Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH ULUMUL HADITS 2

“KRITERIA KEDHABITAN PERIWAYAT”

Dosen Pengampu :
H. Muhammad Hasan, M.I.S.

DISUSUN OLEH :

1. RIZKY NUR IKHSAN SYAHRUL RAMADHAN (1842115009)


2. MUHAMMAD AMIN (1842115046)
3. ADI PURBAYA (1842115050)
4. BENI AKBAR (1842115075)

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SAMARINDA

2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii


BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................. 1
BAB II.PEMBAHASAN ........................................................................................... 2
A. Syarat diterimanya Perawi Hadits......................................................... 2
B. Pengertian Perawi yang Dhabit............................................................. 3
C. Kriteria Kedhabitan Perawi .................................................................. 4
BAB III. PENUTUP ................................................................................................. 6
A. Kesimpulan .......................................................................................... 6
B. Saran .................................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 7

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hadits merupakan sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-Qur’an.
Keduanya memiliki peranan yang penting dalam kehidupan umat Islam. Dari
keduannya ajaran Islam diambil dan dijadikan pedoman utama. Hadits
menurut para ulama merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa diucapkan, diperbuat,
ditaqrirkan dan keadaan Nabi. Sebagai salah satu dasar kehidupan agama
Islam dan disandarkan kepada manusia mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka tidak boleh sembarangan dalam menentukan status hadits.
Ada beberapa syarat atau kriteria sehingga sebuah hadits dapat dikatakan
hadits shahih yaitu ketika bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan
dhabit, serta terhindar dari syaz dan ‘illat.1 Pada makalah ini, penulis akan
fokus pada pembahasan tentang salah satu syarat hadits shahih yaitu
periwayat yang dhabit, Apa-apa saja kriteria seorang perawi dikatakan dhabit.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa syarat-syarat diterimanya perawi hadits ?
2. Apa pengertian perawi yang dhabit ?
3. Apa kriteria kedhabitan perawi ?

1
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo,
2004), h. 24.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. SYARAT DITERIMANYA PERAWI HADITS


Kedudukan para perawi berperan menjadi bagian mata rantai dari sebuah
hadits Rasulullah SAW. yang sampai kepada umatnya, sehingga mendorong
para ulama hadits menaruh perhatian dengan serius terhadap syarat-syarat
diterimanya riwayat para perawi secara teliti dan cermat.
Syarat-syarat seperti itu belum pernah ditetapkan oleh pemeluk agama-
agama di dunia ini kecuali umat Islam meskipun masa pada modern ini
segalanya telah diperhitungkan secara sistematis dan cermat. Buktinya,
sedikitpun mereka tidak pernah memakai syarat-syarat yang pernah
ditetapkan oleh ulama Mushthalah Hadits dalam sebuah periwayatan berita
mereka.
Sebagian besar ulama hadits dan ulama fiqih bersepakat bahwa perawi
yang bisa diterima riwayatnya harus mempunyai 2 (dua) syarat dasar yaitu :
a. Perawinya harus Adil, artinya periwayat harus beragama Islam, Mukallaf
(Aqil baligh), selamat dari sebab-sebab fasik, dan tidak cacat
muru’ahnya2.
b. Perawinya harus Dhabit, artinya riwayatnya tidak bertentangan dengan
riwayat perawi-perawi lain yang dipercaya, tidak jelek hafalannya, tidak
sering melakukan kesalahan, tidak pelupa, dan tidak banyak waham
(melakukan purbasangka).3
Apabila perawinya memiliki kedua syarat diatas yaitu adil dan dhabith,
maka perawi tersebut dapat disebut Tsiqah.4

2
Muru’ah adalah menerapkan akhlak yang baik dan menjauhi segala akhlak yang buruk
dan hina. (Syamsul Rijal Hamid, 500 Rahasia Islami Pencerah Jiwa, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer, 2013), h. 143.
3
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 159-160.
4
Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2000), h. 232.

2
B. PENGERTIAN PERAWI YANG DHABIT
Kata “dhabth” menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat yang tepat
dan yang hafal dengan sempurna. Pengertian secara bahasa ini diambil
dengan dihubungkan pada kapasitas intelektual.5 Menurut Ibnu Hajar Al-
Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap
apa yang didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut
kapan saja manakala diperlukan.6 Jika merujuk pada pendapat Ibnu Hajar,
maka perawi yang dikatakan dhabit haruslah mendengar dengan benar dan
secara utuh hadits yang diterimanya, serta menyampaikan kepada orang lain
apa yang ia dapat dengan baik berdasarkan yang diterimanya.
Pendapat lain mengatakan bahwa dhabit adalah orang yang kuat ingatanya,
artinya ingatannya lebih banyak dari lupanya, dan kebenarannya lebih banyak
daripada kesalahannya.7 Daya ingat dan kekuatan hafalan perawi sangat
dibutuhkan dalam rangka menjaga keontetikan hadits, terutama pada masa
awal-awal perkembangan Islam dimana hadits tidak seluruhnya dapat tercatat.
Sifat dhabit ini ada dua macam, yaitu :
1. Dhabit dalam dada (adh-dhabth fi ash-shudur), yaitu memiliki ingatan
dan hafalan yang kuat sejak ia menerima riwayat hadits hingga
menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya tersebut sanggup
dikeluarkan kapan dan dimana saja yang dikehendaki.8
2. Dhabit dalam tulisan (adh-dhabth fi as-suthur) atau juga disebut
dhabtu kitab, yaitu tulisan hadits yang diterimanya terpelihara dari
perubahan, pergantian, dan kekurangan. Atau penjelasan lain adalah
sifat seorang perawi yang dapat memahami dengan sangat baik tulisan
hadits yang termuat dalam kitab yang ada padanya dan mengetahui
kesalahannya apabila terdapat kesalahan dalam tulisan tersebut.9

5
Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadis, (Bandung: Tafakur, 2012), h. 151.
6
Asep Herdi, Memahami Ilmu Hadis, (Bandung: Tafakur, 2014), h. 88.
7
Abuddin Nata, h. 231.
8
M. Agus Solahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
h. 142.
9
Ahmad Izzan, h. 152.

3
C. KRITERIA KEDHABITAN PERAWI
Setelah memperhatikan beberapa penjelasan tentang dhabit di atas, maka
dapat dikatakan terdapat butir-butir yang harus ada pada periwayat yang
dhabit yaitu :
1. Periwayatan tersebut memahami dengan baik terhadap riwayat yang
didengarnya (diterimanya).
2. Periwayat tersebut hafal dengan baik terhadap riwayat yang
didengarnya (diterimanya).
3. Periwayat tersebut mampu menyampaikan dengan baik kembali apa
yang dipahami dan dihafal dari riwayat yang didengarnya
(diterimanya) di waktu kapan saja dia menghendakinya dan sampai dia
menyampaikan periwayatannya kepada orang lain.10
Untuk melihat ke-dhabit-an seseorang, dapat dilakukan dengan
berdasarkan kesaksian ulama. Selain itu, melalui komparasi dengan
periwayatan orang-orang tsiqah lain atau melalui keterangan peneliti yang
dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian membandingkan sanad hadits
periwayatan seseorang tersebut dengan sanad hadits dari para perawi tsiqah,
jika didapati kesesuaian maka dapat dikatakan ia dhabit. Namun, jika berbeda
atau bertentangan maka berarti ia tidak dhabit.11 Jika periwayat melakukan
kesalahan berulang kali, maka periwayat tersebut juga tidak dapat dikatakan
dhabit.12
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dalam hal ini pendapatnya
dijelaskan oleh ‘Ali Al-Qari bahwa terdapat lima macam perilaku atau
keadaan yang dapat merusak berat ke-dhabith-an periwayat, yakni (1) dalam
meriwayatkan hadits, lebih banyak salahnya daripada benarnya (fahusya
galatuhu); (2) lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya (al-gaflah ‘anil
itqan); (3) riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan
(al-wahm); (4) riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan

10
M. Alfatih Suryadilaga, Pengantar Studi Qur’an Hadis, (Yogykarta: Kaukaba Dipantara,
2014), h. 190.
11
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2018), h. 171.
12
M. Alfatih Suryadilaga, h. 191.

4
oleh periwayat-periwayat tsiqah (mukhalafah ‘anits-tsiqah); (5) jelek
hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu yang benar (su’ul-
hifz). Hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang memiliki sebagian dari
lima sifat-sifat atau keadan tersebut dinilai oleh ulama hadits sebagai yang
berkualitas lemah.13 Sehingga hadits tersebut masuk ke dalam kategori hadits
dhaif.14

13
Ahmad Izzan, h. 152.
14
Hadits dhaif adalah hadits yang di dalamnya tidak didapati syarat-syarat yang wajib ada
dalam hadits shahih dan hadits hasan. (M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), h. 125.

5
BAB III
PENUTUPAN

A. KESIMPULAN
Kedudukan para perawi menjadi bagian mata rantai dari sebuah hadits
Rasulullah SAW. yang sampai kepada umatnya, sehingga mendorong para
ulama hadits menaruh perhatian dengan serius terhadap syarat-syarat
diterimanya riwayat para perawi secara teliti dan cermat. Sebagian besar
ulama hadits dan ulama fiqih bersepakat bahwa perawi yang bisa diterima
riwayatnya harus mempunyai 2 (dua) syarat dasar yaitu, adil dan dhabit.
Dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang
didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja
manakala diperlukan. Sifat dhabit ini ada dua macam, yaitu Dhabit dalam
dada (adh-dhabth fi ash-shudur), Dhabit dalam tulisan (adh-dhabth fi as-
suthur) atau juga disebut dhabtu kitab. Terdapat butir-butir yang harus ada
pada periwayat yang dhabit yaitu, (1) Memahami dengan baik terhadap
riwayat yang didengarnya (diterimanya); (2) Hafal dengan baik terhadap
riwayat yang didengarnya (diterimanya); (3) Mampu menyampaikan dengan
baik kembali apa yang dipahami dan dihafal dari riwayat yang didengarnya
(diterimanya) di waktu kapan saja dia menghendakinya dan sampai dia
menyampaikan periwayatannya kepada orang lain.

B. SARAN
Dengan banyaknya kekurangan dari penulis, diharapkan pembaca dapat
memberikan kritik dan saran agar penulis dapat memperbaiki tulisannya.

6
DAFTAR PUSTAKA

Bustamin dan M. Isa H.A. Salam. 2004. Metodologi Kritik Hadits. Jakarta: PT
RajaGrafindo.

Hamid, Syamsul Rijal.2013. 500 Rahasia Islami Pencerah Jiwa. Jakarta: PT


Bhuana Ilmu Populer.

Herdi, Asep. 2014. Memahami Ilmu Hadis. Bandung: Tafakur.

Izzan, Ahmad. 2012. Studi Takhrij Hadis. Bandung: Tafakur.

Khon, Abdul Majid. 2018. Ulumul Hadits. Jakarta: AMZAH.

Nata, Abuddin. 2000. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: PT RajaGrafindo.

Solahudin, M. Agus dan Agus Suryadi. 2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka
Setia.

Suryadilaga, M. Alfatih. 2014. Pengantar Studi Qur’an Hadis. Yogykarta:


Kaukaba Dipantara.

Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press.

Zein, M. Ma’shum. 2013. Ilmu Memahami Hadits Nabi. Yogyakarta: Pustaka


Pesantren.

Anda mungkin juga menyukai