DAFTAR ISI............................................................................................................ii
Kata Pengantar.........................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
Pendahuluan.............................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................5
NILAI ETIS-ESTETIS ILMU LIVING QURAN-HADIS..................................5
A. Nilai dan Kebenaran dalam Ilmu Living Quran-Hadis.................................6
B. Kode Etik Ilmu Living Quran-Hadis..........................................................10
1. Kode Etik untuk Pengkaji........................................................................11
2. Kode Etik keilmuan.................................................................................15
C. Peran Living Quran-Hadis terhadap Perubahan Sosial...............................19
1. Rekonstruksi............................................................................................20
2. Reinterpretasi...........................................................................................21
3. Reformulasi.............................................................................................22
4. Reaktualisasi............................................................................................23
BAB III..................................................................................................................26
PENUTUP..............................................................................................................26
KESIMPULAN..................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................27
ii
Kata Pengantar
Puji syukur selalu kita ucapkan kepada Allah SWT. atas berkat serta
Rahmat hidayah-Nya kita masih dapat belajar secara daring dalam memenuhi
kehadiran serta partisipasi dalam mata kuliah Ilmu Living Qur’an pada semester
6.
3
BAB I
Pendahuluan
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana nilai dan kebenaran dalam ilmu living Qur’an ?
2. Bagaimana kode etik ilmu living Qur’an ?
3. Bagaimana peran ilmu living Qur’an terhadap perubahan social ?
C. Tujuan
1. Untuk mengentahui nilai dan kebenaran dalam ilmu living Qur’an.
2. Untuk mengentahui kode etik ilmu living Qur’an.
3. Untuk mengentahui peran ilmu living Qur’an terhadap perubahan social.
4
5
BAB II
PEMBAHASAN
Setelah membahas tentang aspek eksistensi dan esensi, serta konsep dasar
dan metodologi ilmu living Quran-hadis, kini oba saatnya untuk mengkaji aspek
kebermanfaatan ilmu ini secara nyata. Bagian ini akan mengupas bagaimana ilmu
ini dapat diguna-manfaatkan oleh masyarakat. Bagian ini merupakan bagian
penyempurna bagi kellmuan living Quran-hadis. Jika bagian-bagian sebelumnya
bertujuan membuktikan kemandirian living Quran-hadis sebagai sebuah cabang
ilmu, bukan lagi sebagai “ranting-ranting keilmuan yang hanya merupakan sebuah
teori-teori kecil, serta meneguhkan struktur bangunannya, maka bagian ini adalah
menampilkan cabang besar tersebut secara indah agar menarik dan lebih berguna
Ibarat sebuah cabang pohon, jika tidak dirawat dengan baik maka kayunya
menjadi tidak beraturan, tidak indah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk
hal-hal besar, kecuali hanya untuk dipotong-potong sebagai kayu bakar.
Bagian ini akan membahas tentang nilai sifat kebenaran dalam paradigma
keilmuan living Quran-hadis Seperti apakah sifat kebenaran dan kebermanfaatan
ilmu living Quran-hadis, dan bagaimana cara mengungkapkan dan menyajikannya
agar dapat didayagunakan dengan baik oleh masyarakat luas. Oleh karena itu
diperlukan kejelasan tentang kode etik ilmu living Quran-hadis dan peranannya
dalam perubahan sosial. Pentingnya perubahan sosial itu membuat kita harus
memahami aspek-aspek historisitas dan aspek-aspek sosilogis-antropologis
dengan baik, bukan sekedar aspek normatifitasnya.1
1
Ahmad Ubaidi Hasbillah, ilmu living quran-hadist: ontologi, epistimologi, dan
aksiologi, Tanggerang: maktabah darus-sunnah, 2019, hal. 317. (Placeholder1) (living)
6
A. Nilai dan Kebenaran dalam Ilmu Living Quran-Hadis.
Salah satu tema besar aksiologi adalah masalah nilai dan manfaat sebuah
ilmu. Nilai merupakan hal-hal penting dan berguna bagi kemanusiaan la
merupakan hal yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Nilai
bersifat abstrak dan sangat mendasar bagi kehidupan manusia untuk menjadi
pribadi yang utuh la merupakan sebuah kualitas yang inheren pada suatu objek
Nila digunakan untuk mengukur kualitas atau kebenaran suatu objek Dalam dunia
aksiologi, ada dua penilaian yang umum digunakan. Yaitu etika estetika Etika
memiliki fungsi menjadikan manusia mengetahui dan mampu
mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Sedangkan estetika berfungsi
menjadikan manusia memahami tentang nilai keindahan yang mengandung arti
bahwa dalam diri segala sesuatu terdapar unsur-unsur yang tertata secara tertib
dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh dan menyeluruh.
Dalam kajian tentang nilai, ada beberapa mazhab untuk sebuah kebenaran.
Ada mazhab utilitarianisme, mazhab naturalisme: dan mazhab empirisme Di
samping itu juga ada aliran-aliran lain, seperti rasionalisme, dan formalisme
Kajian living Quran hadis juga dibangun di atas mazhab-mazhab tentang nilai
tersebut, terutama mazhab empirisme. Artinya, kebenaran yang dijunjung tinggi
dalam kajian living Quran hadis, tetap mempertimbangkan aspek-aspek kegunaan,
natural (alami, fitrah). Rasio, dan formalitas. Namun, dalam hal ini, kebenaran
yang diakui dalam kajian living Quran hadis adalah kebenaran yang dibangun di
atas empirisme.
7
objek materialnya itu, ia tidak sepenuhnya bersifat positivistik murni, melainkan
juga mengandung unsur unsur karakter naturalitik dan ilmu wahyu.
Misalnya, hadis tentang aura orang yang terbiasa berwudlu Ighurr al-
muhajjalin di mana ia dapat memancarkan aura positif Semakin sering la
berwudlu, aura posisinya akan semakin kuat. Jika ia ingin menambah lagi sumber
aura positifnya (a-tahil), maka hendaknya ia membasuh anggota wudlu lebih dari
sekedar batas yang diwajibkan. Itu adalah sisi wahyu dari hadis Nabi. Umat Islam
pun memercayainya, meyakininya, dan mengamalkannya. Sehingga mereka
membuktikan hal itu. Instrumen penilaian dalam bidang psikologi dapat
digunakan untuk mengukur hal itu. Sehingga, dalam penelitian living Quran
hadis, sisi-sisi kewahyuan seperti itu tentu tidak dapat diabaikan begitu saja.
Pengujian atau verifikasi seperti ini juga tidak berarti bahwa kajiannya menjadi
dogmatis ataupun spekulatif.
8
bahkan membudaya hari ini. Karena itu, dalam ilmu lving hadis ini ada yang
merupakan kategori surah, sirah, dan Surirah ini akan mirip seperti halnya kajian
antropologi agama yang membahas tentang mitologi dan keyakinan seseorang.
Dengan demikian alat uji “kebenaran dalam limu living Quran hadis
bukanlah al-Quran dan hadis itu sendiri, melinkas realitas yang nyata terkan al-
Quran dan hadis. “Pencapaian kebenaran dalam kajian ilmu ini bersumber dan
berpangkal pas kejadian yang benar-benar terjadi. Sedangkan hal-hal yang di luar
ina, bukanlah wilayah positivisme yang menjadi induk ilmu living Quran-hadis.
Ini artinya, Ilmu living Quran-hadis juga berbeda dari ilmu al-Quran, ilmu
hadis, ilmu tafsir uma fikih, dan limo-itmu agama doktrinal murni yang normatif.
“Peciptaan kebenaran dalam ilme ilmu tersebut bersumber dan berpangkal pada
ayar al-Quran dan hadis. Bagaimana misalnya, suatu ketetapan hukum atas suatu
kasus yang nyata di masyarakat harus dihukumi berdasarkan ayat dan hadis Nabi,
misalnya. Suka atau tidak suka, harus sesuai dengan ayat dan hadis Kebenaran
suatu penafsiran atau pemahaman terhadap ayat dan hadis juga begitu, harus
bersumber berpangkal, dan diukur dari ayat dengan ayat dan hadis.
Ilmu living Quran hadis tidak ditemukan melalui wahyu Artinya, living
Quran-hadis bukanlah wahyu dari Tuhan yang bersifat pemberian (given). Al-
Quran dan hadis memang merupakan sebuah wahyu, karena itu antara al-Quran-
hadis dan ilmu al-Quran atau ilmu hadis adalah dua hal yang berbeda. Al-Quran
dalam hal ini tidak diposisikan sebagai ilmu, melainkan sumber utama ilmu
pengetahuan dan juga sumber kebenaran ilmu pengetahuan. Hadis juga demikian,
ia sebagal realitas wahyu yang berupa sabda dan perbuatan Nabi. Kemudian, dari
9
situlah lahir berbagai macam ilmu; Ada ilmu syariah, ada ilmu akidah, ada limu
akhlak atau tasawuf.
Kebenaran dalam Imu living Quran-hadis juga tidak berasal dari ilham,
intuisi, wangsit atau bahkan mitos. Bahkan ia adalah realitas yang hidup, realitas
sosial yang menggejala di masyarakat. La adalah sebuah budaya, felas, hakikat
dari living Quran-hadis adalah hasil cipta, karya, dan karsa manusia yang
diinspirasi oleh al Quran dan hadis.
2
Bahkan dalam masalah kebenaran hadis sahih inipun masih ada yang tidak
memutlakannya. Ini karna hadis merupakan kategori zhanny al wurud dan sekaligus zhanniy ad
dalalah.
10
kebenaran dalam kajian living Quran-hadis tidaklah seperti menemukan harta
karun atau menemukan kembali barang yang hilang.
Salah satu tapik penting dalam bidang aksiologi living Quran hadis adalah
masalah kode etik. Seorang ilmuwan atau pengkaji living Quran-hadis terikat oleh
kode etik keilmuan agar ia dapat menjadikan ilmu yang la geluti itu semakin jelas
kebenaran dan manfaatnya.
Secara umum sebagai bagian dari imu al-Quran dan ilmu hadis Ilmu living
Quran hadis tentunya juga memiliki kode etik yang sama dengan kedua ilmu
induknya itu. Di dalam ilmu al-Quran misalnya terdapat satu cabang yang disebut
dengan Adab Homalar al-Quran yaitu adab-adab para pengguna al-Quran, baik itu
pengguna tingkat pemula hingga pengguna tingkat mahir dan ahli. Hal yang sama
juga dijumpai dalam ilmu hadis. Di dalam ilmu hadis, terdapat cabang ilmu yang
disebut adab al-hadich, yaitu adab untuk para pengguna hadis. Baik itu, pengguna
tingkat pemula, hingga mahir dan ahli. Biasanya, dalam ilmu hadis hal itu
dikategorikan menjadi. Adab thalib al-hadith (adab pelajar dan peneliti hadis) dan
adab al-muhaddith (adab narasumber dan ahli hadis). Hampir seluruh kitab
musthaiah hadis (cabang ilmu hadis yang paling dasar) pasti membahas tentang
hal itu Karya al-Ramahurmuzi yang berjudul at Muhaddich al-Fashil Baina al
Rówi wa al-WaT dapat menjadi karya habon dalam bidang ini. Tak kalah
pentingnya dengan karya al Ramahurmuzi tersebut, buku berjudul al-jami li
Akhtag al Rówi wa Adab al-Sami juga patut untuk diposisikan sebagai buku
babon Selain buku tersebut, karya Ibn Abd al-Barr al Maliki yang berjudul, Jami
Bayan al-Tim wa Ahlih, juga dapat menjadi rujukan terpenting untuk masalah
11
kode etik para pengguna hadis. Masalah akhlak atau kode etik ini penting
sekali untuk diperhatikan, karena seorang peneliti dan pengkaji ilmu apapun,
lebih-lebih adalah ilmu living Quran-hadis yang merupakan cabang ilmu al-Quran
dan ilmu hadis, harus memiliki integritas yang sangat tinggi. Tanpanya, ilmu yang
dihasilkan dari penelitian tersebut tidak akan bernilai.
12
merumuskan jawaban penelitiannya. Namun, dalam hal ini keduanya terikat oleh
kode etik yang sama. Yaitu keduanya harus memegang teguh prinsip emik dan
prinsip empirisme dalam melakukan penelitian.
Jika yang didapati adalah informan yang sama sekali tidak mampu
menyebutkan teks ayat atau hadisnya, namun meyakini bahwa ada hadis yang
melandasi praktik mereka itu, maka sebaiknya peneliti tidak gegabah untuk
mencari hadisnya secara mandiri melalui kerja takhrij ayar atau hadis. Peneliti
sebaiknya mencari informasi terlebih dahulu kepada para tokoh agama di
komunitas masyarakat tersebut untuk memastikan bahwa teks ayat atau hadis
yang mana yang dimaksud Boleh jadi, seorang peneliti memiliki asumsi yang
berbeda dalam menentukan ayamnya. Seperti halnya orang yang melakukan
tradisi ha adakalanya mereka melivingkan ayat tentang al-ihsan bil walidain.
Adakalanya mereka melakukan living ayat wo dzokkirhum bi ayyamillah.
Adakalanya juga mereka melivingkan hadis amal jariyah Ada juga yang
termotivasi oleh hadis tentang mengingat-ingat kebaikan orang yang telah
meninggal.
3
Saifuddin zuhri, living hadis: praktek resepsi, teks, dan transmisi, Yogyakarta: Q media
dan Ilha Press, 2018, hal. 14-15.
13
Seandainya seorang peneliti melakukan kerja rakhrij secara mandiri untuk
tradisi haul tersebut, maka hasilnya tidak akan maksimal, bahkan tak lebih dari
sekedar asumsi belaka. Sedangkan cara yang demikian itu tidak sesuai dengan
prinsip emik-empirikyang menjadi ciri khas ilmu living Quran hadis. Bantuan
takhrij secara mandiri oleh peneliti tersebut akan mengeluarkan kajian ilmiah
seperti ini dari wilayah living Quran-hadis, dan menjadikannya sebagai kajian
ilmiah fikih, atau kegiatan takhrij hadis biasa.
4
Saifuddin zuhri, living hadis: praktek resepsi, teks, dan transmisi, Yogyakarta: Q media
dan Ilha Press, 2018, hal. 115-116.
14
Seorang peneliti strukturalis, memiliki kecenderungan untuk meneliti
living Quran-hadis dengan pendekatan ilmu sosial budaya Umumnya, seorang
strukturalis akan membaca praktik yang berkenaan dengan al-Quran dan hadis
dengan pendekatana sologi-antropologi. Sehingga, ia akan menyimpulkan
fenomena sosial yang merupakan wujud dari respon masyarakat terhadap al Quran
dan hadis itu melalui teori-teori sosial yang diciptakan oleh para peneliti
sebelumnya. Cara kerja mereka untuk menemukan kebenaran adalah bersifat
deduktif.
Sementara itu, bagi peneliti yang beraliran fenomenologis tentu hal itu
bukanlah sesuatu yang asing baginya. Cara kerja seperti itu adalah hal yang
memang menjadi kewajiban seorang fenomenolog. Seorang fenomenolog tidak
harus membawa sebuah teon terlebih dahulu. Cara kerja fenomenolog adalal
bersifat induktif. Mereka akan menemukan teori besar dari hasil pengamatannya
terhadap kasus-kasus kecil dan praktik keberagamaan berdasarkan al-Quran dan
hadis yang ia temui di lapangan Secara umum, seorang peneliti atau pengkaji
living Quran Hadis dapat dinyatakan dalam satu hal yaitu harus memiliki
Integritas yang tinggi sebagai peneliti. Kepribadian dan objekuritas Peseliti
menjadi prasayarat melakukan penelitian living Quran Hadis ta harus mampu
meminimalisir subjektifitasnya. Terkait integritas seorang peneliti living Quran-
hadis ini, dapat dirinci menjadi dua kategori, yaitu integritas personal dalam
bersikap dan integritas berpikir. Seorang peneliti living Quran hadis bukanlah
seorang peneliti al-Quran dan peneliti hadis Artinya, ketika ia tidak menguasal
ulumul Quran dan ulumul hadis pun sah dan dapat meneliti living Quran-hadis.
Bahkan, ia pun tidak harus pandai dalam membaca teks al-Quran dan hadis Baik
muslim, maupun non muslim, hingga tidak beragama pun dapat melakukan
penelitian living Quran hadis. Karena, antara penelio dan objek yang dikaji
bersifat terpisah (detached).
15
kesimpulan-kesimpulan kecil. Kemudian, la harus pandai dalam melakukan cek
dan ricek Karena itu, ia harus pandai juga untuk menghubungkan satu fenomena
dengan fenomena yang lainnya. Sebagai kompetensi tambahannya, ia harus kritis
dan bertanggung jawab. Ketika ia mempertanyakan sesuatu tidak kemudian asa
bertanya, melainkan ada argumen yang membuat ia harus menanyakan suatu hal
Dalam hal ini, kritis tidak harus skeptis. Namun, ia juga tidak boleh menerima
informas begitu saja sebagai sebuah kebenaran, tanpa menguji validitasnya
terlebih dahulu.
Sebagai peneliti living Quran-hadis yang baik, kita juga harus memiliki
sifat-sifat ikhlas jujur, amanah, sabar, ulet, tekun, tidak mudah putus asa,
optimistis, tanggung jawab akademis wet, jeli, dan cermat. Dengan sifat-sifat
personal tersebut, syarat syarat ideal peneliti sebagaimana yang telah disebutkan
di atas. Pasti akan dapat terpenuhi dengan sendirinya. Dengan sifat-sifat itu pula,
penelitian kita pasti tidak akan tendensius, stereotipikal, picik, dan dapat
dipercaya sumber-sumber dan kutipannya. Semua riset harus didasarkan pada
prinsip-prinsip tersebut.
16
2. Kode Etik keilmuan
5
Suprayogo, metodelogi penelitian social-agama, bandung: Remaja Rosdakarya, 2003,
hal. 10.
6
Suprayogo, metodelogi penelitian social-agama, bandung: Remaja Rosdakarya, 2003,
hal. 17.
17
Sifat rasional ini penting karena kajian living Quran hadis bukanlah al-Quran dan
hadis itu sendiri Sehingga ia harus diolah dengan akal dan pikiran manusia Tidak
hanya itu, ia juga harus kuantitatif dalam artian didasarkan pada pengukuran dan
kesatuan.
Salah satu tugas utama kajian living Quran dan living hadis adalah
mendefinisikan realitas sosial ke dalam suatu konsep Sedangkan realitas sosial itu
selalu bersifat kompleks dan multidimensial Bukanlah perkara yang mudah
tentunya, untuk merumuskan konsep living Quran dan living hadis atas suatu
gejala dan realitas sosial. Seorang peneliti harus mengenali seluruh aspek yang
menjadi indikator dari realitas yang kompleks dan muindimensial tersebut
Kemudian ia harus berimajinasi dan mengatastraksikannya hingga menjadi sebuah
formula secara verbal yang kemudian disebut sebagai konsep atau konstruks logis
Konsep tersebut akan sangat berpengaruh terhadap struktur data, dan hasil
penelitian, haik penelitian yang sedang dilakukan maupun penelitian yang akan
dibangun dari konsep tersebut.
Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa pihak yang dianggap
otoritatif untuk melakukan konseptualisasi tidaklah mutlak pada subjek peneliti
atau mutlak padla subjek yang diteliti. Melainkan hasil perpaduan yang intens dari
kedua pihak yaitu antara pelaku budaya dan pelaku penelitian. Hanya saja yang
melakukan verbalisasi tentu adalah salah satunya, boleh dan pihak peneliti daya
atau dari pihak pelaku budaya.
Dengan demikian, kebenaran konsep suatu realitas sosial atau griala living
Quran-hadis menurut pandangan kelompok strukturalis adalah teori-teori itmiah
yang relevan. Sedangkan menuras kelompok fenomenologis, kebenaran suatu
konsepsi tentang realitas sosial berada pada pelakunya, meskipun sang pelaku
tersebut adalah orang awam. Dengan kata lain, paham strukturalis dalam kapan
living Quran hadis adalah peneliti yang mempelajari realitas atau gejala al-Quran
dan hadis di masyarakat, lalu menganalisisnya berdasarkan teori-teort ilmiah yang
ada dalam ilmu sosiologi dan antroplogi, seperti teori kuasa teori habitus, teari
benturan peradahan maupun-maupun teori la Kemudian, ia menyimpulkannya
berdasarkan tear tersebut. ta ihara orang yang meneliti tentang perilaku binatang,
18
di mana binatang tidak memiliki konsepsi apapun apalagi memberikan gambaran
Ingis tentang apa yang ia lakukan. Maka, peneliti akan menginsepsikannya
berdasarkan gejala yang ditampilkan oleh natang tersebut, lalu ia tafsirkan
berdasarkan teori yang ia miliki dalam ilmu Zoologi misalnya.
Sedangkan penein living Quran hadis yang beraliran fenomenologis adalah
peneliti yang belajar dari masyarakat Apapun yang dikatakan oleh masyarakat
tentang realitas sosial dan gejala-gejala al-Quran hadis yang mereka tampilkan,
itulah konsep yang benar Kemudian, sang peneliti hanya tingutal
menyimpulkannya menjadi sebuah formula yang baku. Dalam istilah yang lebih
populer, aliran strukturatis adalah peneliti yang mempelajari tentang masyarakat
(to learn about people), sedangkan aliran fenomenologis adalah penititi yang
belajar dari masyarakat (to learn from people).
Secara umum, kode etik keilmuan living Quran hadis, dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Empiris
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa ilmu living hadis
adalah bagian dari ilmu sosiologi antropologi yang memiliki syarat utama, yaitu
harus empiris Penelitian living Quran hadis harus didasarkan kepada pengamatan
dan penalaran rasional la tidak didasarkan kepada wahyu Hasil kajiannya pun
harus terukur dan terbukti tidak boleh spekulatif atau sekedar asumsi belaka.
Asumsi hanya boleh dibawa pada tahap awal mula melakukan penelitian saja,
yaitu untuk membantu menemukan dan mengidentifikasi masalah,
merumuskannya, hingga kemudian menggali data di lapangan Sebatas itu saja,
wilayah asumsi dalam ilmu living Quran-hadis Peran tambahannya adalah asumsi
masih dapat digunakan untuk menetapkan "hipotesis dan variabel-variabel yang
diperlukan la tidak boleh memasuki ranah pengolahan data. pembuktian,
pengujian, dan penyimpulan.
2. Teoritis
Ini dapat juga disebut dengan abstrakuf Artinya Penelitian living Quran-
hadis harus mampu merangkum pengamatan pengamatan yang rumit di lapangan
19
untuk kemudian diabstraksikan menjadi satu teori atau kaidah la juga harus dapat
diterapkan dalam dalil-dalil yang abstrak yang relevan dan logis. Karena itu,
kajian living Quran-hadis juga harus bersifat rasional la juga perlu menerangkan
hubungan kausatif dari serangkaian masalah yang dikaji.
3. Kumulatif
Kajian living Quran-hadis bukanlah kajian yang benar benar mandiri dan
bertujuan untuk sekedar mendeskripsikan gejala-gejala al-Quran saja. Harus ada
nilai yang dihasilkan dari kegiatan deskriptif tersebut. Oleh karena itu kajian
living Quran-hadis harus menerapkan teori-teur ilmiah yang dibangun di atas
teori-teori lainnya yang telah mapan Meskipun kajian living Quran-hadis itu
nantinya adalah akan menghasilkan suatu teori baru, namun ia harus dibangun di
atas teori teori lain agar dapat teruji dengan baik. la dapat berupa koreksi terhadap
teori yang ada, menguatkan, memperluas atau menyempurnkan teari yang sudah
ada
4. Emis
Artinya, data dan kebenaran yang diperoleh mengacu kepada subjek yang
diteliti atau narasumber. bukan kepada peneliti la tidak boleh bersifat etis, yaitu
kebenaran mengacu kepada peneliti. Dengan demikian, penelitian living Quran
dan hadis tidak bertujuan untuk mencari apakah objek yang dikaji itu benar atau
salah, baik atau buruk, sunnah atau bidah kufur atau fasik, dan sejenisnya. Kajian
ilmu living Quran hadis juga tidak boleh stereotipikal. Tugas utama kajian living
Quran dan hadis hanya menjelaskan tindakan-tindakan sosial yang dikajinya. Jadi,
meskipun yang dikaji adalah al-Quran dan hadis tetap harus dipandang sebagai
realitas, bukan sebagai dogma atau norma semata.
20
C. Peran Living Quran-Hadis terhadap Perubahan Sosial
7
Dedi Junaedi, Living quran: Sebuah pendekatan baru dsalam kajian al-Qur’an, journal
of quran and hadis studies, vol. 4, no. 2, 2015.
8
Heddy Shri Ahimsa, the living quran: beberapa perspektif antropologi, dalam jurnal
wali songo, vol. 20, no. 1, hal. 236.
21
kalian living Quran-hadis yaitu mengawal perubahan sosial agar tetap berada di
ranah yang positif.
Secara umum peran living Quran hadis talam perubahan sosial dapat
dikategorikan menjadi empat yaitu:
1. Rekonstruksi
Oleh karena itu, dalam melakukan rekonstruksi ini, hendaknya kita tidak
sekedar aspek eksistensi sebuah fenomena al-Quran dan hadis melainkan juga
harus mampu mengungkap esensi di balik fenomena tersebut. Hal ini penting
sekali dilakukan agar dapat diperoleh gambaran posisi al-Quran dan hadis dalam
tradisi atau fenomena tersebut.
22
sunnah Al-hayyah, kegiatan rekonstruksi sama dengan menyeketsakan kembali
proses hyd al-sunnah yang dilakukan oleh para penemu dan pelako solah tradisi.
2. Reinterpretasi
3. Reformulasi
23
atau patogi sal ang menangkis sebuah keastaan masyarakat selong menuntur untuk
jadinya perubahan smial Meskipun tak sa pershan sosial dilatarbelakangi oleh
penyaku penyakorl tersebut, karena memang ada hanyak faktor pendorong
perubahan-perubahan sosial dalam rangka reformulasi tersebut hai yang paling
diperlukan pertama adalah mendiagnosis penyakit penyakit yang ada dan mencari
penyebab timbulnya penyakit itu. Setelah mu haru kemudian ketta mencart
treatment yang paling tepat untuk menangani penyakit tersebut. Dars situlah
kemudian kita akan dapat mengetahui latar belakang penggunaan al-Quran atau
hadis sebagai pedoman lelaku masyarakat tersebut.
Al-Quran dan hadis pasti akan hidup dalam lingkungan yang tidak kosong
tradisi dan budaya Sebelim al-Quran dan has masuk ke dalam tatanan tradisi dan
budaya suatu masyarakat mereka sebenarnya telah memiliki tatanan sosial
budaya, dan tradisi yang mereka warisi dari leluhur dan nenek moyang mereka
Dalam pruses rekonstruksi, huilaya asli (indigenus) mulah yang perlu diungkap.
Kemudian dalam proses rekonsruksi oma ka dapat mengetahui filosofinya yang
kemudian akan diserikan dengan nilai-nilai al Quran dan hadis. Setelah bersinergi
dengan a Quran dan hadis, harulah kemudian muncul sebuah rumusan atau
Formula baru dalam tatanan itulah yang dimaksud dengan reformulasi Sedangkan
24
filosofi atau nilai-nilai al-Quran dan hadis yang dihidupkan dalam formula baru
itu dapat diketahui melalui proses re-interpretasi.
4. Reaktualisasi
Setelah melakukan perumusan ulang hal yang perlu Dilakukan dalam melakukan
maupun menelic living Quran hadis adalah kajian tentang rekatualisasi Kegiatan
reaktualisasi ini dapat juga disebut dengan reaktualisasi. Reartikulasi sendiri
merupakan proses Cara Atau perbuatan mengaktualisasikan kembali Penyegaran
dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat Terkadang sebuah tatanan sosial,
budaya, dan tradisi berubah Begitu saja, tanpa disadari, sehingga nilai-nilai
budayanya pun Menjadi bergeser Prosesi pelaksanaan sebuah tradisi terkadang
Juga tidak sama dengan formula atau rumusannya.
25
Segiatan reartikulasi dalam penelitian living Quran hadis dapat menadi
semacam kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap sebuah tatanan haru yang
melibatkan al-Quran dan hadia Secara internal bagi para pengamal sebuah tradisi,
kegiatan reaktualisati dapat berfungsi demikian. Sedangkan secara eksternal bag
para pengamat dan peneliti, kegiatan ini untuk memberikan gambaran utah
bagaimana prosesi itu dilakukan dalam formula harumya yang melibatkan al-
Quran dan hadis serta respon masyarakat terhadapnya. Dengan begitu, kita
sebagai pelaku maupun sebagai peneliti living Quran-hadis dapat mengetahui
dengan baik tentang bagian mana dari tradisi tersebut yang dapat dilakukan
perubahan secara berkesinambungan dan bagian mana yang tidak dapat dilakukan
perubahan. Melalui kegiatan reartikulasi ini pula kita dapat wujud yang
sebenarnya dari sebuah rumusan baru yang melibatkan al-Quran dan hadis
tersebut.
26
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
28