Anda di halaman 1dari 22

Al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Tafsir Nusantara
Dosen Pengampu: Adrika Fitrotul Aini

Disusun Oleh :
1. M. Athoillah naufal F (12301183003)
2. Dwi Arifatus Solikah (12301183022)
3. Ekasari Imfan S (12301183032)

ILMU AL-QUR AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) TULUNGAGUNG
2018/2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Agung Muhammad SAW.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak. Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan
makalah ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr. Maftukhin, M.Ag, selaku Rektor IAIN Tulungagung.
2. Adrika Fitrotul Aini selaku dosen mata kuliah Tafsir Nusantara
3. Teman-teman IAT-IIIA, serta pihak yang sudah membantu.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Harapan yang paling besar ialah, mudah-mudahan makalah yang kami susun ini
dapat bermanfaat, baik untuk pribadi maupun bagi para pembaca khususnya.

Tulungagung, 21 Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 2

C. Tujuan ............................................................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Biografi KH. Misbah Mustafa ......................................................................... 3

B. Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil ........................ 4

C. Sistematika Penulisan dan Metode Penafsiran Kitab Tafsir Al-Iklil Fii


Ma’anii At-Tanzil ........................................................................................... 5

D. Keunikan dari Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil ................................ 7

E. Contoh dari Penafsiran Kitab Tafsir Al-Iklil Fii Ma’anii At-Tanzil ............. 10

F. Kelebihan dan Kekurangan dari Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil . 15

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah pedoman bagi agama Islam. Kitab suci itu
menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan
danpengembangan ilmu-ilmu keislaman sepanjang 14 abad sejarah
peradaban umat ini (islam). Akan tetapi juga merupakan penggerak,
pemandu, bagi gerakan sejarah umat sepanjang 14 abad ini. Al-Qur’an
secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks selalu berubah
seiring dengan konteks ruang dan waktu. Karena Al-Qur’an sering dianalisis,
dan ditafsirkan dengan berbagai metode dan pendekatan untuk menguak
isinya. Aneka metode dan tafsir yang digunakan sebagai jalan untuk
membedah makna terdalam dari Al-Qur’an tersebut.
Setiap mufassir mempunyai sosio kultural yang berbeda-beda, oleh
sebab itu banyak sekali dijumpai penafsiran mereka antara satu dengan yang
lainnya tidak seragam meskipun pokok tema atau ayat Al-Qur’an yang
dibahas adalah sama. Tidak hanya sosio kultural saja yang mempengaruhi
seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an, cara pandang seorang
mufassir terhadap objek yang dikaji pun akan mempengaruhi mereka dalam
menafsirkan Alquran. Tingkatan ilmu dan cara pandang sesuatu yang ada
disekitarnya, juga sangat mempengaruhi seorang mufassir dalam
menginterpretasi sebuah ayat Alquran. Sehingga tidak ada satu metode atau
bentuk penafsiran yang bisa diklaim mutlak benar dan otoratif .
Seperti halnya dari uraian tersebut, kyai Misbah Mustofa yang juga
seorang mufassir menuliskan segala sudut pandangnya tentang ayat yang
terkandung dalam Al-Qur’an dalam sebuah kitab yang diberikannya judul
al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil. Mengenai bahasan ataupun permasalahan-
permasalahn yang ditulis dalam kitab tersebut akan kami paparkan dalam
bab pembahasan.

1
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Siapa penulis kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil?
2. Bagaimana latar belakang penulisan kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-
Tanzil?
3. Bagaimana sistematika penulisan dan metode penafsiran Kitab Tafsir
al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil?
4. Apa saja Keunikan dari Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil?
5. Apa contoh dari penafsiran kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil?
6. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari Kitab Tafsir al-Iklil fii
Ma’anii at-Tanzil?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui penulis Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil
2. Untuk mengetahui asal-usul penulisan Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii
at-Tanzil
3. Untuk mengetahui sistematika dan metode penafsiran Kitab Tafsir al-
Iklil fii Ma’anii at-Tanzil
4. Untuk mengetahui keunikan dari penafsiran kitab Tafsir al-Iklil fii
Ma’anii at-Tanzil
5. Untuk mengetahui contoh penafsiran kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii
at-Tanzil
6. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari Kitab Tafsir al-Iklil
fii Ma’anii at-Tanzil

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Pengarang Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil


KH. Misbah bin Zainal Musthafa yang lebih dikenal dengan KH.
Misbah Mustafha adalah pengarang Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-
Tanzil. Beliau dilahirkan di pesisir utara Jawa Tengah, di Kampung
Sawahan, Gang Palem, Rembang tahun 1917. Beliau merupakan putra dari
KH. Zainal Musthafa dengan Ummu Salamah. Beliau memiliki saudara
dari pernikahan ayahnya sebelumnya. Ayahnya pertama kali menikah
dengan Dakilah dan memiliki dua putra, Zuhdi dan Maskanah. Kemudian
ayahnya menikah lagi dengan Khadijah dan memiliki putra Mashadi (lebih
dikenal dengan Bisri Musthafa pengarang kitab al-Ibriz). Terakhir KH.
Zainal Musthafa menikah dengan Ummu Salamah lalu memiliki dua putra,
yakni Misbah dan Maksum. 1 Nama kecil KH. Misbah Mustafha adalah
Masruh. Beliau mengganti nama kecilnya menjadi Misbah setelah Beliau
pulang ibadah Haji.
KH. Misbah Mustafha pertama mengenyam pendidikan di Sekolah
Rakyat (SR) pada usia 6 tahun. Pada tahun 1928, beliau telah
menyelesaikan studinya di SR, kemudian ia melanjutkan pendidikan ke
pondok pesantren Kasingan Rembang di bawah bimbingan KH. Khalil bin
Harun. pembelajaran gramatika Arablah yang membuat beliau tertarik.
Beliau menekuni kitab Jurumiyah, Imrithi, dan Alfiyah, bahkan beliau
mampu mengkatmkan Alfiyah sebanyak 17 kali. Setelah KH. Misbah
Mustafha merasa telah cukup dalam menguasai ilmu bahasa Arab, beliau
melanjutkan untuk mempelajari disiplin ilmu yang lain, seperti ilmu fiqh,
hadis, tafsir, kalam dan lain-lain sebagainya. Selain berguru pada KH.
Khalil, beliau juga berguru pada KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.
Pada tahun 1948, saat berusia 31 tahun, KH. Misbah Mustafha
menikah dengan Masruhah, lalu pindah ke Bangilan, Tuban. KH. Misbah
Mustafha membantu mengajar di pondok pesantren milik mertuanya, yaitu
1
Ahmad Baidowi, Aspek Lokalitas Tafsir al-Iklil Fi Ma’ani al-Tanzil Karya KH. Misbah Mustafa,
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Vol.1, No.1, 2015, hlm.36.

3
KH. Ridhwan dan kemudian KH. Misbah Mustafha menggantikan
memimpin pesantren milik mertuanya tersebut. Dari pernikahannya, beliau
dikarunia lima putra, yakni Syamsiyah, Hamnah, Abdullah, Muhammad
Nafis dan Ahmad Rafiq.

B. Latar Belakang Penulisan Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil


Seorang mufassir ketika menulis sebuah tafsirnya pasti mempunyai
motivasi ataupun tujuan tertentu. Ada banyak hal yang mempengaruhi
seseorang dalam menulis tafsir. Hal tersebut biasanya tidak terlepas dari
latar belakang ruang lingkup sosial, keagamaan, dan pengaruh yang
melingkupi mufasir pada saat itu. Begitu juga dengan Misbah dalam
menulis tafsirnya, setidaknya dari keterangan dan juga pemaparan dari ahli
warisnya, terdapat dua hal utama yang melatarbelakangi penulisan kitab
Tafsir al-Iklil fii Ma’ani al-Tanzil.

Latar belakang pertama, KH. Misbah Musthafa menulis kitabnya


dengan tujuan sebagai sarana dakwah dalam Islam. Awalnya, memang KH.
Misbah Musthafa ini cara berdakwahnya dengan metode ceramah. Karena
memang ia juga terkenal sebagai mubaligh di masyarakat pada saat itu.
Akan tetapi beliau mempunyai pandangan bahwa dakwah dengan metode
ceramah tidak cukup. Menurutnya dakwah dengan tulisan lebih efektif dari
pada dengan ceramah. Metode ceramah hanya bisa diingat sesaat, dan akan
mudah dilupakan, sedangkan dengan tulisan, bisa dibaca kapanpun,
dimanapun ketika seseorang menginginkannya.

Melihat banyak masyarakat pada saat itu yang berkembang dalam


kehidupan masyarakat yang ada di sekelilingnya, dengan tidak
menyeimbangkan hidup antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat,
Dengan meyaksikan hal seperti itu, mendorong KH. Misbah Musthafa
untuk menulis kitab Tafsir Alquran. Tujuannya yaitu dengan harapan agar
umat Islam mampu memahami Alquran dan menjadikannya sebagai
petunjuk, sehingga dapat menggunakan Alquran dan sunnah dalam
menghadapi segala macam permasalahan umat islam sehingga bisa

4
bersama-sama mendapatkan ketentraman dan kesenangan batin di dunia
maupun diakhirat.

Latar belakang yang kedua, Menurut penuturan HJ. Elvin Nadhirah


(istri dari gus badi’ (Alm), KH. Misbah Musthafa menulis kitab ini adalah
dengan maksud untuk kasb al-Ma’ishah (mencari rezeki untuk menafkahi
keluarga), selain itu juga untuk membantu membangun pondoknya. Karena
memang, pada saat itu lapangan pekerjaan masih sangat minim. KH.
Misbah Musthafa dengan kegemarannya setiap hari tanpa menulis,
menghasilkan banyak tulisan-tulisan dan karangan kitab-kitab. Pada
awalnya KH. Misbah Musthafa hanya sekedar menulis, kemudian seiring
berjalannya waktu dan semakin hari semakin banyak tulisan yang
dihasilkan, beliau berinisiatif untuk menyalin tulisan-tulisan tersebut untuk
dijual ke percetakan.dengan demikian,ia bisa mendapatkan uang dan hasil
tersebut dapat digunakan untuk menafkahi keluarganya dan membangun
pondoknya.

C. Sistematika Penulisan dan Metode Penafsiran Kitab Tafsir al-Iklil fii


Ma’anii at-Tanzil
Penulisan Kitab tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil dimulai pada
tahun 1977 sampai selesai ditulis tahun 1985. Kitab tafsir al-Iklil fii
Ma’anii at-Tanzil terdiri atas 30 juz dan dicetak sebanyak 30 jilid. Setiap
jilid berisi penafsiran terhadap setiap juz dari al-Quran. Jilid 1 merupakan
penafsiran terhadap Alquran juz 1, jilid 2 untuk juz 2, dan seterusnya
hingga jilid 30 yang berisi penafsiran KH Misbah atas Alquran juz 30.
Dicetak oleh al-Ihsan offset Surabaya, dan setiap juz dicetak dengan
sampul yang berbeda warna, misalnya dalam juz pertama sampul diwarnai
dengan warna biru, juz 29 diwarnai dengan hijau muda, juz 30 diwarnai
dengan warna merah, dan lain sebagainya.
Dari masing-masing juz yang ditafsirkan terlihat bahwa penafsiran
yang paling tebal adalah juz 10 sebanyak 294 halaman, sementara yang
paling sedikit yaitu juz 27 dengan 80 halaman. Mulai juz 1 hingga juz 29
ditulis secara berkelanjutan berakhir di halaman 4482. Sedangkan untuk

5
juz 30 yang diberi nama Tafsir Juz ‘Amma Fi Ma’ani al-Tanzil. Dalam
penyajiannya, kitab tafsir ini disajikan secara beruntut berdasarkan urutan
surah dalam mushaf usmani.
Dalam tulisan ayat dan tafsirnya ditandai dengan nomor abjad Arab,
bila ayatnya menunjukkan ayat satu maka dalam penafsirannya juga diberi
tanda nomor satu, begitu juga dengan keterangan tafsirannya. Hal ini
bertujuan supaya orang yang membaca mudah untuk memahaminya.
Dalam tafsirannya, Misbah juga memberikan tanda symbol (‫ )كت‬untuk
menunjukkan uraian penafsiran terhadap suatu ayat yang biasanya ditulis
relatif lebih panjang dengan tujuan untuk menjelaskan ayat tersebut. Selain
itu, KH Misbah dalam penafsirannya juga menggunakan istilah (‫ )تنبيه‬yaitu
untuk memberikan keterangan tambahan, dan biasanya berupa catatan
penting, faidah yang berisi intisari ayat dan kisah yang berisikan cerita
atau riwayat yang dikutip oleh KH Misbah berkaitan dengan ayat yang
sedang ditafsirkan. Dalam kitab tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil ini di
pojok atas bagian kanan disebutkan untuk nama surah, di bagian tengah
untuk juz, di bagian pojok kiri digunakan untuk halaman kitab.
Penafsiran yang bercorak sufi dapat dilihat dari penafsiran pada
lafadz ‫ احلمدهلل‬, pujian dalam lafdz tersebut diartikan menjadi empat bagian.

Pujian terhadap makhluk kepada makhluk, pujian hamba kepada Allah,


pujian Allah kepada hamba, dan pujian Allah kepada Dzat-Nya.
Bagi masyarakat akademik, tafsir ini memberikan khazanah
tersendiri, bagaimanapun kitab ini merupakan karya tafsir yang
menggunakan metode analitis (al-manhaj al-tahlili) yang memberikan
perhatian yang cukup terhadap masalah-masalah masyarakat. Dari
cuplikan penafsiran tersebut, KH. Misbah Musthafa nampak meberikan
repson terhadap kondisi masyarakat. Dengan memberikan hukum disetiap
menafsirkan sebuah ayat yang merujuk pada madzab. Dari keterangan ini
dapat diketahui bahwa Kitab al-Iklil Fi Ma’ani at-Tanzil menggunakan
corak adabi ijtima’i (sosial kemasyarakatan), fikih, dan corak tasawuf.

6
D. Keunikan dari Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil
1. Lokalitas Dalam Penampilan
a. Menggunakan Aksara Pegon
Bagi seorang santri, pemakaian huruf pégon dalam karya
ini sudah barang tentu akan membantu mereka memahami struktur
kebahasaan al-Qur’an. Pemahaman ini menjadi hal yang sangat
penting bagi seorang santri mengingat dalam tradisi pesantren,
pembacaan dan penguasaan teks-teks berbahasa Arab tidak bisa
dilepaskan dari kemampuannya memahami struktur bahasa dalam
yang ada dalam teks-teks tersebut.
b. Menggunakan Makna Gandul
Penggunaan makna gandul ini memungkinkan seseorang
yang membacanya mengetahui secara persis arti setiap kata dalam
ayatayat al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Dengan demikian, selain
bisa memahami makna ayat al-Quran secara ayat-per-ayat, orang
yang mempelajari kitab ini juga bisa mengetahui makna kata-kata
dalam al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Tentu saja hal ini akan
memudahkan orang yang menggunakan bahasa Jawa sebagai alat
komunikasinya.
2. Lokalitas Dalam Komunikasi
Pemakaian Bahasa Jawa merupakan bentuk pemanfaatan unsur
lokalitas dalam berkomunikasi yang dilakukan oleh KH Mishbah
Mushthafa dalam menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an kepada
masyarakat pembacanya. Pemakaian bahasa Jawa ini tentu saja,
sebagaimana sudah dikemukakan, adalah agar pesan-pesannya lebih
mudah diterima oleh masyarakat Jawa yang menggunakan Bahasa
Jawa sebagai bahasa pengantarnya.

3. Lokalitas Dalam Penafsiran


a. Mengkritik Pengkultusan Guru

7
Salah satu hal yang menjadi lokalitas dari tafsir KH Misbah adalah
penafsiran beliau mengenai beberapa tradisi pesantren yang dinilai
sangat mengkultuskan guru dan dianggap tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Beberapa perintah guru kepada santrinya dinilainya
berlebihan dan kelewat batas, sehingga memunculkan
pengkultusan yang berlebihan kepada seorang guru. Seperti dalam
penjelasan beliau ketika menafsirkan QS al-Taubah (9): 31, beliau
menyatakan:
Semono ugo ulama Islam lan pendhito Islam kang disebut guru
thoriqoh. Bangete nemene olehe andhidhik umat Islam ngawam
kang dadi muride supoyo tetep bodho, ojo nganti weruh
dhawuhdhawuh quran lan supoyo thoat marang gurune kang
ngliwati bates. Contone sang ngulama dhawuh, santri ora keno
madoni guru kerono su’ul adab. Santri kang kepriye bae ora keno
ngungkuli gurune, “uqūq al-ustāż lā taubata lah”, artine wani
guru anggalaake atine guru iku ora ono taubate. Gunemane
kiyahi kang mengkene iki nimbulake roso murid lan santri luwih
ngegungake perintah lan larangane sang ngulama lan pendhito
Islam katimbang ngegungake perintah lan larangane Allah swt.
Lan yen sang ngulama lan pendhito Islam iku nindaake opo bahe
dianggep wenang lan bagus. Upamane, bebas nyawang lan
omong-omong karo muslimat fatayat, donga lan khutbah nganggo
pengeras suara utowo MTQ kabeh iki dianggep bener lan bagus.
Santri lan murid sebab saking kebacute olehe takdhim nganggep
yen kabeh kang didhawuhake lan kang dilakoni iku bener ora
bakal salah.
Ringkese, gerak pikire santri lan murid, perkembangan jiwane
tansah ditekan. Perlune ojo nganti takdhime santri lan murid
ilang. Mesthine podho ngrasaake kepriye banggane sang ngulama
lan pendhito Islam yen santri lan muride podo nyucupi tangane,
mandar kadang-kadang ngambung dengkule. Koyo opo gurihe
yen santri lan murid wis salaman templek utowo ngaturake

8
amplop. Kehormatan kang mengkene iki bakal ilang yen santri
lan muride ora diwedeake terhadap pribadine sang guru. Sangka
iku kadangkadang sang guru lan pendhito nganaake kedadiyan-
kedadiyan kang ketingale nulayani pengadatan. Upamane weruh
opo-opo sedurunge winarah lan liya-liyane kang coro ngumum
disebut keramat. Masyarakat ngumum ora ngerti yen kahanan
kang nulayani pengadatan itu ono kang biso diusahaake liwat jin,
ono kang biso diusahaake liwat syetan. Ono kang biso diusahaake
liwat malaikat senajan sang guru ora ngerti.

Sebagaimana pernyataan di atas, KH Mishbah Mushthafa


mengeritik cara yang dilakukan oleh sebagian guru yang sangat
berlebihan dalam mengajarkan kepada santrinya untuk tunduk
kepada perintahnya, hingga murid lebih takut kepada perintah sang
guru daripada kepada al-Quran sendiri. Hal seperti ini oleh KH
Mishbah Mushthafa dinilai akan sangat mengekang perkembangan
jiwa sang murid, “gerak pikire santri lan murid, perkembangan
jiwane tansah ditekan.”
Model pembelajaran yang dinilai bisa mengekang santri ini
sangat tidak disukai oleh KH Mishbah, yang ironisnya, terkadang
diajarkan melalui ajaran tarekat dengan ibadah sambil
membayangkan wajah guru. “Bangete nemene olehe andhidhik
umat Islam ngawam kang dadi muride supoyo tetep bodho, ojo
nganti weruh dhawuh-dhawuh quran lan supoyo thongat marang
gurune kang ngliwati bates.”
b. Mendorong Kemajuan
Beliau mendorong bagaimana agar sifat kemukminan bisa
tumbuh dan berkembang untuk hanya takut kepada Allah seraya
menghilangkan sifat-sifat yang memperlihatkan sikap takut kepada
selain-Nya. Dalam hal ini, beliau menyatakan:
Ayat iki nuduhake yen salah sewijine ciri lan sifate wong
mu’min yoiku luwih wedi marang siksane Allah yen ora nindaake

9
perintah ketimbang wedine marang sak liyane Allah. Wus dadi
watak menuso yen menuso wedi marang opo kang dadi sebab-
sebabe mlarate awake, wedi ulo, wedi macan, wedi gendruwo,
wedi feqir, wedi anake ora mangan, wedi ilang kedhudhukane lan
liya-liyane. Nanging wedi kang macam-macam jurusane iki
kanggone wongs kang ngaku mu’min kudu sak ngisore wedi
marang Allah, wedi marang siksane Allah. Ciri lan sifate wong
mukmin kang mengkene iki arang banget tinemu ono ing
kalangane wongkang podho ngaku mukmin. Koyo opo baguse
upamane umat Islam anduweni sekolahan utowo madrasah kang
kanggo andidik muslimin, luwihluwih pemudane sehingga
anduweni ciri lan sifat-sifate wong mukmin kang akeh banget
kasebut ono ing al-Qur’an. Sebab saben wong Islam iku mesthi
ngakoni yen al-Qur’an iku tuntunan uripe

Pernyataan di atas menegaskan bahwa KH Mishbah Mushthafa


sangat menyadari berbagai macam krisis iman yang ada di
kalangan umat Islam. Beliau sangat menginginkan agar umat Islam
bisa memiliki sifat seorang mukmin yang memiliki ciri-ciri yang
sangat banyak di dalam al-Quran. Untuk mencapai hal tersebut,
beliau sangat menyadari pentingnya pendidikan bagi mereka,
sehingga umat Islam perlu memiliki lembaga-lembaga pendidikan.
Dengan pendidikan ini, umat Islam bisa dididik untuk
meningkatkan keislaman dan keimanannya.

E. Contoh dari Penafsiran kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil

ۡ ۡ)٥٥(ۡ‫ين‬ ِ ُِ ‫ٱدۡعواْۡربَّ ُكمۡۡتَضُّرعۡاوخفۡيةۡۡإِن َّۡهۥََۡل‬


َ ‫بۡٱلۡ ُمعۡتَد‬
ُّ ‫ُۡي‬ ُ َ َُ َ َ ُ
ۡ‫يبۡم َن‬ َِّ ‫تۡٱ‬
ِ ‫َّللۡقَ ِر‬ ۡ ‫اۡوطَ َمعاۡۡإِ َّن َۡر‬
َۡ َ‫ح‬ َۡ ‫ضۡبَعۡ َدۡإِصۡۡلَ ِح َه‬
ِ ‫َوََلۡتُفۡ ِس ُدواْ ِِۡفۡٱ ۡلَۡر‬
َ ٗ‫ۡخ ۡوف‬
َ ُ‫اۡوٱدۡعُوه‬
)٥٦(ۡ‫ني‬ ِِ
َ ‫ٱلۡ ُمحۡسن‬
He kabeh penduduk bumi, khususe wong kang iman! Siro kabeh
bisoho podo do’a, bisoho podo nyuwun marang pangeran niro opo kang

10
dadi keperluan niro kanti andepe-andepe lan suworo kang lirih, ngertiyo!
Allaah ta’ala iku ora demen wong-wong kang tumindak ngeliwati bates.
Siro kabeh ojo podo gawe kerusakan ono ing bumi sakwise baguse lan
siro bisoho podo nurun marang Allaah kanti roso wedi siksone Allaah lan
beronto, kepingin oleh kanugrahane Allaah, ngertiyo! Rohmate Aallaah
iku parek karo wong kang podo ambagusake owahe.

Iki ayat perintah marangsekabe‫ا‬e kawulo supoyo madep atine


marang Allaah ono ing naliko doa’ tegese nyuwun opo-opo marang
Allaah. Dadi gandengane karo ayat sedurunge mengkene: yen siro kabeh
wis podo weruh yen Allaah ta’ala iku suwijine pangeran kang ngubengake
lan ngatur sekabee makhluke, ono kang diwujudake ono kang disirnaake,
ono kang diparingi lan ono sing ora diparingi dadi siro kabeh iku bisoho
ngadepake ati niro marang Allaah lan nyuwuno marang Allaah opo kang
dadi keperluan niro. Nangis siro yen nyuwun luwih-luwih wong kang alim
lan wong intelek, yen nyuwun ojo koyo bocah cilik lan wong bodo.
Kepiye? Yen nyuwun marang Allaah supoyo marek Allaah. Ojo songko
doh-doh han. Saridin iku wong kang loman, lan sugih melimpah-melimpah
paring penguman sopo-sopo wong kang jaluk opo bahe marang Aku, mesti
tak paring. Nuli pak kyai Sukimin lan Sukiman jaluk duwit telung juta
perlu kanggo rame-rame budal haji/umroh. Kerono arep adol montore
utowo sawahe eman-eman nuli jaluk e sangking doh-dohan kang jarak e
ono sak kilo meter nganggo pengeras suworo. Saridin” aku jaluk duwit
telung juta ora gelem marek, opo diparingi? Tentu ora diparingi. Wong
kang weruh coro anjaluk kang mengkono-mengkono iki mungkin ngarani
yen pak kyai Sukiman iki wong kang ora welas akale utowo wong bodo.
Semono ugo yen nyuwun marang Allaah.2

Yen kepengen diparingi supoyo marek marang Allaah ta’ala, ojo


ngadoh nuli kepiye bisone dadi parek marang Allaah? Tandane parek
marang Allaah iku yen saben ono perintah sangking Allaah nuli tandang,
iku tandane parek marang Allaah. Umpamane ono timbalan sangking

2
Misbah Mustofa, Tafsir Al-Iklil jil. VIII, Surabaya, hal.1274

11
Allaah liwat wong kang adzan,”hayya’alas sholah” artine ”hayya’alas
sholah” artine ayo-ayo podo sholat nuli berangkat sak putrane nuju
maring masjid. Mestine poro sedulur muslimin wis podo kerungu perintah
Allaah: “warka’ur ma’ar rookiin”, artine: siro kabeh bisoho podo sholat
bareng-bareng marang wong kang podo sholat, tegese podo sholat
jama’ah saben-saben wektu. Yen bener-bener keparek marang Allaah
mesti berangkat mesti berangkat senajan ono ing kantor utowo ing sawah.
Yen ora berangkat jamaah gawe alasan kang macem-macem utowo sholat
mengko-mengko, iku nanda’ake yen ora keparek marang Allaah, wong
kang mengkono iki nuli do’a iku podo karo wong kang jaluk duwit marang
Saridin sangking doh-dohan kang masyarakat podo nganggep ora waras
akal, iki kabeh masalah marek marang Allaah dene masalah hukum-
hukume sholat dhuhur jam loro, shubuh jam pitu, utowo masalah
ninggalake sholat jamaah iku urusane ilmu fiqh. Ket ono ing ayat iki gusti
kang moho agung kang paring petunjuk cara-carane do’a yaiku ‘tadarru’
artine andep-andepene ati, lan ‘khufyah’ tegese lirih nuli ing ayat sakwise,
yen doa supoyo ono roso wedi siksone Allaah, lan beronto tegese kepingin
banget oleh keanugerahane Allaah ta’ala.3
Kito muslimin kudu ngerti yen doa iku suwijine panuprih sangking
wong kang asor marang dzat kang luhur kosok baline doa iku perintah ya
iku panuprih saking wong kang luhur marang wong kang asor, yen wong
kang doa iku ora gelem marek deneng Allaah, kaprahe doa e terbalek
malih dadi perintah marang Allaah, kang berarti kurang ajar terhadap
Allaah ta’ala. Opo mungkin disembadani Allaah? Songko iku disyaratake
kudu tadarru tegese “andepe-andepene ati” nuli carane marek marang
Allaah iku kanti mento’ati perintah-perintah Allaah kanti roso ta’dzim
marang Allaah lan niat kang bener mengku Allaah yo iku ikhlas. Saben-
saben wong islam, luwih-luwih bapak kyai lan bapak pemimpin islam
yang terhormat, mesti podo ngerti yen Allaah kagungan sifat sifat sama’
tegese “midengatake utowo ngerungu dadi Allaah ta’ala ora
kapokNanging anehe wong Islam ing zaman sak iki do’a utowo sholat

3
Ibid., hal.1275

12
podo nganggo pengeras suara, dzikir laaila ha illallaah ugo nganggo
pengeras suworo . moco Alquran ugo nganggo pengeras suara khutbah
kang mesti ono do’a e ugo nganggo pengeras suworo, masjid seluruh
Indonesia mesti ono pengeras suoro, opo ulama’ lan zuama’ing zaman sak
iki wes podo nekotake yen Allah iku wis tuwo tur kopok? Tentune ora ono
i’tiqod kang mengkono iku, opo supoyo do’a eutowo sholat utowo oleh e
moco Alquran iku di rungu wong liyo?
Yen mengkene ulama’ lan zuama’, iku maleh dadi wong kang
musyrik khaufi ya iku riya’, opo doa’e wong kang syirik khaufi utowo
sholate iku opo di terimo deneng Allah? Sak weneh ono wong kang
nyangkal marang penulis terjemah iklil iki: opo ulama’ zuama’ seluruh
Indonesia mungkin ono salah ono ing olehe do’a lan sholat nganggo
pengeras suoro? Naliko iku penulis mangsuli: ukuran kanggo nentoake
bener utowo salah iku ora oleh e wong kang disebut ulama’ utowo zuama’.
Tentune saben-saben wong Islam mesti nekotake salahe wong kang
nekotake yen nabi Isa iku anak e Allah ya iku wong-wong Nasrani utowo
wong-wong Kristen, nanging pirang juta wong-wong kang urip nganggo
agomo Kristen? Bener utowo salah iku miturutake Islam iku kudu
nganggo ukuran Alquran lan hadise Rasul SAW. Endi lelakon kang mapan
ono ing dasar Alquran utowo hadis ya iku kang bener. Yen ora ono mapan
ono ing perintah utowo anjuran Alquran utowo hadis iku mesti bener,
mandar iku nganakake pengeras suoro naliko sholat lan khutbah biso
kelebu setengah sangking bid’ah. Dawuhe Rasulullah SAW wakullu
bid’atin dholaalah “saben saben bid’ah iku sasar, ing hadis liyo
didawuhake ashabul bida’i kilabun an-naar atine”wong kang podo
ngelakoni bid’ah iku bakal dadi asune neroko”

Pirsanono terjemah al-Jami’us as-soghir kang ditulis deneng


Misbah bin Mustofa bangilan, anehe maneh, pemimpin-pemimpin lan
ulama-ulama’ kang biasane podo anti bid’ah iku podo ninda’ake bid’ah
pengeras suoro ing sholat lan khutbah isi do’a. Ono ing Bukhori lan
Muslim riwayat sangking hadise Abu Musa As-sya’ri RA panjenegange
dawuh: kito kabeh iku barang-barang karo kanjeng Nabi Muhammad

13
SAW ono ing siji tindak an, nuli poro muslimin podo mbanterake oleh he
takbir, nuli Rasulullah SAW dawuh: he poro Muslimin supoyo gawe
mejana terhadap wak iro kabeh, kerono siro kabeh iku ora ngundang-
ngundang pengeran kang kopok utowo pengeran kang samar ngertiyo!
Siro kabeh iku ngundang-ngundang pengeran kang midanget tur parek,
pengeran kang tansah pirso gerak gerik niro kabeh. Diriwayatake
sangking panjenengan al-Hasan Bashori : aku isi menangi ono wong
lanang wis apal Alquran nanging poro muslimin ora podo ngerti. Ono
wong wis dadi Alim ilmu fiqih nanging poro muslimin ora ana kang
weruh: aku isih menangi wong kang sholat suwe banget ono ing omah he
lan akeh wong kang nginep ono ing omah e nanging wong kang podo
ziyaroh nginep iki ora podo ngerti, aku sak iki menangi wong kang amal
nanging dewek e ora kuat ngelakoni amal mau yen ora ono wong liyo.
Dadi amal selawase diweruh i wong liyo.Ibnu Jureh dawuh: makhruh
ambanterake suworo lan ngundang-ngundang Allah lan jerit-jerit ono ing
wektu dua’. Opo maneh nganggo pengeras suoro, opo do’a kang makhruh
biso diarep ketrimane?

Ing ayat iki kito wes di elengake dening Allah kang moho agung
yen Allah iku ora demen wong kang ngeliwati bates, sholat utowo do’a
nganggo pengeras suara iku ngeliwati bates kang ditentuake dening Allah
ya iku kudu tad}arru’an wakhufyatan. Setengah sangking i’tida’ fid dua’
tegese ngeliwati bates ono ing perkoro do’a ya ikunyuwun diparingi
menang ngadepi musuh Islam nanging ora gelem nandangi perkoro kang
dadi sebabe menang, nyuwun sugih utowo cukup nanging ora gelem
mergawe, utowo males, nyuwun pengapurane Allah nanging urung
ngelakoni maksiat. Semono ugo wong kang nyuwun supoyo dibedil ora
tedas. Dibacok ora mempan, di obong ora kobong, iki kabeh ugo kelebu
setengah sangking do’a kang di obong ora kobong, iki kabeh ugo kelebu
setengah sangking do’a kang ngeliwati bates. Setengah sangking do’a
kang ngeliwati bates. Ya iku do’a kanti tembung kang ora dingerteni
maknane. Koyo do’a nganggo kalimah kang umume disebut asmau siryani.
Koyo asma’u khaljalutihi kerono keno ugo do’a-do’a kang mengkono iku

14
mengko tembung-tembung kang bertentangan karo kepengeranan Allah
utowo do’a iku ngundang arti nyuwun marang setan. Ono ing jamal
syarah fathulwahhaab di dawuhake mengkene,

ۡ‫ك ِۡم َن‬ ِ


َ ‫اسلَ ِة َۡوۡ َغ ْ َْيۡ َذل‬
ِ َ‫ۡحرِزۡالْ ۡغ‬
ِ ِ ‫اۡسي ِةۡوۡاجللْجلُوتِيَّ ِةۡوم‬ ِ َّ ‫ۡاَلَ ْْس ِاءۡ َك‬ ِ َ ِ‫ۡذ ْكرۡاَ ْْس ِاءۡۡبِغَْيۡ َذل‬
ِ
ْ ‫اِۡف‬ َ َ ْ َ َ َ َ َ‫اۡلسب‬ َ ْ ‫كۡم َن‬ َ ْ َ َ ‫َُْي ُرُم‬
‫ۡع ْنۡثَِقۡة‬ ِ ِ ِ َ ‫ْس ِاءۡالْمحت ِملَ ِة َِۡلاَ ْنۡتَست عملۡفِيم‬
َ ‫ىۡوَۡلْۡتَ ِرْد‬
َ َ‫اَۡۡليَلْي ُقِۡب ََّّللۡتَ َعل‬ َ ْ َ َ ْ َْ َ ْ ُ َْۡ َ‫ْاَل‬
artine: haram dzikir asma’ nganggo tembung liyane lafad Arab.
Koyo asma’ sabasiyah lan asma’ jaljalun lan asma’ hirzul fasilah
lan liyan-liyane. Ya iku endi-endi asma’ kang di gunaake kanggo opo kang
ora patut kagem Allah ta’ala lan ora ono riwayat benere sangking wong
alim kang kena di andelake piro sedulur kang kepengen ngerti perinciyane
do’a-do’a kang kufur, kang haram kang mekruh lan liya-liyane mirsanane
ono ing kitabul furuq karangane imam qorofi. Ono ing ayat iki, allah kang
maha murah paring pituduh yen kito bisoho anduweni roso wedi terhadap
siksone Allah kerono laku maksiat kang wes dilakoni lan kanti roso
angger kepengen oleh rohmate Allah. Ya iku kepriye bisone dadi wong
kang uripe di ridhoni deneng Allah ta’ala. Dadi syarate kang mesti kudu
ono ing awak e wong kang dua’ iku papat ya iku, tad}arru’, khufyah,
khouf, lan toma’. Syarat papat iku ora biso di miliki dining siji wong yen
wong iku ora anduweni karep ambagusake awak gandeng karoimanlan
Islame, miturut petunjuk alquran lan hadise Rasulullah SAW, kang
mengkene iku ambutuhake ilmu kang ora sitik lan ambutuhake latihan-
latihan kang ora sedelo, songko iku saben wong islam diwajibake luru
ilmu.

F. Kelebihan Dan Kekurangan dari Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-
Tanzil
Kelebihan :
1. Lengkap 30 juz.
2. Disajikan secara beruntut berdasarkan urutan surah.
3. Tiap awal penafsiran didahului dengan nama surat, tempat turunnya
dan jumlah ayatnya.

15
4. Delengkapi dengan makna perkata yang ditulis dengan makna gandul.
5. Dari makna perkata tersebut, ditulis ulang dibawahnya dan disusun
menjadi sebuah kalimat yang tertata.
6. Adanya symbol yang menunjukkan uraian penafsiran.
7. Berisi juga istilah yang dimaksudkan untuk memberikan keterangan
tambahan.

Kekurangan :

1. Terdapat bagian yang dihapus oleh penerbit.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

KH. Misbah Musthafa merupakan pengarang kitab Tafsir al-Iklil fii


Ma’ani at-Tanzil. Beliau merupakan putra dari KH. Zainal Musthafa dan
Ummu Salamah Beliau dilahirkan di pesisir utara Jawa Tengah, di Kampung
Sawahan, Gang Palem, Rembang tahun 1917. KH. Misbah Musthafa
menempuh ilmu mulai dari SR(sekolah rakyat) selama 6 tahun, lalu
melanjutkan di pondok pesantren Kasingan Rembang di bawah bimbingan KH.
Khalil bin Harun. Beliau juga berguru pada KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng
Jombang. KH. Misbah Musthafa menikah pada usia 31 tahun dengan putri KH.
Ridhwan Bangilan Tuban, dan beliau juga yang meneruskan mengasuh
pesantren milik mertuanya tersebut.

Kondisi masyarakat sekitar KH. Misbah Musthafa sangat minim


dalam memahami al-Qur’an. Hal itu merupakan salah satu pendorong KH.
Misbah Musthafa menulis kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’ani at-Tanzil. KH. Misbah
Musthafa ingin berdakwah melalui tulisan, karena disamping beliau senang
ceramah, hari-hari beliau tidak pernah absen untuk menulis. Selain itu, karena
kondisi ekonomi atau mencari nafkah sangat sulit pada waktu itu, beliau
menulis ki tab tersebut juga untuk keperluan nafkah keluarganya.

Penulisan Kitab tafsir al-Iklil fii Ma’anii at-Tanzil dimulai pada tahun
1977 sampai selesai ditulis tahun 1985. Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’ani at-
Tanzil ditulis lengkap 30 juz al-Qur’an. Setiap juz di cetak dalam 1 jilid, jadi
untuk jumlah keseluruhan terdapat 30 jilid kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’ani at-
Tanzil. Namun, untuk juz 30 diberikan nama Tafsir Juz ‘Amma fii Ma’ani at-
Tanzil setiap jilid diberikan warna sampul yang berbeda. Dalam kitab Tafsir al-
Iklil fii Ma’anii at-Tanzil ini, di pojok atas bagian kanan disebutkan untuk
nama surah, di bagian tengah untuk juz, di bagian pojok kiri digunakan untuk
halaman kitab. Kitab Tafsir al-Iklil fii Ma’ani at-Tanzil dicetak oleh al-Ihsan

17
offset Surabaya. Namun, sayang sekali terd apat beberapa kutipan KH.
Misbah Musthafa yang dihapus oleh penerbit tanpa seizin beliau.

Bagi masyarakat akademik, tafsir ini memberikan khazanah tersendiri,


bagaimanapun kitab ini merupakan karya tafsir yang menggunakan metode
analitis (al-manhaj al-tahlili) yang memberikan perhatian yang cukup terhadap
masalah-masalah masyarakat. Dapat diketahui bahwa Kitab al-Iklil Fi Ma’ani
at-Tanzil menggunakan corak adabi ijtima’i (sosial kemasyarakatan), fikih, dan
corak tasawuf.

Berikut adalah keunikan dalam tafsir tersebut, pertama Lokalitas


dalam Penampilan yaitu: menggunakan aksara pegon dan menggunakan makna
gandul. Kedua, lokalitas dalam komunikasi, dan yang ketiga , Lokalitas dalam
Penafsiran yaitu mengkritik pengkultusan guru dan Mendorong Kemajuan.

Contoh kitab Tafsir al-Iklil-Fi Ma’ani at-Tanzil adalah sebagai berikut:

ۡ ۡ)٥٥(ۡ‫ين‬ ِ ُِ ‫ٱدۡعواْۡربَّ ُكمۡۡتَضُّرعۡاوخفۡيةۡۡإِن َّۡهۥََۡل‬


َ ‫بۡٱلۡ ُمعۡتَد‬
ُّ ‫ُۡي‬ ُ َ َُ َ َ ُ
He kabeh penduduk bumi, khususe wong kang iman! Siro kabeh
bisoho podo do’a, bisoho podo nyuwun marang pangeran niro opo kang dadi
keperluan niro kanti andepe-andepe lan suworo kang lirih, ngertiyo! Allaah
ta’ala iku ora demen wong-wong kang tumindak ngeliwati bates.

Setiap karya pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, berikut adalah


kelebihan kitab Tafsir al-Iklil-Fi Ma’ani at-Tanzil: Lengkap 30 juz, disajikan
secara beruntut berdasarkan urutan surah, tiap awal penafsiran didahului
dengan nama surat, tempat turunnya dan jumlah ayatnya, delengkapi dengan
makna perkata yang ditulis dengan makna gandul, dari makna perkata tersebut,
ditulis ulang dibawahnya dan disusun menjadi sebuah kalimat yang tertat,
adanya symbol yang menunjukkan uraian penafsiran, berisi juga istilah yang
dimaksudkan untuk memberikan keterangan tambahan. Sedangkan kekurangan
kitab Tafsir al-Iklil-Fi Ma’ani at-Tanzil adalah diterbitkan oleh penerbit yang
kurang sepemikiran dengan KH. Misbah Musthafa, sehingga terdapat bagian
dari kutipanm beliau yang dihapus tanpa seizin beliau.

18
DAFTAR PUSTAKA

Misbah Mustofa. Tafsir Al-Iklil. jil. VIII. Surabaya.

Ahmad Baidowi. 2015. Aspek Lokalitas Tafsir al-Iklil Fi Ma’ani al-Tanzil Karya
KH. Misbah Mustafa. UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. Vol.1. No.1.

Kusnia Maya. 2018. Penafsiran Misbah Musthafa Terhadap Ayat tentang Bid’ah
dalam Tafsir al-Iklil fi Ma’ani at-Tanzil (surah al-A’raf ayat 55-56 dan
Surat at-Taubah ayat 31).Skripsi UIN Sunan Ampel.Surabaya.

Muhammad Sholeh. 2015. Studi Analisis Hadis-Hadis Tafsir al-Iklil Karya KH.
Misbah Zain Bin Musthafa (Surat ad-Dhuha Sampai surat an-Nass).Skripsi
UIN Walisongo. Semarang.

19

Anda mungkin juga menyukai