Anda di halaman 1dari 16

Muqaddimah Kitab al-Tafsir al-Hadits

Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Studi Naskah Al-Qur’an

Disusun Oleh :

Septi Azizah Nur Hanifah 11180340000107

Desanta Azzuhara Amaliana Bayes 11180340000093

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Muqaddimah Kitab al-Tafsir al-Hadis” ini dengan tepat
waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya tidak akan selesai makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Penulis,

Jakarta, 24 September 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN

a. Latar belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Penulisan

BAB II: PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Tafsir Nuzuli


B. Biografi Muhammad ‘Izzat Darwazah
C. Profil Kitab Al-Tafsir Al-Hadis
D. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Nuzuli

BAB III: PENUTUP

Kesimpulan

Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Pembaharuan dan inovasi harus dan terus terjadi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Tak ayal pembaharuan ini pun juga dapat kita temukan dalam penafsiran al-
Qur’an. Ilmuwan muslim maupun barat masih mencurahkan perhatiannya terhadap bidang
ini. Hal ini sudah sewajarnya karena al-Qur’an merupakan mujizat yang tak akan pernah
ada habisnya untuk dibahas. Sebelumnya, ada dua sistematika penfsiran yang sudah umum
diterapkan mufassir dalam penafsirannya. Keduanya itu adalah sistematika tafsir mushafi,
yang sesuai dengan urutan surat dan ayat dalam al-Qur’an mushaf usmani, dan kemudian
adalah sistematika tafsir maudhu’i, yang penyusunannya disesuaikan dengan tema-tema
yang akan dibahas. Selain kedua sistematika tersebut, ada lagi satu tema yang memang
masih agak jarang diterapkan dalam penafsiran. Sistematika tersebut adalah sistematika
tafsir nuzuli. Sistem penulisan ini didasarkan pada urutan waktu turunnya wahyu. Maka
pada makalah ini akan dijelaskan mengenai tafsir nuzuli dan salah satu penafsiran yang
menggunakannya, yaitu al-Tafsir al-Hadis karya Muhammad Izzat Darwazah.

b. Rumusan Masalah
1. Apa itu dan bagaimana perkembangan tafsir nuzuli?
2. Siapakah dan bagaimana latar belakang kehidupan Muhammad Izzat darwazah?
3. Bagaimana profil kitab al-Tafsir al-Hadis?
4. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari tafsir nuzuli?

c. Tujuan Penulisan
1. Makalah ini disusun dengan tujuan agar pembaca dapat
2. Memahami definisi pembagian dan penggolongan
3. Memahami urgensi pembagian dan penggolongan
4. Memahami macam-macam pembagian dan penggolongan
5. Mengetahui ketentuan melakukan pembagian dan penggolongan
6. Mengetahui langkah-langkah dalam proses klasifikasi
7. Mengetahui dan mengantisipasi kendala dalam proses
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Tafsir Nuzuli

Al-Qur’an terdiri atas ayat-ayat yang berangkai menjadi surat dan tersusun dengan rapi
dalam kesatuannya. Dimulai dari surah al-Baqarah dan diakhiri dengan surah al-Nas, 6236 ayat
al-Qur’an termaktub dalam juz satu hingga juz tiga puluh, sesuai tartib al-Qur’an yang beredar
dan kita baca hingga sekarang. Inilah yang dinamakan al-Qur’an dengan susunan resmi Mushaf
Usmani.

Sebelum diresmikan, susunan al-Qur’an menjadi perdebatan. Mengenai urutan ayat,


Imam Suyuthi berpendapat bahwa, “Ijmak dan nash-nash yang memiliki kesamaan menunjukkan
bahwa urutan ayat-ayat al-Qur’an bersifat taufiqi, tidak ada syubhat terkait hal itu.” Kemudian
perihal urutan surat, menurut salah satu pendapat, urutan surah-surah al-Qur’an bersifat tauqifi,
ditata langsung oleh Rasulullah Saw dari perintah Rabbnya melalui malaikat Jibril – syeikh
Manna al-Qathtahn menguatkan pendapat ini.1 Pendapat lain menyebutkan bahwa susunan al-
Qur’an didasarkan pada ijtihad para sahabat, yang dibuktikan dengan adanya mushaf sahabat
seperti mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ibnu Mas’ud, dan mushaf Ubay bin Ka’ab. Mushaf
Ali bin Abi Thalib disusun sesuai turunnya ayat dan surah, tartib ini disebut juga dengan tartib
nuzuli. Kemudian menurut pendapat yang lain lagi, susunan ini sebagian bersifat tauqifi dan
sebagian lainnya berdasarkan ijtihad sahabat. 2 Dalam penafsiran, tartib yang digunakan
umumnya adalah tartib mushafi, baik itu menggunakan metode tafsir tahlili, ijmali, maudhu’i,
maupun metode muqarran. Namun, tak hanya dengan tartib mushafi, beberapa mufassir seperti
Sayyid Qutub, Aisyah Abdurrahman, Muhammad Izzat Darwazah, Muhammad Abid al-Jabiri,
dan Quraish Shihab mengaplikasikan tartib nuzuli dalam penafsiran mereka.

Sejak kemunculuan Teodore Noldeke dengan karyanya Tarikh Al-Qur’an dan beberapa
kalangan orientalis lain, permasalahan mengenai keabsahan penggunaan tartib nuzuli terangkat

1
Manna al-Qaththan, Mabahits fii Ulum al- Qur’an, terj. Umar Mujtahid, (Jakarta: Ummul Qura,
2016), h. 218.
2
Ibid., h. 214.
kembali. Memancing ulama kontemporer untuk angkat bicara. Pendapat yang menolak sama
sekali seperti Muhammad Bahauddin Husain yang menulis al-Mustasyriqun wa al-Qur’an al-
Karim, Musytaq Basyir al-Ghazali yang menulis al-Qur’an al-Karim fi Dirasat al-
Mustasyriqin, Nabil Faziou menulis al-Rasul al-Mutakhayyal.3 Sedangkan pendapat lain
merimanya dalam semangat pada hal yang lain, sebagaimana menurut Darwazah, al-Qur’an
memiliki dua posisi sebagai objek, yaitu sebagai objek bacaan dan sebagai objek tafsir.4 Dalam
posisinya sebagai bacaan, haruslah ia dibaca sesuai urutan mushaf. Hal ini tidak bisa disamakan
saat al-Qur’an menjadi objek tafsir. Sebab menurutnya, tafsir adalah seni dan ilmu. Tafsir tidak
menyentuh sakralitas susunan mushaf. Sehingga tidak ada ikatan tartib dalam penafsiran al-
Qur’an.

B. Biografi Muhammad ‘Izzat Darwazah

Muhammad ‘Izzat Darwazah ( ‫ ) محمد عزت دروزة‬atau yang biasa dikenal dengan nama
Izzat Darwazah merupakan seorang polisi, sejarawan, dan pendidik Palestina yang berasal dari
Nablus. Beliau lahir pada tahun 1888 dan meninggal pada tahun 1984, ketika berusia 96 tahun. Ia
berasal dari keluarga pedagang Muslim Sunni kelas menengah di Nablus. Keluarganya bekerja di
bidang tekstil dan telah memiliki hubungan yang luas dengan pedagang asal Beirut dan
Damaskus.

Pada masa kecilnya, beliau bersekolah yang di kelola oleh pemerintah Ottoman di kota.
Di sana ia belajar Bahasa Arab, Bahasa Turki dan juga Bahasa Inggris. Beliau juga
meningkatkan pengetahuannya tentang Bahasa Prancis di akhir sekolah formalnya, namun tidak
sampai selesai. Sebagai gantinya, ia belajar sendiri dan menurut Rashid Khalidi, beliau menjadi
otodidak atau autodidak. Beliau telah menulis lebih dari tiga puluh buku dan menerbitkan banyak
artikel yang membahas tentang Palestina, sejarah Arab, dan juga Islam.

Awal Karier

Izzat Darwaza memulai kariernya dengan bekerja sebagai birokrat Utsmani di Palestina
dan Libanon. Pada tahun 1916, beliau bergabung dengan masyarakat nasionalisme Arab dan

3
Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah ,
(Bandung: Mizan, 2016), h. 45.
4
Ibid., h. 26.
seorang aktivis. Ia mengampanyekan persatuan Suriah Raya (sekarang levant) dan menantang
zionisme serta mandate asing di tanah Arab. Beliau pernah menjadi pendidik kepala sekolah di
Sekolah Nasional an-Najah pada tahun 1922 hingga tahun 1927.

Beliau pernah ikut terlibat dalam mendirikan partai nasionalis istiqlal di Palestina dan
merupakan penyelenggara utama demonstrasi anti Inggris. Kemudian pada tahun 1937, beliau
diasingkan ke Damaskus, kemudian disana ia membantu mendukung upaya pemberontakan Arab
yang ada di Mandat Britaniaatas Palestina. Karena pemberontakan yang dilakukan itu, Ia
dipenjara dan mulai mempelajari Al-Quran dan tafsirnya. Setelah dibebaskan dari penjara pada
tahun 1945, Darwaza menyusun tafsirnya sendiri yang berjudul al-Tafsir al-Hadits.

Pada tahun 1946 Darwaza bergabung dengan Komite Tinggi Arab yang dipimpin oleh
H.Amin al-Husseini, namun pada tahun selanjutnya beliau mengundurkan diri setelah haknya
dicopot. Akhirnya pada pertengahan 1950-an, ia memutuskan pergi ke Suriah untuk membantu
upaya persatuan antara Suriah dan Mesir.

Karya Sastra

Pada akhir tahun 1920-an, Darwazah membuat buku dengan judul Lessons of Arab
History: From Antiquity to Present Times yang berisi tentang salah satu sejarah modern pertama
bangsa Arab yang berbeda dengan sejarah negara Arab individual. Dibuku itu, ia menggambrkan
asal-usul orang Semitik, kebangkitan Islam, akhir pemerintahan Arab di Timur Tengah oleh
kelompok-kelompok Turki., dan pemerintahan asing atas orang-orang Arab oleh keuatan Barat.
Bahasa dalam buku itu disederhanakan agar dapat digunakan sebagai buku teks sekolah-sekolah
dasar dan menengah di seluruh British Mandates di Palestina dan Irak.

Ia juga menerbitkan sebuah cerita The Angel and the Land Broker pada tahun 1934, yang
menceritakan mengenai sentiment Arab terhadap ancaman zionisme, para broker yang menggoda
pemilik tanah Palestina untuk menjual tanah mereka kepada orang Yahudi. Kisah ini
menjelaskan bagaimana metode yang digunakan oleh zionis untuk membujuk pemilik tanah
Arab agar menjual tanah mereka. Kemudian dalam masa hidupnya setelah Darwazah
meninggalkan politik, ia menerbitkan laporan ilmiah yang membahas detail kota Nablus pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Adapun karya-karya yang dihasilkan oleh Izzat Darwazah merupakan produktifitas dan
kecerdasannya dalam ilmu pengetahuan, diantaranya :

1. ‘Ashral-Nabi wa Bi’atuhu Qabla al-Bi’tsah ( Shuwar Muqtasabah minal Qur’an)


2. Sirah al-Rasul ( Shuwar Muktabasah min al-Qur’an al-Karim wa Tahlilat wa Dirasat
Qur’aniyah)
3. Al-Yahud fii al-Qur’an al-Karim pada tahun 1949 di Damaskus.
4. Al-Mar’ah fii al-Qur’an wa al-Sunnah pada tahun 1951.
5. Al-Quran wa al-Dhaman al-Ijtima’i pada tahun 1951.
6. Al-Qur’an al-Majid pada tahun 1952 yang membahas tentang ulum al-Qur’an yang
merupakan muqaddimah dalam tafsirnya Izzat Darwazah.
7. Al-Dustur al-Qur’ani fii Syu’un al-Hayah Dirasat wa Qawaid Qur’aniyah fii Syu’un al-
Siyasah wa al-Ijtihadiyah wa al-Tabsyiriyyah wa al-Qadhiyyah wa al-Maliyah wa al-
Ijtima’iyyah wa al-Usrawiyah wa al-Akhlaqiyyah sebanyak 608 halaman. Cetakan kedua
diterbitkan pada tahun 1967-1970 dengan tema “Dustural - Qur’aniwa al - Sunnah al -
Nabawiyah fii Syu’uni al-Hayah yang menjadi dua jus. Juz pertama sebanyak 582
halaman dan juz kedua sebanyak 498 halaman.

C. Profil Kitab Al-Tafsir Al-Hadis

Karakteristik Penafsiran

Terkait dengan karakteristik penulisan kitab tafsir al-Hadits, kiranya ada beberapa hal
yang dapat dilacak, antara lain:

1. Penarikan kesimpulan dari beberapa komponen menjadi satu kesatuan.


2. Penjelasan terhadap kata atau kalimat yang sulit dipahami, namun yang tidak berkutat
pada penjelasan lughawi ataupun balaghi.
3. Penjelasan yang terhadap ayat yang bersifat global dengan tanpa berkutat pada
kebahasaan.
4. Menyertakan ayat yang berkenaan dengan munasabah .
5. Dijelaskannya beberapa perkara yang berkaitan dengan hukum, syariat dan lain
sebagainya yang berkenaan dengan kehidupan dan pemahaman basyariyah.
6. Terkandung komponen yang menyangkut dengan sejarah kenabian (konteks sosio-
historis)
7. Memperhatikan hubungan antara ayat atau surat dengan jalinan yang tematis.

Sistematika Penulisan

Dalam penulisan kitab tafsir dikenal dengan ada tiga macam sistematika;

1. Sistematika mushafi , yaitu penyusunan kitab tafsir yang berpedoman pada susunan ayat-
ayat dan surat-surat dalam mushaf, dimulai dari surat al - Fatihah, al - Baqarah, Ali Imran
dan seterusnya hingga surat al-Nas.
2. Sistematika nuzuli, yaitu menafsirkan Alquran berdasarkan urutan kronologi turunnya
surat-surat Alquran contoh mufassir yang menggunakan sistematika ini adalah
Muhammad Abed Al-Jabiri dalam kitabnya fahm Al-Qur’an al-hakim; Tafsir al-Wadih
Hasba Tartib al-Nuzul.
3. Sistematika maudhu’i yaitu menafsirkan Alqur’an berdasarkan topik-topik tertentu
dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu kemudian
ditafsirkan.

Kitab al-Tafsir al-Hadis disusun dengan menggunakan sistematika tartib al-Nuzuli yang
mengacu pada kronologi turunnya wahyu. Menurut Darwazah, penulisan kitab tafsir berdasarkan
tartib al-nuzuli ini masih tergolong baru dan pertama kali muncul dalam dunia penafsiran setelah
masa akhir dinasti Umayyah dan awal masa dinasti Abbasiyah. Ia mengacu pada mushaf utsmani
Ali bin Abi Thalib yang ditulis berdasarkan tartib nuzuli. Baginya, sejauh ini, belum ada yang
mengkritik mushaf Ali. Maka dari itu, tidak ada larangan bagi seseorang untuk menulis kitab
tafsir yang berdasarkan tartib nuzuli.

Sebelum menuliskan kitab tafsir berdasarkan tafsir nuzuli ini, Darwazah terlebih dahulu
mendiskusikannya terlebih dahulu dan meminta pendapat dua tokoh, yaitu Syekh Abi al-Yassar
Abidin yang menjabat sebagai mufti Syiria dan Syeikh Abdul Fattah Aba Ghadah, seorang
kandidat mufti kota Aleppo. Kedua tokoh ini kemudian mempersilahkan Darwazah untuk
menulis kitab tafsir berdasarkan tafsir al–nuzuli.
Terkait penjelasan ini serta jawaban kedua tokoh yang dimintai pendapat oleh Izzat
Darwazah, Darwazah menelaah beberapa literatur yang membahas sistematika tartib al-nuzuli
secara serius sebelum menetapkannya. Beberapa literatur yang ia komparasikan adalah mushaf
Baqdar Ogly, tartib al-nuzuli milik al-Suyuthi yang disandarkan pada beberapa riwayat,
sistematika surat dalam tafsir al-Khazin dan tafsir al-Tabrasi, sistematika surat berdasarkan
riwayat al-Husain, Ikrimah, Ibnu Abbas, dan Jabir bin Zaid. Diantara sumber-sumber ini
terdapat perbedaan, baik yang mencolok maupun yang tidak. Darwazah kemudian menjadikan
mushaf Baqdar Ogly sebagai acuan sistematika tartib al-nuzuli miliknya.

Alasannya memilih mushaf ini adalah karena sistematika mushaf ini disusun dibawah
pengawasan sebuah kepanitiaan yang terdiri dari tokoh-tokoh yang tentunya memiliki keilmuan
yang tidak dapat diragukan. Itulah sebabnya Izzat Darwazah lebih mengakui tartib nuzuli yang
mereka sepakati.

Sumber dan Metode Penafsiran

Secara umum, ada empat metode dalam menafsirkan Alquran yang bisa digunakan para
mufassir. Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut;

Pertama, metode tahlili/analisis yaitu menafsirkan Alquran dengan cara menjelaskan kandungan
Alquran dari berbagai aspek, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan
mufassirnya.

Kedua, metode ijmali/global, yaitu menafsirkan Alquran dengan memaparkan makna umum dan
pengertian garis besarnya saja.

Ketiga, metode muqarin, yaitu menjelaskan ayat-ayat Alquran berdasarkan apa yangmufassir
sebelumnya dengan cara membandingkannya.

Keempat, metode maudhu’i, yaitu suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada tema
tertentu lalu menghimpun ayat-ayat tersebut untuk kemudian dianalisis dan ditafsirkan.

Adapun metode yang digunakan Izzat Darwazah dalam kitab tafsir al-hadis adalah
dengan menggunakan tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-ra’yi. Alasannya bahwa, penggunaan
penggunakan kedua metode tersebut terlihat seimbang dalam tafsirnya. Dalam hal ini, untuk
penamaan penggabungan metode tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi , ada istilah yang digagas
oleh Shalah Abdul Fattah al-Khalidi yang ia paparkan dalam kitabnya Ta’rif al-Darisin bi
Manahij al-Mufassirin. Metode tersebut ia namakan dengan al-Asari al-Nazari.

Para mufassir yang menggunakan metode ini, menyusun antara riwayat dan pemikiran.
Maka dalam penafsiran mereka akan didapati kutipan-kutipan riwayat berupa hadis Nabi,
perkataan Sahabat, dan Tabi’in. Selain itu juga akan didapati pendapat, ijtihad, dan analisis
mufassir. Adapun bentuk penyajian tafsir yang digunakan dalam kitab ini tergolong kategori
bentuk penyajian tafsir tahlili (rinci).

Hal ini dapat dibuktikan dengan uraian-uraian yang mendalam yang diberikan oleh Darwazah
pada setiap ayat yang ditafsirkan. Ketika menafsirkan ayat, Darwazah mengelompokkan ayat-
ayat yang masih dalam satu konteks ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fii al-Tafsir al-
Maudhu’i pembicaraan pada satu tempat. Ia juga mengutip ayat-ayat lain yang setema untuk
menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan. Oleh karena itu, kitab ini juga digolongkan kepada
kitab tafsir yang menggunakan bentuk penyajian yang tematik.

Prinsip Penafsiran

Setelah Izzat Darwazah menulis ketiga karya, yaitu: pertama ‘Ashr al-Nabi wa Bi’tsatuhu
Qabla al - Bi’tsah. Kedua, Sirahal-Rasul, Shuwar Muktabasah min Alquran dan ketiga, al-Dustur
al-Qur’ani fii Syu’un al-Hayah, mempunyai ide untuk menulis kitab tafsir secara lenngkap
dengan maksud mendiskripsikan makna Alquran secara lengkap. Didalam kitab yang telah
disebutkan diatas, beliau menyingkap hikmah tanzil dan prinsip-prinsip mendasar Alquran dan
isinya secara umum melalui gaya bahasa ( uslub ) dan susunan yang baru.

Ketiga karya tersebut memberikan peranan penting terhadap terciptanya kitab setelahnya,
yaitu Tafsir al-Hadis. Sebagai pengantarnya, Izzat Darwazah menulis karya yang berjudul Al-
Qur’an al-Majid yang ditulis di kota Bursah ditengah hijrahnya ke Turki. Karya tersebut
merupakan kitab yang menjembatani dari keempat karya yang telah disebutkan di atas. Dilain
sisi, kitab al-Qur’an al-Majid merupakan ringkasan dari ketiga karyanya, ‘Ashr al-Nabi, Sirah al-
Rasul, dan al-Dustur al - Qur’ani yang nantinya melahirkan tafsir Alquran terhadap sejarah.
Disamping itu, karya tersebut juga memberikan metode baru dalam menafsirkan Alquran dengan
tafsir Nuzuli.
Secara praktik, susunanyan diakui umat Islam sampai saat ini adalah susunan resmi
mushaf Utsmani. Namun, secara teori, mulai sebelum diresmikannya mushaf Utsmani
sampaisaat ini, susunan Alquran selalu dalam perdebatan terbuka untuk diperdebatkan
sebagaimana yang telah tercantum dalam karya-karya ‘ulumul qur’an semisal al-Burhan fi Ulum
Alquran dan al-Itqan fii Ulum Alquran.

Menurut Izzat Darwazah, ada suatu konsep yang olehnya disebut sebagai metode ideal
dalam menafsirkan Alquran, diantaranya:

1. Membagi Alquran menjadi unit-unit besar maupun kecil, baik dari segi makna, sistem
maupun konteksnya.
2. Mensyarahi secara ringkas kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan asing dan tidak tidak
populer yang ada di dalam Alquran.
3. Mensyarahi secara jelas dan global pengertian setiap unit-unit Alquran sesuai kebutuhan.
4. Memberikan petunjuk ringkas terhadap riwayat yang berkaitan dengan turunnya ayat,
pengertian dan hukumnya.
5. Menampilkan secara ringkas unsur-unsur yang ada dalam Alquran.
6. Menampilkan gambaran tentang sosio-historis masyarakat Arab, baik pra maupun era
kenabian Muhammad.

D. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Nuzuli

Sudah kita ketahui bahwa tafsir nuzuli merupakan tafsir yang disusun berdasar waktu
turunnya al-Qur’an. Melalui tartib ini, konteks sosio-historis menjadi sangat dominan sehingga
dapat diikuti proses pewahyuan al-Qur’an dengan lebih teliti dan seksama. Dan dapat pula
dirasakan oleh pembaca iklim ketika wahyu diturunkan.

Terbagilah waktu penurunan al-Qur’an ke dalam dua masa, yaitu masa pra-kenabian dan
masa kenabian. Terlihat hubungan logis dan faktual pada masa pra-kenabian antara al-Qur’an
dengan tradisi sosial-ekonomi, keyakinan-keyakinan, pemikiran-pemikiran, dan ilmu
pengetahuan yang berkembang di masyarakat Arab pra-kenabian.5 Kemudian pada masa

5
Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah ,
(Bandung: Mizan, 2016), h. 79.
kenabian, al-Qur’an menggambarkan sikap Nabi Muhammad Saw. kepada masyarakat Arab dan
non-Arab, kepada muslim, munafiq, musyrik, dan ahli kitab. Sebaliknya, juga mengenai sikap
mereka kepada Nabi. Menurut Darwazah pemahaman tentang hubungan al-Qur’an dan
masyarakat Arab di era kenabian dengan menggunakan tartib nuzuli begitu penting untuk
memahami tema-tema dalam al-Qur’an, serta membantu memahami proses pe-nasakh-an di
dalamnya.6

Tak hanya membahas dan berdialog dengan masyarakat, al-Qur’an tentunya juga berinteraksi
dengan Nabi Muhammad Saw. Dapat dilihat dalam ayat-ayat yang dimulai dengan kalimat ya
ayyuha al-nabi, ya ayyuha al-rasul, inna auhaina ilaka, inna arsalka, dan sebagainya. Semua
interaksi ini menunjukkan bahwa al-Qur’an tak bisa dipisahkan dengan Nabi Muhammad Saw.
dan sejarah hidup dan dakwahnya. Inilah kelebihan dari tafsir nuzuli, yang dengan tartib ini
terangkai rapi shirah nabawiyah sehingga membaca tafsir seperti membaca sejarah hidup
Rasulullah Saw.

Adapun kekurangan dari tafsir nuzuli ini, adalah susunan kronologisnya yang masih
kontradiktif. Hal ini mengikut pada kontradiktifnya tartib nuzuli al-Qur’an. Kemudian yang
menjadi imbasnya pula yaitu penetapan dalam kategori makkiyah dan madaniyahnya belum
terdapat standar yang baku.

6
Ibid., h. 84.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Terkait dengan penjabaran yang telah tercantum dalam pembahasan, kiranya ada dua hal yang
dapat diringkas diantaranya;

1. Tafsir Nuzuli terbagi menjadi dua bentuk:


Pertama, tafsir nuzuli tajzi’i yakni menafsirkan ayat dan surat yang pertama kali turun
samapai pada akhir ayat dan surat turun baik secara tahlili maupun ijmali.
Kedua, tafsir nuzuli maudhu’i yaitu menafsirkan Alquran dengan menentukan tema
terlebih dahulu kemudian dianalisis melalui Alquran sesuai tartib nuzul.
2. Adapun prinsip penafsiran tafsir nuzuli Muhammad Izzat Darwazah antara lain;
a) Membagi Alquran menjadi unit-unit besar maupun kecil, baik dari segi makna,
sistem maupun konteksnya.
b) Mensyarahi secara ringkas kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan asing dan tidak
tidak populer yang ada di dalam Alquran.
c) Mensyarahi secara jelas dan global pengertian setiap unit-unit Alquran sesuai
kebutuhan.
d) Memberikan petunjuk ringkas terhadap riwayat yang berkaitan dengan turunnya
ayat, pengertian dan hukumnya.
e) Menampilkan secara ringkas unsur-unsur yang ada dalam Al-quran.
f) Menampilkan gambaran tentang sosio-historis masyarakat Arab, baik pra maupun
era kenabian Muhammad.
g) Memberi perhatian terhadap unit Alquran yang bersifat sarana dan penegasan.
h) Menghubungkan sebagian unit Alquran dengan sebagian yang lain sesuai
konteksnya, dll untuk menampilkan sistem Alquran.
i) Meminta bantuan pada lafadz-lafadz, struktur dan kumpulan unit Alquran
sebelum menggali isi Al-quran.
j) Menghubungkan ayat atau surah-surah yang ada sebelumnya.
Saran dan Kritikan

Sebagai manusia biasa, tentunya penulisan karya ilmiah ini jauh dari kata sempurna. Ketikadak
sempurnaan itu terletak pada bagaimana penulis memaparkan materi serta penulisan dari karya
ini. Oleh karenanya, baik dari semua dosen, teman, sahabat maupun orang yang membaca tulisan
ini kiranya dapat memberikan kritikan yang membangun hingga jikalau suatu hari ketika penulis
ingin membuat karya ilmiah lagi maka akan dijadikan pertimbangan.
DAFTAR PUSAKA

al-Qaththan, Manna. Mabahits fii Ulum al- Qur’an. terj. Umar Mujtahid. (Jakarta: Ummul
Quran, 2016).

al-Suyuti, Jalaluddin. al-Itqan fii Ulum Al-Qur’an, Jilid I. Pentahqiq: Abdurrahman Fahmi al-
Zawawi. (Kairo: Darl al-Ghad al-jadid, 2006).

Wijaya, Aksin. Sejarah Kenabian: Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah.
(Bandung: Mizan, 2016).

Anda mungkin juga menyukai