karena suatu kritikan harus jelas
sasarannya. Ketika mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik
haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan.

f. ‫اجلرح الناشئ عن عداوة دنيويّة ال يعت ّد بو‬


“Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam
masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan.”
Maksudnya yaitu apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu didasari
rasa bermusuhan dalam hal keduniaan terhadap pribadi periwayat yang dikritik
dengan celaan itu, maka kritikan tersebut tertolak.18 Alasannya yaitu karena
bahwa pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya
penilaian yang tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.

17
Ibid, h. 57.
18
Ibid, h. 58.

8
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari penjelasan makalah di atas mengenai kaidah ke-‘adil-an dan ke-dhabit-
an perawi hadist, dapat diambil kesimpulan yaitu:
‘Adil merupakan suatu sifat yang melekat pada seseorang berupa ketaqwaan
dan menjaga harga diri (muru’ah). Seseorang yang dinyatakan ‘adil artinya dia
adalah seorang muslim yang sudah mukallaf dan terhindar dari segala perbuatan
yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri. Perawi yang dhabit adalah
periwayat yang hafal dengan sempurna hadist yang diterimanya, dan mampu
menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain. Oleh
karena itu dhabith tidak hanya harus kuat hafalan, tetapi juga harus paham
terhadap apa yang dihafalnya itu.
Terdapat empat butir kriteria yang telah dihimpun dari berbagai pendapat
ulama sebagai syarat untuk menjadikan seorang perawi hadist itu ‘adil diantanya:
Beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan menjaga
muru’ah. Kemudian diantara syarat-syarat ke-dhabith-an periwayat hadist
diantaranya: mampu memahami dengan baik riwayat yang telah diterimanya,
hafal dengan baik riwayat yang telah diterimanya, mampu menyampaikan riwayat
yang telah dihafal oleh perawi tersebut dengan baik kepada orang lain kapan saja
dan dimana saja ia menghendakinya.
Perilaku atau keadaan yang merusak sifat ‘adil yang termasuk berat
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, yang pendapatnya dalam hal ini diperjelas oleh
„Ali al-Qari, yaitu: suka berdusta (al-kadzib), tertuduh telah berbuat dusta (al-
Tuhmah bil kadzib), berbuat atau berkata fasik tetapi belum menjadikannya kafir
(al-fasiq), tidak dikenal jelas pribadi dan keadan diri orang itu sebagai periwayat
hadis (al-Jahalah), dan berbuat bid’ah yang mengarah kepada fasik, tetapi belum
menjadikannya kafir (al-bid’ah). Adapun keadaan yang dapat merusak ke-dhabit-
an periwayat ada lima macam, diantaranya: dalam meriwayatkan hadist, lebih
banyak salahnya daripada benarnya (fahusya galatuhu), lebih menonjol sifat

9
lupanya dari pada hafalnya (al-gaflah ‘anil itqan), riwayat yang disampaikan
diduga kuat mengandung kekeliruan (al-wahm), riwayatnya betentangan dengan
riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang tsiqah (mukhalafah ‘anis-
siqah), dan jelek hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu yang
benar (su’ul-hifz).
Kemudian kaitan Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil terhadap kaidah ke-‘adil-an dan
ke-dhabit-an periwayat hadist, para ulama ahli kritik hadis telah menetapkan suatu
teknik atau teori agar penelitian terhadap periwayat hadis dapat lebih objektif,
yaitu sebagai berikut:

1. ‫التعديل مق ّدم على اجلرح‬


2. ‫اجلرح مق ّدم على التّعديل‬
3. ‫فسر‬
ّ ‫اذا تعارض اجلارح واملع ّدل فاحلكم للمع ّدل اال اذا ثبت اجلرح امل‬
4. ‫اذا كان اجلارح ضعيفا فال يقبل جرحو للثّقة‬
5. ‫ال يقبل اجلرح االّ بعد التّثبّت خشية االشباه ىف اجملروحن‬
6. ‫اجلرح الناشئ عن عداوة دنيويّة ال يعت ّد بو‬

10
DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah. Ilmu-Ilmu Hadis (Ulum al-Hadis). Bandar Lampung: CV. Anugrah


Utama Raharja (AURA). 2013.

Alfiah. Fitriadi. dan Suja‟i. Studi Ilmu Hadis. Kreasi Edukasi. 2016.

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.


1992.

Izzan, Ahmad. Studi Takhrij Hadis Kajian Tentang Metodologi Takhrij dan
Kegiatan Penelitian Hadis. cet. 1. Bandung: Tafakkur. 2012.

Karim, Abdullah. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Banjarmasin: Comdes


Kalimantan. 2010.

Suryadi. Suryadilaga, Muhammad Alfatih. Metodologi Penelitian Hadis. cet. 1.


Yogyakarta: TH-Press. 2009.

Badi‟ah, Siti. “Metode Kritik Hadits di Kalangan Ilmuwan Hadits”. dalam Jurnal
Al-Dzikra. Vol. 9. No. 2. 2015.

Nabiel, Muhammad. “Heresiologi Para Perawi Hadis Desakralisasi Penilaian


Kritikus Hadis dalam Jarh wa Ta’dil”. dalam Jurnal Samawat. Vol. 02. No.
01. 2018.

Anda mungkin juga menyukai