Anda di halaman 1dari 14

TAFSIR ERA MODERN

TAFSIR SAFWAT AT-TAFSIR

Dosen Pengampuh :

Nurfadillah Syam, S.Ud., M.Ag.

Disusun Oleh :

NUGRA ILAHI LUSANTO

NIM :

19.26.09

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AL-MAWADDAH WARRAHMAH

FAKULTAS SYARIAH, USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul kitab tafsir Safwat At-
Tafasir. tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
Dosen kami Ustadzah Nurfadillah Syam. Selain itu, makalahini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagipenulis.

Saya mengucapkan terimakasih kepada ibu Dosen yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Kolaka, 01 November 2021

Nugra ilahi lusanto


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tafsir al-Qur’an secara sederhana dapat diartika sebagai buah pemikiran dari orang-
orang yang mencoba memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sejak al-Qur’an diturunkan 14 abad
yang lalu, sejak saat itu pula usaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sudah dilakukan.
Eksistensi Nabi Muhammad saw.—selain sebagai suri tauladan juga menjadi rujukan
ummat—tampil sebagai penafsir utama yang selalu diyakini dan dihormati kebenarannya
oleh ummat muslim pada masa itu. Tetapi setelah Nabi Muhammad saw. meninggal dunia
maka keragaman pendapat dalam menafsirkan al-Qur’an tidak bisa terbendung lagi.

Perkembangan Tafsir terus semakin meningkat, sehingga mengalami beberapa


pergeseran titik tekan. Mulai dari riwayat sebagai dasar yang unggul, yang kemudian
melahirkan tafsir bi arriwayah, sampai kepada akal sebagai basis penafsiran yang kemudian
melahirkan tafsir bi arra’yi. Selain itu di sela pergeseran titik tekan tersebut terdapat istilah
ta’wil yang juga ikut mewarnai khazanah keilmuan Islam terkait al-Qur’an dan hadis.

Setelah memasuki era modern, maka tafsir pun kemudian mengalami beberapa
perubahan, diantaranya adalah kebutuhan untuk menjawab permasalahan manusia. Dengan
adanya kebutuhan tersebut maka tafsir kemudian terkesan lebih relatif. Diantara kitab tafsir
yang cukup representatif untuk menunjuk kepada permasalahan tersebut adalah tafsir Safwah
At-Tafasir. Tafsir karya Muhammad Ali As-Shabuni tersebut, di kalangan masyarakat—
terutama dunia akademis—cukup hangat diperbincangkan, terutama mengenai metode yang
digunakan dalam menyusun tafsir tersebut, sehingga terkandung di dalamnya pemaparan
yang ilmiah, rinci, jelas, dan mudah dipahami. Maka dengan latar belakang tersebut penulis
merasa perlu untuk membahas tafsir Safwah At-Tafasir guna untuk lebih memahami
bagaimana kondisi tafsir tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi dan latar belakang ditulisnya tafsit Safwat At-Tafasir?

2. Bagaimana Deskripsi, sistematika serta metode yang digunakan Safwat At-Tafasir?

3. Bagaimana Safwah At-Tafasir digugat oleh para ulama dan pemikir?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Penulis Kitab Safwah At-Tafasir

Syekh Muhammad Ali As Shabuni begitu mendunia. Beliau merupakan seorang


ulama dan ahli tafsir yang terkenal dengan keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat wara-nya.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ali Ibn Ali Ibn Jamil As Shabuni. Beliau lahir di
kota Helb, Syiria pada tahun 1928 M. Setelah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di
Syiria, beliau pun melanjutkan pendidikannya di Mesir, dan merampungkan program
magisternya di universitas Al-Azhar dengan mengambil tesis khusus tentang Perundang-
Undangan Dalam Islam pada tahun 1954 M.

Beliau juga tercatat sebagai salah seorang staf pengajar tafsir dan ulumul Qur’an di
fakultas Syari’ah dan Dirosat Islamiyah Universitas Malik Abdul Aziz Makkah. Beliau juga
dikenal sebagai pakar ilmu Al-Qur’an, Bahasa Arab, Fiqh, dan Sastra Arab . Di samping
sibuk mengajar, Ash-Shabuni juga aktif dalam organisasi Liga Muslim Dunia. Saat di Liga
Muslim Dunia ia menjabat sebagai penasihat pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai
Alquran dan Sunnah. Ia bergabung dalam organisasi ini selama beberapa tahun, setelah itu ia
mengabdikan diri sepenuhnya untuk menulis dan melakukan penelitian.

Ali As Shabuni, telah menyelesaikankan tafsir ini (Shafwah al-Tafasir), secara terus
menerus dikerjakannya non-stop siang malam selama lebih kurang menghabiskan waktu kira-
kira lima tahun. Dia tidak menulis sesuatu tentang tafsir sehingga dia membaca dulu apa-apa
yang telah ditulis oleh para mufasir, terutama dalam masalah pokok-pokok kitab tafsir,
sambil memilih mana yang lebih relevan (yang lebih cocok dan lebih unggul).

Shafwah al-Tafsir merupakan tafsir ringkas, meliputi semua ayat A-Qur’an


sebagaimana yang terdapat dalam judul kitab : Jami’ baina al-Ma’tsur wa al-Ma’qul.
Shafwah al-Tafasir ini berdasarkan kepada kitab-kitab tafsir terbesar seperti al-Thabari, al-
Kasysyaf, al-Alusi, Ibn Katsir, Bahr al-Muhith dan lain-lain dengan uslub yang mudah, hadits
yang tersusun ditunjang dengan aspek bayan dan kebahasaan.

As Shabuni mengatakan dalam pendahuluan tafsirnya, tentang penjelasan tujuan


ditulisanya kitab ini, Diantara kewajiban ulama saat ini adalah mengerahkan kesungguhannya
untuk mempermudah pemahaman manusia pada Al-Qur’an dengan uslub yang jelas, bayan
yang terang, tidak terdapat banyak kalimat sisipan yang tidak perlu, tidak terlalu panjang,
tidak mengikat, tidak dibuat-buat, dan menjelaskan apa yang berbeda dalam Al-Qur’an yaitu
unsur keindahan ‘Ijaz dan Bayan bersesuaian dengan esensi pembicaraan, memenuhi
kebutuhan pemuda terpelajar, yang haus untuk menambah ilmu pengetahuan Al-Qur’an al-
Karim’.

Kata As Shabuni, ‘saya belum menemukan tafsir al-Kitabullah ‘Azza Wajalla yang
memenuhi kebutuhan dan permasalahannya sebagaimana disebutkan diatas dan menarik
perhatian (orang) mendalaminya, maka saya terdorong untuk melakukan pekerjaan
penyusunan ini. Seraya memohon pertolongan Allah al-Karim saya berinama kitab ini :
“Shafwah al-Tafasir” karena merupakan kumpulan materi-materi pokok yang ada dalam
tafsisr-tafsir besar yang terpisah, disertai ikhtisar, tertib, penjelasan dan bayan’.

Adapun karya yang lainnya adalah : Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, Mukhtashar Tafsir al-
Thabari, Jammi al-Bayan, al-Mawarits fi al-Syari’ah al-Islamiyah ‘ala Dhau al-Kitab dan
Tanwir al-Adham min Tafsir Ruh al-bayan.

B. Latar Belakang Penulisan Kitab Safwat At-Tafasir

Sebuah karya, apapun jenisnya termasuk kitab tafsir dalam masa pembuatannya, pasti
tidak dapat dimungkiri dari aspek kultur-sosial yang mengelilinginya. Pada tahun 1930 lahir
sebuah karya tafsir dari tangan seorang ilmuwan kelahiran Syiria yang menambah deretan
khazanah ke-ilmu-an ke-Islam-an, yaitu “Shafwah Al Tafasir” yang disusun selama kurang
lebih lima tahun sekaligus memberi kesan tersendiri bagi para sebagian kalangan ulama dan
para pemerhati lainnya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya karya yang dilahirkan As
Shabuni ini juga memiliki latar yang memberikan warna terhadap alur fikirannya dalam
menafsirkan Al-Quran. Dari data yang didapat mengenai latar belakang penyususnan kitab ini
beliau menyebutkan.

1. Menjunjung kalimatullah untuk memberi pemahaman terhadap kebutuhan umat dalam


memahami agama.

2. Keberadaban Al-Quran itu sendiri yang kekal dengan penuh keajaiban-keajaiban, penuh
dengan mutiara-mutiara kehidupan, senantiasa memicu akal untuk mengkajinya.

3. Kenyataan semua ilmu akan hilang dimakan jaman, kecuali ilmu Al-Quran

4. Kewajiban ulama tetap mesti menjadi jembatan bagi pemahaman umat terhadap Al-
Quran dengan memberikan kemudahan dalam mengkajinya.

Dari pemaparan beliau diatas nampaknya kita bisa melihat bagaimana sosio masyarakat yang
ada ketika beliau menciptakan kitab tafsir ini. Jelas siapa yang menjadi sasaran serta
bagaimana respon tafsirnya terhadap laju kultur dan kebutuhan lingkungan masyarakat
dimana beliau berada.

C. Deksripsi Kitab Safwat At-Tafasir

Kitab Tafsir Safwat At-Tafasir merupakan karya paling monumental dari Muhammad
Ali Ash-Shabani. Pada awalnya diberi nama demikian karena kitab ini dihimpun dari
berbagai kitab tafsir besar secara rinci sekaligus ringkas, juga secara sistematis dan
kronologis, sehingga pemaparannya menjadi jelas dan lugas. Pemberian nama itu juga
dimaksudkan supaya kitab tersebut dapat menjadi pendorong dan motivasi bagi umat Islam
untuk mengantarkan mereka ke arah jalan yang lurus (Sirat Al-Mustaqin). Selain hal itu,
dalam tafsir ini juga tersirat bahwa pengarang tafsir hendak menunjukan bahwa Safwat At-
Tafasir ini telah mewakili tradisi pemikiran tafsir Al-Qur’an di seantero dunia.

Dalam kitab tafsir ini Ali Ash-Shabuni berusaha memadukan antara penafsiran dari
golongan Ahli Al-Fiqh (yang sifatnya rasional-kontekstual) dengan Ahli Al-Hadis (yang
sifatnya tekstual). Selain itu dicantumkan juga beberapa pandangan ulama kenamaan, dengan
kitab-kitab tafsir kenamaan lainya. Adapun pandangan-pandangan yang diambil adalah
diantaranya dari kitab tafsir Ath-Thabari, Al-Kasysyaf, Al-Qurtubi, Al-Alusi, Ibnu Katsir, Al-
Baidhawi, Dan Bahr Al-Muhit, beserta kitab-kitab lainya seperti misalnya Fi Zilalil Qur’an.

Sebelum memulai penafsiran, kitab ini terlebih dahulu memulainya dengan dua penggalan
ayat Al-Qur’an. Yaitu surah Ali-Imran ayat 187.

ُ ‫اس َوالَ ت َ ْكت ُ ُمونَه‬ َ ‫ّللاُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ ْال ِكت‬
ِ َّ‫َاب لَت ُ َب ِيهنُنَّهُ لِلن‬ ‫َو ِإذَ أ َ َخذَ ه‬

Artinya:

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab
(yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan
janganlah kamu menyembunyikannya.

Dan surah An-Nahl ayat 44

ِ َّ‫الزب ُِر َوأَنزَ ْلنَا إِلَيْكَ ال ِذه ْك َر ِلتُبَيهِنَ لِلن‬


َ‫اس َما نُ ِ هز َل إِ َل ْي ِه ْم َولَعَلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُرون‬ ِ ‫بِ ْالبَ هِينَا‬
ُّ ‫ت َو‬

Artinya:

(mereka Kami Utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab.


Dan Kami Turunkan adz-dzikr (al-Quran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.

Kitab ini—Safwat At-Tafasir—ditulis selama lima tahun dan tidak pernah berhenti
antara siang dan malam. Mesipun demikian Ali As-Shabuni tidak terlalu berani untuk segera
menerbitkannya kepada masayarakkat luas, karena adanya berbagai pertibangan dan kehati-
hatian. Baru pada tahun 1996 Ali Ash-Shabani kemudian mengizinkan untuk menerbitkan
karya monumentalnya tersebut. Sehingga jika dijumlahkan proses keseluruhan pembuatan
kitab ini—sampai diterbitkan untuk khalayat umum—adalah sekitar 30 tahun. Sebelumnya,
perlu juga diketahui bahwa dari proses yang amat panjang tersebut, pada mulanya juga
diadakan berbagai diskusi ilmiah secara intens, formal dan terstruktur. Hal ini dilakukan guna
mendapatkan atau menghasilkan sebuah maha karya yang berkualitas tinggi, tetapi mudah
dipahami dan dicerna oleh masyarakat umum.

Kitab ini dimulai dengan sebuah muqaddimah (pendahuluan) yang di dalamnya dimuat latar
belakang penulisan kitab safwat ini. Adapun isi pendahuluan tersebut dapat diringkas menjadi
beberapa poin seperti tergambar di bawah ini.
1. Diawali dengan kalimat pembuka, berupa pujian dan doa kepada Nabi Muhammad saw.

2. Penjelasan mengenai keagungan Al-Qur’an

3. Dijelaskan pula upaya-upaya ulama terdahulu yang berusaha mengungkap kandungan


dan isi Al-Qur’an dan dengan ilmu tafsir berhasil menjelajahi dan mendalami khazanah ilmu
Al-Qur’an

4. Adanya penekanan Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. yang


mengandung ilmu pengetahuan dan berbagai hikmah

5. Dipaparkan pula upaya umat Islam untuk mnegungkap kandungan Al-Qur’an lebih
dalam dari kitab-kitab tafsir besar terdahulu yang kemudian dapat dijadikan pedoman bagi
kehidupan. Sehingga kentara sekali bagaimana kegadrungan Ali Ash-Shabuni untuk
membuat tafsir yang mudah, simpel, jelas, dan dapat dengan ringan dikonsumsi oleh
masayarakat.

6. Adanya masalah pribadi di tenggarai Ali Ash-Shabuni, yang mana dia belum
menemukan kitab tafsir yang yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan umat muslim,
baik untuk pedoman hukum maupun sebagai sarana meningkatkan keimanan.

7. Alasan penamaan kitab sehingga menjadi Safwat At-Tafasir

8. Metode dan sistematika penafsiran yang akan dipakai dalam kitab, sebagaimana akan
dijelaskan pada bagian selanjutnya.

9. Permohonan ampun kepada Allah dan sekaligus pengharapan supaya kitabnya ini
menjadi kebaikan hingga hari kemudian.

D. Sistematika Dan Metode Penulisan Kitab Safwat At-Tafasir

Dalam memaparkan tafsirnya dalam kitab ini Ali Ash-Shabuni memakai sistematika
yang dipakainya dalam kitab tafsir sebelumnya, yaitu Rawa’i’ Al-Bayan dengan sepuluh
langkahnya. Tetapi nampaknya dalam kitab Safwat At-Tafasir ini Ash-Shabuni cendrung
lebih mempersingkatnya sehingga hanya menjadi tujuh langkah. Adapun langkah-langkah
tersebut ialah.

1. Diawali dengan penjelasan secara global akan kandungan dan juga dijelaskan tujuan
paling mendasar (maqasid Al-Asasiah), serta pokok-pokok yang terkandung di dalam ayat-
ayat yang dibahas.

2. Mencari korelasi antara ayat-ayat yang mendahului atau lebih dahulu dengan ayat-ayat
yang dapat dikatakan senada.

3. Menjelaskan ayat dari segi tata bahasa arab.

4. Menyebutkan sabab nuzul ayat-ayat yang memang memiliki latar belakang penurunan
ayat.
5. Menyampaikan penafsiran secara substansial (isi kandungan) potongan ayat serta
keseluruhan ayat secara utuh.

6. Dipaparkan aspek sastranya (balaghiyah)

7. Memunculkan faidah-faidah dan makna inti dari ayat yang dibahas.

Adapun secara teknis dalam kitab Safwat At-Tafasir sebelum menuju kepada tujuh langkkah
itu, sebelumnya dipaparkan terlebih dahulu ayat-ayat yang akan dibahas dan diakhirnya
terkadang ditambah dengan adanya penekanan mengenai hukum yang dibahas.

E. Safwat At-Tafasir: Antara Gugatan dan Pembuktian

Hadirnya sebuah pemikiran tidakakan lepas dari pujian sekaligus kritik yang
meresponnya. Terlebih buah pikiran itu datang dari ranah atau atmosfir agama. Sehingga
sangatlah wajar jika kemudian buah pikiran yang muncul dan berkembang dari hasil
pemahamannya terhadap simbol-simbol dan teks-teks keagamaan dapat dipastikan selalu
memunculkan sebuah polemik, terlepas apakah itu luas atau tidak. Dalam hal ini
tafsir Safwah At-Tafasir ada salah satu tafsir yang juga mengalami fenomena di atas. Tetapi
dalam bagian ini yang akan diutarakan hanya berupa kritikan negatif dari ulama dan pemikir
lain, untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan tafsir-tafsir yang lainya.

1. Eksistensi Takwil Bathil dalam Shofwah at Tafasir

Menurut Syeikh Sholih bin Fauzan yang merupakan salah seorang ulama asal Saudi,
secara tegas dan gamblang menyatakan bahwa dalam kitab Safwat At-Tafasir terdapat
berbagai takwil yang bathil. Ungkapan bombastis itu jelas selain tidak dapat diabaikan begitu
saja juga tidak dapat diterima bulat-bulat tanpa kritik dan peninjauan lebih lanjut. Mengingat
kitab Safwah Al-Tafasir merupakan kitab yang selain terkenal juga banyak dan sering
digunakan oleh masyarakat—termasuk di dalamnya para akademisi. Kejelasan, kepadatan,
bahasa yang mudah difahami—seperti yang sudah dijelaskan di atas—menjadi salah satu
alasan familiarnya kitab tersebut di kalangan masyarakat, bahkan yang awam sekalipun.
Maka dari itu perlu ditelisik lebih jauh sehingga kitab Safwah Al-Tafasir dapat ditempatkan
dalam posisinya yang proporsional.

Sepanjang penelusuran penulis, terdapat beberapa penafsiran yang disinyalir menjadi


alasan dan data sanggahan mengenai adanya takwil bathil dalam Safwah Al-Tafasir. Salah
satu penafsiran itu ialah ketika Ali As Shabuni memaparkan penafsirannya terhadap surah Al-
Baqarah ayat 112.

َ‫علَ ْي ِه ْم َوالَ هُ ْم يَحْزَ نُون‬ ٌ ‫بَلَى َم ْن أ َ ْسلَ َم َو ْج َههُ ِ هلِلِ َوه َُو ُمحْ ِس ٌن فَلَهُ أَج ُْرهُ عِندَ َر ِبه ِه َوالَ خ َْو‬.
َ ‫ف‬

Tidak! Barangsiapa menyerahkan wajahnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia
mendapat pahala di sisi Tuhan-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak
bersedih hati. (QS. Al-Baqarah [2]: 112)
Kritik datang karena menurut Sholih bin Fauzan Ali As Shabuni ketika menafsirkan
kata wajhu telah mengutip penafsiran dari Fakhruddin Al-Razi. Adapun penafsirannya yaitu
dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wajah pada ayat itu adalah nafs. Sehingga
penafsirannya dari kalimat wajah Allah menjadi memasrahkan diri untuk selalu taat
kepadanya. Penafsiran As Shabuni yang demikian itu didasarkan pada ayat yang berbunyi.

َ‫ش ْيءٍ هَا ِلكٌ ِإ َّال َو ْج َههُ لَه ُ ْال ُح ْك ُم َو ِإلَ ْي ِه ت ُ ْر َجعُون‬
َ ُّ‫ّللا ِإلَها ً آخ ََر َال ِإلَ َه ِإ َّال ه َُو كُل‬ ُ ْ‫َو َال تَد‬
ِ َّ ‫ع َم َع‬

Janganlah kamu menyembah tuhan selain Allah, tiada tuhan yang berhak disembah
selain Dia, segala sesuatu pasti binasa kecuali dzat-Nya bagi-Nyalah segala penentuan dan
hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan. (Al-Qasash[28] : 88)

Sedangkan menafsirkan wajah dengan nafs berdasar pada pengertian wajh pada ayat
di atas dengan dzat-Nya, menurut Sholih bin Fauzan mempunyai kecendrungan bahwa
kata wajh untuk Allah dan untuk manusia sama, sehingga menurutnya pentakwilan As
Shabuni ini adalah takwil yang bathil.

Untuk lebih mendapat penjelasan logis mengenai takwil yang dilakukan Al-Razi—
yang kemudian dikutip oleh As Shabuni—sebagai takwil bathil, maka hemat penulis ada
baiknya jika merujuk pula para mufasir lainya dalam menafsirkan kata wajh. M. Quraish
Shihab, dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wajh pada surah Al-
Baqarah ayat 112 adalah.

Bagian yang termulia dari jasmani manusia. Pada wajah tedapat mata, hidung, dan
mulut, atau lidah. Kegembiraan, kesedihan, amarah, dan sedih, bahkan semua emosi manusia
dapat tampak melalui wajah. Wajah adalah gambaran identitas manusia, sekaligus menjadi
lambang totalitasnya. Wajah adalah bagian termulia dari tubuh manusia yang tampak. Kalau
yang termulia telah tunduk, maka yang lain pasti dengan serta merta turut tunduk pula. Siapa
yang menyerahkan wajahnya secara tulus kepada Allah, dalam arti ikhlas beramal dan amal
itu adalah amal yang baik, maka baginya ganjaran di sisi Tuhannya.

Jelas, dari pemaparan Quraish Shihab berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh As
Shabuni. Jika kemudian As Shabuni mengatakan bahwa yang
dimaksud wajh adalah nafs (jiwa), maka Quraish Shihab memilih tetap mendudukan
kata wajh pada makna hakiki, yaitu wajah yang ada mata, hidung, dan lain sebagainya.
Meskipun kemudian pada akhir penjelasan baik As Shabuni atau Quraish Shihab bermuara
pada kesimpulan yang hampir sama, yaitu patuh, tunduk, dan pasarah sepenuhnya kepada
Allah.

Ibu Katsir dan Hasby As-Siddiqi dalam menafsirkan kata wajah juga sama bermuara
pada patuh, tulus, dan ikhlas kepada Allah. Meskipun dalam kedua kitab tafsir itu tidak
disebutkan dengan jelas dan rinci alasan mengartikan makna wajh. Sehingga sampai di
bagian ini dapat dikatakan bahwa baik As-Shabuni, Quriash Shihab, Ibnu Katsir, dan Hasby
As-Siddiqi dalam menafsirkan kata wajh bermuara pada hal yang bisa dikatakan senada,
yaitu patuh, tunduk, tulus, dan ikhlas kepada Allah. Semua itu terlepas dari metode dan
pendekatan yang digunakan masing-masing mufasir dalam menafsirkan kalimat tersebut.
Adapun khusus untuk penafsiran Ali As-Shabuni dan sanggahan dari Shalih bin Fauzan,
dengan menyebutnya sebagai takwil bathil, maka sebenarnya hal itu masih bisa
dikompromikan. Mengingat setelah dibandingkan dengan penafsiran yang lain, ternyata
bermuara pada satu irama yang bermiripan.

2. Percampur-adukan ideologi dalam Safwah At-Tafasir

Kritikan keras terhadap Safwah At-Tafasir tidak hanya terhenti melalui Sholih bin
Fauzan, tetapi ada juga seorang ulama yang sampai menulis satu buku yang berisi kritikan
terhadap As-Shabuni. Adalah Bakr Abu Zayd melalui bukunya yang berjudul Ar-
Rudud menghantam Ali As-Shabuni melalui sesuatu yang lebih mendalam, yaitu
permasalahan ideologi. Berbeda dengan kritik yang pertama, pada bagian ini meski
permasalahan lebih kompleks—karena menyangkut ideologi—tetapi dengan keterbatasan
data, maka analisis dan contoh yang akan dipaparkan akan jauh lebih singkat.

Bakr Abu Zayd menuturkan bahwa di dalam Safwah At-Tafasir terjadi benturan
ideologi yang sangat hebat. Hal ini—lanjut Bakr Abu Zayd—didasarkan pada sikap Ali As-
Shabuni yang mengumpulkan berbagai ideologi ulama-ulama besar dalam kitab tafsirnya.
Diawali dengan ideologi salafi yang diwakili oleh Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi, dari
Mu’tazilah dengan Al-Kasyaf karya Zamakhsyari dan Asy’Ari yang diwakili oleh Ar-Razi.
Selanjutnya pada bagian selanjutnya akan dipaparkan bagaimana perbenturan itu terjadi.

Tingkat rasionalitas penafsiran kentara sekali terlihat manakala dua haluan ideologi—
antara Salafi dan Mu’tazilah—sama-sama menafsirkan suatu surat atau bahkan ayat yang
sama. Dalam hal ini penulis mengangkat surah Al-Fatihah ayat 5.

‫إِيَّاكَ نَ ْعبُد ُ وإِيَّاكَ نَ ْستَعِي ُن‬

Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
(QS. Al-Fatihah [1]: 5)

Dalam menafsirkan kata na’budu, Zamakhsyari mengatakan—sebagaimana dikutip


oleh As-Shabuni—bahwa ibadah lebih merupakan tujuan utama dari sebuah ketaatan, Oleh
karena itu ibadah tidak ditujukan kecuali hanya kepada Allah. Karena selain hanya Allah
yang pantas dan berhak diibadahi juga kerna hanya Allah yang paling berhak untuk
disembah. Dari penafsiran itu dapat diketahui bahwa Zamakhsyari dalam menafsirkan
kata na’budu tidak berorientasi kepada penjelasan kebahasaan, tetapi lebih kepada maknanya
yang luas dan mendalam. Kesan itu akan terasa berbeda jika kemudian disandingkan
penafsiran yang berhaluan lain terhadap objek yang sama. Abu Ja’far Ath-Thabari dalam
tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an ketika menafsirkan
kalimat na’budu menyebutkan bahwa kalimat tersebut bermakna tunduk, patuh, merendahkan
diri, dan mengakui bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.

Contoh yang sekilas dipaparkan di atas, sedikit-banyak telah menjelaskan bagaimana


perbedaan kecendrungan itu terjadi. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah, akan tetapi
apa yang dikhawatirkan dan digelisahkan oleh Bakr Abu Zayd, adalah mengenai nasib dari
kejelasan ideologi yang diambil dan dijadikan acuan oleh Ali As-Shabuni sendiri. Mengingat
baik penafsiran Zamakhsyari atau Ath-Thabari, sama-sama terdapat dan mewarnai penafsiran
dalam kitab Safwah At-Tafasir tersebut. Meskipun sebenarnya tidak otomatis bahwa ketika
mufasir banyak mengutip berbagai penafsiran dari beberapa ideologi, mengindikasikan
bahwa mufasir itu tidak jelas ideologinya. Karena jika kembali mengingat pembahasan pada
bagian yang telah lalu, dapat ditemukan dengan jelas sekali bahwa Ali As-Shabuni
menginginkan bahwa penafsirannya dapat dipakai dan berlaku bagi semua kalangan.

F. Kritik Penulis Terhadap Tafsir Safwat At-Tafasir

Dari tafsiranya yang—memang—diharapkan supaya bisa dikonsumsi oleh


masayarakat luas, Safwat At-Tafasir jika dilhat dari segi kekurangannya adalah tidak
menafsirkan ayat Al-Qur’an secara keseluruhan, tetapi hanya ayat-ayat yang mengandung
hukum. Hal ini jelas, sedikitnya akan mempengaruhi para penikmat kitab tafsir ini, dimana
para pembaca dalam mencoba memahami Al-Qur’an yang terbayang bahwa Al-Qur’an
semua ayatnya adalah mengenai hukum. Selain itu dalam tafsir tersebut tidak diberitahukkan
secara rinci mengenai jens kitab yang akan digunakan. Hal ini penting, mengingat tekad kuat
dari Ash-Shabuni yang hendak membuat tafsir yang representatif dari semua kitab yang ada.
Dengan adanya penjelasan mengenai jenis atau aliran kitab tafsir yang dimuat, maka disini
pembaca setidaknya dapat memahami posisi mana yang lebih cocok untuk suatu keadaan
tertentu.

Adapun dari sisi kelebihannya, kitab ini jelas sangat mudah difahami, karena
penggunaan bahasa yang sederhana juga tidak berbelit-belit. Hemat penulis, kelebihan ini
merupakan efek dari adanya metode penulisan tafsir yang sangat jelas dan meyakinkan, yaitu
dengan tujuh langkah disertai pemaparan ayat dan penegasan di akhirnya. Selain itu, penulis
kitab ini, dalam bahasa-bahasa yang digunakannya—terutama diakhir pembahasan—
mencerminkan seorang yang sangat taat. Sehingga dapat sangat meyakinkan pembaca.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Syekh Muhammad Ali As Shabuni begitu mendunia. Beliau merupakan seorang
ulama dan ahli tafsir yang terkenal dengan keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat wara-nya.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ali Ibn Ali Ibn Jamil As Shabuni. Beliau lahir di
kota Helb, Syiria pada tahun 1928 M.

Adapun secara teknis dalam kitab Safwat At-Tafasir sebelum menuju kepada tujuh
langkah (makna secara umum, munasabah dengan ayat lain, menjelaskan ayat dari segi tata
bahasa, menyebutkan sabab nuzul ayat, menjelaskan makna inti, dipaparkan dari segi sastra,
dan terakhir faidah-faidah ayat), sebelumnya dipaparkan terlebih dahulu ayat-ayat yang akan
dibahas dan diakhirnya terkadang ditambah dengan adanya penekanan mengenai hukum yang
dibahas.

Terdapat berbagai kritikan yang bernada negatif tertuju kepada Safwah At-Tafasir,
yaitu. pertama, datang dari seorang ulama asal Saudi yang bernama Sholih bin Fauzan yang
mengatakan bahwa dalam Safwah At-Tafasir terdapat takwil yang bathil. Kedua, kritikan
keras datang dari Bakr Abu Zayd yang sampai mengarang buku yang berjudul Ar-
Rudud. Kritik tersebut adalah terdapatnya perbenturan ideologi dalam penafsiran. Ideologi
yang dimaksud yaitu antara Asy’ari, Mu’atazilah dab Salafi.

DAFTAR PUSTAKA

As-Shabuni, Muhammad Ali. Safwah Al-Tafasir: Tafsir li Al-Qur’an Al-Karim. Beirut: Dar
Al-Faikr, 2001 M/ 1421 H
---------------------------------. Rawa’i’ Al-Bayan: Tafsir Ayat Ahkam Min Al-Qur’an Al-
Karim. Beirut: Dar Ibnu ‘Abbud, 1425 H/2004 M

---------------------------------. Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, terj. Muammal


Hamidy & Imron A. Manan. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka


Progresif, 1997

As-Siddiqi, Hasby. Tafsir Al-Qur’an Madjied: An-Nur. Jakarta:Bulan Bintang, 1965

Hafidz, Subhan. Ash-Shobuni dan Safwah At-Tafasir, dalam http://apit.wordpress.com,


diakses tanggal 14 September 2007

Imron, Ali. “Ideologi Terorisme Dalam Pemahaman Hadis”. dalam Islam, Tradisi dan
Peradaban, editor. Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: Bina Mulia Press, 2012

Katsir, Ibnu. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Salim Bahreisy & Said
Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu,1993

Nikmah, Nurun. Muhammad ali al –Sabuni: studi terhadap kitab Tafsir Safwat al-Tafsir, Fak.
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Shihab, M. Quraush. Tafsir A-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta:
Lentera Hati, 2002

Yusuf, Muhammad. Safwat At-Tafsir Li Al-Qur’an Al-Karim: Kompilasi Metodologi Antara


Tekstual (Al-Ma’tsur) dan Rasional (Al-Ma’qul) dalam “Studi Tafsir Kontemporer”, editor:
M. Alfatih Suryadilaga. Yogyakarta: TH-Press, 2006

Zahwa, Abu . Tafsir Surah Al-Fatihah Menurut 10 Ulama Besar Dunia. editor. Edy Fr &
Fajar Inayati. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010

Anda mungkin juga menyukai