Anda di halaman 1dari 23

TAFSIR AL-MISBAH

MUHAMMAD QURAISH SHIHAB

Makalah:

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Studi Tafsir Nusantara

Dosen pengampu:

Dr. Hj. Musyarrofah, MHI

Oleh:

Moh. Imron Fadhilah (E03219025)


Ihsan Febrian (E03219013)

PROGRAM STUDI ILMU AL – QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami. Karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan Makalah kami yang berjudul
“TAFSIR AL-MISBAH MUHAMMAD QURAISH SHIHAB”
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
SAW yang telah menutun dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang. Tidak lupa kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dr. Hj. Musyarrofah, MHI yang memberikan
tugas makalah ini. Semoga dengan adanya tugas ini dapat mempu menambah ilmu dan
wawasan kita, serta memberikan manfaat untuk dimasa yang akan datang.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun supaya makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Surabaya, 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama
pilihan Allah yang sungguh tepat. Tidak ada bacaan melebihi al-Qur’an dalam
perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat-ayatnya,
mulai dari dari masa, musim, dan saat turunnya, sampai sebab-sebab beserta waktu-
waktu turunnya. H.A.R. Gibb seorang orientalis pernah menulis bahwa: “Tidak ada
seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan “alat” bernada nyaring
yang sangat mampu, berani dan luasnya getaran jiwa yang diakibatkan, seperti yang
dibaca Muhammad (al-Qur’an)”. Keindahan bahasanya demikian terpadu dalam al-
Qur’an, ketelitian maupun keseimbangannya dengan kedalaman makna, kekayaan dan
kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang
ditimbulkannya.1
Al-Qur’an dapat berperan dan berfungsi dengan baik sebgai tuntunan dan pedoman
serta petunjuk hidup untuk umat manusia, terutama di zaman kontemporer seperti saat
ini. Oleh karena itu tidaklah cukup jika al-Qur’an hanya dianggap sebgai sebuah bacaan
belaka dalam kehidupan sehari-hari tanpa dibarengi dengan pengertian dari maksud
ayat tersebut. Mengunkap dan memahami al-Qur’an merupakan suatu upaya untuk
mengurai isi serta makna yang terkandung didalamnya. Disisi yang lain sejarah
mencatat bahwa al-Qur’an yang sudah lebih dari 1400 tahun lalu diturunkan untuk
merespon kondisi, situasi sosial, politik, budaya dan relegiusitas masyarakat Arab tentu
kondisi tersebut sangat jauh beda dengan kehidupan dan kondisi pada zaman global dan
kontemporer saat ini. Maka dari itu penting untuk melakukan reinterpretasi terhadap al-
Qur’an dengan melihat dan mempertimbangkan kondisi di mana dan kapan al-Qur’an
itu turun.2
Pernyataan yang sama dilontarkan oleh Amin Abdullah bahwa perkembangan
situasi sosial budaya, politik, ilmu pegetahuan dan revolusi informasi juga turut
memberi andil dalam usaha memaknai teks-teks keagamaan serta al-Qur’an pada
zaman global sekarang ini perlu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan zaman kontemporer

1
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i Atas Perbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan,
1996), h.1-5.
2
Atik Wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah”, Hunafa: Jurnal Studia
Islamika, Vol. 11, No. 1, Juni 2014, h, 110.

1
yang dihadapi oleh umat Islam dan umat manusia. Pemeliharaan dilakukan dengan
pengkajian yang menyentuh realitas dan mencoba menyapa realitas lebih sensitif dan
memfungsikannya dalam memahami realitas-realitas yang ada dengan interpretasi yang
baru sesuai dengan keadaaan setempat.3
Salah satu yang menarik dari penafsiran kontemporer adalah tafsir al-Misbah karya
M. Quraish Shihab. Quraish Shihab melihat bahwa masyarakat muslim Indonesia
sangat mencintai dan mengagumi al-Qur’an, hanya saja sebagian dari mereka itu hanya
kagum pada bacaan dan lantunan dengan menggunakan suara merdu. Kenyataan ini
seolah-olah mengindikasikan bahwa al-Qur’an hanya sekedar untuk dibaca saja.
Sebenarnya bacaan dan lantunan al-Qur’an harus disertai dengan pemahaman dan
penghayatan dengan menggunakan akal dan hati untuk mengungkapkan pesan-pesan
yang terkandung di dalamnya. al-Qur’an telah memberikan banyak motivasi agar
manusia merenungi kandungan-kandungannya melalui dorongan untuk
memberdayakan akal pikirannya. Tradisi tilāwah, qirā’ah dan tadabbur al-Qur’an
merupakan upaya memahami dan mengamalkan al-Qur’an.
Beberapa tujuan M. Quraish Shihab menulis Tafsir al-Misbah adalah: pertama,
memberikan langkah yang mudah bagi umat Islam dalam memahami isi dan kandungan
ayat-ayat Alquran dengan jalan menjelaskan secara rinci tentang pesan-pesan yang
dibawa oleh al-Qur’an, serta menjelaskan tema-tema yang berkaitan dengan
perkembangan kehidupan Manusia. Karena menurut M. Quraish Shihab walaupun
banyak orang berminat memahami pesan-pesan yang terdapat dalam al-Qur’an, namun
ada kendala baik dari segi keterbatasan waktu, keilmuan, dan kelangkaan refrerensi
sebagai bahan acuan. Kedua, ada kekeliruan umat Islam dalam memaknai fungsi al-
Qur’an. Misalnya, tradisi membaca Q.S. Yāsin berkali-kali, tetapi tidak memahami apa
yang mereka baca berkali-kalai terebut. Indikasi tersebut juga terlihat dengan
banyaknya buku-buku tentang fadhilah-fadhilah surat-surat dalam al-Qur’an. Dari
kenyatan tersebut perlu untuk memberikan bacaan baru yang menjelaskan tema-tema
atau pesan-pesan al-Qur’an pada ayat-ayat yang mereka baca.
Ketiga, kekeliruan itu tidak hanya merambah pada level masyarakat awam
terhadap ilmu agama tetapi juga pada masyarakat terpelajar yang berkecimpung dalam
dunia studi al-Qur’an, apalagi jika mereka membandingkan dengan karya ilmiah,

3
M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman
Pada Era Melenium Ketiga”, al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, No. 65 , 2000, 93.

2
banyak diantara mereka yang tidak mengetahui bahwa sistematika penulisan al-Qur’an.
mempunyai aspek pendidikan yang sangat menyentuh. Dan Keempat, adanya dorongan
dari umat Islam Indonesia yang mengugah hati dan membulatkan tekad M. Quraish
Shihab untuk menulis karya tafsir.4

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Biografi Muhammad Quraish Shihab?
2. Bagaimana Sistematika Penafsiran Tafsir Al-Misbah?
3. Bagaimana metode dan Corak Tafsir Al-Misbah?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui Biografi Muhammad Quraish Shihab
2. Untuk mengetahui dan memahami Sistematika Penafsiran Tafsir Al-Misbah
3. Untuk mengetahui metode dan Corak Tafsir Al-Misbah

4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
vol. 1, hal 10.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Quraish Shihab


1. Riwayat hidup Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab adalah salah satu nama yang tersohor dalam deretan
tokoh-tokoh cendekiawan dan pemikir Islam Indonesia. Nama yang diberikan oleh
orang tua penulis Tafsir al-Mishbah ini, mulai dipakai setelah kelahirannya pada
tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Rappang
merupakan kampung halaman ibunda Quraish, Asma, yang biasa disapa Puang
Asma atau dalam dialek lokalnya Puc Cemma’. Puang adalah sapaan untuk anggota
keluarga bangsawan. Dikarenakan nenek Asma, Puattulada, adalah adik kandung
Sultan Rappang.5
Muhammad quraish Shihab lahir serta Tumbuh dan berkembang dalam sebuah
keluarga yang taat agama dan mengutamakan pendidikan, M. Quraish Shihab besar
membawa semangat ayahnya untuk terus belajar, berdakwah dan berkarya.
Dorongan M. Quraish Shihab untuk terus belajar ia dapatkan dari ayahandanya,
nasehat- nasehat dari ayahanda menjadi motivasi utama yang ia pegang hingga
dewasa.6
Ayah M. Quraish Shihab bernama Abdurrahman Shihab (1905-1986), ia adalah
seorang tokoh agama yang terpandang dan terkemuka di daerah Sulawesi Selatan.
Selain itu Abdurrahman Shihab juga menjadi guru besar dalam bidang Tafsir di
IAIN Alaudin, Ujung Pandang. Ia merupakah salah satu pendiri dari sebuah
lembaga Pendidikan yakni Universitas Muslim Indonesia (UMI). Dalam cerita M.
Quraish Shihab, ayahandanya adalah seorang intelektual yang juga memilki hobi
berwiraswasta sejak umurnya masih muda.7Di samping berwiraswasta, sejak muda
ayah beliau juga di sibukkan dengan berdakwah dan mengajar. Di tengah
kesibukkan ayahnya itu selalu menyisakan waktunya, baik pagi maupun petang,
untuk membaca kitab tafsir.
Abdurrahman Shihab sudah memantikkan rasa cinta terhadap al- Qur’an dihati
anak-anaknya sejak masih dini. Sejak umur 6-7 M. Quraish Shihab diharuskan

5
Mauluddin Anwar, dkk, Cahaya, Cinta dan Canda (Tangerang : Lentera Hati, 2015), hlm. 5
6
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,(Bandung: Mizan 2007), hlm.5
7
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Prees, 2005), hlm. 362

4
mengikuti pengajian-pengajan yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Pada waktu itu
M. Quraish Shihab diperintahkan untuk membacakan ayat al-Qur’an dan sang
Ayah yang menguraikan kisah- kisah dan pesan-pesan yang terkandung dalam ayat
tersebut. Menurut M. Quraish Shihab, dari masa lalu inilah ia merasa embrio-
embrio rasa cinta terhadap al-Qur’an mulai bertumbuhan.8
Pertumbuhan M. Quraish Shihab memanglah dalam cover keluarga yang kental
dengan ajaran agama. Akan tetapi lingkungan dimana ia tinggal merupakan sebuah
masyarakat yang heterogen dalam hal agama dan kepercayaan.9 Hal ini tidak
membuat ia dan keluarga untuk canggung melakukan interaksi dengan masyakat
yang memiliki latar belakang akidah yang berbeda dari mereka. Hal ini pula yang
dicontohkan oleh Ayah M. Quraish Shihab bahwa pluralitas adalah sebuah
keniscayaan, bahwa toleransi adalah salah satu ciri orang memilki pengetahuan
yang tinggi.
Muhammad Quraish Shihab termasuk salah satu Pemikir islam yang terarah
pada kontribusinya dalam bidang tafsir Al-Qur’an sebagaimana yang dikatakan
oleh Howard Vederspiel, pendidikan yang dilakukan Quraish Shihab hingga beliau
mengkhususkan diri pada spesialisasi ilmu-ilmu Al-Qur‟an dan tafsir merupakan
pendidikan yang terarah hingga ia terdidik lebih baik dibandingkan penulis-penulis
yang terdapat dalam popular Indonisian Literature of The Qoran.10
Layaknya intelektual muslim yang memiliki sejarah panjang dalam
pendidikannya, Muhammad Quraish shihab mengawali pendidikannya Mulai dari
pendidikan formal sekolah dasar hingga SMP kelas 2 diujung padang, lalu Quraish
Shihab melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di
Pondok Pesantren Darul-Hadist Al-Faqihiyah. Untuk lebih memantapkan studi
keislamannya, Abdurrahman Shihab memasukkan Quraish shihab ke Kairo, Mesir,
dan di terima di kelas II Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas
Al-Azhar pada tahun 1958. Kemudian melanjutkan pendidikannya S2 di fakultas
yang sama, dan pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir
Al-Quran dengan tesis berjudul Al-I‟jaz Al-Tasyi‟iy li Al-Qur‟an Al-Karim.

8
Islah Gusmian, Khasanah Tafsir Indonesia , (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 80
9
M. Quraish Shihab, Sunni Syi’ah Bergandengan Tangan, mungkinkah?Kajian atas Konsep Ajaran Dan
Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 2.
10
Howard vederspiel, popular indonisian literature of the qoran (New york: Cornel modern Indonesia project,
1994). Hlm 72

5
Sepulangnya dari pengembaraan intelektual di Mesir ke Ujung Padang, Quraish
Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan
Kemahasiswaan di IAIN Alaudin, Ujung Padang. Selain itu, beliau juga diserahi
jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi
Swasta, maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesian
Timur dalam pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, beliau juga sempat
melakukan berbagai penelitian. Antara lain, penelitian dengan tema “Penerapan
Kerukunan Hidup Beragam di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf
Sulawesi Selatan”.
Merasa tidak puas dengan pendidikan master S2, Pada tahun 1980 Quraish
Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya ke almamaternya yang
lama, Universitas Al-Azhar. Kemudian pada tahun 1982, dan beliau berhasil
menyelesaikannya dengan disertasi berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqᾱ‟iy,
Tahqiq wa Dirᾱsah, dan berhasil meraih gelar doktor bidang ilmu-ilmu Al-Quran
dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I.11
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas
Ushuludin dan Fakultas Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu
di luar kampus dia juga dipercayai untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain:
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat sejak tahun 1984, anggota Lajnah
Pentashihan Al-Quran Departemen Agama (sejak tahun 1984) dan Anggota Badan
Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak tahun 1989. Ia juga aktif dalam
kepengurusan ikatan cendekiawan muslim Indonesia (ICMI), perhimpunan-
perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah dan konsorsium ilmu-ilmu agama Departemen
pendidikan Nasional.12
Pada tahun 1992, Quraish Shihab mendapat kepercayaan sebagai rektor IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta setelah sebelumnya menjabat sebagai pembantu
Rektor bidang akademik. Lalu pada tahun 1998, Quraish Shihab diangkat oleh
presiden Soeharto sebagai menteri Agama RI kabinet Pembangunan VII. Namun
hal itu hanya berlangsung dua bulan saja karena terjadi resistensi yang kuat
terhadap soeharto. Akhirnya pada Mei 1998, gerakan reformasi yang dipimpin oleh
tokoh seperti Mohammad Amien Rais, bersama para mahasiswa berhasil

11
Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 236.
12
Endad Musaddad, “Metode dan Corak Tafsir Quraish Shihab: Telaah buku atas Buku Wawasan al-Qur’an”,
jurnal al-Qalam. Vol. 21 No. 100, Hal. 60

6
menjatuhkan kekuasaan Soeharto yang telah berusia 32 tahun. Jatuhnya Soeharto
sekaligus membubarkan kabinet yang baru dibentuknya tersebut, termasuk posisi
Menteri Agama yang dipegang Quraish Shihab.
Tidak berapa lama setelah kejatuhan Soeharto, pada masa pemerintahan
Presiden B.J. Habibie, Quraish mendapat kepercayaan sebagai Duta Besar RI di
Mesir , merangkap untuk negara Jibouti dan Somalia. Sepulangnya dari kampung
halaman untuk kedua kalinya setelah menyelesaikan tugas negara sebagai Duta
Besar, Quraish Shihab aktif dalam berbagai kegiatan. Ia membentuk lembaga
pendidikan dan studi tentang Al-Qur’an bernama Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) di
Jakarta. Selain itu, untuk menerbitkan karya-karyanya, ia juga mendirikan penerbit
Lentera Hati (nama yang diambil dari salah satu judul bukunya).13
2. Karya-karya Muhammad Quraish Shihab
Quraish Shihab adalah ulama-pemikir yang sangat produktif melahirkan karya tulis.
Selain itu, ia sangat konsisten pada jalurnya, yaitu pengkajian Al-Qur’an dan tafsir.
Hampir seluruh karyanya berhubungan dengan masalah-masalah Al-Qur’an dan
tafsir. Hampir setiap karyanya pula mendapat sambutan dari masyarakat dan
menjadi best seller serta mengalami beberapa kali cetak ulang. Dalam buku ini,
karya-karyanya yang berkaitan denganAl-Qur’an dan tafsir akan penulis paparkan.
Di antaranya adalah:
a. Membumikan Alquran (1992)
b. Lentera Hati (1994)
c. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (1996)
d. Mukjizat Al-Qur’an (1997)
e. Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surah-surah Pendek Berdasarkan Urutan
Turunnya Wahyu (1997)
f. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an (2000)
g. Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (2006)
h. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (2000)
i. Logika Agama (2005)
j. Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Edisi Revisi 2008)14

13
Muhammad Iqbal, Metode penafsiran Alquran Quraish Shihab, Jurnal Tsaqafah, Vol, 6 No, 2: Oktober,
2010. Hlm 251
14
Ibid. 252-261

7
B. Telaah Tafsir Al-Misbah
1. Latar belakang penulisan tafsir Al-Misbah
Sebelum menjelaskan latar belakang bagaimana Quraish Shihab menuliskan
tafsirnya dalam jumlah 15 volume, ada baiknya kita mengenali alasan kenapa
tafsir tersebut dinamakan dengan Al-Mishbah. Dari segi bahasa, Al-Mishbah
berarti “lampu, pelita atau lentera”. Hal itu mengindikasikan bahwa makna
kehidupan dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia semuanya
diterangi oleh cahaya al-Quran. Penulsinya mencita-citakan agar al-Quran
semakin membumi dan kandungannya dapat dipahami oleh pembacanya.15
Terdapat beberapa alasan kenapa Tafsir Al-Mishbah ditulis, yaitu sebagai
berikut: pertama, memberikan langkah mudah bagi umat Islam dalam memahami
isi kandungan ayat-ayat al-Quran dengan jalan menjelaskan secara rinci tentang
pesan apa yang dijelaskan oleh al-Quran, serta menjelaskan tema-tema yang
berkaitan dengan perkembangan kehidupan manusia. Karena menurutnya,
walaupun banyak orang-orang yang berminat memahami pesan-pesan yang
terdapat dalam al-Quran, namun ada kendala baik dalam waktu, keilmuan dan
referensi. Kedua, kekeliruan umat Islam dalam memaknai fungsi al-Quran.
Misalnya, tradisi membaca Surat Yasin yang dibaca berkali-kali, tetapi tidak
memahami apa yang mereka baca berkali-kali itu. Indikasi tersebut semakin
menguat dengan banyaknya buku-buku tentang fadilah-fadilah ayat-ayat tertentu
dalam buku-buku bahasa Indonesia. Dari kenyataan tersebut perlunya
menjelaskan pesan-pesan al-Quran secara lebih rinci dan mendalam.
Ketiga, kekeliruan akademisi yang kurang memahami hal-hal ilmiah seputar
ilmu al-Quran, banyak dari mereka yang tidak memahami sistematika penulisan
al-Quran yang sebenarnya memiliki aspek pendidikan yang sangat menyentuh.
Dan keempat, adanya dorongan dari umat Islam Indonesia yang menggugah hati
dan membulatkan Quraish Shihab untuk menuliskan tafsirnya. Hal-hal demikian
yang mendorong beliau untuk menuliskan karya tafsirnya tersebut.16
Disisi lain, buku tafsir ini juga sebagai tanggapan terhadap kritikan
masyarakat yang menilai karya Muhammad Quraish Shihab sebelumnya “Tafsir
al-Qur’an al-Karim” dianggap bertele-tele dalam uraian tentang pengertian kosa

15
Mafri Amin dan Lilik Umi Katsum, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat: LP. UIN Jakarta, 2011), hal. 251.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), vol. 1, hal 10.

8
kata atau kaedah-kaedah yang disajikan. Maka, tafsir al-Mishbah ini tidak lagi
menguraikan pengertian penekananya dari kitab tafsir sebelumnya.17
2. Metode Tafsir Al-Misbah
Dalam menulis tafsir al-Misbah, metode tulisan M. Quraish Shihab lebih
bernuansa kepada tafsir tahlili. Ia menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dari segi
ketelitian redaksi kemudian menyusun kandungannya dengan redaksi indah yang
menonjolkan petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan manusia serta menghubungkan
pengertian ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang terjadi dalam
masyarakat. Uraian yang ia paparkan sangat memperhatikan kosa kata atau
ungkapan al-Qur’an dengan menyajikan pandangan pakar-pakar bahasa,
kemudian memperhatikan bagaimana ungkapan itu dipakai dalam al-Qur’an.18
Dalam berbagai karyanya, M. Quraish Shihab lebih memilih metode maudlu’i
dalam menyajikan pemikirannya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini
dilakukan karena metode maudlu’i (tematik) ini dapat mengungkapkan pendapat-
pendapat al-Qur’an al-karim tentang berbagai masalah kehidupan, dan juga
menjadi bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan iptek dan
kemajuan peradaban masyarakat. Berbeda dengan hasil karyanya yang fenomenal
tafsir al-Mishbah beliau menggunakan metode tahlili.19
3. Corak Tafsir Al-Misbah
Tafsir al-Misbah cenderung bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan (adabi al-
ijtimā’i) yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur'an dengan
cara mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur'an secara teliti. Kemudian
menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur'an tersebut dengan bahasa yang
indah dan menarik, dan seorang mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-
Qur'an yang dikaji dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada. Corak
penafsiran ini ditekankan bukan hanya ke dalam tafsir lughawi, tafsir fiqh, tafsir
ilmi dan tafsir isy'ari akan tetapi arah penafsirannya ditekankan pada kebutuhan
masyarakat dan sosial masyarakat yang kemudian disebut corak tafsir Adabi al-
Ijtimā'i.20

17
Tri Wahyuni, Makna Faqir Dalam Al-Qur’an Menurut M. Quraish Shihab, Penterj: Surya A. Jarah, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada,1994) , hlm.7
18
Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur’an al-Karim ( Bandung: PT Hidakarya Agung, 2004), hlm. 4.
19
Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsir wa al Mufassirun, vol. 3 (Dar al-Kutub al-Hadithah), 213.
20
M. Alfatih Suryadilaga (dkk), Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras 2005), 138.

9
Corak tafsir al-Misbah merupakan salah satu yang menarik pembaca dan
menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur'an serta memotivasi untuk menggali
makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur'an. Ada tiga karakter yang harus dimiliki
oleh sebuah karya tafsir bercorak sastra budaya dan kemasyarkatan. Pertama,
menjelaskan petunjuk ayat al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan
masyarakat dan menjelaskan bahwa al- Qur'an itu kitab suci yang kekal sepanjang
zaman. Kedua, penjelasan-penjelasnnya lebih tertuju pada penanggulangan
penyakit dan masalah-masalah yang sedang mengemuka dalam masyarakat, dan
ketiga, disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami dan indah didengar. 21
Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab memenuhi ketiga persyaratan
tersebut. Kaitannya dengan karakter yang pertama, tafsir ini selalu menghadirkan
penjelasan akan petunjuk dengan menghubungkan kehidupan masyarakat dan
menjelaskan bahwa al-Qur'an itu kitab suci yang kekal sepanjang zaman.
Kemudian karakter kedua, Quraish Shihab selalu mengakomodasi hal-hal yang
dianggap sebagai problem di dalam masyarakat. Kemudian yang ketiga dalam
penyajiannya, tidak dapat diragukan, ia menggunakan bahasa yang membumi. M.
Quraish Shihab menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh kalangan
umum khususnya masyarakat Indonesia. Sehingga jika dibandingkan dengan
tulisan-tulisan cendekiawan muslim Indonesia lainnya.
Tafsir Al Mishbah secara garis besar memiliki corak kebahasaan yang cukup
dominan. Hal ini bisa difahami karena memang dalam tafsir bil ra’yi pendekatan
kebahasaan menjadi dasar penjelasannya dalam artian dengan cara menggunakan
fenomena sosial yang menjadi latar belakang dan sebab turunya ayat, kemampuan
dan pengetahuan kebahasaan, pengertian kealaman dan kemampuan
Intelegensia.22
4. Sumber Rujukan dan pendekatan tafsir Al-Misbah
Rujukan Tafsir yang dipakai oleh Muhammad Quraish Shihab yaitu sejumlah
tafsir yang menjadi katagori tafsir kontemporer antara lain :
a. tafsir Al-Manar
b. Fi Dzilalil Qur‟an,
c. Al- Mizan

21
Said Agil Husein al-Munawar, Al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press,
2002), hlm. 71
22
Abdul Mu’in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm.99.

10
c. persoalan Ahl al-Kitab ia selalu merujuk pada kitab perjanjian lama dan
perjanjian baru dan pendapat para pakar dibidangnya.23
M. Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi
dengan pendekatan kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna
tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam
kehidupan nyata. Pendekatan kontekstual adalah pendekatan yang berorientasi
pada konteks penafsir al-Qur’an. Bentuk pendekatan ini menggunakan
kontekstualitas dalam pendekatan tekstual yaitu latar belakang sosial historis di
mana teks muncul dan diproduksi menjadi variable penting. Serta ditarik kedalam
konteks penafsir di mana ia hidup dan berada, dengan pengalaman budaya, sejarah
dan sosialnya sendiri. Oleh karena itu, sifat gerakannya adalah dari bawah ke atas,
yaitu dari konteks menuju teks.24
Ada beberapa prinsip yang dipegangi oleh M. Quraish Shihab dalam karya
tafsirnya, baik tahlili maupun maudhu’i, diantaranya adalah bahwa al-Qur’an
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam menafsirkan beliau tidak
luput dari pembahasan ilmu al-munasabah ayat yang tercermin dalam enam hal:
a. keserasian kata demi kata dalam satu surah.
b. keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat.
c. keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya.
d. keserasian uraian awal/mukadimah satu surah dengan penutupnya.
e. keserasian penutup surah dengan uraian awal/mukadimah surah sesudahnya.
f. Keserasian tema surah dengan nama surah.
5. Sistematika Tafsir Al-Misbah
a. Menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah,
atau tema pokok surah. M. Quraish Shihab memulai setiap pembahasan
dengan menjelaskan nama surah, latar belakang penamaan surah tersebut,
serta tema pokok dalam pembahasan surah tersebut.
b. Mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an Setelah menjelaskan surah yang akan
dibahas.
c. Setelah menghidangkan beberapa ayat, maka Quraish Shihab akan
memberikan terjemahan ayat-ayat tersebut, kadangkala dilakukan penyisipan-

23
Endad Musaddad, “Metode dan Corak Tafsir Quraish Shihab,,,,,, hlm, 72
24
Islah Gusmian, Khasanah Tafsir Indonesia,,,,,,, hlm. 249

11
penyisipan kata atau kalimat, karena menurutnya, daya bahasa al-Qur’an lebih
cendrung kepada I’jaz (penyingkatan) daripada Ithnab (memperpanjang kata).
d. Menjelaskan kosa kata apabila erkaitan dengan penekanan kandungan
terhadap ayat-ayat.
e. Mengemukakan Asbab al-Nuzul Jika ayat tersebut mempunyai Asbab al-
Nuzul (sebab-sebab turunya ayat).
6. Kelebihan dan kekurangan Tafsir Al-Misbah
Di antara keistimewaan tafsir dengan corak kebahasaan adalah pada pemahaman
yang seksama, karena tafsir dengan corak kebahasaan menekankan pentingnya
penggunaan bahasa dalam memahami al-Qur’an, terjaminnya ketelitian redaksi
ayat dalam penyampaian pesan-pesan yang dikandung al-Qur’an, kecilnya
kemungkinan terjebaknya mufassir dalam subjektifitas yang terlalu jauh, karena
pendekatan ini mengikat mufassir dalam bingkai pemahaman tekstual ayat-ayat
al-Qur’an. Sementara itu diantara kelemahan dari tafsir dengan corak kebahasaan,
adalah: Kemungkinan terabaikannya makna-makna yang dikandung oleh Al-
Qur’an, karena pembahasan dengan pendekatan kebahasaan menjadikan para
mufassir terjebak pada diskusi yang panjang dari aspek bahasa. Di samping
itu,seringkali latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul dan urutan turunnya
ayat, termasuk ayat-ayat yang berstatus nasikh wa mansukh, hampir terabaikan
sama sekali. Sehingga menimbulkan kesan seolah-olah Al-Qur’an tidak turun
dalam ruang dan waktu tertentu.
Tafsir Al-Misbah ini tentu saja tidak murni hasil penafsiran (ijtihad) Quraish
Shihab saja. Sebagaimana pengakuannya sendiri, banyak sekali ia mengutip dan
menukil pendapat-pendapat para ulama, baik klasik maupun kontemporer. Yang
paling dominan tentu saja kitab Tafsîr Nazm al-Durar karya ulama abad
pertengahan Ibrahim ibn ‘Umar al-Biqa‘i (w. 885/1480). Ini wajar, karena tokoh
ini merupakan objek penelitian Quraish ketika menyelesaikan program Doktornya
di Universitas Al-Azhar. Muhammad Husein Thabathab’i, ulama Syi‘ah modern
yang menulis kitab Tafsîr al-Mîzân lengkap 30 juz, juga banyak menjadi rujukan
Quraish dalam tafsirnya ini. Dua tokoh ini kelihatan sangat banyak mendapat
perhatian Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbahnya. Selain al-Biqa‘i dan
Thabathaba’i, Quraish juga banyak mengutip pemikiranpemikiran Muhammad at-

12
Thantawi, Mutawalli as-Sya‘rawi, Sayyid Quthb dan Muhammad Thahir ibn
Asyur.25
7. Contoh penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah
a. Penciptaan manusia dalam surat al-An’am ayat 2
ٰٓ َ‫هُ َو الَّ ِذيْ َخلَقَ ُك ْم ِّم ْن ِط ْي ٍن ثُ َّم ق‬
َ‫ضى اَ َج اًل ۗ َواَ َج ٌل ُّم َسماى ِع ْند َٗه ثُ َّم اَ ْنتُ ْم تَ ْمتَرُوْ ن‬
“ Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya ajal
dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya, kemudian kamu masih
terus-menerus ragu-ragu.”
Setelah menjelaskan kekuasaan-Nya mencipta langit dan bumi, gelap dan
terang, ditegaskan-Nya tentang penciptaan manusia dari tanah yang
bercampur air. Atau dengan kata lain, setelah menyebut penciptaan alam raya
yang besar, kini disebutnya alam kecil, yakni manusia; lalu bila ayat lalu
menegaskan bahwa Dia yang menciptakan bumi, maka ayat ini menyebut
penciptaan manusia dari bagian bumi itu, yakni tanah, karena
manusia tercipta darinya. Apalagi salah satu sebab yang membuat mereka
menolak atau meragukan adanya kebangkitan setelah kematian adalah
terkubur dan bercampurnya jasad manusia dengan tanah. Ayat ini meluruskan
pandangan itu dengan mengingatkan asal kejadian manusia dari, (‫ ) طين‬thin,
yakni tanah yang bercampur air, bukan sekadar tanah, karena dengan demikian
percampuran tersebut lebih mantap, dan dengan demikian pula pemilahan dan
pemisahannya dalam pandangan manusia akan lebih sulit. Namun kendati sulit
dalam pandangan manusia, ia mudah bagi Allah.
Dialah, yakni Allah swt. yang menciptakan Kamu, wahai manusia, dari
tanah yang bercampur air. Dan, karena biasanya sesuatu yang terbuat dari
bahan dan kondisi yang sama, maka sama pula masa keberadaan dan lamanya
bertahan, maka untuk menunjukkan betapa kuasa Allah swt., ditegaskan-Nya
dengan menggunakan l&ta tsumma, yakni sesudah itu, ditentukannya bagi
masing-masing makhluk hidup, ajal, yakni kematian atau masa akhir
keberadaan di pentas bumi ini. Dan di samping ajal itu, ada lagi suatu ajal yang
lain yang juga ditentukan oleh-Nya, yaitu ajal untuk kebangkitan setelah
kematian, tetapi ini ada di sisi-Nya, yakni dalam pengetahuan-Nya, dan hanya
Dia sendirilah yang mengetahui kapan datangnya. Kemudian setelah aneka

25
M.Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 2008), 10.

13
bukti dihamparkan-Nya, Kamu hai manusia yang kafir, masih memaksakan
diri terus-menerus ragu-ragu tentang keniscayaan berbangkit itu.
Ayat ini menyatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah. Ini dalam arti
bahwa makanan yang dimakannya terdiri dari banyak hal yang bersumber dari
tanah, atau bahwa penciptaan dari tanah itu dalam arti penciptaan asal-usulnya,
yakni Adam as. Pendapat kedua ini mengisyaratkan adanya hubungan dan
persamaan setiap manusia yang lahir kemudian, dengan manusia pertama itu.
Adam as. sebagai manusia memiliki fitrah dan naluri kemanusian, dan naluri
itu dimiliki pula oleh anak cucunya, serta menurun darinya. Itulah hubungan
dan persamaan semua manusia dengan Adam as. dan karena Adam tercipta
dari tanah, maka tidak keliru setelah adanya persamaan dan hubungan bila
dikatakan bahwa semua manusia tercipta dari tanah.
Ayat ini menegaskan bahwa, keadaan seluruh manusia dikuasai
sepenuhnya oleh Allah swt.; karena Dia yang menciptakannya sejak semula.
Bahkan sejak awal kejadian manusia pertama yang Dia ciptakan dari tanah
yang bercampur air, sampai dengan manusia terakhir di pentas bumi ini. Dia
yang menguasai mereka semua sejak detik awal dari wujudnya sampai dengan
ajalnya yang melampaui kehidupan dunia, menuju masa yang hanya Allah
sendiri yang mengetahuinya.
Dalam beberapa ayat yang berbicara tentang reproduksi manusia
ditemukan sejumlah kata yang berbeda, seperti )‫ (تراب‬turab/tanah, (‫) ماء مهين‬
ma’in mahm/air yang hina, ( ‫ )طين‬thin/tanah bercampur air, dan lain-lain.
Demikian juga halnya dengan kejadian manusia pertama. Suatu ‘kali
digambarkan dengan turab/tanah, di kali lain dengan thin/tanah bercampur air,
selanjutnya ) ‫ (حمإ مسنون‬hama’in masnun/ liat kering yang berasal dari lumpur
hitam yang diberi bentuk, kemudian (‫كالفخار‬ ‫(صلصال‬ shalshalin
kalfakhkhar/tanah kering seperti tembikar. Informasi yang beraneka ragam itu
tidak saling bertentangan, karena masing-masing berbicara tentang tahapan
proses kejadian manusia yang berbeda-beda.26
Ketika para pakar menganalisis kandungan tanah, mereka menemukan
sekian banyak unsur, dan sebagian unsur tersebut dikandung oleh jasmani

26
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), jilid 4, hlm 9-11

14
manusia. Demikianlah Allah membuktikan kebenaran informasi-Nya walau
melalui penelitian orang-orang yang tidak percaya kepada al-Qur’an.
Penggunaan bentuk nakirah/indefinit untuk kata ( ‫أجل‬ ) ajal
menunjukkan, bahwa ajal manusia tidak dapat diketahui manusia kapan
tibanya secara pasti.
Selanjutnya, ayat di atas mengisyaratkan dua macam ajal. Ini juga
dipahami dari penggunaan bentuk nakirah/indefinit kata ajal. Dalam kaidah
dinyatakan, “Apabila kata yang sama berulang dalam bentuk nakirah, maka
kata pertama berbeda maknanya dengan yang kedua.” Di atas telah
dikemukakan, bahwa kata ajal pertama adalah kematian setiap pribadi dan ajal
kedua adalah masa kebangkitan, atau antara kematian dan masa kebangkitan.
Ada juga yang memahami ajal pertama dalam arti tidur dan ajal kedua adalah
mati, atau ajal pertama adalah ajal generasi terdahulu dan ajal kedua ajal
generasi yang datang kemudian. Atau ajal pertama ajal masing-masing yang
telah lewat dan ajal kedua adalah yang belum dilalui. Pendapat terkuat tentang
arti ajal adalah ajal kematian dan ajal kebangkitan, karena biasanya al-Qur’an
menggunakan kata ajal bagi manusia dalam arti kematian. Di sisi lain, ayat ini
dikemukakan dalam konteks pembuktian tentang keesaan Allah dan
keniscayaan hari Kebangkitan, sehingga sangat wajar kata ajal menunjuk
kepada kematian dan hari Kebangkitan itu.
Firman-Nya: ( ‫‘ ) عنده‬indahu/di sisi-Nya, memberi isyarat bahwa ajal
kedua itu sekali-kali tidak dapat diketahui manusia. Ajal pertama (kematian)
seseorang, paling tidak dapat diketahui oleh orang lain yang masih hidup
setelah kematian seseorang, sedangkan masa antara kematian dan
kebangkitan. lebih-lebih hari Kebangkitan tidak dapat diketahui oleh siapa
pun, baik di dunia maupun di akhirat kelak. 27
Demikian Thahir Ibn ‘Asyur memahami kandungan makna ‘indahu/di
sisi-Nya. Pendapatnya ini serupa dengan pendapat Thabathaba’i, dan kedua
ulama ini ajitara lain menguatkannya dengan firman Allah: “Dan (ingatlah)
akan hari (yang di waktu itu) .Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa
di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) kecuali hanya
sesaat saja di siang hari” (QS. Yunus [10]: 45), dan firman-Nya: “Dan pada

27
Ibid.... hlm 12

15
hari terjadinya Kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; mereka tidak
berdiam (dalam kubur)melainkan sesaat (saja)” (QS.4ar-Rum [30]: 55); serta
firman-Nya pada QS. al-Mu’minun [23]: 112-114: Ditanyakan kepada orang-
orang kafir: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka
menjawab: “Kami tinggal sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada
orang-orangyang menghitung. ’’Allah berfirman: ‘Kamu tidak tinggal (di
bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui. ”
Pendapat lain dikemukakan Thabathaba’i tentang makna kedua ajal di
atas. Dengan mengutip pendapat ar-llaghib al-Ashfahani tentang arti ajal,
yakni waktu tertentu atau masa berakhirnya sesuatu, ulama bermazhab Syi'ah
itu menjelaskan bahwa ajal ada dua macam. Ajal secara umum yang
tidak diketahui kapan datangnya, dan ajal yang berada di sisi Allah, dan ini
tidak dapat berubah berdasar pengaitannya dengan kata ‘indahu.
Hubungan antara ajal yang pertama dan ajal kedua, serupa dengan
hubungan antara sesuatu yang mudak dan sesuatu yang bersyarat. Sesuatu
yang bersyarat bisa saja tidak terjadi jika syaratnya tidak terpenuhi, berbeda
dengan sesuatu yang mutlak tanpa syarat. Dengan memperhatikan firman-Nya
yang menyatakan: “Bagi tiap-tiap ajal ada Kitab (ketentuan). Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab” (QS. ar-Ra‘d [13]: 38-
39), Thabathaba’i menyatakan bahwa ajal yang ditentukan di sisi-Nya, adalah
apa yang ada dalam Ummu al-Kitab itu, sedangkan ajal pertama yang tidak
disertai dengan kata ‘indahu/di sisi-Nya, adalah ajal yang ditentukan tetapi
dapat dihapus atau tidak oleh Allah swt. Ini dinamai oleh Thabathaba’i dengan
lauh al-mahwu wa al-itsbat, yakni Iauh yang dapat tetap dan dapat juga
berubah. Apa yang terdapat dalam Ummu al-Kitab adalah peristiwa-peristiwa
yang pasti terjadi dalam kenyataan yang berdasar kepada sebab umum yang
tidak dapat mengalami perubahan, sedangkan yang terdapat dalam Lauh al-
mahwu wa al-itsbat, adalah peristiwa-peristiwa yang bersandar pada sebab-
sebab yang tidak atau belum sempurna, sehingga bisa saja tidak terjadi karena
adanya faktor-faktor yang menghalangi kejadiannya. 28

28
Ibid..... hlm 13

16
Thabathaba’i mengilustrasikan hal ini dengan sinar matahari. Kita
mengetahui tulisanya bahwa malam akan berakhir beberapa saat lagi dan
matahari akan terbit meaayinari bumi, tetapi apa yang kita ketahui itu bisa saja
tidak demikian, bila ada awan yang menutupi atau karena posisi bulan
terhadap matahari menghalangi sampainya cahaya sang surya ke bumi
(gerhana), atau faktor lainnya. Adapun jika matahari telah berada di ufuk dan
tidak ada faktor-faktor penghalang menyertai kehadirannya, maka ketika itu
pastilah ia menyinari permukaan bumi.
Pembentukan diri manusia, dengan segala potensi yang dianugerahkan
Allah, menjadikan dia dapat hidup dengan normal, bisa jadi sampai seratus
atau seratus dua puluh tahun; inilah yang tertulis dalam Lauh al-mahwu wa al-
itsbat. Tetapi, semua bagian dari alam raya mempunyai hubungan dan
pengaruh dalam wujud atau kelangsungan hidup makhluk. Bisa jadi, faktor-
faktor dan penghalang-penghalang yang tidak diketahui jumlahnya itu saling
mempengaruhi dalam bentuk yang tidak kita ketahui, sehingga tiba ajal
sebelum berakhir waktu kehidupan normal yang mungkin bisa sampai pada
batas 100 atau 120 tahun itu. Karena itu, bisa jadi ajal pertama berbeda dengan
ajal kedua, dan bisa jadi juga, jika tidak ada faktor penghalang, ajal kedua
sepenuhnya sama dengan ajal pertama. Namun demikian, yang pasti dan tidak
berubah adalah ajal yang ditetapkan Allah dalam Ummu al-Kitab itu.
Apa yang dikemukakan di atas, oleh sementara ulama Ahlus Sunnah
dinamai qadha’ mu'allaq dan qadhd’ mubram. Ada ketetapan Allah yang
bergantung dengan berbagai syarat yang bisa jadi tidak terjadi karena berbagai
faktor, antara lain karena doa, dan ada juga ketetapan-Nya yang pasti yang
tidak dapat berubah sama sekali. Ajal manusia yang dinyatakan-Nya tidak
dapat diajukan atau diundurkan adalah ajal yang ada dalam Ummu al-Kitab
dan yang sifatnya mubram. Dari sini kita dapat berkata bahwa, manusia
memiliki keterlibatan dalam panjang atau pendeknya usia, atau dengan istilah
lain, manusia dapat berupaya untuk memperpanjang harapan hidupnya dengan
berusaha menghindari faktor-faktor yang dapat menghalangi berlanjutnya
usianya dalam batas kehidupan yang normal (misalnya 100 - 120 tahun).
Dalam konteks ini Nabi saw. bersabda: “Siapa yang ingin diperluas rezekinya
dan diperpanjang usianya maka hendaklah dia bersilaturrahim. Silaturrahim
menjadikan hidup manusia dilipud oleh keharmonisan dan jauh dari

17
ketegangan, sedang ketegangan, yakni stress merupakan salah satu faktor yang
dapat mempercepat tibanya ajal.29

29
Ibid......hlm 14

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muhammad Quraish Shihab adalah salah satu nama yang tersohor dalam deretan tokoh-
tokoh cendekiawan dan pemikir Islam Indonesia yang lahir di Rappang Sulawesi selatan.
Beliau juga merupakan seorang ulama serta pendidik yang sangat berjasa bagi
perkembangan Ilmu pengetahuan Indonesia khususnya bagi dunia islam bangsa Indonesia.
Karya yang sangat monumental dan juga merupakan karya terbesar Quraish Shihab yaitu
Tafsir Al-Misbah.
Dalam menulis tafsir al-Misbah, metode tulisan M. Quraish Shihab lebih bernuansa
kepada tafsir tahlili. Ia menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dari segi ketelitian redaksi
kemudian menyusun kandungannya dengan redaksi indah yang menonjolkan petunjuk al-
Qur’an bagi kehidupan manusia serta menghubungkan pengertian ayat-ayat al-Qur’an
dengan hukum-hukum alam yang terjadi dalam masyarakat. Uraian yang ia paparkan sangat
memperhatikan kosa kata atau ungkapan al-Qur’an dengan menyajikan pandangan pakar-
pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana ungkapan itu dipakai dalam al-Qur’an.
Tafsir al-Misbah cenderung bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan (adabi al-
ijtimā’i) yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur'an dengan cara
mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur'an secara teliti. Kemudian menjelaskan
makna-makna yang dimaksud al-Qur'an tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik,
dan seorang mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur'an yang dikaji dengan
kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada. Corak penafsiran ini ditekankan bukan
hanya ke dalam tafsir lughawi, tafsir fiqh, tafsir ilmi dan tafsir isy'ari akan tetapi arah
penafsirannya ditekankan pada kebutuhan masyarakat dan sosial masyarakat yang
kemudian disebut corak tafsir Adabi al-Ijtimā'i.
Sumber rujukan yang digunakan menggunakan tiga sumber yaitu Tafsir al-manar, tafsir
fi al-dzilal quran, al-mizan dan persoalan ahl kitab merujuk pada kitab perjanjian lama dan
perjanjian baru dan pendapat para pakar dibidangnya. Sedangkan pendekatan yang beliau
gunakan dalam menafsirkan alquran yaitu Pendekatan kontekstual yang berorientasi pada
konteks penafsir al-Qur’an.

19
DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah, M. 2000. “Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran
Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Melenium Ketiga”, al-Jami’ah: Journal of Islamic
Studies, No. 65.
Quraish Shihab, M. 2002. “Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran”.
Vol. 2. Jakarta: Lentera Hati.
Quraish Shihab, M. 1996 . “Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i Atas Perbagai Persoalan
Umat”. Bandung: Mizan,
Wartini Atik, 2014. “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah”, Hunafa:
Jurnal Studia Islamika, Vol. 11, No. 1.

Anwar Mauluddin, dkk. 2015. “Cahaya, Cinta dan Canda” .Tangerang : Lentera Hati.

Quraish Shihab, M. 2007 ”Membumikan al-Qur’an”. Bandung: Mizan

Nata Abuddin, 2005. “Tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Indonesia”, Jakarta: Raja Grafindo
Prees
Gusmian Islah, “Khasanah Tafsir Indonesia “.Jakarta: Teraju.

Quraish Shihab. M. 2007 “Sunni Syi’ah Bergandengan Tangan, mungkinkah?Kajian atas


Konsep Ajaran Dan Pemikiran”.Jakarta: Lentera Hati.
vederspiel Howard, 1994. “ popular indonisian literature of the qoran”. New york: Cornel
modern Indonesia project.
Amin Ghafur Saiful. 2008 “Profil Para Mufassir al-Qur’an “.Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani.
Musaddad Endad, “Metode dan Corak Tafsir Quraish Shihab: Telaah buku atas Buku Wawasan
al-Qur’an”, jurnal al-Qalam. Vol. 21 No. 100.
Iqbal Muhammad, 2010. “Metode penafsiran Alquran Quraish Shihab”. Jurnal Tsaqafah, Vol,
6 No, 2.
Amin Mafri dan Umi Katsum Lilik, “Literatur Tafsir Indonesia “.Ciputat: LP. UIN Jakarta.
Wahyuni Tri , 1994. “Makna Faqir Dalam Al-Qur’an Menurut M. Quraish Shihab “. Penterj:
Surya A. Jarah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yunus Mahmud, 2004. “Tafsir al-Qur’an al-Karim”. Bandung: PT Hidakarya Agung.
Husain al-Dhahabi Muhammad, “al-Tafsir wa al Mufassirun”, vol. 3. Dar al-Kutub al-
Hadithah
Alfatih Suryadilaga, M. (dkk), Metodologi Ilmu Tafsir”.Yogyakarta: Teras.

20
Husein al-Munawar Said Agil, 2002. “Al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki”.
(Jakarta: Ciputat Press.
Quraish Shihab, M. 2008 .“Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan.” Bandung:
Mizan.

21

Anda mungkin juga menyukai