Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH LIVING QUR’AN

ASPEK AKSIOLOGI ILMU LIVING QUR’AN


Dosen pengampu: Dr. D.I. Ansusa Putra, LC., MA.Hum

Disusun oleh Kel. 1 :


Fariz Nur Pratomo (301190036)
Asri Yono (301190066)
Ahmad aghis (301190099)
Apriyonald Harle C (301190075)
Ari Saputra (301190066)
Desviana Novrianti (301190051)
Dodi Padrillah (301190084)
Ema Yanti (301190045)

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR (IAT)


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA (FUSA)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SULTHAN THAHA
SAIFUDDIN(STS) JAMBI T.A. 2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
Kata Pengantar.........................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
Pendahuluan.............................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................5
NILAI ETIS-ESTETIS ILMU LIVING QURAN-HADIS..................................5
A. Nilai dan Kebenaran dalam Ilmu Living Quran-Hadis.................................6
B. Kode Etik Ilmu Living Quran-Hadis..........................................................10
1. Kode Etik untuk Pengkaji........................................................................11
2. Kode Etik keilmuan.................................................................................15
C. Peran Living Quran-Hadis terhadap Perubahan Sosial...............................19
1. Rekonstruksi............................................................................................20
2. Reinterpretasi...........................................................................................21
3. Reformulasi.............................................................................................22
4. Reaktualisasi............................................................................................23
BAB III..................................................................................................................26
PENUTUP..............................................................................................................26
KESIMPULAN..................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................27

ii
Kata Pengantar

Puji syukur selalu kita ucapkan kepada Allah SWT. atas berkat serta
Rahmat hidayah-Nya kita masih dapat belajar secara daring dalam memenuhi
kehadiran serta partisipasi dalam mata kuliah Ilmu Living Qur’an pada semester
6.

Shalawat serta salam kita sampaikan, kita lafadzkan kepada Nabi


Muhammad SAW. berkat beliau kita masih dapat merasakan nikmat Islam, iman,
serta Ihsan, insyaallah. Berkat ridho Allah, kami pemakalah dapat menyelesaikan
makalah kami. Mohon maaf banyak kekurangan-kekurangan dalam referensi
penulisan, kesalahannya mohon dimaafkan. Sangat diperlukan kritik saran agar
dapat melakukan perbaikan.

3
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Living qur’an merupakan kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai


peristiwa sosial terkait dengan kebeadaan atau Al-Qur’an yang hidup
dimasyarakat. Dalam langkah metodologi dan pendekatan serta kajian secara
komprehensif dalam berbagai keilmuan yang memuat masalag-masalah
aktualisasi dan implementasu Al-Qur’an di tengah masyarakat. Ada beberapa
landasan yang dikaji dalam ilmu living Qur’an ini yakni berupa landasan
ontologis, epistimologis dan aksiologis dengan berbagai pendekatan yang ada
dalam ranah ruang lingkup ilmu tersebut.

Perkembangan zaman semakin pesat yang dimana tetaplah harus sesuai


dengan Al-Qur’an dan hadis dengan tidak melenceng aplagi membantah dua
sumber dalil tersebut. Maka dalam hal ini dalam upaya membahas landasan
epistimologis atau landasan yang membahas makna yang berhubungan dengan
hakikat dari ilmu pengetahuan atau dasar dari sebuah ilmu pengetahuan tersebut.
Landasan epistimologis yang dibahas dalam ilmu living Qur’an adalah
bagaimana pendekatan ilmu sains dalam kajian living Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana nilai dan kebenaran dalam ilmu living Qur’an ?
2. Bagaimana kode etik ilmu living Qur’an ?
3. Bagaimana peran ilmu living Qur’an terhadap perubahan social ?

C. Tujuan
1. Untuk mengentahui nilai dan kebenaran dalam ilmu living Qur’an.
2. Untuk mengentahui kode etik ilmu living Qur’an.
3. Untuk mengentahui peran ilmu living Qur’an terhadap perubahan social.

4
5
BAB II

PEMBAHASAN

NILAI ETIS-ESTETIS ILMU LIVING QURAN-HADIS

Setelah membahas tentang aspek eksistensi dan esensi, serta konsep dasar
dan metodologi ilmu living Quran-hadis, kini oba saatnya untuk mengkaji aspek
kebermanfaatan ilmu ini secara nyata. Bagian ini akan mengupas bagaimana ilmu
ini dapat diguna-manfaatkan oleh masyarakat. Bagian ini merupakan bagian
penyempurna bagi kellmuan living Quran-hadis. Jika bagian-bagian sebelumnya
bertujuan membuktikan kemandirian living Quran-hadis sebagai sebuah cabang
ilmu, bukan lagi sebagai “ranting-ranting keilmuan yang hanya merupakan sebuah
teori-teori kecil, serta meneguhkan struktur bangunannya, maka bagian ini adalah
menampilkan cabang besar tersebut secara indah agar menarik dan lebih berguna
Ibarat sebuah cabang pohon, jika tidak dirawat dengan baik maka kayunya
menjadi tidak beraturan, tidak indah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk
hal-hal besar, kecuali hanya untuk dipotong-potong sebagai kayu bakar.

Bagian ini akan membahas tentang nilai sifat kebenaran dalam paradigma
keilmuan living Quran-hadis Seperti apakah sifat kebenaran dan kebermanfaatan
ilmu living Quran-hadis, dan bagaimana cara mengungkapkan dan menyajikannya
agar dapat didayagunakan dengan baik oleh masyarakat luas. Oleh karena itu
diperlukan kejelasan tentang kode etik ilmu living Quran-hadis dan peranannya
dalam perubahan sosial. Pentingnya perubahan sosial itu membuat kita harus
memahami aspek-aspek historisitas dan aspek-aspek sosilogis-antropologis
dengan baik, bukan sekedar aspek normatifitasnya.1

1
Ahmad Ubaidi Hasbillah, ilmu living quran-hadist: ontologi, epistimologi, dan
aksiologi, Tanggerang: maktabah darus-sunnah, 2019, hal. 317. (Placeholder1) (living)

6
A. Nilai dan Kebenaran dalam Ilmu Living Quran-Hadis.

Salah satu tema besar aksiologi adalah masalah nilai dan manfaat sebuah
ilmu. Nilai merupakan hal-hal penting dan berguna bagi kemanusiaan la
merupakan hal yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Nilai
bersifat abstrak dan sangat mendasar bagi kehidupan manusia untuk menjadi
pribadi yang utuh la merupakan sebuah kualitas yang inheren pada suatu objek
Nila digunakan untuk mengukur kualitas atau kebenaran suatu objek Dalam dunia
aksiologi, ada dua penilaian yang umum digunakan. Yaitu etika estetika Etika
memiliki fungsi menjadikan manusia mengetahui dan mampu
mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Sedangkan estetika berfungsi
menjadikan manusia memahami tentang nilai keindahan yang mengandung arti
bahwa dalam diri segala sesuatu terdapar unsur-unsur yang tertata secara tertib
dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh dan menyeluruh.

Dalam kajian tentang nilai, ada beberapa mazhab untuk sebuah kebenaran.
Ada mazhab utilitarianisme, mazhab naturalisme: dan mazhab empirisme Di
samping itu juga ada aliran-aliran lain, seperti rasionalisme, dan formalisme
Kajian living Quran hadis juga dibangun di atas mazhab-mazhab tentang nilai
tersebut, terutama mazhab empirisme. Artinya, kebenaran yang dijunjung tinggi
dalam kajian living Quran hadis, tetap mempertimbangkan aspek-aspek kegunaan,
natural (alami, fitrah). Rasio, dan formalitas. Namun, dalam hal ini, kebenaran
yang diakui dalam kajian living Quran hadis adalah kebenaran yang dibangun di
atas empirisme.

Sebagaimana telah dijelaskan di bagian awal bahwa ilmu living Quran-


hadis adalah termasuk kategori ilmu yang berkaitan erat dengan sosiologi dan
antropologi Bahkan, ia juga dapat dikategorikan sebagai bagian dari ilmu
sosiologi dan antropologi tersebut. Hanya saja, ia tetap memiliki perbedaan,
mengingat ruang lingkup objek material masing-masing bidang ilmu tersebut juga
tidak sama ilmu living Quran-hadis yang masih mengandung unur wahyu dalam

7
objek materialnya itu, ia tidak sepenuhnya bersifat positivistik murni, melainkan
juga mengandung unsur unsur karakter naturalitik dan ilmu wahyu.

Sebagai ilmu at Quran-hadis yang berada di ranah sosial keagamaan, ilmu


living Quran hadisin memang bersifat positivistik Artinya, ilmu ini lebih dominan
unsur positivismenya Dengan demikian, ilmu ini harus didasarkan pada peristiwa
yang benar benar terjadi dan dapat dialami sebagai suatu realita la tidak boleh
didasarkan kepada angan-angan, impian, au imajinasi, maupun perasaan, la juga
bukan berupa konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal semata
Meski demikian, bukan berart Ilmu ini menolak segala aktifitas yang berkenaan
dengan metafisik karena objek kajian ilmu ini adalah realitas dan aktifitas yang
berkenaan al-Quran dan hadis. Sedangkan al-Quran dan hadis hanyak sekali
berbicara tentang metafisik Misalnya, realitas dan gejala-gejala spiritual yang
metafisis masih dapat diakul dalam ilmu ini, sepanjang dapat diukur dan
dibuktikan secara empiris.

Misalnya, hadis tentang aura orang yang terbiasa berwudlu Ighurr al-
muhajjalin di mana ia dapat memancarkan aura positif Semakin sering la
berwudlu, aura posisinya akan semakin kuat. Jika ia ingin menambah lagi sumber
aura positifnya (a-tahil), maka hendaknya ia membasuh anggota wudlu lebih dari
sekedar batas yang diwajibkan. Itu adalah sisi wahyu dari hadis Nabi. Umat Islam
pun memercayainya, meyakininya, dan mengamalkannya. Sehingga mereka
membuktikan hal itu. Instrumen penilaian dalam bidang psikologi dapat
digunakan untuk mengukur hal itu. Sehingga, dalam penelitian living Quran
hadis, sisi-sisi kewahyuan seperti itu tentu tidak dapat diabaikan begitu saja.
Pengujian atau verifikasi seperti ini juga tidak berarti bahwa kajiannya menjadi
dogmatis ataupun spekulatif.

Meski demikian, karena objek materialnya juga mengandung unsur-unsur


wahyu al-Quran dan hadis, maka hal itu tidak dapat dinafikan secara total. Living
ayat dan hadis-hadis tentang kiamat misalnya, tetap dapat dikaji dalam ilmu living
Quran-hadis meskipun kiamat itu belum benar-benar terjadi. Namun visualisasi
kiamat, visualisasi surga dan neraka adalah hal yang benar-benar terjadi dan

8
bahkan membudaya hari ini. Karena itu, dalam ilmu lving hadis ini ada yang
merupakan kategori surah, sirah, dan Surirah ini akan mirip seperti halnya kajian
antropologi agama yang membahas tentang mitologi dan keyakinan seseorang.

Dengan demikian alat uji “kebenaran dalam limu living Quran hadis
bukanlah al-Quran dan hadis itu sendiri, melinkas realitas yang nyata terkan al-
Quran dan hadis. “Pencapaian kebenaran dalam kajian ilmu ini bersumber dan
berpangkal pas kejadian yang benar-benar terjadi. Sedangkan hal-hal yang di luar
ina, bukanlah wilayah positivisme yang menjadi induk ilmu living Quran-hadis.

Ini artinya, Ilmu living Quran-hadis juga berbeda dari ilmu al-Quran, ilmu
hadis, ilmu tafsir uma fikih, dan limo-itmu agama doktrinal murni yang normatif.
“Peciptaan kebenaran dalam ilme ilmu tersebut bersumber dan berpangkal pada
ayar al-Quran dan hadis. Bagaimana misalnya, suatu ketetapan hukum atas suatu
kasus yang nyata di masyarakat harus dihukumi berdasarkan ayat dan hadis Nabi,
misalnya. Suka atau tidak suka, harus sesuai dengan ayat dan hadis Kebenaran
suatu penafsiran atau pemahaman terhadap ayat dan hadis juga begitu, harus
bersumber berpangkal, dan diukur dari ayat dengan ayat dan hadis.

Living Quran-hadis sebagai ilmu harus memiliki dasar-dasar ilmiah. Satu


hal yang terpenting dalam bagian ini adalah masalah penemuan kebenaran.
Bagaimana kebenaran ilmu living Quran hadis itu diperoleh? Apakah melalui
cara-cara ilmiah atau tidak? Jika ia diperoleh melalui cara ilmiah, maka secara
epistemologis la dapat disebut sebagai ilmu. Namun jika tidak, maka ia hanya
sebatas pengetahuan atau keyakinan.

Ilmu living Quran hadis tidak ditemukan melalui wahyu Artinya, living
Quran-hadis bukanlah wahyu dari Tuhan yang bersifat pemberian (given). Al-
Quran dan hadis memang merupakan sebuah wahyu, karena itu antara al-Quran-
hadis dan ilmu al-Quran atau ilmu hadis adalah dua hal yang berbeda. Al-Quran
dalam hal ini tidak diposisikan sebagai ilmu, melainkan sumber utama ilmu
pengetahuan dan juga sumber kebenaran ilmu pengetahuan. Hadis juga demikian,
ia sebagal realitas wahyu yang berupa sabda dan perbuatan Nabi. Kemudian, dari

9
situlah lahir berbagai macam ilmu; Ada ilmu syariah, ada ilmu akidah, ada limu
akhlak atau tasawuf.

Perbedaan antara ilmu dengan wahyu adalah pada sifat kebenarannya.


Wahyu memiliki kebenaran yang bersifat mutlak Sedangkan kebenaran ilmu tidak
bersifat mutlak, melainkan nisbi atau relatif ta dapar dinilai benar oleh suatu
paradigma tertentu. Namun dapar dinilai tidak benar oleh paradigma yang lain.
Oleh karena itu antara kebenaran al-Quran dan kebenaran ilmu al-Quran juga
berbeda. Begitujuga antara kebenaran hadis dan ilmu hadis Kebenaran al-Quran
dan hadis sahih berisfat mutlak, sedangkan kebenaran ilmu al-Quran dan ilmu
hadis bersifat relatif.2 Ada banyak pendapat dan teori yang berbeda-beda bahkan
kontradiktif dalam ilmu al-Quran dan ilmu hadis, namun untuk al-Quran dan sahih
tidak ada kontradiksi di dalamnya.

Living Quran-hadis juga demikian la berbeda dari al-Quran dan hadis la


adalah produk dari pemahaman terhadap al-Quran dan hadis Realitas kehidupan
yang bersumber atau diinspirasi dari al-Quran dan hadis, Oleh karena itu, ia
bukanlah wahyu, meskipun sumber asalnya berasal dan wahyu (al-Quran dan
hadis) Living Quran hadis, bukanlah teks al-Quran maupun teks hadis. Melainkan,
la adalah wujud lain yang hidup secara dinamis yang lahir dari teks Quran-hadis
dan budaya la adalah gejala-gejala al Quran dan hadis di dalam kehidupan sehari-
hari.

Kebenaran dalam Imu living Quran-hadis juga tidak berasal dari ilham,
intuisi, wangsit atau bahkan mitos. Bahkan ia adalah realitas yang hidup, realitas
sosial yang menggejala di masyarakat. La adalah sebuah budaya, felas, hakikat
dari living Quran-hadis adalah hasil cipta, karya, dan karsa manusia yang
diinspirasi oleh al Quran dan hadis.

Living Quran-hadis tidak ditemukan secara kebetulan la bahkan memiliki


pola dan sistem yang terstruktur dalam kehidupan manusia. Menemukan

2
Bahkan dalam masalah kebenaran hadis sahih inipun masih ada yang tidak
memutlakannya. Ini karna hadis merupakan kategori zhanny al wurud dan sekaligus zhanniy ad
dalalah.

10
kebenaran dalam kajian living Quran-hadis tidaklah seperti menemukan harta
karun atau menemukan kembali barang yang hilang.

Dengan demikian, kebenaran yang ada dalam ilmu living Quran-hadis


adalah bersumber dari empirisme. Kebenaran yang empiris ini biasanya bersifat
lokal dan temporal. Sedangkan universalitasnya terletak pada realitasnya yang
sangat dinamis itu.

B. Kode Etik Ilmu Living Quran-Hadis

Salah satu tapik penting dalam bidang aksiologi living Quran hadis adalah
masalah kode etik. Seorang ilmuwan atau pengkaji living Quran-hadis terikat oleh
kode etik keilmuan agar ia dapat menjadikan ilmu yang la geluti itu semakin jelas
kebenaran dan manfaatnya.

Secara umum sebagai bagian dari imu al-Quran dan ilmu hadis Ilmu living
Quran hadis tentunya juga memiliki kode etik yang sama dengan kedua ilmu
induknya itu. Di dalam ilmu al-Quran misalnya terdapat satu cabang yang disebut
dengan Adab Homalar al-Quran yaitu adab-adab para pengguna al-Quran, baik itu
pengguna tingkat pemula hingga pengguna tingkat mahir dan ahli. Hal yang sama
juga dijumpai dalam ilmu hadis. Di dalam ilmu hadis, terdapat cabang ilmu yang
disebut adab al-hadich, yaitu adab untuk para pengguna hadis. Baik itu, pengguna
tingkat pemula, hingga mahir dan ahli. Biasanya, dalam ilmu hadis hal itu
dikategorikan menjadi. Adab thalib al-hadith (adab pelajar dan peneliti hadis) dan
adab al-muhaddith (adab narasumber dan ahli hadis). Hampir seluruh kitab
musthaiah hadis (cabang ilmu hadis yang paling dasar) pasti membahas tentang
hal itu Karya al-Ramahurmuzi yang berjudul at Muhaddich al-Fashil Baina al
Rówi wa al-WaT dapat menjadi karya habon dalam bidang ini. Tak kalah
pentingnya dengan karya al Ramahurmuzi tersebut, buku berjudul al-jami li
Akhtag al Rówi wa Adab al-Sami juga patut untuk diposisikan sebagai buku
babon Selain buku tersebut, karya Ibn Abd al-Barr al Maliki yang berjudul, Jami
Bayan al-Tim wa Ahlih, juga dapat menjadi rujukan terpenting untuk masalah

11
kode etik para pengguna hadis. Masalah akhlak atau kode etik ini penting
sekali untuk diperhatikan, karena seorang peneliti dan pengkaji ilmu apapun,
lebih-lebih adalah ilmu living Quran-hadis yang merupakan cabang ilmu al-Quran
dan ilmu hadis, harus memiliki integritas yang sangat tinggi. Tanpanya, ilmu yang
dihasilkan dari penelitian tersebut tidak akan bernilai.

1. Kode Etik untuk Pengkaji

Setiap Ilmuwan atau pengkall living Quran-hadis memiliki unggung jawab


sosial yang cukup tinggi. Ia berperan sentral dan tal dalam menjadikan ilmu living
Quran hadis sebagai teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Ini
karena sebuah dm tidak akan diakui jika tidak memiliki aspek kemanfaatan
ersebut. Sedangkan untuk dapat dimanfaatkan jimu sangat bergantung kepada
bagaimana kesadaran ilmuwannya dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya
itu.

Oleh karena itu seorang ilmuwan living Quran-hadis harus turut


bertanggung jawab agar produk keilmuannya dapat sampai bepada masyarakat
dan dapat dimanfaatkan oleh mereka muwan living Quran hadis juga memiliki
tanggung jawab sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa
yang mudah dicerna.

Seorang ilmuwan living Quran hadis harus tetap objekuf meskipun


dihadapkan kepada berbagai macam kepentingan, baik yang bersifat pribadi
maupun komunal fa tidak boleh berpihak au condong kepada ideologi yang
menjadi afiliasinya atau kepentingan masyarakat yang menaunginya Seorang
ilmuwan living Quran hadis harus bebas kepentingan kepentingan sosial politik
Secara moral ia tidak akan membiarkan hasil penelitiannya digunakan untuk
menindas orang lain, budaya lain, ataupun tujuan juan destruktif lainnya.

Selanjutnya, di dalam penelitian living Quran-hadis, ada dua kategori


peneliti berdasarkan kecenderungannya dalam menginterpretasi data. Pertama
peneliti yang bermazhab strukturalis dan kedua adalah peneliti yang bermazhab
lenomenologis Keduanya memiliki perbedaan dalam cara menganalisis data dan

12
merumuskan jawaban penelitiannya. Namun, dalam hal ini keduanya terikat oleh
kode etik yang sama. Yaitu keduanya harus memegang teguh prinsip emik dan
prinsip empirisme dalam melakukan penelitian.

Pada saat melakukan pengumpulan data seorang peneliti akan mendapati


kondisi di mana sang informan atau narasumber tidak mengetahui hadis yang
menjadi sumber tradisi yang mereka lakukan Ada kalanya, karena tradisi tersebut
telah dilakukan.3

Secara turun temurun dari nenek moyang sementara nenek moyang


mereka tidak melek Quran-hadis, bahkan tidak cakap baca-tulis Adakalanya
mereka mewarisi tradisi dari para ulama atau kiai yang menjadi panutan dalam
beragama di suatu daerah, sedangkan sang kiai pun mengutip dari kitab kuning
yang merupakan peracik tradisi dari teks al-Quran dan hadis tersebut. Adakalanya
mereka pernah mendengar dan bahkan mempelajari asal usul tradisi tersebut dari
suatu pemahaman teks al-Quran dan hadis, namun kemudian ia lupa seperti apa
teks hadisaya berikut metode pemahamannya.

Jika yang didapati adalah informan yang sama sekali tidak mampu
menyebutkan teks ayat atau hadisnya, namun meyakini bahwa ada hadis yang
melandasi praktik mereka itu, maka sebaiknya peneliti tidak gegabah untuk
mencari hadisnya secara mandiri melalui kerja takhrij ayar atau hadis. Peneliti
sebaiknya mencari informasi terlebih dahulu kepada para tokoh agama di
komunitas masyarakat tersebut untuk memastikan bahwa teks ayat atau hadis
yang mana yang dimaksud Boleh jadi, seorang peneliti memiliki asumsi yang
berbeda dalam menentukan ayamnya. Seperti halnya orang yang melakukan
tradisi ha adakalanya mereka melivingkan ayat tentang al-ihsan bil walidain.
Adakalanya mereka melakukan living ayat wo dzokkirhum bi ayyamillah.
Adakalanya juga mereka melivingkan hadis amal jariyah Ada juga yang
termotivasi oleh hadis tentang mengingat-ingat kebaikan orang yang telah
meninggal.

3
Saifuddin zuhri, living hadis: praktek resepsi, teks, dan transmisi, Yogyakarta: Q media
dan Ilha Press, 2018, hal. 14-15.

13
Seandainya seorang peneliti melakukan kerja rakhrij secara mandiri untuk
tradisi haul tersebut, maka hasilnya tidak akan maksimal, bahkan tak lebih dari
sekedar asumsi belaka. Sedangkan cara yang demikian itu tidak sesuai dengan
prinsip emik-empirikyang menjadi ciri khas ilmu living Quran hadis. Bantuan
takhrij secara mandiri oleh peneliti tersebut akan mengeluarkan kajian ilmiah
seperti ini dari wilayah living Quran-hadis, dan menjadikannya sebagai kajian
ilmiah fikih, atau kegiatan takhrij hadis biasa.

Lalu bagaimana jika seorang peneliti tetap juga pada prinsip


strukturalisnya, namun tidak dapat menemukan teks hadisnya. Meskipun telah
mengejar berbagai informan, sedangkan para Pelaku meyakini bahwa hal itu ada
hadisnya? Ia tetap dapat lakukan penelitian Iiving Quran hadis dengan hak Setelah
berusaha mengetar informan utama yang dianggap paling tabu dan paling mampu
menceritakan sejarah formulasi tradisi yang hidup itu disarikan dari al-Quran dan
hadis, kemudian ia hanya mendapatkan informasi ayat atau hadisnya saja
sedangkan pela struktur dan metode pemahamannya tidak berhasil didapatkan
maka barulah ia diperkenankan untuk memformulasikan tradisi tersebut
berdasarkan ilmu living Quran hadis. Dengan ketentuan bahwa la tetap harus
mengonfirmasikannya kepada para infurman yang semula untuk menghindari
kesalahan dalam memahami asumsi terhadap konsep utuh suatu tradisi dan
budaya yang ia kaji. Saifuddin dan Subkhani menyebur langkah seperti ini dengan
istilah substansiasi.4

Di samping itu seorang peneliti strukturalis biasanya terikat oleh teori-tean


ilmiah yang ia bawa sejak sebelum melakukan Sehingga ia merasa perlu untuk
merumuskan formula suatu tradisi sebagai praktik living Quran dan hadis
berdasarkan teori-teori yang telah la bawa sebelumnya. Sementara informan
kadang tidak berpikir sejauh itu, bahkan ndak pernah berpikir tentang teori yang
dibawa oleh peneliti strukturalis tersebut.

4
Saifuddin zuhri, living hadis: praktek resepsi, teks, dan transmisi, Yogyakarta: Q media
dan Ilha Press, 2018, hal. 115-116.

14
Seorang peneliti strukturalis, memiliki kecenderungan untuk meneliti
living Quran-hadis dengan pendekatan ilmu sosial budaya Umumnya, seorang
strukturalis akan membaca praktik yang berkenaan dengan al-Quran dan hadis
dengan pendekatana sologi-antropologi. Sehingga, ia akan menyimpulkan
fenomena sosial yang merupakan wujud dari respon masyarakat terhadap al Quran
dan hadis itu melalui teori-teori sosial yang diciptakan oleh para peneliti
sebelumnya. Cara kerja mereka untuk menemukan kebenaran adalah bersifat
deduktif.

Sementara itu, bagi peneliti yang beraliran fenomenologis tentu hal itu
bukanlah sesuatu yang asing baginya. Cara kerja seperti itu adalah hal yang
memang menjadi kewajiban seorang fenomenolog. Seorang fenomenolog tidak
harus membawa sebuah teon terlebih dahulu. Cara kerja fenomenolog adalal
bersifat induktif. Mereka akan menemukan teori besar dari hasil pengamatannya
terhadap kasus-kasus kecil dan praktik keberagamaan berdasarkan al-Quran dan
hadis yang ia temui di lapangan Secara umum, seorang peneliti atau pengkaji
living Quran Hadis dapat dinyatakan dalam satu hal yaitu harus memiliki
Integritas yang tinggi sebagai peneliti. Kepribadian dan objekuritas Peseliti
menjadi prasayarat melakukan penelitian living Quran Hadis ta harus mampu
meminimalisir subjektifitasnya. Terkait integritas seorang peneliti living Quran-
hadis ini, dapat dirinci menjadi dua kategori, yaitu integritas personal dalam
bersikap dan integritas berpikir. Seorang peneliti living Quran hadis bukanlah
seorang peneliti al-Quran dan peneliti hadis Artinya, ketika ia tidak menguasal
ulumul Quran dan ulumul hadis pun sah dan dapat meneliti living Quran-hadis.
Bahkan, ia pun tidak harus pandai dalam membaca teks al-Quran dan hadis Baik
muslim, maupun non muslim, hingga tidak beragama pun dapat melakukan
penelitian living Quran hadis. Karena, antara penelio dan objek yang dikaji
bersifat terpisah (detached).

Secara personal seorang peneliti juga harus memiliki kemampuan berpikir


yang memadai la harus memiliki kompetensi analitis yang baik ta harus cakap
dalam menggali dan menerima informasi serta membuat statemen atau

15
kesimpulan-kesimpulan kecil. Kemudian, la harus pandai dalam melakukan cek
dan ricek Karena itu, ia harus pandai juga untuk menghubungkan satu fenomena
dengan fenomena yang lainnya. Sebagai kompetensi tambahannya, ia harus kritis
dan bertanggung jawab. Ketika ia mempertanyakan sesuatu tidak kemudian asa
bertanya, melainkan ada argumen yang membuat ia harus menanyakan suatu hal
Dalam hal ini, kritis tidak harus skeptis. Namun, ia juga tidak boleh menerima
informas begitu saja sebagai sebuah kebenaran, tanpa menguji validitasnya
terlebih dahulu.

Terakhir, seorang peneliti harus bersikap terbuka. Agar penelitiannya


dapat berjalan dengan lancar, maka ia harus terbuka dalam proses penelitiannya
itu. La harus transparan dalam proses menelit, terutama dalam hat metode.
Termasuk pula, ia harus terbuka dalam penelitian.

Kemudian, sebagai pengkaji kita perlu juga mengasah keterampilan


akademisnya agar proses penelitiannya lancar dan mudah Keterampilan ni perto
diasat dengan meningkatkan tensitas pengalaman meneliti Beberapa keterampilan
akademik yang harus hanyak dilakukan oleh seorang peneliti adalah di antaranya,
membaca literatur untuk menemukan literatur primer dan sekunder, membaca isu
atau tema yang hendak dikaji agar dapat menambah bekal wawasan dalam proses
penelitian.

Sebagai peneliti living Quran-hadis yang baik, kita juga harus memiliki
sifat-sifat ikhlas jujur, amanah, sabar, ulet, tekun, tidak mudah putus asa,
optimistis, tanggung jawab akademis wet, jeli, dan cermat. Dengan sifat-sifat
personal tersebut, syarat syarat ideal peneliti sebagaimana yang telah disebutkan
di atas. Pasti akan dapat terpenuhi dengan sendirinya. Dengan sifat-sifat itu pula,
penelitian kita pasti tidak akan tendensius, stereotipikal, picik, dan dapat
dipercaya sumber-sumber dan kutipannya. Semua riset harus didasarkan pada
prinsip-prinsip tersebut.

16
2. Kode Etik keilmuan

Sebagaimana telah dijelaskan di bagian awal bahwa ilmu Iving Quran-


hadis bukanlah ilmu sosial murni, karena la masih berkaitan erat dengan wahyu
dan alam tu juga bukan ilmu sains murni karena nyatanya, objek utama yang
diteliti adalah pengalaman manusia dalam beragama, praktik-praktik sosial, dan
fenomena-fenomena atau gejala al-Quran dan hadis yang ada di masyarakat. Ia
juga bukan ilmu wahyu murni, meskipun al-Quran dan hadis sendiri adalah
wahyu. Karena yang dikaji dalam ilmu ini adalah pengalaman berbasis al-Quran
dan hadisnya, bukan al Quran dan hadisnya itu sendiri: Oleh karna itu, fimu living
Quran hadis adalah termasuk kategori bidang ilmu sosial keagamaan.
Sebagai sebuah bidang ilmu sosial keagamaan, yang memiliki paradigma
gabungan antara positivistik, naturalistik, dan wahyu,5 Ilma living Quran-hadis
memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh mu-ilmu lain. Ia berbeda dari ilmu
agama murni (teologi, syariah, tasawuf, hadis, tafsir, dil), juga berbeda dari ilmu
sosiologi murni ataupun ilmu-ilmu kealaman Pembeda utamanya adalah pada
jejak studinya, sehingga metode yang digunakan pun pasti akan berbeda sesuai
dengan objek yang dikajinya.6
Sebagai bidang ilmu berparadigma positivistik, limu living Quran hadis
harus memiliki karakter material empiris, rasional dan kuantitatif Artinya kajian
keilmuan living Quran hadis harustat merupakan kajian yang dapat diikuti ditiru,
dihayati oleh banyak orang sehingga objektifitasnya dapat
dipertanggungjawabkan Di samping itu, ia juga harus bersifat empiris, yang harus
didasarkan kepada pengalaman-pengalaman manusia, bukan bersifat wahyu murni
yang dogmatis Oleh karena itu, kajian living Quran-hadis tidak berhubungan
langsung dengan masalah spiritual atau agama melainkan dengan pengalaman
pengalaman spiritual dan agama Tidak hanya itu, kajian living Quran-hadis juga
harus bersifat rasional la bukanlah ilmu wahyu yang seringkali supra rasional

5
Suprayogo, metodelogi penelitian social-agama, bandung: Remaja Rosdakarya, 2003,
hal. 10.
6
Suprayogo, metodelogi penelitian social-agama, bandung: Remaja Rosdakarya, 2003,
hal. 17.

17
Sifat rasional ini penting karena kajian living Quran hadis bukanlah al-Quran dan
hadis itu sendiri Sehingga ia harus diolah dengan akal dan pikiran manusia Tidak
hanya itu, ia juga harus kuantitatif dalam artian didasarkan pada pengukuran dan
kesatuan.
Salah satu tugas utama kajian living Quran dan living hadis adalah
mendefinisikan realitas sosial ke dalam suatu konsep Sedangkan realitas sosial itu
selalu bersifat kompleks dan multidimensial Bukanlah perkara yang mudah
tentunya, untuk merumuskan konsep living Quran dan living hadis atas suatu
gejala dan realitas sosial. Seorang peneliti harus mengenali seluruh aspek yang
menjadi indikator dari realitas yang kompleks dan muindimensial tersebut
Kemudian ia harus berimajinasi dan mengatastraksikannya hingga menjadi sebuah
formula secara verbal yang kemudian disebut sebagai konsep atau konstruks logis
Konsep tersebut akan sangat berpengaruh terhadap struktur data, dan hasil
penelitian, haik penelitian yang sedang dilakukan maupun penelitian yang akan
dibangun dari konsep tersebut.
Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa pihak yang dianggap
otoritatif untuk melakukan konseptualisasi tidaklah mutlak pada subjek peneliti
atau mutlak padla subjek yang diteliti. Melainkan hasil perpaduan yang intens dari
kedua pihak yaitu antara pelaku budaya dan pelaku penelitian. Hanya saja yang
melakukan verbalisasi tentu adalah salah satunya, boleh dan pihak peneliti daya
atau dari pihak pelaku budaya.
Dengan demikian, kebenaran konsep suatu realitas sosial atau griala living
Quran-hadis menurut pandangan kelompok strukturalis adalah teori-teori itmiah
yang relevan. Sedangkan menuras kelompok fenomenologis, kebenaran suatu
konsepsi tentang realitas sosial berada pada pelakunya, meskipun sang pelaku
tersebut adalah orang awam. Dengan kata lain, paham strukturalis dalam kapan
living Quran hadis adalah peneliti yang mempelajari realitas atau gejala al-Quran
dan hadis di masyarakat, lalu menganalisisnya berdasarkan teori-teort ilmiah yang
ada dalam ilmu sosiologi dan antroplogi, seperti teori kuasa teori habitus, teari
benturan peradahan maupun-maupun teori la Kemudian, ia menyimpulkannya
berdasarkan tear tersebut. ta ihara orang yang meneliti tentang perilaku binatang,

18
di mana binatang tidak memiliki konsepsi apapun apalagi memberikan gambaran
Ingis tentang apa yang ia lakukan. Maka, peneliti akan menginsepsikannya
berdasarkan gejala yang ditampilkan oleh natang tersebut, lalu ia tafsirkan
berdasarkan teori yang ia miliki dalam ilmu Zoologi misalnya.
Sedangkan penein living Quran hadis yang beraliran fenomenologis adalah
peneliti yang belajar dari masyarakat Apapun yang dikatakan oleh masyarakat
tentang realitas sosial dan gejala-gejala al-Quran hadis yang mereka tampilkan,
itulah konsep yang benar Kemudian, sang peneliti hanya tingutal
menyimpulkannya menjadi sebuah formula yang baku. Dalam istilah yang lebih
populer, aliran strukturatis adalah peneliti yang mempelajari tentang masyarakat
(to learn about people), sedangkan aliran fenomenologis adalah penititi yang
belajar dari masyarakat (to learn from people).

Secara umum, kode etik keilmuan living Quran hadis, dapat dirumuskan
sebagai berikut :

1. Empiris
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa ilmu living hadis
adalah bagian dari ilmu sosiologi antropologi yang memiliki syarat utama, yaitu
harus empiris Penelitian living Quran hadis harus didasarkan kepada pengamatan
dan penalaran rasional la tidak didasarkan kepada wahyu Hasil kajiannya pun
harus terukur dan terbukti tidak boleh spekulatif atau sekedar asumsi belaka.
Asumsi hanya boleh dibawa pada tahap awal mula melakukan penelitian saja,
yaitu untuk membantu menemukan dan mengidentifikasi masalah,
merumuskannya, hingga kemudian menggali data di lapangan Sebatas itu saja,
wilayah asumsi dalam ilmu living Quran-hadis Peran tambahannya adalah asumsi
masih dapat digunakan untuk menetapkan "hipotesis dan variabel-variabel yang
diperlukan la tidak boleh memasuki ranah pengolahan data. pembuktian,
pengujian, dan penyimpulan.
2. Teoritis
Ini dapat juga disebut dengan abstrakuf Artinya Penelitian living Quran-
hadis harus mampu merangkum pengamatan pengamatan yang rumit di lapangan

19
untuk kemudian diabstraksikan menjadi satu teori atau kaidah la juga harus dapat
diterapkan dalam dalil-dalil yang abstrak yang relevan dan logis. Karena itu,
kajian living Quran-hadis juga harus bersifat rasional la juga perlu menerangkan
hubungan kausatif dari serangkaian masalah yang dikaji.

3. Kumulatif

Kajian living Quran-hadis bukanlah kajian yang benar benar mandiri dan
bertujuan untuk sekedar mendeskripsikan gejala-gejala al-Quran saja. Harus ada
nilai yang dihasilkan dari kegiatan deskriptif tersebut. Oleh karena itu kajian
living Quran-hadis harus menerapkan teori-teur ilmiah yang dibangun di atas
teori-teori lainnya yang telah mapan Meskipun kajian living Quran-hadis itu
nantinya adalah akan menghasilkan suatu teori baru, namun ia harus dibangun di
atas teori teori lain agar dapat teruji dengan baik. la dapat berupa koreksi terhadap
teori yang ada, menguatkan, memperluas atau menyempurnkan teari yang sudah
ada

4. Emis

Artinya, data dan kebenaran yang diperoleh mengacu kepada subjek yang
diteliti atau narasumber. bukan kepada peneliti la tidak boleh bersifat etis, yaitu
kebenaran mengacu kepada peneliti. Dengan demikian, penelitian living Quran
dan hadis tidak bertujuan untuk mencari apakah objek yang dikaji itu benar atau
salah, baik atau buruk, sunnah atau bidah kufur atau fasik, dan sejenisnya. Kajian
ilmu living Quran hadis juga tidak boleh stereotipikal. Tugas utama kajian living
Quran dan hadis hanya menjelaskan tindakan-tindakan sosial yang dikajinya. Jadi,
meskipun yang dikaji adalah al-Quran dan hadis tetap harus dipandang sebagai
realitas, bukan sebagai dogma atau norma semata.

20
C. Peran Living Quran-Hadis terhadap Perubahan Sosial

Living Quran-hadis adalah kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai


peristiwa sosial terkait dengan kehadiran al Quran hadis dan keberadaannya di
sebuah komunitas tertentu.7 Al-Quran dan hadis dalam sebuah komunitas tentunya
tidak hanya dikaji untuk sekedar dikenal atau diterima sebagai sebuah kitab suci
saja, tetapi lebih dari itu, la juga diharapkan menjadi kitab yang isinya terwujud
atau berusaha untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.8 Itulah aktualisasi
dan kontekstualisasi yang merupakan tujuan inti dari kegiatan mengkaji al-Quran
dan hadis bagi para pengimannya.

Kajian living Quran-hadis merupakan sebuah kegiatan pembacaan


terhadap pola dan fenomena kontekstualisasi al-Quran dan hadis di tengah
masyarakat Untuk selanjutnya dilakukan perubahan-perubahan jika diperlukan
atau untuk diperkuat dan dipertahankan untuk membentengi sebuah tradisi lama
yang telah hidup di tengah masyarakat. Dari kajian living Quran-hadis pula akan
terlihat peran al-Quran dalam peruabahan sosial, yaitu adakalanya kitab suci (al-
Quran dan hadis) sebagai benteng pertahanan tradisi dan sosial, sebagai motor
perubahan tradisi dan tatanan sosial, atau sebagai penyeimbang suatu tradisi dan
tatanan sosial. Fungsi-fungsi lain masih selalu terbuka untuk ditemukan melalui
kegiatan penelitian living Quran-hadis.

Dalam kehidupan umat manusia, perubahan sosial adalah sebuah


keniscayaan yang perlu untuk disadari dan dipahami. Fa memerlukan kajian yang
komprehensif dan efektif agar perubahan sosial yang terjadi dapat menuju ke arah
yang positif dan menghasilkan produk-produk budaya yang positif pula.
Kehadiran al-Quran dan hadis di tengah masyarakat selalu memiliki peran penting
dalam perubahan sosial. fa dapat menjadi positif dan juga memungkinkan untuk
dinita negatif jika tidak digunakan secara haik dan benar Di sinilah pentingnya

7
Dedi Junaedi, Living quran: Sebuah pendekatan baru dsalam kajian al-Qur’an, journal
of quran and hadis studies, vol. 4, no. 2, 2015.

8
Heddy Shri Ahimsa, the living quran: beberapa perspektif antropologi, dalam jurnal
wali songo, vol. 20, no. 1, hal. 236.

21
kalian living Quran-hadis yaitu mengawal perubahan sosial agar tetap berada di
ranah yang positif.

Secara umum peran living Quran hadis talam perubahan sosial dapat
dikategorikan menjadi empat yaitu:

1. Rekonstruksi

Kailan living Quran-hadis memiliki peran rekonstrukti terhadap masalah-


masalah sosial Peranan ini bertujuan untuk mendeskripsikan aspek-aspek filosifis
di balik pokok-pokok dan hal prinsip dalam cradisi yang menjadi media living
Quran dan hadis Living Quran badis dengan demikian mengurai makna fasolis di
balik setiap unsur tradisi dan budaya, sesuai dengan informasi yang diperoleh das
responden atau narasumber yang otoritatif.

Kegiatan rekonstruksi dalam kailan living Quran-hadis beram melakukan


penggambaran suatu budaya atau realita yang menjadi wadah bagi perwujudan
nilai-nila al-Quran dan hadis sebagaimana adanya pada masa awal kemunculan.
Kegiatan ini sama dengan melakukan rekonstruksi historis terhadap sebuah tradisi
Rekonstruksi sendiri memiliki pengertian pengembalian seperti semula atau
penyusunan (penggambaran) kembali Dengan demikian, rekonstruksi dalam
kegiatan penelitian living Quran hadis adalah penggambaran kembali suatu tradisi
atau fenomena al-Quran hadis di dapat dikaji secara lebih rinci.

Oleh karena itu, dalam melakukan rekonstruksi ini, hendaknya kita tidak
sekedar aspek eksistensi sebuah fenomena al-Quran dan hadis melainkan juga
harus mampu mengungkap esensi di balik fenomena tersebut. Hal ini penting
sekali dilakukan agar dapat diperoleh gambaran posisi al-Quran dan hadis dalam
tradisi atau fenomena tersebut.

Dalam kaitannya dengan ihyd al-sunnah, tahap rekonstruksi ini juga


penting dilakukan. Dengan melakukan rekonstruksi, kita dapat melakukan
perubahan tradisi secara arif dengan mempertimbangkan aspek-aspek esensi
dalam sebuah tradisi yang akan kata ubah. Sedangkan dalam konteks kajian al-

22
sunnah Al-hayyah, kegiatan rekonstruksi sama dengan menyeketsakan kembali
proses hyd al-sunnah yang dilakukan oleh para penemu dan pelako solah tradisi.

2. Reinterpretasi

Peran kedua yang dimainkan oleh kajian living Quran-hadis dalam


perubahan sosial adalah peran reinterpretasi. Dengan peran ini, living Quran hadis
bertugas menafsirkan ulang ayat atau hadis sesuai dengan apa yang dipahami oleh
responden. Hal ini digunakan untuk merekonstruksi pemahaman masyarakat
terhadap ayat dan hadis sehingga kita dapat memahami pola pikir mereka dalam
mengamalkan ayat dan hadis,

Setelah melakukan rekonstruksi secara komprehensif, kita dapat dengan


mudah melakukan penafsiran ulang ayat dan hadis sesuai dengan yang
dimaksudkan oleh para pemilik tradisi. Penafsiran ayat dan hadis menurut itu
dapat berbeda dari umumnya penafsiran yang dilakukan oleh para ulama. Di
sinilah kita dapat melakukan kajian ulumul Quran dan ilmu tafsir dalam kajian
living Quran-hadis.

Sebagai peneliti living Quran-hadis, kita tidak boleh memaksakan atau


menebak-nebak penafsiran al-Quran atau hadis. Semuanya diperoleh melalui
kegiatan penelitian empiris berdasarkan fakta dan realita di lapangan. Di sini
prinsip empirisme dan emik benar-benar dijunjung tinggi dalam penelitian living
Quran-hadis Dalam rangka penelitian untuk kegiatan hyd al-sunnah, reinterpretasi
dapat kita lakukan untuk menyetting ulang pola atau pemahaman seperti apa yang
dapat kita hidupkan di tengah masyarakat, sebagai bagian dari proses perubahan
sosial. Sedangkan dalam konteks penelitian al-sunnah al-hayyah, reinterpretasi
adalah upaya mengungkap pemahaman al-Quran dan hadis yang menjadi landasan
sebuah tradisi. Di situ pula dapat diketahui aspek-aspek dan bentuk perubahan
sosial yang terjadi di masyarakat.

3. Reformulasi

Reformulasi berarti memformat ulang terhadap keadaan (atan apapun yang


ada, karena ia dinilai telah jauh dari ideal. Hal ini dibalikan terlalu banyak nyak

23
atau patogi sal ang menangkis sebuah keastaan masyarakat selong menuntur untuk
jadinya perubahan smial Meskipun tak sa pershan sosial dilatarbelakangi oleh
penyaku penyakorl tersebut, karena memang ada hanyak faktor pendorong
perubahan-perubahan sosial dalam rangka reformulasi tersebut hai yang paling
diperlukan pertama adalah mendiagnosis penyakit penyakit yang ada dan mencari
penyebab timbulnya penyakit itu. Setelah mu haru kemudian ketta mencart
treatment yang paling tepat untuk menangani penyakit tersebut. Dars situlah
kemudian kita akan dapat mengetahui latar belakang penggunaan al-Quran atau
hadis sebagai pedoman lelaku masyarakat tersebut.

Reformulasi berarti merumuskan ulang atau menyusun alang sebuah


tatanan dalam bentuk yang sepat. Sebuah madays asas tradisi pasti akan
mengalami perubahan seiring dengan perubahan ndisi dan zaman Perubahan-
perubahan yang merupakan sebuah keniscayaan itu pasti menuntut adanya
penyusunan ulang sebuah tatanan baru yang lebih ideal. Dalam konteks kapan
living ran hadis, reformulasi ini perlu sekali kita lakukan untuk menilapatkan
bagaimana sebuah tradisi itu benar-benar memfungsikan al-Quran dan hadis.

Jika bagian rekonstruksi adalah menilik ulang ke belakang sebuah tatatan


sosial, bulaya atau caili masyarakat sebelum melibatkan al-Quran dan hadis, maka
hagan reformulasi kalah kepanjangan dari rekontrusksi tersebut la dinyatakan
vebagai langkah rekonstruksi kedua, yaitu setelah melisaikan al Quran dan hadis
dalam tatanan tersebut.

Al-Quran dan hadis pasti akan hidup dalam lingkungan yang tidak kosong
tradisi dan budaya Sebelim al-Quran dan has masuk ke dalam tatanan tradisi dan
budaya suatu masyarakat mereka sebenarnya telah memiliki tatanan sosial
budaya, dan tradisi yang mereka warisi dari leluhur dan nenek moyang mereka
Dalam pruses rekonstruksi, huilaya asli (indigenus) mulah yang perlu diungkap.
Kemudian dalam proses rekonsruksi oma ka dapat mengetahui filosofinya yang
kemudian akan diserikan dengan nilai-nilai al Quran dan hadis. Setelah bersinergi
dengan a Quran dan hadis, harulah kemudian muncul sebuah rumusan atau
Formula baru dalam tatanan itulah yang dimaksud dengan reformulasi Sedangkan

24
filosofi atau nilai-nilai al-Quran dan hadis yang dihidupkan dalam formula baru
itu dapat diketahui melalui proses re-interpretasi.

4. Reaktualisasi

Setelah melakukan perumusan ulang hal yang perlu Dilakukan dalam melakukan
maupun menelic living Quran hadis adalah kajian tentang rekatualisasi Kegiatan
reaktualisasi ini dapat juga disebut dengan reaktualisasi. Reartikulasi sendiri
merupakan proses Cara Atau perbuatan mengaktualisasikan kembali Penyegaran
dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat Terkadang sebuah tatanan sosial,
budaya, dan tradisi berubah Begitu saja, tanpa disadari, sehingga nilai-nilai
budayanya pun Menjadi bergeser Prosesi pelaksanaan sebuah tradisi terkadang
Juga tidak sama dengan formula atau rumusannya.

Di sinilah pentingnya melakukan rekonstruksi, reinterpretasi reformulasi


dan reaktualisasi Peran peran penting kajian living Quran-hadis dalam perubahan
masyarakat ini dapat menjadi panduan melakukan perubahan sosial yang
berkelanjutan dan tetap terarah. Melalui kajian-kajian tersebut, perubahan sosial
yang terjadi di masyarakat akan sarat dengan nilai-nilai positif yang dibangun di
atas “kesadaran menggunakan al-Quran dan hadis” Praktis, kegiatan-kegiatan
yang dilakukan pun akan sarat nilai agama yang berguna bagi kehidupan umat
Islam.

Kajian Reaktualisasi, yaitu penggambaran secara detail tentang prosesi


pengamalan tradisi tersebut berikut respon dari berbagai pihak yang terkait,
masyarakat pelaku, penonton, peneliti lain, atau aparat, pemerintah, atau bahkan
pihak-pihak yang kontra terhadap formula baru sebuah tatanan yang telah
melibatkan al Quran dan hadis tersebut Kajian ini penting dilakukan untuk
melihat bagaimana tatanan baru itu dilaksanakan serta respon seperti apa respon
masyarakat terhadapnya. Ini karena tidak semua pelibatan al-Quran dan hadis
dalam sebuah tatanan sosial, budaya, dan tradisi masyarakat pasti menuai
tanggapan positif, bahkan bisa jadi pelibatan tersebut justru menuai kontroversi
dan penolakan keras dari sekelompok masyarakat.

25
Segiatan reartikulasi dalam penelitian living Quran hadis dapat menadi
semacam kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap sebuah tatanan haru yang
melibatkan al-Quran dan hadia Secara internal bagi para pengamal sebuah tradisi,
kegiatan reaktualisati dapat berfungsi demikian. Sedangkan secara eksternal bag
para pengamat dan peneliti, kegiatan ini untuk memberikan gambaran utah
bagaimana prosesi itu dilakukan dalam formula harumya yang melibatkan al-
Quran dan hadis serta respon masyarakat terhadapnya. Dengan begitu, kita
sebagai pelaku maupun sebagai peneliti living Quran-hadis dapat mengetahui
dengan baik tentang bagian mana dari tradisi tersebut yang dapat dilakukan
perubahan secara berkesinambungan dan bagian mana yang tidak dapat dilakukan
perubahan. Melalui kegiatan reartikulasi ini pula kita dapat wujud yang
sebenarnya dari sebuah rumusan baru yang melibatkan al-Quran dan hadis
tersebut.

26
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

27
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa, H. S. (2012). the living quran: beberapa perspektif antropologi.


walisongo, 236.
Hasbillah, A. U. (2019). ilmu living quran-hadist: ontologi, epistimologi, dan
aksiolog. Tanggerang: maktabah darus-sunnah.
Junaedi, D. (2015). Living quran: Sebuah pendekatan baru dsalam kajian al-
Qur’an, vol. 4, no. 2, 2015. journal of quran and hadis studies.
Saifuddin zuhri. (2018). living hadis: praktek resepsi, teks, dan transmisi.
Yogyakarta: Q media dan Ilha Press.
Suprayogo. (2003). metodelogi penelitian social-agama,. bandung: Remaja
Rosdakarya.

28

Anda mungkin juga menyukai