Anda di halaman 1dari 91

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab yang memancar darinya aneka

ilmu keislaman, karena kitab suci itu mendorong untuk

melakukan pengamatan dan penelitian. Kitab suci ini juga

dipercaya oleh umat Islam sebagai kitab perujuk yang

hendaknya dipahami. Konteks itulah lahir usaha untuk

memahaminya, lalu usaha dan hasil usaha itu membuahkan

aneka disiplin ilmu dan pengatahuan baru yang sebelumnya

belum dikenal atau terungkap1.

Tidak banyak tulisan berupa buku ataupun syair yang

memilik banyak pengaruh terhadap jiwa manusia yang

lebih luas dan lebih dalam selain Al-Qur’an.2dalam Al-


Qur’an di uraikan banyak sekali pemaparan secara global

dan masih menyimpan banyak rahasia yang sangat besar di

dalamnya, sehingga dalam prakteknya terdapat banyak

sekali perbedaan yang bermacam-macam yang dipengaruhi

oleh pembacaan serta pengamalannya.

1
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 5.
2
W. Montgomeri Watt, Pengantar Qur’an Terj. Lilian D. Tedjasudjana
(Jakarta: Inis,1998), Pengantar

1
2

Al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat manusia yang

di dalamnya telah di atur prinsip-prinsip dasar segala

persoalan kehidupan manusia dan merupakan kitab

universal. Petunjuk ini merupakan sendi utama agama islam

sebagai way of life yang menjamin kebahagian hidup di

dunia dan akhirat nanti.3 Formulasi kalamullah dalam

bentuk tulisan yang diorientasikan bagi kemaslahatan

manusia. Manusia menerima teks secara deduktif dokrinal

yang berlaku dalam setiap teks-teks skriptual. Efeknya,

ketika Al-Qur’an telah menjadi mushaf, manusia

memposisikan sebagai sebagai objek penafsiran. Al-Qur’an

dari waktu ke waktu selalu mengalami gesekan dan

pergaulan dengan perjalanan peradaban manusia. Ketika

Al-Qur’an tetap mampu berdialektika dengan sekelilingnya.

Itulah implikasi dari universialitas makna teks tersebut.4


Universialitas makna serta elatisitas pemahaman

sebuah teks, dalam hal ini M.Quraisy Shihab memverifikasi

asbabun an nuzul sebagai perpaduan antara pelaku,

kejadian serta waktu. Selama ini, pemahaman akan ayat

3
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1994), 33.
4
Issa J. Boullata, ”Tafsir Al-Qur’an Modern: Studi Metode Penafsiran Bint Al-
Shati” Dalam Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bint Asy Syati’, Terj Ihsan Ali
Fauzi, (Bandung: Mizan, 1996), 15
3

seringkali hanya menekankan kepada peristiwa dan

mengabaikan waktu kapan terjadinya. Sehingga

mengakibatkan munculnya interprestasi searah teks tenpa

menghubungkan dengan realitas sosial yang melingkupi

objek aksiologisnya.5

Berdasarkan pendapat diatas, menawarkan sebuah

metodologi yang akan mengefektikan proses dialektis teks

Al-Qur’an dengan sosiokultural yang menyertainya, yaitu

ketika seorang menafsirkan teks Al-Qur’an maka setelah

makna dari teks tersebut diketahui, teks tersebut

dikembalikan kepada zamannya ketika teks di turunkan

sesuai dengan kondisi ruang dan waktu saat itu. Formulasi

makna yang diperoleh kemudian diturunkan dan

didialektikkan dengan psiko-sosio-kultural penafsir atau

pendengar yang bersangkutan dengan standar pertimbangan


tertentu, seperti universalitas serta mashlahat ‘ammah.

Maka implikasinya akan sejalan dengan kaidah fiqh yang

menerangkan bahwa “taghayyurul ahkam bi taghayyuriz-

zaman wal makan” perubahan suatu hukum karena

perubahan zaman dan tempat.6

5
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 89
6
Nurcholis Madjid,”Konsep Asbabun Nuzul: Relevansinya Bagi Pandangan
Historis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan, Dalam Budhy Munawar
4

Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur’an diturunkan

lima belas abad yang lalu persis di tengah-tengah

masyarakat Arab jahiliyah untuk bisa menjalani beragam

interaksi social dan melalui berbagai proses social sebagai

konsekuensi hidup bersama secara social-kolektif,7

kemudian dapat memperbaiki moralitas masyarakatnya

dengan berdialog secara argumentatif, bijak, dan juga untuk

menuju masyarakat yang berperadaban tinggi.

Oleh karena itu, turunnya ayat suci Al-Qur’an pada

masa Nabi disesuaikan dengan arah pembentukan dan

perkembangan masyarakat Islam menuju tatanan yang lebih

ideal, artinya ayat-ayat Al-Qur’an yang turun itu berdialog

dengan realitas yang sudah terbentuk. Atau dapat dikatakan

bahwa realitas tersebut mendahului atau paling tidak

beriringan dengan keberadaan ayat yang turun di bumi ini.


Jadi, kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat

waktu itu menjadi latar belakang turunnya ayat-ayat Al-

Qur’an8.

Rahman (Ed.) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah,( Jakarta:


Paramadina, 1994), 24
7
Rahendra Maya. Perspektif Al-Qur’an tentang Perubahan Sosial: Analisis
Penafsiran Term Al-Taghyir, Al-Ibtila’, Al-Tamhish, dan Al-Tamkin. (Al-
Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 03(01), 2018), 48.
8
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung: Mizan.2007), 88.
5

Hikmah terbesar Al-Qur’an diturunkan dari waktu ke

waktu, tema per tema, adalah untuk mempertimbangkan

kemampuan manusia yang terbatas dalam mencerna

kandungan ayat-Nya, juga dimaksudkan agar selaras dan

sejalan dengan kebutuhan objektif yang dibutuhkan

manusia9 dengan cara dibaca, direnungkan, didengarkan,

dan diperdengarkan, diperhatikan, serta diaktualisasikan

secara aplikatif.

Dalam memahami isi Al-Qur’an banyak berbagai

macam metode dan panduan yang dijadikan sebagai

patokan, diantara nya adalah kaidah tafsir yang menjadi

patokan sangat penting dalam memahami isi kandungan

ayat dan tafsir al-Quran. Sejak dahulu para pakar al-Quran

telah memberi perhatian menyangkut apa yang kemudian

dinamai kaidah-kaidah tafsir. Mereka telah mengisyaratkan


dan menghidangkan dalam karya-karya mereka, baik dalam

kitab-kitab tafsir dan Ilmu-ilmu al-Quran, maupun disiplin

ilmu lainnya seperti ushul fiqh, sekian banyak kaidah yang

berkaitan atau diadopsi oleh ilmu tafsir.

9
Umar Shihab. Kontekstualitas AlQur’an: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat
Hukum dalam Al-Qur’an.(Jakarta: Pena Madani, 2005), 22.
6

Penulisan kaidah-kaidah itu secara berdiri sendiri

baru dikenal jauh setelah generasi pertama umat Islam.

Ahmad bin Abdul Halim yang lebih dikenal dengan nama

Ibnu Taimiyah (661-728 H) dapat dicatat sebagai salah

seorang perintis penulisan kaidah-kaidah tafsir secara

berdiri sendiri. Tokoh ini menulis buku yang bernama

Mukaddimah Ushul at-Tafsir. Disana Ibnu Taimiyah

mengemukakan sekian persoalan yang dapat dinilai sebagai

kaidah seperti; sifat atau hakikat perbedaan ulama masa

lampau; cara penafsiran yang terbaik; persoalan sabab

nuzul, Isra’iliyat, dan sebagainya10.

Kaidah tafsir membantu seseorang menarik makna-

makna yang dikandung oleh kosakata dan rangkaian lafadz

atau kalimat-kalimat Al-Qur’an. Bahkan, ia membantunya

untuk menemukan makna-makna yang tidak secara lahiriah


dikandung oleh kosa kata atau kalimat Al-Qur’an sehingga

dapat mengantarnya mengungkap rahasia dan menjelaskan

kemusykilan yang boleh jadi timbul dari ungkapan-

ungkapan Al-Qur’an.

Memahami Al-Qur’an tidak semudah membalikan

telapak tangan. Kesulitan tersebut tidak hanya dirasakan

10
M. Quraisy Shihab, Kaidah Tafsir, 19.
7

oleh kalangan non-Arab yang secara kasat mata bahasa

ibunya bukan bahasa Arab, tetapi juga melanda masyarakat

Arab sendiri yang keseharian menggunakan bahasa Arab.

Permasalah utama ialah karena Al-Qur’an adalah wahyu

Allah yang mempunyai nilai suci, sehingga tidak ada

seorang pun dapat memahami dengan kebenaran mutlak

tanpa adanya petunjuk dan hidayah. Pada saat yang sama,

bahasa yang digunakan Al-Qur’an secara eksplisit adalah

bahasa Arab yang merupakan bahasa ibu dari wilayah

Timur Tengah.

Penggunaan bahasa Arab adalah suatu keniscayaan,

melihat konteks turunnya wahyu Al-Qur’an yang berada di

wilayah Arab. Sehingga secara historis Al-Qur’an terkait

erat dengan peradaban Arab, tetapi hal ini tidak menjadi

bagian penting secara menyeluruh dalam memahami Al-


Qur’an, meskipun secara redaksional dan historis

mempunyai hubungan. Karena, turunnya Al-Qur’an tidak

selalu berhubungan dengan suatu peristiwa maupun

pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan Nabi Saw dan

para sahabat. Meski demikian, dalam memahami Al-Qur’an

seorang harus mengetahui asbabun nuzul (konteks turunnya

ayat).
8

Latar belakang turunnya tidak hanya merespon

masalah yang mengitari kehidupan Nabi dan masyarakat

sekitar, tetapi juga mengandung pelajaran bahwa wahyu Al-

Qur’an turun melalui proses dan melatih kesabaran.

Memahami Makna wahyu dan proses turunnya Al-Qur’an

Begitu pentingnya asbabun nuzul dalam memahami ayat

Al-Qur’an ditegaskan oleh Imam al-Wahidi:


ِ ‫صتِ َها وبي‬ِ ِ ِ ِ ِ
‫ان‬َ َ َ َّ ‫الَ يُ ْمك ُن َم ْع ِرفَةُ َت ْفس ْي ِر اآليَة ُد ْو َن ال َْو ُق ْوف َعلَي ق‬
‫نُ ُز ْولِ َها‬
Artinya : “Seorang tidak akan mengetahui tafsir (maksud)

dari suatu ayat tanpa berpegang pada peristiwa dan konteks

turunnya ayat11”. 

Pandangan al-Wahidi memberikan pengertian bahwa

asbabun nuzul yang melatarbelakangi turunnya ayat adalah

salah satu komponen penting yang harus diperhatikan bagi


orang yang ingin memahami maksud Al-Qur’an, dan

peringatan bahwa belajar Al-Qur’an tidak cukup hanya

membaca terjemahan atau belajar sendiri dari teks-teks

terjemahan. Karena tidak semua terjamahan atau kitab

tafsir memuat asbabun nuzul secara keseluruhan, sehingga

11
Jalalud Din, as-Syuyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Darl al-Kutub al
Ilmiah, 1971), 3.
9

potensi untuk salah paham akan besar. Imam al Syathibi

dalam kitabnya yang berjudul al-Muwāfaqāt fi Ushul asy-

Syari’ah memberikan peringatan keras kepada orang yang

hanya belajar dan memahami al Qur’an hanya dari teksnya.

Lebih lanjut, beliau berkatan bahwa seorang tidak boleh

memahami Al-Qur’an hanya terpaku pada teksnya saja,

tanpa melihat atau memperhatikan konteks turunnya ayat,

karena asbab al nuzul adalah komponen dasar dalam

memahami al Qur’an12.

Asbāb an-Nuzūl memiliki hubungan dialogis dan

dialektis dengan fenomena kultural masyarakat itu, bukan

berarti sama persis dengan hubungan yang berlaku seperti

hukum kausalitas, yaitu adanya keharusan (sebab akibat)

hubungan yang sangat erat antara Asbāb an-Nuzūl dengan

materi yang ada dalam masyarakat. Untuk itu, jelas tidak


bisa dibenarkan suatu pernyataan, jika suatu sebab itu tidak

ada maka ayat al-Quran tidak akan turun. Mengenai ini, al-

Ja’bari membagi tentang turunnya al-Quran menjadi dua

bagian. Pertama, berupa prinsip-prinsip yang tidak terikat

dengan sebab akibat khusus melainkan murni petunjuk bagi

12
Abi Ishaq al Syathibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl asy-Syari’ah, vol. III (Beirut:
Bar al-Kutub al-Ilmiah, 2005), 258.
10

manusia ke jalan Allah. Kedua, berdasarkan sebab tertentu,

baik berupa peristiwa atau lainnya13.

Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi dimasa Nabi

Muhammad SAW atau juga komponen yang termasuk ke

dalam asbab al-Nuzul merupakan suatu kejadian yang

sangat erat kaitan nya dengan periwatan sebuah hadits,

maka informasi atau sumber Asbāb an-Nuzūl tidak boleh

ditentukan dengan jalan ijtihad, tetapi harus melalui

periwayatan yang shahih dari mereka yang mengalami

masa turunnya al-Quran. Karena sumber pengetahuan

Asbāb an-Nuzūl diperoleh dari periwayatan maka

mempunyai nilai yang sama dengan berita-berita lain yang

menyangkut kehidupan Nabi dan kerasulannya, yaitu

berita-berita hadits. Jelasnya, kalau dalam hadits terdapat

perbedaan kualitas shahih dan dla’ifnya, kuat dan


lemahnya, serta otentik atau palsu kualitas suatu hadits.

Dalam penggunaan metode Asbāb an-Nuzūl, para

ulama berbeda pendapat dalam memahami teks dan

mengeluarkan dalalah serta makna diturunkannya sebuah

ayat. Jika terjadi kesesuaian antara ayat yang turun dengan

sebab turunnya dalam hal keumuman keduanya, maka

13
Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, 27-31
11

ditetapkanlah yang umum menurut keumumannya. Dan jika

terjadi persesuaian dalam kekhususan keduanya, maka

ditetapkanlah yang khusus menurut kekhususannya. Akan

tetapi jika ayat yang turun bersifat umum dan sebabnya

bersifat khusus, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Mayoritas ulama menggunakan kaidah al-‘ibrah bi ‘umum

al-lafz la bikhusus al-sabab (yang digunakan dalam

memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum dan

bukan khusus terhadap kasus yang menjadi sebab

turunnya). Sedangkan dasar yang dipegangi minoritas

ulama adalah al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-

lafz (yang digunakan dalam memahami ayat adalah kasus

yang menjadi sebab turunnya dan bukan redaksionalnya

yang bersifat umum)14.

Tentunya kedua kaidah ini saling bertolak belakang


satu sama lain, dan juga menyisakan sisi kelebihan dan

kekurangan masing-masing. Kendati sebagian ulama

berpendapat bahwa kedua kaidah diatas hasilnya akan

sama. Akan tetapi dalam tataran aplikatif, kedua kaidah di

atas tidak selalu memproduk hasil yang sama, karena bisa

14
M. Quraish Shihab, dkk.. Sejarah Ulumul Qur’an.(Jakarta: Pustaka Firdaus.
2013), 90.
12

jadi keduanya menggunakan analogi dengan syarat-syarat

penggunaan yang berbeda antara satu mazhab dengan

mazhab yang lain.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas menunjukan

pentingnya memahami kaidah tafsir, Asbāb an-Nuzūl, dan

salah satu sub pembahasannya adalah kaidah tafsir adalah

Asbāb an-Nuzūl sebagai penerapan ketetapan suatu ayat

dalam memahami dan memaknai tafsir Al-Qur’an juga

sebagai landasan historis turun nya suatu ayat dan surat ini

sangat perlu untuk diperdalam kaidah Asbāb an-Nuzūl

sebagai landasan berfikir dan menafsirkan ayat al-Quran,

sehingga tidak ada kekeliruan yang terjadi pada setiap

ilmuwan ataupun pendakwah dalam menyampaikan makna

dalam ayat-ayat dan tafsir Al-Qur’an.

Tema Kaidah tafsir Asbāb an-Nuzūl dijadikan sebagai


bahan penelitian ini karena mencoba mengupas penting nya

mendalami kaidah Asbāb an-Nuzūl dalam penerapan tafsir

Al-Qur’an dari kitab yang dijadikan sebagai bahan

penelitian yaitu kitab Asbāb Nuzūl al-Qur`ān karya Abu al-

Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī. Kitab ini ini secara umum

membahas tentang Asbāb Nuzūl al-Qur`ān, namun ada

yang menarik ketika pengarang membahas juga secara


13

khusus beberapa kaidah yang berkaitan dengan Asbāb an-

Nuzūl beserta contoh penerapanya yang akan membantu

seorang mufassir dalam memahami tafsir al-Quran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka

selanjutnya penelitian ini akan difokuskan kepada dua

rumusan masalah berikut :

1. Bagaimana Pandangan Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-

Wāhidī tentang Kaidah Asbāb an-Nuzūl ?

2. Bagaimana penerapan Kaidah Asbāb an-Nuzūl menurut

Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī dalam

memahami Tafsir al-Quran ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Dalam penelitian ini memiliki tujuan, di antaranya:

a. Untuk mendeskripsikan Kaidah Asbāb an-Nuzūl


Menurut Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī

dalam Kitab Asbāb Nuzūl al-Qur`ān.

b. Untuk mengetahui penerapan kaidah Asbāb an-

Nuzūl dalam memahami tafsir Al-Qur’an menurut

Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī.


14

2. Kegunaan Penelitian:

a. Kegunaan Akademik

Tujuan pelitian ini adalah mengkaji tentang

Kaidah Asbāb an-Nuzūl dan penerapan nya dalam

memahami tafsir Al-Qur’an (Studi atas Kitab

Asbāb Nuzūl al-Qur`ān Abu al-Hasan Ali bin

Ahmad al-Wāhidī.

b. Kegunaan Non Akademik

a) Penelitian ini akan bermanfaat untuk para calon

mufassir dan masyarakat mengenai Asbāb an-

Nuzūl yang menjadi pembahasan penting dalam

memahami Tafsir Al-Qur’an dengan meninjau

latar belakang turunya suatu ayat.

b) Penelitian ini diharapkan mampu menjadi

sumbangsih untuk para akademis khususnya


bagi pembaca.

c) Guna memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar kesarjanaan bagi peneliti di Fakultas

Ushuluddin Adab dan Dakwah Institut Agama

Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon.


15

d) Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya

khazanah keilmuan Islam terutama bidang Ilmu

al-Quran dan Tafsir.

D. Kajian Pustaka

Kajian mengenai Kaidah Asbāb an-Nuzūl sudah

banyak ditemui dalam banyak tulisan berbentuk skripsi,

jurnal maupun artikel yang dibuat oleh sarjana tafsir dan

cendikiawan. Terutama dalam buku-buku yang membahas

mengenai kaidah tafsir yang disusun dalam satu maupun

beberapa bab pembahasan.

Dalam penelitian Ahmad Tajudin dengan judul

Asbabun Nuzul menurut Nasr Hamid Abu Zayd

menjelaskan pandangan Nasr Hamid Abu Zayd mengenai

beberapa penerapan kaidah Asbāb an-Nuzūl dengan cara

tarjih yaitu menimbang atau mengkompromikan antara


riwayat yang shahih dan yang tidak15.

Jurnal Niswatur Rohmah yang berjudul Studi Analisis

Kaidah Asbabun Nuzul : Kelebihan dan Kekurangan nya

mencoba mengungkap kelebihan dan kekurangan yang

sudah umum terjadi di dalam kaidah asbabun nuzul yang

15
Ahmad Tajudin, “Asbabun Nuzul menurut Nasr hamid Abu Zayd”.( Skripsi,
UIN Walisongo, 2015),
16

berbunyi al-ibrah bi umumil lafdzi la bihkususi sabab

dengan kaidah sebalik nya al-ibrah bikhususi lafdzi la bi

umumi sabab, kedua kaidah ini saling bertolak belakang

dari pandangan para ulama tafsir namun akan bertemu pada

titik yang sama dalam penerapapnya16.

Sutria Dirga mencoba menguraikan pemahaman

kaidah tafsir melalui judul nya Studi Qawaid Tafsir Lafadz

Mutarodif Ghadab dan Ghaiza (Penafsiran Menurut Ibnu

Jarir Al-Tabari) dalam skripsinya tersebut mengupas lafadz

mutarodif dengan mengacu kepada kaidah tafsir yang ada

di dalam ilmu-ilmu al-Quran17.

Jurnal studi hermeneutika dengan tema “Asbāb an-

Nuzūl dan Urgensi nya dalam memahami Makna Al-Qur’an

“ yang ditulis oleh Ahmad Zaini menguraikan pengertian,

pengelompokkan ayat al-Quran dari Asbāb an-Nuzūl,


begitupun redaksi yang dipakai dalam memunculkan Asbāb

an-Nuzūl, sampai kepada kaidah Asbāb an-Nuzūl yang

menjadi acuan untuk memahami makna tafsir al-Quran18.

16
Niswatur Rohmah, “Studi Analisis Kaidah Asbabun Nuzul : Kelebihan dan
Kekurangannya”, (Jurnal, Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945, 2019),
17
Sutria Dirga, “Studi Qawaid Tafsir Lafadz Mutarodif Ghadab dan Ghaiza
(Penafsiran Menurut Ibnu Jarir Al-Tabari)”,(Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018),
18
Ahmad Zaini, “Asbabun Nuzul dan Urgensi nya dalam memahami Makna
Al-Qur’an“, (Jurnal Pascasarja UIN Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014),
17

Selanjutnya M. Rifai Aly dengan judul “Asbabun

Nuzul dalam Tafsir Ibnu Katsir (Seputar Ayat Khamr dan

Ayat Bencana Alam)” menguraikan pemahaman mengenai

Asbāb an-Nuzūl secara detail dengan mengambil

pemahaman secara umum dan juga menitik beratkan

kepada tafsir Ibnu Katsir mengenai ayat khamr dan bencana

alam19.

Sedangkan Rifki Muh. Fatkhi membahas tentang

Asbāb an-Nuzūl Kajian Deskriptif Analisis Kaidah al-Ibrah

Pesan dan Fungsinya dalam Memahami Ayat dalam

skripsinya yang lebih menjelaskan pada satu kaidah yang

mengandung pesan mendalam untuk bisa mengungkap

tafsir sebuah ayat20.

E. Kerangka Teori

1. Kaidah Tafsir
Sejak dahulu para ulama yang fokus dalam

kajian Al-Qur’an (Tafsir dan Ulumul Qur’an) berusaha

membuat rambu-rambu dalam menafsirkan Al-Qur’an

yang kemudian disebut Qawaid al-Tafsir. Hanya saja

19
M. Rifai Aly,“Asbabun Nuzul dalam Tafsir Ibnu Katsir (Seputar Ayat
Khamr dan Ayat Bencana Alam)”, (Tesis. UIN Raden Intan Lampung, 2019),
20
Rifki Muh. Fatkhi, “Asbāb an-Nuzūl Kajian Deskriptif Analisis Kaidah al-
Ibrah Pesan dan Fungsinya dalam Memahami Ayat”,(Skripsi. UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2007),
18

para ulama tersebut menulis kaidah-kaidah tafsir masih

berupa selipan dalam kitab-kitab tafsir dan ulumul

Qur’an; misalnya Badruddin Muhammad bin Abdillah

Al-Zarkasyi (w. 794 H/1392 M) dalam kitabnya “Al-

Burhan fi Ulum Al-Qur’an”dan Jalaluddin Abdurrahman

as-Suyuthy (w. 911 H) dalam kitabnya“Al-Itqan fi Ulum

Al-Qur’an”.21

Bahkan ketika melihat sejarah pada abad ketiga

dan keempat meluaslah kodifikasi kaidah tafsir dari kitab

tafsir dan ushul, muncul kitab Ta’wil Musykil al-Quran

karya Ibnu Qutaibah, Jami’al-Bayan karya Imam at-

Thabari, Ahkam al-Quran karya al-Thahawi dan juga al-

Jashash, al-Shahibiy karya Ibnu faris. Pada abad ketujuh

muncul karangan dalam bidang tafsir dan ushul seprti al-

Ihkam karya Ibnu Hazm, Muharrar Wajiz karya Ibnu


‘Athiyah, al-Burhan karya Juwaini, al-Mustashfa karya

al-Ghazali. Pada abad ketujuh dan delapan muncul karya

Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu al-Jauzi, Bahr al-

Muhith karya Abu Hayyan, Tafsir al-Qurthubi, dan

Tafsir Ibnu Katsir.

21
Jalaluddin al-Sayuthi, “Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an”, 173-187.
19

Dalam konteks uraian tentang kaidah-kaidah

tafsir, tentu saja kita tidak bisa mengabaikan apa yang

marak dan sering dipertanyakan dewasa ini oleh banyak

mahasiswa dan peminat studi al-Quran, yakni

heurmeneutika, yang pada dasarnya juga berkitan

dengan kaidah-kaidah penafsiran. Tidak jarang dengan

mengatasnamakan heurmeneutika lahir penafsiran-

penafsiran baru, baik yang dimunculkan oleh mereka

yang telah atau belum memenuhi persyaratan atau

pemahaman tentang heurmeneutika.

Kaidah-kaidah tafsir banyak dan beragam, ada

yang disepakati dan ada juga yang tidak disepakati. Hal

ini lumrah dan berlaku pula dalam aneka disiplin ilmu.

Misalkan, sangat populer di kalangan peminat ilmu

bahasa Arab aneka perbedaan antara madzhab Ulama


bahasa yang bermukim di Kuffah dan yang bermukim di

Bashrah (keduanya Irak) sangat populer juga sekian

perbedaan Ulama Ushul Fiqh yang bermadzhab Syafi’i

dengan Ulama madzhab lainnya. Beberapa bagian pokok

yang terdapat dalam kaidah tafsir diantara nya kaidah

yang ditarik dari dan bersumber dari pengamatan


20

terhadap Al-Qur’an, yang bisa jadi ia tidak sejalan

dengan kaidah-kaidah ilmu lain.

sebagai salah satu bentuk asbabun nuzul Firman

Allah yang menyinggung tentang menikahi pezina

sebagai berikut : 22

‫الزانِيَ ةُ اَل َي ْن ِك ُح َه ا‬
َّ ‫الزانِي اَل َي ْن ِك ُح ِإاَّل َزانِيَ ةً َْأو ُم ْش ِر َكةً َو‬
َّ
)3( ‫ين‬ ِِ َ ِ‫ان َْأو ُم ْش ِر ٌك َو ُح ِّر َم ذَل‬ ٍ ‫ِإاَّل َز‬
َ ‫ك َعلَى ال ُْمْؤ من‬
Artinya :“Laki-laki yang berzina tidak mengawini

melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan

yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak

dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-

laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas

oran-orang yang mukmin”. (an-Nur:3)

Al-Wāhidī menuturkan Asbāb al-Nuzūl al-Nūr

Ayat 3. ia kutip dari ulama tafsir tanpa menyebut secara


spesifik ulama mana yang dimaksud. Ia berkata:

22
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Diponegoro, 2008),
543
21

.‫ذلك‬
Para penafsir berkata bahwa kaum muhajirin datang ke

Madinah dan di antara mereka terdapat beberapa orang

miskin yang tidak memiliki harta. Dan di Madinah

terdapat beberapa pelacur yang mengkomersialkan

dirinya. Pada saat itu kalangan pelacur termasuk

kelompok sejahtera. Beberapa orang dari kaum miskin

muhajirin tertarik dengan penghasilan pelacur-pelacur

tersebut. Mereka berkata, “kalau saja kita menikah dan

hidup bersama mereka hingga Allah menjadikan kita

tidak lagi butuh kepada mereka”. Merekapun meminta

ijin Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam untuk hal

tersebut. Lalu turunlah ayat ini dan diharamkan

menikahi perempuan pezina untuk melindungi kaum


mu’minin dari terjatuh ke dalam perzinaan.23

2. Kaidah Asbāb an-Nuzūl

Para mufassirūn (para ahli tafsir) telah

memperhatikan dan memberikan pembahasan khusus

masalah asbāb an-nuzūl dalam buku-buku mereka. Di

23
Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī, Asbāb Nuzūl al-Qur`ān (Beirut: Dā
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H) , 325
22

antaranya Ali bin Madini syaikh Bukhari, kemudian

karangan termasyhur yang di tulis oleh al-Wahidi

dengan judul Asbāb Nuzūl Al-Qur’ān. Telah salahlah

yang mengira bahwa tidak ada gunanya mengetahui

asbāb an-nuzūl. Karena, menurut mereka

mempelajarinya hanya bagaikan mengikuti peristiwa

sejarah. Padahal tidaklah demikian, sebab mempelajari

asbāb an nuzūl memiliki beberapa faidah.24

Semua ulama meyakini bahwa peranan Asbabun

Nuzul dalam menafsirkan dan mengetahui makna ayat

merupakan aspek yang sangat vital. Hal ini dikarenakan

terkadang ada ayat Alquran yang makna sangat sulit untuk

dipahami jika tidak merujuk kepada Asbabun Nuzul.

Contohnya dalam surat At Taubah ayat 118,

‫ت َعلَْي ِه ُم‬ ْ َ‫ض اق‬ َ ‫ين ُخلِّ ُف و ۟ا َحتَّ ٰ ٓى ِإذَا‬ ِ َّ ِ ٰ َّ ‫و َعلَى‬


َ ‫ٱلثلَثَ ة ٱلذ‬ َ
‫س ُه ْم َوظَنُّ ٓو ۟ا َأن اَّل‬ُ ‫ت َعلَْي ِه ْم َأن ُف‬
ْ َ‫ضاق‬ َ ‫ت َو‬ ْ َ‫ض بِ َما َر ُحب‬ ُ ‫ٱَأْلر‬
ْ
‫اب َعلَْي ِه ْم لِيَتُوبُ ٓو ۟ا ۚ ِإ َّن ٱللَّهَ ُه َو‬ ِ ِ ِ ‫مل‬
َ َ‫ْجَأ م َن ٱللَّه ِإٓاَّل ِإل َْيه ثُ َّم ت‬
َ َ
‫يم‬ ِ َّ ‫َّواب‬
ُ ‫ٱلرح‬ ُ َّ ‫ٱلت‬
Artinya : “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan

(penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah

24
Az-Zarkasi, al-Burhān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān, Juz 1 (al-Qāhirah: Maktabah Dār
at-Turās, t.t.), 22.
23

menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan

jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka,

serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat

lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.

Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka

tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang

maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”( Q.s.

Taubah :118).25

Ayat ini tidak dapat dipahami secara baik tanpa

mengetahui sebab-nya, karena aneka pertanyaan dapat

muncul.. misalnya, siapa ketiga orang tersebut?

Mengapa mereka ditinggal? Ditinggal dari mana dan

dalam perjalanan kemana? Apa makna sempitnya

bumi buat mereka dan mengapa mereka merasa bahwa

bumi telah sempit? Dan lain pertanyaan yang


jawabannya hanya dapat ditemukan melalui Asbabun

Nuzul.26

Dalam surat Al-Baqarah ayat 158, kasus yang

serupa terdapat dalam surat ini. Yang mana jika tidak

25
Depag RI., Al-Qur`an dan Terjemahnya, 293
26
M. Quraisy Shihab, Kaidah Tafsir, 237.
24

menggunakan Asbabun Nuzul, akan menimbulkan

praktek ibadah yang berbeda. Yaitu :

‫ت َأ ِو‬ َ ‫ٱلص َفا َوٱل َْم ْر َوةَ ِمن َش َعٓاِئ ِر ٱللَّ ِه ۖ فَ َم ْن َح َّج ٱلَْب ْي‬
َّ ‫ِإ َّن‬ 
‫ع َخ ْي ًرا‬ َ ‫ف بِ ِه َما ۚ َو َمن تَطََّو‬ َ ‫اح َعلَْي ِه َأن يَطََّّو‬
َ َ‫ٱ ْعتَ َم َر فَاَل ُجن‬
ِ ِ
ٌ ‫فَِإ َّن ٱللَّهَ َشاك ٌر َعل‬
‫يم‬
Artinya: Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah

sebahagian dari syi’ar Allah. Maka Barangsiapa yang

beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, Maka

tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara

keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu

kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya

Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui

(Q.s Al-Baqarah:158).27

Sekilas ayat diatas menekankan bahwa tidak ada

kewajiban bersa’I dalam ritual ibadah haji. Namun,


ternyata ayat ini diturunkan bukan untuk menyatakan

bahwa sa’i itu tidak wajib, akan tetapi ayat ini turun

ketika rasul hendak berumrah pada tahun-tahun

hudaibiyah akan tetapi banyak berhala yang berada

disekitar ka’bah, maka rasul mengganti kewajiban sa’i

untuk membolehkannya saat itu saja karena ada

27
Depag RI., Al-Qur`an dan Terjemahnya, 35
25

banyaknya berhala disana. Namun ada dalil lain yang

menguatkan bahwa sa’i itu tetap wajib

Dari dua contoh diatas, dapat kita lihat bahwa

Asbabun Nuzul sangat penting untuk menangkap makna

dibalik kata-kata Al-Quran tersebut. Namun, yang

terkadang menjadi permasalahan adalah tidak semua

ayat-ayat Al-Quran memiliki Asbabun Nuzul28. Hal ini

tentu bukan sebuah jalan yang tidak memiliki jalan

keluar, karena masih terdapat ilmu-ilmu Alquran yang

dapat menjadi pengantar untuk memahami maksud yang

ditujukan oleh Alquran, selain karena beberapa ayat

sudah jelas maksud dan tujuannya.

Ada hal lain yang perlu digarisbawahi dalam

melakukan penafsiran berdasarkan Asbabun Nuzul

menurut Quraish Shihab adalah, bahwa “Asbabun Nuzul


harus berdasarkan riwayat yang shahih. Tidak ada

peranan akal dalam menetapkannya”. Peranan akal

hanyalah mentarjih riwayat-riwayat yang ada. Dalam

kaitannya Asbabun Nuzul dengan perannya dalam

menjawab peristiwa-peristiwa yang terjadi selama

periode kenabian, dapat dibagi menjadi dua macam.

28
Manna’ Al Qatthan. Mabahits fi Ulumil Quran, 74.
26

Pertama, ada beberapa ayat yang diturunkan sekali

namun untuk beberapa peristiwa (‫تع دد األس باب والن ازل‬


‫)واحد‬, dan ada ayat yang diturunkan beberapa kali untuk
sebuah peristiwa (‫)تعدد النازل والسبب واحد‬. Dari sinilah

kita bisa melihat, bahwa banyak peristiwa mungkin

memiliki satu Asbabun Nuzul.

Dalam konteks pemahaman terhadap makna ayat,

terdapat satu kaidah yang sangat masyhur yaitu.

“‫”العبرة بعموم اللفظ ال بخصوص السبب‬


Yang artinya, “Patokan dalam memahmi makna

ayat adalah lafadznya yang bersifat umum, bukan

kekhususan sebabnya.”

Secara lahiriah, hal ini berarti bahwa Asbabun

Nuzul atau kejadian-kejadian yang menjadi sebab atas

turunnya sebuah ayat hanya menjadi patokan awal yang


selanjutnya dapat dijadikan hujjah atas peristiwa yang

sama atau berkorelasi dengan peristiwa tersebut di masa

yang selanjutnya. Artinya ayat tersebut berlaku secara

general dan dapat dijadikan hujjah atas peristiwa-

peristiwa yang terjadi selanjutnya.

Menurut Istilah  Al–Ibratu  Bi umumi Lafdzi la

Bikhususi Sabab merupakan kaidah tafsir  yang


27

digunakan dalam konteks  pemahaman  mengenai ayat-

ayat yang dikenal  luas  kaidah yang maksudnya

adalah  patokan dalam memahami makna  ayat ialah

Lafazhnya yang bersifat umum, bukan sebabnya.

Kaidah di atas menjadikan ayat tidak terbatas

berlaku terhadap pelaku, tetapi berlaku terhadap

siapapun itu selama redaksi yang digunakan ayat bersifat

umum. Untuk itu perlu digaris bawahi bahwa yang

dimaksud dengan Khususu as-Sabab adalah sang pelaku

saja, sedang yang dimaksud dengan redaksinya bersifat

umum harus dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi,

bukannya terlepas dari peristiwanya.


28

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian kualitatif yang bersifat

kepustakaan (library research) dan menggunakan

metode deskritif-analitik29.

2. Sumber Data

Sumber primer dari penelitian ini adalah kitab

Asbāb Nuzūl Al-Qur’ān. Karya Pandangan Abu al-

Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī. Kemudian sumber

sekunder dari kitab tafsir dari mulai klasik sampai

kontemporer, jurnal, hasil penelitian (skripsi, tesis,

disertasi), buku-buku Ulumul Qur`an, artikel.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Mengumpulkan data-data terkait Asbāb an-Nuzūl

di dalam kitab Asbāb Nuzūl Al-Qur’ān.Karya Abu


al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī.

b. Memilah data-data sesuai outline per babnya.

c. Merangkai data-data yang sudah terkumpul dengan

memadukan pendapat dari para ulama ahli tafsir.

29
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta;Bayu Indra
Garfika, 1996), 49.
29

4. Kesimpulan

Kesimpulan pada penelitian ini adalah dengan

memaparkan garis secara umum tentang Kaidah

Asbāb an-Nuzūl dalam kitab Asbāb Nuzūl Al-Qur’ān.

Karya Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī.,

kemudian memaparkan penerapan Asbāb an-Nuzūl

dalam memahami tafsir Al-Qur’an.

G. Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari

lima bab sebagai satu kesatuan yang masing-masing

memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Secara

sistematis, lima bab tersebut disusun dan di deskripsikan

sebagai berikut.

Bab I berisi pendahuluan yang mencakup delapan

sub bab, yaitu: latar belakang masalah, rumusan masalah,


tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka

teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II mencakup tinjauan umum tentang Asbāb an-

Nuzūl menurut para ulama yang meliputi; a) Sejarah

pembukuan Asbāb an-Nuzūl sebagai kaidah tafsir, b)

Pengertian Asbāb an-Nuzūl, c) Metode mengetahui Asbāb


30

an-Nuzūl, d) Manfaat Asbāb an-Nuzūl, e) Pentingnya Asbāb

an-Nuzūl dalam memahami ayat Al-Qur’an.

Bab III akan mengungkap sosok Abu al-Hasan Ali

bin Ahmad al-Wāhidī dengan beberapa sub pembahasan; a)

Biografi Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī, setting

sosial, dan pendidikannya, b) Pendapat Abu al-Hasan Ali

bin Ahmad al-Wāhidī tentang Asbāb Nuzūl, c) Contoh

penerapan asbabun nuzul dalam Q.S An Nur ayat 3

Bab IV berisi Analisis kaidah Asbāb an-Nuzūl,

sehingga dalam bab ini membahas, a) Analisis penerapan

kaidah Asbāb an-Nuzūl menurut Abu al-Hasan Ali bin

Ahmad al-Wāhidī dalam memahami tafsir Al-Qur’an, b)

Analisis kritis kitab Asbāb Nuzūl Al-Qur’ān. Karya Abu al-

Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī

Bab V berisi penutup yang meliputi kesimpulan dari


hasil pembahasan, serta saran-saran konstruktif yang

diperlukan.
BAB II
TINJAUAN UMUM ASBĀB AN-NUZŪL

1. Sejarah Pembukuan Asbāb an-Nuzūl sebagai Kaidah

Tafsir

Ilmu Asbāb an-Nuzūl menepati posisi vital dalam

kajian Ulumul Qur’an. Asumsi dasar ini didasarkan pada

setidak- tidaknya dua hal. Pertama, secara historis

sebagian ayat-ayat al-Quran yang turun didahului oleh

sebab-sebab tertentu. Dengan kata lain bahwa sebagian

ayat-ayat Al-Qur’an memiliki Asbāb an-Nuzūl dan

sebagian yang lain tidak.30 Asbāb an-Nuzūl merupakan

sebuah ilmu yang menunjukkan dan menyingkap

hubungan dan dialektika antara teks dan realitas. Kedua,

meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zaid31, Ilmu Asbāb an-


Nuzūl akan membekali pembaca materi baru yang

memandang turunnya teks sebagai respon atas realitas.

30
Manna’ Al Qattan, Mabahis Fi Ulūm Al Qur‟an (Beirut: Mansyurat al 'Ashr
al hadits, 1973), 78.
31
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul
Qur’an terj oleh Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2002), 115.
32

Dalam memahami Asbāb an-Nuzūl diperlukan

pemahaman tentang sejarah pengertian (definisi) Asbāb

an-Nuzūl. Pengertian Asbāb an-Nuzūl dalam kesejarahan

ilmu tafsir dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,

yaitu Asbāb an-Nuzūl mikro dan Asbāb an-Nuzūl makro.

Asbāb an-Nuzūl mikro adalah Asbāb an-Nuzūl yang

sering diketemukan dalam khazanah ilmu tafsir tradisional

yang berkembang sejak abad 2 H. Ulama-ulama tafsir

tradisonal memberikan batasan peristiwa dan pertanyaan

kasuistik yang melatarbelakangi turunnya ayat sebagai

Asbāb an-Nuzūl (yang kemudian dikenal dengan Asbāb

an-Nuzūl mikro).Pendekatan tradisional konvensional ini

dapat dilacak dalam sejarah ilmu tafsir generasi awal

setelah diadakan eksplorasi terhadap beberapa kitab

'ulumul Qur’an, dalam artikel ini perlu dipaparkan


definisi-definisi Asbāb an-Nuzūl (mikro) sebagaimana

telah dikemukakan oleh para ulama tafsir.

Pembahasan Asbāb an-Nuzūl atau sebab turunnya

wahyu Allah dalam al-Quran sebenarnya telah dimulai sejak

zaman sahabat. Namun pada masa itu belum ada gerakan atau

inisiasi pembukuan untuk literaturnya. Dalam buku Tema

Kontroversial Ulumul Quran karya Nur Faizin disebutkan,


33

pada era sahabat Asbāb an-Nuzūl belum dapat dijadikan sebuah

disiplin ilmu yang matang. Pembukuan Asbāb an-Nuzūl baru

dimulai secara independen di masa Abu Hasan Ali bin

Abdullah bin Ja’far bin Nahij as-Sa’di atau yang biasa dikenal

dengan nama Ali bin al-Madini. Beliau merupakan salah satu

guru Imam Bukhari yang cukup masyhur secara keilmuan.

Namun dijabarkan pula bahwa penulisan Asbāb an-Nuzūl sudah

terjadi pada masa Sa’id bin Jubair yang wafat pada tahun 94

hijriyah.

Di fase selanjutnya, banyak ulama yang mengarang

kitab tentang Asbāb an-Nuzūl atau sekadar mengkhususkannya

di bab-bab tertentu. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Imam

Az-Zarkasyi dalam kitabnya berjudul Al-Burhan, Imam As-

Suyuthi dalam Al-Itqan, dan lain sebagainya. Namun para

ulama bersepakat bahwa kitab pertama yang membahas Asbāb

an-Nuzūl secara spesifik adalah karya-karyanya Ibnu al-

Madini. Kemudian disusul oleh karya-karya Abu Hasan Ali bin

Ahmad al-Wahidi dan Abu Ishak Ibrahim bin Umar bin

Ibrahim al-Ja’bari.32 Hajar, dan Al-Wahidi. Tidak diketahui

secara pasti, kapan munculnya pembahasan ilmu Asbāb an-

32
https://republika.co.id/berita/q5o612430/perjalanan-pembukuan-asbabun-
nuzul-dalam-literatur-islam : Muhammad Hafil.
34

Nuzūl ini. Diperkirakan, istilah ini muncul sejak akhir abad ke-

4 dan awal 5 Hijriyah. Hal ini seiring dengan munculnya

pembahasan tafsir al-Quran.

Dan, orang pertama yang diyakini sebagai

penghimpun dan mensistematisasi keterangan dan data

yang tersebar dalam banyak tulisan mengenai al-Quran

dan lainnya adalah Ali bin Ahmad al-Wahidi (472 H/1035

M). Bukunya yang terkenal dalam bidang ini adalah

Asbab an-Nuzul. Tokoh lainnya adalah Jalaluddin as-

Suyuthi (911/1050), Ibrahim al-Ja'fari (732/1331), dan Ibn

Hajar al-Asqalani (852/1448).

Di antara salah satu alasan mengapa ulama

menyatakan ada sebagian ayat al-Quran yang diturunkan

karena suatu alasan tertentu, atau karena adanya sebab,

contohnya, ketika Rasul SAW berdakwah secara


sembunyi-sembunyi, lalu Umar bin Khattab mengusulkan

Rasul SAW untuk menyiarkannya secara terbuka. Allah

kemudian menurunkan surah Al-Muddatstsir (berselimut)

kepada Rasul SAW.

‫ك‬ َ َّ‫) َو َرب‬2( ‫)قُ ْم فََأنْ ِذ ْر‬1( ‫َّث ُر‬


َ َ‫) َوثِيَاب‬3( ‫ك فَ َكِّب ْر‬ ِّ ‫اَأي َهاال ُْم د‬
ُّ َ‫ي‬
)5( ‫الر ْج َزفَ ْاه ُج ْر‬
ُّ ‫) َو‬4( ‫فَطَ ِّه ْر‬
35

Artinya : “Hai orang-orang yang berselimut. Bangunlah,

dan berilah peringatan. Dan tuhanmu Agungkanlah, dan

pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa

tinggalkanlah.” (Q.s al-mudatsir: 1-5).33

Namun, para ulama yang menyatakan ada Asbāb

an-Nuzūl ini berbeda pendapat mengenai makna atau

istilah Asbāb an-Nuzūl tersebut. Berikut definisi Asbāb an-

Nuzūl menurut Subhi As-Salih. “Sesuatu yang dengan

sebabnyalah turun suatu ayat atau beberapa ayat yang

mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang

sebab tersebut, atau menerangkan hukumnya pada masa

terjadinya peristiwa itu.”

Al-Wahidi berharap, agar setiap orang berhati-hati

dalam menjelaskan masalah Asbāb an-Nuzūl atau riwayat

turunnya ayat tersebut yang disandarkan kepada rasul


SAW. “Tidak halal berpendapat mengenai Asbāb an-Nuzūl

kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau

mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan

turunnya, mengetahui sebab-sebabnya, dan membahasnya

tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam

mencarinya.” Al-Wahidi menentang para ulama di

33
Depag RI., Al-Qur`an dan Terjemahnya, 982
36

zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat

Asbāb an-Nuzūl ini. Bahkan, ia menuduh mereka pendusta

dan mengingatkannya akan ancaman Allah. “Sekarang

setiap orang suka mengada-ada dan berbuat dusta; ia

menempatkan kedudukannya dalam kebodohan tanpa

memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak

mengetahui sebab turunnya ayat,”34.

Maka dari itu membahas tentang Asbāb an-Nuzūl,

juga membahas tentang kaidah yang melekat dalam ilmu

tafsir, karena Asbāb an-Nuzūl juga termasuk kedalam

kaidah tafsir yang menjadi ketentuan dalam memahami

ayat al-Quran.

2. Pengertian Asbāb an-Nuzūl

Secara etimologi, Asbāb an-Nuzūl terdiri dari dua

suku kata yang dihukumi satu kata atau dalam ilmu


nahwu dikenal dengan istilah idafah ((‫ اض افة‬yaitu terdiri

dari asbab (‫) اسباب‬yang artinya beberapa sebab, bentuk


jama’ (plural) dari mufrad (tunggal), sabab (‫ )سباب‬yang

artinya alasan, illat (dasar logis), perantaraan, hubungan

kekeluargaan, kerabat, asal, sumber dan jalan. Sedangkan

34
Manna’ Khalil Al Qattan,, Mabahis Fi Ulūm Al Qur‟an.(Kairo: Munsarat al
“Isr Al Hadist), tt.
37

kata nuzul (‫ )ال نزول‬artinya turun, hinggap, terjadi dan

menyerang. Yang dimaksud di sini ialah penurunan,

penurunan al-Quran dari Allah Swt. kepada Nabi

Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat Jibril.

Karena itu istilah lengkap asalnya ialah Asbāb an-Nuzūl al-

Quran yang berarti sebab-sebab turun al-Quran. Namun

demikian dalam istilah teknis keilmuan lazim dikenal

dengan sebutan Asbāb an-Nuzūl saja tanpa menyertakan

kata al-Quran karena sudah dikenal luas pengertian dan

maksudnya.35

Para pakar ilmu-ilmu al-Quran, misalnya Syekh

Abd al-Azhim al-Zarqany dalam Mana’hil al-Irfan-nya

memberi pengertian Asbāb an-Nuzūl sebagai suatu kejadian

yang menyebabkan turunnya suatu atau beberapa ayat,

atau peristiwa yang dapat di jadikan petunjuk hukum


berkenaan turunnya suatu ayat.36 Menurut Quraish shihab,

pakar tafsir di Indonesia, Asbāb an-Nuzūl bukanlah dalam

artian hukum sebab akibat sehingga seakan-akan tanpa

adanya suatu peristiwa atau kasus yang terjadi maka ayat

itu tidak akan turun. Pemakaian kata Asbāb bukanlah

35
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (PT Raja Grafindo, Cet I, Jakarta,
2013), 205.
36
Acep Hermawan, 'Ulumul Quran, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011),34.
38

dalam arti yang sebenarnya. Tanpa adanya suatu

peristiwa, al-Quran tetap diturunkan oleh Allah sesuai

dengan iradat-Nya. Demikian pula kata an-Nuzūl, bukan

berarti turunnya ayat al-Quran tidak berbentuk fisik atau

materi. Pengertian turun menurut para mufasir

mengandung pengertian penyampaian atau

penginformasian dari Allah kepada utusan-Nya, dari alam

ghaib ke alam nyata melalui malaikat Jibril.37 Menurut

Manna’ Khalil al-Qattan :


ِ ‫ْت و ُقو ِع ِه َكح‬
"‫ادثِه َْأو‬ ِ ِ
َ ْ ُ ‫ُه َو َما نُ ِز َل الْ ُق ْرآ ْن بِ َشْأن َوق‬
‫"سَؤ ِال‬
ُ
Asbāb an-Nuzūl adalah peristiwa yang

menyebabkan turunya al-Quran berkenaan denganya

waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau

berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.38


Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik dua

kategori mengenai sebab turunnya suatu ayat. Pertama,

suatu ayat turun ketika terjadi suatu peristiwa. Kedua,

suatu ayat turun ketika Rasulullah ditanya tentang suatu

hal. Ayat tersebut menjawab pertanyaan itu dan

37
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1994), 89.
38
Manna’ Khalil Al-Qathan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir (Bogor :
Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), 93.
39

menerangkan hukumnya. Asbāb an-Nuzūl menggambarkan

bahwa ayat-ayat al-Quran memiliki hubungan hubungan

dialektis dengan fenomena sosiokultural masyarakat.

Namun perlu ditegaskan bahwa Asbāb an-Nuzūl tidak

berhubungan secara kausal dengan materi yang

bersangkutan. Artinya, tidak bisa diterima pernyataan

bahwa jika suatu sebab tidak ada maka ayat tidak akan

turun.39

3. Metode mengetahui Asbāb an-Nuzūl

Metode untuk mengetahui Asbab al-nuzul, dapat

dikemukakan sebagai berikut:

a. Mengambil yang paling sahih, dari riwayat-riwayat

yang berbilang itu, diperiksa dan dipilih kesahihannya

untuk dijadikan pegangan. Misalnya Asbab al-nuzul

yang berkaitan dengan 5 ayat dari surat al-Duha.


Imam Bukhari meriwayatkan;

ْ ‫س َح َّد َثنَا ُز َه ْي ٌر َح َّد َثنَا‬


‫اَأْلس َو ُد‬ َ ُ‫َأح َم ُد بْ ُن يُ ون‬ ْ ‫َح َّد َثنَا‬
ُ‫ض َي اللَّه‬ ِ ‫ت ج ْن ُدب بْن س ْفيا َن ر‬ ِ َ َ‫س ق‬ ٍ ‫بْ ُن َق ْي‬
َ َ ُ َ َ ُ ُ ‫ال َس م ْع‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ُ ‫اش تَ َكى رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ْ ‫ال‬ َ َ‫َع ْن هُ ق‬
‫َت يَ ا‬ ْ ‫ت ْام َرَأةٌ َف َق ال‬ َ ‫َفلَ ْم َي ُق ْم ل َْيلََت ْي ِن َْأو ثَاَل ثً ا فَ َج‬
ْ ‫اء‬

39
Muhammad Chirzin, Buku Pintar Asbabun Nuzul, (Jakarta: Zaman, 2011),
17.
40

‫َم‬
ْ‫ك ل‬ َ ‫ك قَ ْد َت َر َك‬ َ ُ‫َأَلر ُج و َأ ْن يَ ُك و َن َش ْيطَان‬ ْ ‫ُم َح َّم ُد ِإنِّي‬
{ ‫ك ُم ْن ُذ ل َْيلََت ْي ِن َْأو ثَاَل ثٍَة فََأْن َز َل اللَّهُ َع َّز َو َج َّل‬
َ َ‫ََأرهُ قَ ِرب‬
‫ك َو َم ا‬َ ُّ‫ك َرب‬ َ ‫َّع‬ َ ‫الض َحى َواللَّْي ِل ِإذَا َس َجى َم ا َود‬ ُّ ‫َو‬
} ‫َقلَى‬
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Ahmad

bin Yunus Telah menceritakan kepada kami Zuhair

Telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin Qais

ia berkata: Aku mendengar Jundub bin Sufyan

radliyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu

'alaihi wa sallam menderita sakit hingga beliau

tidak bisa bangun selama dua malam atau tiga.

Lalu datanglah seorang wanita seraya berkata:

"Wahai Muhammad, aku benar-benar mengharap

bahwa setanmu telah meninggalkanmu. Sebab, aku

tidak lagi melihatnya di dekatmu semenjak dua hari


atau tiga hari ini." Maka Allah 'azza wa jalla

menurunkan surat: {wadldluhaa wallaili idzaa

sajaa maa wadda'aka rabbuka wamaa qalaa}.

Firman allah: {maa wadda'aka rabbuka wamaa

qalaa} (QS. Adh Dhuha: 3) Dibaca dengan tasydid

atau pun Takhfif maknanya tetap satu, yakni Rabb-

mu tidaklah meninggalkanmu. Ibnu Abbas


41

menafsirkan: "(Rabb-mu) tidaklah meninggalkan

dan memurkaimu."

Hadis Bukhari ini dengan jelas menegaskan bahwa

Allah tidak membiarkan Muhammad Saw., dan tidak

membencinya.

b. Apabila langkah pertama itu tidak memungkinkan,

dikarenakan riwayat yang berbilangnya bernilai

sama-sama sahih, jalan keluarnya dengan cara di-

tarjih, apabila kedua riwayat kurang lebih sama

sahihnya, akan tetapi memungkinkan untuk di-tarjih,

yang dipegang adalah yang rajih dan meninggalkan

yang marjuh, misalnya riwayat Imam Bukhari dan

Tirmidzi dalam masalah ruh. Ta‟addud al Asbab,

apabila ada dua riwayat atau lebih sama sahihnya dan

tidak memungkinkan untuk di-tarjih, serta terjadi


dalam waktu yang berdekatan, maka yang demikian

itu digolongkan pada istilah;

‫تعدداالسباب والنازل واحد‬


Artinya: berbilang sebab yang turun hanya satu.

Hal seperti ini terjadi pada sahabat Hilal Ibnu

Umayah dan sahabat Uwaimir dalam kasus

li‟an.Tikrar al Nāzil, apabila terdapat dua riwayat


42

atau lebih sama-sama sahih, tidak bisa di tarjih dan

tidak bisa pula disatukan, karena kedua peristiwa itu

berjauhan waktunya, maka yang demikian itu

digolongkan pada,

‫تكرارالنازل بعداد اسباب النزول‬


Artinya: Ayat itu berulang-ulang turun dengan sebab

yang berbilang.

Contoh ayat semacam ini diriwayatkan oleh Imam

Baihaqi dan al-Bazzar dan Imam Tirmidzi serta al-

Hakim dalam riwayat lain.

Demikianlah langkah-langkah atau cara yang harus

dilakukan oleh seseorang yang akan menafsirkan

ayat-ayat yang berbilang sebabnya.40

4. Manfaat Asbāb an-Nuzūl

Adapun untuk memahami Asbāb al-Nuzūl dengan baik,


akan memberikan manfaat, sebagai berikut:

a. Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya

sebuah hukum dan perhatian syariat terhadap

kepentingan umum tanpa membedakan etnik, jenis

kelamin dan agama. Maka apabila ketika dianalisis

40
Muhammad Zainuddin, Metode Memahami Alqur’an, Cet 1, (Bandung:
Khazanah Intelektual, 2005), 59-66
43

secara cermat dan lebih mendalam, proses penetapan

hukum berlangsung secara manusiawi. Misalnya

dalam penghapusan minuman keras (khamar).

b. Mengetahui Asbāb al-Nuzūl akan sangat membantu

dalam mendapatkan kejelasan tentang maksud ayat.

Misalnya, Urwah ibn Zubair mengalami kesulitan

untuk bisa memahami hukum fardlu sa’i antara

Shafa dan Marwah.

c. Pengetahuan Asbāb al-Nuzūl akan membantu

seseorang untuk melakukan pengkhususan (takhshish)

yaitu hukum terbatas pada sebab-sebab tertentu,

terutama pada ulama yang menganut kaidah “sebab

khusus” (khushush al-sabāb). Contoh, proses

turunnya ayat-ayat zhihar pada permulaan surat al-

Mujadalah, tepatnya kasus Auf ibn al-Shamit yang


menzihar istrinya, Khaulah bint Hakam ibn

Tsa’labah. Hukum yang terkandung dalam ayat-ayat

ini khusus bagi keduanya dan tidak berlaku bagi

orang lain.

d. Pemahaman Asbāb al-Nuzūl dapat membantu

seseorang lebih memahami apakah suatu ayat itu

berlaku umum atau khusus, serta dalam hal apa ayat


44

itu harus diterapkan. Maksud sesungguhnya dari

sebuah ayat itu dapat dipahami melalui pengenalan

Asbāb al-Nuzūl.41

e. Mempermudah orang untuk menghafal ayat-ayat

Alquran, sebab pertalian antara sebab dan musabab

hukum, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya,

dan semua itu merupakan faktor-faktor yang akan

menyebabkan mantapnya juga terlukisnya sesuatu

dalam ingatan.42

5. Pentingnya Asbāb an-Nuzūl dalam memahami ayat Al-

Qur’an.

Asbāb al-Nuzūl mempunyai arti yang sangat

penting dalam upaya menafsirkan Alquran. Seseorang

tidak akan mencapai pengertian dan pemahaman yang

baik tentang sebuah persoalan ketika merujuk Al-Quran,


jika ia tidak memahami riwayat Asbāb al-Nuzūl ayat

yang dirujuknya. Oleh sebab itu, para ulama sangat

berhati-hati dalam memahami Asbāb al-Nuzūl. Sehingga

banyak diantara mereka yang menulis tentang itu. Dan

41
Ahmad Izzan, Ulumul Qur‟an (Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas
Alquran), Cet. 1, (Bandung: Tafakur, 2005), 98-99
42
Heri Gunawan, Ulumul Qur‟an Studi Ilmu-Ilmu Alquran, Cet 1, (Bandung:
Arfino Raya, 2015), 51
45

diantara yang terdahulu yaitu Ali Al-Madani (Guru

Imam Al-Bukhari r.a.). yang termashur dalam hal ini

adalah kitab “Asbāb al-Nuzūl” karya Imam Al-Wahidi.

Syaikhul Islam Imam Ibnu Hajar, juga mengarang.

Bahkan ada pula kitab yang besar nan lengkap, “Lubāb

al-nuqūl fi Asbāb al-Nuzūl”, karya Imam Al-Suyuthi.43

Maka perlu disini diketahui peran penting Asbāb al-Nuzūl

dalam Alquran yang dikemukakan oleh para tokoh Islam,

sebagai berikut:

a. Menurut al wahidin bahwasanya sangat penting

mengetahui Asbāb al-Nuzūl sebab tidaklah mungkin

kita mampu mengetahui suatu tafsir ayat tanpa kita

mengeahui kisah yang ada didalamnya dan sebab

turunnya ayat tesebut.

b. Pendapat yang di kemukakan oleh Ibnu Taimiyah


mengenai peran penting Asbāb al-Nuzūl:

“Mengetahui sebab nuzūl membantu kita untuk

memahami ayat; karena sesungguhnya mengetahui

sebab menghasilkan pengetahuan tentang yang

disebabkan (akibat).”

43
Syaikh Muhammadi Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan Fi Ulumil Qur‟an (Ikhtisar
Ulumul Qur‟an Praktis.tt), 27
46

c. Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Daqiqil

‘Id mengenai peran penting Asbāb al-Nuzūl

“Menjelaskan Asbāb al-Nuzūl adalah jalan yang kuat

dalam memahami makna-makna Alquran. Hal itu

adalah suatu urusan yang diperoleh para sahabat,

karena adanya qarinah-qarinah yang mengelilingi

kejadian-kejadian itu.”44

Mengingat bahwa betapa pentingnya Asbāb al-

Nuzūl, maka bisa dikatakan bahwa sebagian ayat itu tidak

mungkin bisa diketahui makna-maknanya atau diambil

hukum darinya, sebelum mengetahui secara pasti, tentang

Asbāb al-Nuzūl-nya.45

44
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Alquran. Cet.1 (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009), 14.
45
Syaikh Muhammadi Ali Ash Shobuni,28-29.
48

BAB III
ASBĀB AN-NUZŪL ABU AL-HASAN ALI
BIN AHMAD AL-WĀHIDĪ

A. Biografi Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī


Nama lengkap Al-Wahidi adalah Ali ibn Ahmad
ibn Muhammad ibn Ali ibn Mattuyah, yang dikenal
dengan nama Imam Abu Hasan Al-Wahidi An-Naisabury.
Bapaknya bernama Ahmad ibn Muhammad dari golongan
pedagang, berasal dari kota Sawah, yaitu sebuah kota
diantara kota Arroy dan Hamdzan di Wasith. Di kota
tersebut terdapat sungai kecil yang terkenal sejak zaman
dahulu, yang airnya itu kering pada hari kelahiran Nabi.
Di dekat Kota Sawah terdapat sebuah kota yang bernama
Awat. Al-Wahidi adalah seorang murid dari al-Tsa’labi,
yakni pengarang tafsir. Darinyalah beliau belajar dan
menimba ilmu tafsir untuk bekal ilmu yang luas.
Kemudian Al-Wahidi belajar bahasa arab dari Abul Hasan
al-Qahandazi, belajar ilmu lughah dari Abu al-Fadhl
Ahmad ibn Muhammad ibn Yusuf al-‘Arudhi, salah
seorang teman Abu Manshur al-Azhari. Beliau lahir dan
juga wafat di Naisabur, beliau wafat disebabkan sakit
49

yang berkepanjangan tepatnya pada Jumadil akhir pada


abad ke-5 tahun 468 H/1076 M.46
Guru–gurunya, Abu al-Fadhl al-Arudhi, Abu al-
Hasan al-Qahandazi, Abu Imraan Al-Maghribi Al-Maliki,
Abu Al-Qasimi Ali ibn Ahmad Al-Basiti, Abu Al-Hasan
Ali ibn Ahmad Al-Farisi, dan banyak selainnya.
Sedangkan muridnya-muridnya, Al-Khuwari, namanya
Abu Muhammad Abdul Jabbar ibn Muhammad, Ahmad
ibn Umar Al-Arghiyaniy, Abu Nashr Muhammad ibn
Abdullah Al-Arghiyaniy Ar-Rawaniriy, Yusuf ibn Ali
Abu Al-Qasimi Al-Hadiliy, Al-Husein ibn Muhammad
ibn Husein Al-Farghoni As-Samnaniy dan dan banyak
selainnya.
Al-Wahidi merupakan ahli fiqh pada Madzhab
Syafi’i. Sebagaimana telah disebutkan dalam golongan
ulama-ulama fiqh syafi’iyah pada beberapa kitab, seperti
kitab Ibnu Subki, Al-Asnawi dan yang lainnya. Ibnu
Qadhi Syuhbah telah mencatat di dalam kitab Thabaqat
Al-Syafi’iyah (257/1), bahwa Imam Nawawi mengutip
dalam kitab Ar-Raudhah dari kitab Al-Siiru Fil Kalam
‘Ala al-Salam (Rahasia berbicara tentang salam). Imam
Al-Wahidi meninggalkan karya yang luar biasa.
Peninggalan tersebut merupakan sebuah argumen nyata
tentang kelebihan beliau dari yang lainnya, serta

46
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir (Kajian Komprehensif
Metode Para Ahli Tafsir), (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), 213.
50

menunjukkan bahwa beliau memiliki kedudukan yang


mulia dalam hal ilmu. Karya-karya beliau terdapat pada
beberapa cabang disiplin ilmu pengetahuan. Namun
biasanya tentang ilmu Alquran dan tafsir. Di bawah ini
akan disebutkan kondisi setiap karyanya yang dapat kita
ketahui, apakah sudah diterbitkan dan disebarluaskan atau
belum disebarkan kepada khalayak umum. Karya-karya
beliau tersebut adalah :
a. Asbab al-Nuzul,
b. Al-Wajiz fi al-Tafsir,
c. Al-Wasit fi Tafsir al-Quran al-Majid,
d. Al-Basit fi al-Tafsir,
e. Ma’ani al-Tafsir, dan banyak lagi karya-karya Al-
Wahidi yang lainnya
B. Pendapat Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī
tentang Asbāb Nuzūl
Asbāb al-nuzūl diturunkannya ayat Alquran akan
memberikan pemahaman, tidak hanya pemahaman
tekstual tetapi pemahaman kontekstual juga terhadap
suatu ayat, terutama untuk mengetahui status hukum pada
masa itu, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.47
Dalam menentukan asbāb al-nuzūl salah satu cara yang
dikemukakan Al-Wahidi “Tidak boleh kita mengatakan
tentang sebab-sebab turunnya ayat Alquran melainkan
dengan riwayat dan mendengar dari orang-orang yang
47
Subhi Al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-qur’an, 214.
51

menyaksikan ayat itu diturunkan, dan juga mengetahui


sebab-sebabnya, serta membahas tentang pengertiannya
dan bersungguh-sungguh dalam mencarikan yang
demikian itu”.
Metode yang digunakan Al-Wahidi ini sangat hati-
hati mengambil referensi untuk dicantumkan ke dalam
kitabnya. Pada setiap hadis dan pendapat yang ia
tuangkan memiliki landasan yang kuat dan dapat
dipertanggung jawabkan. Dari semua hadis yang ada,
selain ia terima dari guru-gurunya juga tercantum dalam
literatur-literatur klasik sebelum eranya, baik dari kitab-
kitab Tafsir, Hadith maupun Sejarah.48 Banyak ahli tafsir
yang mengatakan bahwa untuk turunnya satu ayat itu
mempunyai beberapa sebab. Maka dalam hal ini yang
menjadi pegangan yaitu:
a. Al-Wahidi mengatakan bahw, kita tidak boleh
menyatakan tentang sebab-sebab turunnya Alquran,
melainkan dengan riwayat dan mendengar dari orang-
orang yang menyaksikan ayat-ayat itu turun dan
mengetahui sebab-sebabnya serta membahas tentang
pengertiannya. Dalam hal ini terdapat ucapan sahabat
atau yang biasa disebut dengan Hadith mauquf
dalam perkara yang tidak ada celah untuk berijtihad,
hukumnya yaitu sama dengan hadis marfu’ yang

48
Subhi Al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-qur’an, 169-170
52

disandarkan kepada Nabi saw., karena memang tidak


mungkin para sahabat memalsukan hadis.
b. Para ulama, seperti Imam al-Hakim al-Naisaburi, Ibn
al-Salah, dan ulama Hadith lainnya menegaskan
bahwa Hadith yang menjadi sumber dalam riwayat
“asbāb al-Nuzūl” harus merupakan Hadith marfu’,
bersambung sanadnya, sahih dari sisi sanad atau
matannya. Untuk susunan atau bentuk redaksinya
dalam pengungkapan riwayat “asbāb al-Nuzūl”
secara garis besar ada tiga, yakni sebagai berikut:
a) Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh para
ulama menunjukkan kepada “asbāb al-Nuzūl” (al-
muttafaq ‘ala al-i’tidad bihi). Bentuk ini
mengandung tiga unsur utama, yaitu: pertama,
sahabat yang mengemukakan riwayat, harus
menyebutkan suatu kisah atau peristiwa yang
menyebabkan turunnya ayat; kedua, sahabat yang
mengemukakan riwayat, harus mengemukakan
dengan redaksi yang jelas (bi al-lafzhi al-sharih)
menunjukkan kepada pengertian “turunnya ayat”,
dan ketiga, sahabat yang mengemukakan riwayat,
harus mengemukakan riwayatnya dengan pola
bahasa yang bersifat pasti, misalnya ia berkata:

( (‫ح دث كذاوك ذافنزلت اي ة ك ذا‬atau


‫ ( )حدثكذاوكذافانزل اهلل كذا‬Redaksi dalam bentuk
53

tegas (sharih) dan pasti dalam pengungkapan


“asbāb al-Nuzūl” ini dapat saja berupa: redaksi
yang tegas berbunyi:
 Sebab turun ayat ini( ‫)سبب نزول االية كذا‬
 Adanya huruf fa’ ((‫ ف‬yang mempunyai arti
al-sababiyah atau ta’qibiyah yang masuk
pada riwayat yang berkaitan dengan turunnya
ayat, misalnya: ‫ ف نزلت االية‬... ‫ ح دث ه ذا‬...
atau
 Adanya keterangan yang menjelaskan bahwa
Rasulullah saw ditanya tentang sesuatu yang
kemudian diikuti dengan turunnya ayat
sebagai jawabannya yaitu:
‫ ف نزلت االية‬... ‫ س ئل رس ول اهلل عن ك ذا‬...
“Rasulullah ditanya tentang hal yang begini,
maka turunlah ayat ini” Ungkapan yang
seperti ini merupakan nash yang sharih dan
menunjukkan bahwa peristiwa itu menjadi
sebab turunnya ayat tersebut.49
b) Bentuk susunan redaksi yang masih
diperselisihkan(‫)محتملة‬ dikalangan para ulama
untuk menunjukkan kepada “asbāb al-Nuzūl” (al-
mukhtalaf al-i’tidad bihi wa’ adamihi), karena
dengan redaksi pengungkapannya yang masih
muhtamilah ini (mengandung kemungkinan).

49
Muhammad Zainuddin, Metode Memahami Al-qur’an, 67
54

Ungkapan yang tidak jelas namun masih


mengindikasikan sebagai sebab-sebab turunnya
ayat.
Al-Wahidi sangat berhati-hati dalam menfasirkan
ayat Alquran, untuk mengatasi keraguan yang diduga
mengandung pengertian umum, supaya terhindar dari
kebohongan dan menempatkan kedudukannya dalam
kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang
yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat. Al-Wahidi
menyatakan penyesalannya terhadap para ulama-ulama
pada zamannya yang terlalu menggampangkan riwayat-
riwayat Hadis mengenai Asbāb al-nuzūl. Para ulama
terdahulu banyak yang menemukan kesulitan dalam
memahami makna ayat sampai sampai Al-Wahidi
mengatakan : “Adapun dalam zaman kita dewasa ini
setiap orang suka mengada-ada mengenai agama, kami
mengakui dan kami serukan juga agar para ulama dewasa
ini turut mengakui, bahwa betapapun kerasnya usaha kita
memperoleh riwayat yang benar dan dapat mengantarkan
kita kepada pengetahuan yang sesungguhnya tentang
Asbāb al-nuzūl, kita tetap tidak akan dapat mengetahui
semua ayat Alquranyang turun karena ada hal-hal yang
dapat dipandang sebagai Asbāb al-nuzūl.50 Seperti itulah
pentingnya untuk memahami Asbāb al-nuzūl guna

50
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1990), 178.
55

menghimpun keterangan secermat mungkin dan seluas


mungkin setelah menyeleksi rawinya.
72

BAB IV

ANALISIS KAIDAH ASBĀB AN-NUZŪL

A. Contoh penerapan Asbāb al-nuzūl


Dalam contoh penerapan Asbāb al-nuzūl ini
penulis mengambil sampel Q.s An-Nur ayat 3 sebagai
bahan penelitian, sebagai berikut:
ٍ ‫الزانِي ةُ اَل ي ْن ِكح َه ا ِإاَّل َز‬ ِ ِ ِ َّ
‫ان َْأو ُم ْش ِر ٌك‬ ُ َ َ َّ ‫الزاني اَل َي ْنك ُح ِإاَّل َزانيَ ةً َْأو ُم ْش ِر َكةً َو‬

)3( ‫ين‬ِِ َ ِ‫َو ُح ِّر َم ذَل‬


َ ‫ك َعلَى ال ُْمْؤ من‬
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas oran-orang yang mukmin”. (an-Nur:3)51
Riwayat Asbāb al-Nuzūl menurut Al-Wāhidī,
beliau menuturkan ada tiga riwayat asbāb al-nuzūl al-Nūr
Ayat 3 ini antara lai:
1) Riwayat yang pertama ia kutip dari ulama tafsir tanpa
menyebut secara spesifik ulama mana yang dimaksud. Ia
berkata:

‫ت‬ ْ ‫ َوفِ ْي ِه ْم ُف َّق َراءُ ل َْي َس‬,‫اج ُر ْو َن ِإلَى ال َْم ِد ْينَ ِة‬
ِ ‫ قَ ِدم الْم َه‬: ‫ال الْم َف ِّس رو َن‬
ُ َ ْ ُ ُ َ َ‫ق‬
‫ َو ُه َّن‬,‫ يَ ْك ِريْ َن َأْن ُف َس ُه َّن‬,‫ات‬ ُ ‫ َوبِال َْم ِد ْينَ ِة نِ َس اءُ َبغَايَا ُم َس افِ َح‬,‫ال‬
ُ ‫ل َُه ْم َْأم َو‬

51
Depag RI., Al-Qur`an dan Terjemahnya, 543
73

‫اس ِم ْن ُف َق َر ِاء‬ ِ
ُ َ‫ب في َك ْس ب ِه َّن ن‬
ِ ‫يومِئ ٍد َأحص ب َْأه ِل الْم ِدينَ ِة َف ر ِغ‬
َ َ ْ َ ُ َ ْ َ َْ
ِ ‫ِإ‬ ِ ِ ِ
ُ‫ لَى َأ ْن ُيغْنَينَ ا اهلل‬,‫فَع َش نَا‬,‫ ل َْوَأنَّا َت َز َو ْجنَ ا م ْن ُه َّن‬:‫ َف َق ال ُْوا‬,‫ال ُْم َه اج ِريْ َن‬
,‫ك‬ َ ِ‫ فاستأذنوارس ول اهلل ص لى اهلل علي ه وس لم فِ ْي ذَل‬,‫َت َع الَى َع ْن ُهن‬
‫ْم ْؤ ِمنِْي َن َع ْن‬ ِ ِ ِ ِ َّ ‫ وح ِّرم فِيه ا نِ َك اح‬: ُ‫َت ه ِذ ِه اآْل ي ة‬
ٌ ‫الزانيَ ة ص يَانَةً لل‬ ُ َْ َ ُ َ َ َ ْ ‫َفَن َزل‬
َ ِ‫ذَل‬
.‫ك‬
Para penafsir berkata bahwa kaum muhajirin datang ke
Madinah dan di antara mereka terdapat beberapa orang
miskin yang tidak memiliki harta dan mereka hidup di
Madinah terdapat beberapa pelacur mengkomersialkan
dirinya. Pada saat itu kalangan pelacur termasuk kelompok
sejahtera. Beberapa orang dari kaum miskin muhajirin
tertarik dengan penghasilan pelacur-pelacur tersebut. Mereka
berkata, “kalau saja kita menikah dan hidup bersama mereka
hingga Allah menjadikan kita tidak lagi butuh kepada
mereka”. Merekapun meminta ijin Rasulullah Ṣalla Allah
‘Alaihy wa Sallam untuk hal tersebut. Lalu turunlah ayat ini
diharamkan menikahi perempuan pezina untuk melindungi
52
kaum mu’minin dari terjatuh ke dalam perzinaan.

2) Riwayat kedua dituturkan al-Wāhidī dari Ikrimah tanpa


menyebut sanad. Berikut riwayat selengkapnya:
ٍ َ‫َت اآْل ي ةُ فِى نِس ٍاء بغَاي ا مَتعالِن‬
َ‫ات بِ َم َّكة‬ ِ ‫ َن َزل‬: ُ‫ال ِع ْك ِرم ة‬ َ َ‫َوق‬
َُ َ َ َ َ َ
‫ات‬ِ ‫ات َكراي‬ ٍ ِ ِ ِ ِ
َ َ ُ َ‫ب َرايَ ات ل َُه َّن َراي‬ُ ‫ص َواح‬ َ ‫ َو ُك َّن ت ْس ُع‬,‫َوال َْمد ْينَ ة‬
‫أئب بْ ِن َأبِي‬
ِ ‫الس‬ َّ ُ‫ َج ا ِريَ ة‬,‫ اُ ُّم َم ْه ُز ْو ٍل‬: ‫الَْب ْيطَ ا ِر ُي ْع َرفْ َن بِ َه ا‬
52
Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī, Asbāb Nuzūl al-Qur`ān (Beirut: Dā
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H) , 325.
74

ٍ ِ ِ ‫الس‬
َ ُ‫جا ِريَة‬,
ُ‫ َو َحنَّة‬.َ‫ص ْف َوأ َن بْ ِن َُأميَّة‬ َ ‫ َوُأمٌّ عُلَْيط‬,‫أئب ال َْم ْخ ُز ْوم ِّي‬ َّ
ِ ِ‫ وم ْزنَ ةٌ جا ِري ةُ مال‬,‫اص بْ ِن واِئ ٍل‬ ِ ِ
‫ك بْ ِن‬ َ َ َ َُ َ ِ ‫ َجا ِريَ ةُ ال َْع‬,ُ‫الْق ْبطيَّة‬
‫ َو ُُّأم‬,‫ َجا ِريَ ةُ ُس َه ْي ِل بْ ِن َع ْم ٍرو‬,ُ‫ َو َجاَل لَ ة‬,‫اق‬ ِ َّ‫الس ب‬
َّ ‫َع ِم ْيلَ ةَ بْ ِن‬
,ُ‫ َجا ِريَة‬,ُ‫ َو َش ِر ْي َفة‬,‫ َجا ِريَةُ َع ْم ِروبْ ِن عُثْ َم ا َن ال َْم ْخ ُز ْو ِم ِّي‬,‫ُس َويْ ٍد‬
ِ ِ
َ َ‫ َو َف ْر َس ةُ َجا ِريَ ةُ ه َش ام بْ ِن َربِْي َع ة‬,‫اَأْلس َود‬
‫و َف ْرَتنَ ا‬, ْ ‫َز ْم َع ةَ بْ ِن‬
:‫اهلِيَّ ِة‬
ِ ‫ت بي و ُته َّن تُس َّمى فِي الْج‬
َ ْ َ ُ ْ ُُ ْ َ‫ َو َك ان‬.‫س‬ ٍ َ‫َجا ِريَ ةُ ِهاَل ِل بْ ِن َأن‬
,‫ان ِم ْن َْأه ِل ال ِْق ْبلَ ِة‬ٍ ‫ الَي ْد ُخل َعلَْي ِه َّن والَي أتِْي ِه َّن ِإاَّل َز‬,‫اخ ْير‬
َ َ ُ َ َ ‫ال َْم َو‬
ِ
‫اس ِم َن ال ُْم ْس لِ ِم ْي َن نِ َك ا‬ُ َ‫اد ن‬ َ ‫ فَ ََأر‬,‫ان‬ ِ َ‫َأوم ْش ِر ُك ِمن َْأه ِل اَأْلوث‬
ْ ْ ُْ
ِ ِ
‫ َو َن َهى‬,َ‫ فَ َأْن َز َل اهللُ َت َع الى َه ذه اآْل يَ ة‬,ً‫وه َّن َمْأ َكلَ ة‬ ِ ِ
ُ ‫َح ُه َّن ليَتَّخ ُذ‬
.‫ َو َح َّر َمهُ َعلَْي ِه ْم‬,‫ك‬َ ِ‫الْمْؤ ِمنِْي َن َع ْن ذَل‬
Artinya: “Ikrimah berkata bahwa ayat ini turun pada pelacur-
pelacur di Makkah dan Madinah. Terdapat banyak pelacur di
antaranya sembilan pelacur yang memasang papan nama
seperti papan nama ahli pengobatan agar diketahui.
Kesembilan pelacur itu adalah Ummu Mahzul budak
perempuan al-Saib bin abi al-Saib al-Mahzumi, Ummu
‘Ulaith budak perempuan Shofwan bin Umayyah, Hannah al-
Qibtiyah budak perempuan al-‘Ash bin Wa’il, Muznah budak
perempuan budak perempuan Malin bin Amilah bin al-
Sabbaq, Jalalah budak perempuan Suhail bin Amr, Ummu
Suwaid budak perempuan Amr bin Utsman al-Mahzumi,
Syarifah budak perempuan Zam’ah bin al-Aswad, Farsah
budak perempuan Hisyam bin Rabi’ah, dan Fartana budak
perempuan Hilal bin Anas. Pada masa jahiliyah rumah-
rumah mereka dikenal dengan nama“al-Mawākhīr”. Mereka
tidak dikunjungi selain oleh pezina dari golongan ahlul kitab
75

atau orang musyrik dari kaum pagan. Beberapa orang kaum


muslimin bermaksud menikahi pelacur itu untuk
menjadikannya sebagai sumber penghidupan. kemudian
Allah menurunkan ayat ini dan melarang mereka melakukan
hal tersebut mengharamkannya”53
3) Riwayat ketiga dituturkan lengkap dengan sanadnya yang
berujung kepada cerita Abdullah bin Amr bin al-Ash. Berikut
riwayat selengkapnya:
ِ ‫ض ر ِم ُّي َع ِن الْ َق‬ َ َ‫َح َّد َثنَا َعا ِر ٌم َح َّد َثنَا ُم ْعتَ ِم ٌر ق‬
‫اس ِم‬ َ ْ ‫ْح‬ َ ‫ال َأبِي َح َّد َثنَا ال‬ َ َ‫ال ق‬
‫اس تَْأ َذ َن نَبِ َّي‬ ِِ ِ َّ ‫بْ ِن ُم َح َّم ٍد َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َع ْم ٍرو‬
ْ ‫ين‬َ ‫َأن َر ُجاًل م ْن ال ُْم ْس لم‬
‫ت‬ ْ َ‫ول َك ان‬ ُ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم فِي ْام َر ٍَأة ُي َق‬
ٍ ‫ال ل ََه ا ُُّأم َم ْه ُز‬ ِ
َ ‫اللَّه‬
ِ ِ ِ ُ ‫تُ َس افِ ُح َوتَ ْش تَ ِر‬
ُ‫ص لَّى اللَّه‬ َ ‫اس تَْأ َذ َن ف َيه ا النَّبِ َّي‬
ْ ُ‫ط لَهُ َأ ْن ُت ْنف َق َعلَْي ه َوَأنَّه‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ
َ ‫َعلَْي ه َو َس لَّ َم َْأو ذَ َك َر لَ هُ َْأم َر َه ا َف َق َرَأ النَّبِ ُّي‬
‫الزانِيَ ةُ اَل‬
َّ { ‫َت‬ ْ ‫ال ُأنْ ِزل‬َ َ‫ان َْأو ُم ْش ِر ٌك } ق‬ ٍ ‫الزانِي ةُ اَل ي ْن ِكح َه ا ِإاَّل َز‬
ُ َ َ َّ {
‫ْت ُم ْعتَ ِم ًرا َع ْن‬ ُ ‫ال َع ا ِر ٌم َس َأل‬ َ َ‫ال َأبِي ق‬ َ َ‫ان َْأو ُم ْش ِر ٌك } ق‬ ٍ ‫ي ْن ِكح َه ا ِإاَّل َز‬
ُ َ
ِ
‫اص ا َوقَ ْد َر َْأيتُ هُ َح َّد َثنَا َع ْب د اللَّه َح َّد َثنَا يَ ْحيَى‬ ًّ َ‫ال َك ا َن ق‬ ِ
َ ‫ض َرم ِّي َف َق‬ ْ ‫ْح‬َ ‫ال‬
‫اس ِم بْ ِن ُم َح َّم ٍد‬ ِ ‫ضر ِم ِّي َع ِن الْ َق‬ ِ ِ ِ
َ ‫بْ ُن َمعي ٍن َح َّد َثنَا ال ُْم ْعتَم ُر َع ْن َأبِيه َع ِن ال‬
َ ْ ‫ْح‬
ُ‫َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َع ْم ٍرو نَ ْح َوه‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami 'Arim telah
menceritakan kepada kami Mu'tamir dia berkata: bapakku
berkata: telah menceritakan kepada kami Hadlrami dari Al
Qosim bin Muhammad dari Abdullah bin 'Amru bahwa
Seorang laki-laki dari kaum muslimin datang kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Salam meminta izin untuk menikahi
seorang wanita yang biasa dipanggil Ummu Mahzul,
53
Ibid,...
76

wanita tersebut selalu berbuat zina dan ia mensyaratkan


kepadanya agar dia yang memberinya nafkah. Laki-laki itu
meminta izin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam
untuk menikahinya, atau dia menyebutkan kepada beliau
tentang persoalan wanita itu. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi
wa Salam membaca ayat: {Dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik}. Dia berkata: maka diturunkan: {Dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik}. Bapakku
berkata: 'Arim berkata: aku bertanya kepada Mu'tamir
tentang Al Hadlrami, maka ia berkata: "Dia adalah orang
yang suka berkisah, dan sungguh aku telah melihatnya."
Telah menceritakan kepada kami Abdullah telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Ma'in telah
menceritakan kepada kami Al Mu'tamir dari bapaknya dari
Al Hadlrami dari Al Qosim bin Muhammad dari Abdullah
bin 'Amru kemudian disebutkan hadits tersebut diatas.
Ketiga riwayat di atas memiliki inti cerita yang
sama yaitu bahwa seseorang orang bermaksud menikahi
pelacur untuk meringankan beban hidup. Maksud
tersebut disampaikan kepada Rasulullah Saw. Lalu
turunlah surat al-Nūr ayat 3 yang melarang menikahi
pelacur sebagai jawaban atas keinginan mereka.
77

Untuk memudahkan dalam pembahasan ini,


maka selanjutnya ketiga riwayat al-Wāhidī. penulis akan
memberi nama sebagai berikut: riwayat I disebut“al-
Wāhidī 1”; riwayat II disebut “al-Wāhidī 2”; dan
riwayat III disebut “al-Wāhidī 3”.
Dari penuturan diatas al-Wāhidī diperoleh 3
riwayat yang memiliki inti cerita yang sama, yaitu
bahwa ada seorang atau beberapa orang sahabat yang
bermaksud menikahi pelacur, lalu turunlah surat al-Nūr
ayat 3 yang melarang pernikahan dengan pezina. Tetapi
masing-masing riwayat memiliki detail cerita yang
berbeda. Al-Wāhidī 1 menggambarkan kondisi ekonomi
para sahabat muhajirin yang miskin dan para pelacur
yang kaya.
Al-Wāhidī 1 juga menyebutkan adanya motivasi
ekonomi yang melatar belakangi keinginan sebagian
sahabat menikahi pelacur tersebut. Nama pelacur
tersebut terekam detail cerita al Wāhidī 2. Termasuk di
antara nama-nama tersebut adalah Ummu Mahzul yang
disebut dalam riwayat lain.
Al-Wāhidī 2 juga menyinggung motivasi
ekonomi. Secara kesplisit al-Wāhidī 3 menyebut nama
pelacur dimaksud, yaitu Ummu Mahzul dan hanya ada
seorang, bukan beberapa orang, sahabat yang
bermaksud menikahi pelacur. Tetapi riwayat ini tidak
78

menyinggung motivasi ekonomi. Terkait waktu dan


tempat kejadian, secara implisit al-Wāhidī 1
menyebutnya setelah hijrah dan di Madinah.
B. Kandungan Hukum
Maksud hukum umum disini adalah bahwasnnya
hukum umum ini dimaksud untuk semua orang tidak
kepada seorang yang disebutkan dalam asbabun nuzul
saja. Karena hukum yang terdapat pada ayat tersebut
jika dikaitkan dengan hukum yang terdapat dalam
negara Indonesia yang hukumnya bersifat fleksible,
apalagi dengan melihat keadaan dan kondisi sekarang
ini khususnya pada negara Indonesia banyak orang yang
melakukan suatu perzinahan yang kemudian tidak
dihukumi untuk haram dinikahi. Ini semua karena
hukum di Indonesia adalah negara hukum yang dapat
diterima oleh berbagai penganut agama, bukan terpihak
pada agama Islam saja.
Penerapan hukum yang terdapat pada surat An-
Nur ayat 3 tersebut pada pembaharuan hukum Islam
memang belum ada secara segnifikan di Indonesia, akan
tetapi ayat ini sebagai wacana yang bernilai menakut-
namuti bagi para umat muslim supaya tidak untuk
mendekati zina, karena bilamana terjerumus kedalam
perzinahan yang kemudian akan menyusahkan dan
merugikan diri sendiri, yaitu termasuk didalamnya
79

mempersulit diri dalam mencari pasangan hidup


(menikah) karena telah dinilai oleh orang perbuatan
yang dilakukan itu tidak baik dan kotor. Sehingga
orangpun beranggapan akan tidak baik pula jika orang
yang taat beragama menikah dengan orang yang telah
melakukan dosa berar dalam artian telah melakukan
perbuatan keji (zina).
Zahri Hamid mengemukakan didalam bukunya
“pokok pokok hukum perkawinan islam dan undang-
undang perkawinan indonesia” memasukkan pezina
sebagai golongan orang yang terhalang untuk dinikahi
yang berlaku sementara, artinya bahwa terdapat
kemungkinan penghalang yang termaksud berakhir
dalam keadaan yang bersangkutan masih hidup,
sehingga dengan demikian dimungkinkan mereka
melakukan akad perkawinan, jadi perbuatan zina itu
menjadi penghalang perkawinan antara orang yang telah
berzina dengan orang yang suci dari perbuatan zina.
Karena hukum islam bertujuan memelihara kesucian
keturunan dan mengutuk perbuatan zina sebab berzina
itu menurunkan martabat manusia oleh karenanya
perbuatan zina itu bertentangan dengan prinsip hukum
Islam serta bertentangan dengan rasa kemanusiaan yang
beradab.54

54
Zahri Hamid, Pokok Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang
Perkawinan Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), 14-16.
80

Ketentuan hukum yang terkandung didalam surat


An-Nur ayat 3 semua bermakna sama, bahwa tujuan
syariat Islam terhadap adanya suatu hukum dalam setiap
perbuatan yaitu untuk kemaslahatan manusia termasuk
diantara adalah larangan menikahi pezina. Karena
perzinahan itu akan membawa dampak yang tidak baik
bukan hanya pada satu sisi semata, namun bisa
mempengaruhi pada sisi yang lain juga sedangkan
tujuan dari suatu pernikahan adalah untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah
warohmah. Sesuai dengan kaidah fiqhiyah bahwa jika
terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan
pada suatu perbuatan, maka menolak kerusakan lebih
didahulukan.

‫صلِ ِح‬ ِ ‫اس ِد َْأولَى ِم ْن َجل‬


َ ‫ْب ال َْم‬
ِ ‫َدرء الْم َف‬
َ ُْ
Artinya: “Menolak kemadhorotan lebuh utama dari pada
kemaslahatan”55
Hal ini diperkuat oleh hadis nabi :

‫ول‬
َ ‫َأن َر ُس‬ ِ ِ‫ح َّدثَنِي يحيى َعن مالِ ك َعن َعم ِرو ب ِن يحيى الْم ا ِزنِ ِّي َعن َأب‬
َّ ‫يه‬ ْ َ َْ َ ْ ْ ْ َ ْ َْ َ َ
ِ
‫ض َر َر َواَل ض َر َار‬
َ ‫ال اَل‬ َّ ِ َّ َّ
َ َ‫صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم ق‬ ِ َّ
َ ‫الله‬
Artinya: Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari
'Amru bin Yahya Al Muzani dari Bapaknya bahwa Rasulullah
Shalla Allahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak boleh

55
Muhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam,
(Bandung: Al-Ma’rif, 1993), 513-514
81

membuat kemudharatan pada diri sendiri dan membuat


kemudharatan pada orang lain."
Dengan kata lain, jika suatu perbuatan ditinjau dari satu
segi terlarang karena mengandung kerusakan dan ditinjau dari
segi yang lain mengandung kemaslahatan, maka segi
larangannya yang harus didahulukan. Hal itu desebabkan
karena perintah meninggalkan larangan lebih kuat dari pada
perintah menjalankan kebaikan atau kamaslahatan. Semua
perintah dan larangan Allah didalam Al-Qur’an, begitupun
anjuran dan larangan Rosulullah SAW. didalam sunnah, akan
terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak
adayang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang
mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia. Maslahat
menjadi bagian subtansi dari Maqosid Syariah.
Maslahat menurut Al-Ghazali dapat dicapai dengan cara
menjaga lima kebutuhan pokok manusia dalam kehidupannya
yaitu; memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dari
segi apa yang menjadi sasaran yang dipelihara dalam penetapan
hukum, maslahat ada lima sebagaimana uraiannya yaitu
sebagai berikut:
a) Memelihara agama
Manusia sebagai mahluk Allah harus percaya kepada Allah
yang menciptakannya, menjaga dan mengatur kehidupan
manusia. Agama atau keberagamaan merupakan hal yang
vital bagi kehidupan manusia oleh karenanya harus
82

dipelihara dengan dua cara; yang pertama mewujudkan


serta selalu meningkatkan kualitas keberadaanya. Segala
tindakan yang membawa kepada terwujud atau lebih
sempurnanya agama itu pada diri seseorang disebut
tindakan yang maslahat. Oleh karena itu ditemukan dalam
Al-Qur’an perintah Allah untuk mewujudkan dan
menyempurnakan agama itu, dalam rangka jalbu manfa’atin
b) Memelihara jiwa
Kehidupan atau jiwa itu merupakan pokok dari segalanya
karena segalanya didunia ini bertumpu pada jiwa. Oleh
karena itu, jiwa itu harus dipelihara eksistensi dan
ditingkatkan kualitasnya dalam rangka jalbu manfaatin.
Didalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan
memelihara jiwa dan kehidupan itu. idalam al-Qur’an
terdapat ayat-ayat yang memerintahkan memelihara jiwa
dan kehidupan itu. Diantaranya yaitu:

‫َّاس‬
ُ ‫ود َه ا الن‬ ُ ُ‫آمنُوا قُوا َأْن ُف َس ُك ْم َو َْأهلِي ُك ْم نَ ًارا َوق‬
َ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫يَا َُّأي َها الذ‬
‫ص و َن اللَّهَ َم ا‬ ِ ٌ ‫ْحج ارةُ َعلَيه ا مالِئ َك ةٌ ِغال‬ ِ
ُ ‫ظ ش َدا ٌد اَل َي ْع‬ َ َ ْ َ َ ‫َوال‬
)6( ‫ََأم َر ُه ْم َو َي ْف َعلُو َن َما ُيْؤ َم ُرو َن‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahkrim: 6)
c) Memelihara akal
83

Akal adalah unsur yang sangat penting bagi kehidupan


manusia karena akal itulah yang membedakan hakikat
manusia dari mahluk Allah liainnya.oleh karena itu Allah
memerintahkan kepada manusia supaya untuk dapat
memeliharanya. Segala bentuk wujud dan sempurnanya
akalitu adalah perbuatan baik atau maslahat dalam rangka
jalbul manfa’ah. Salah satu bentuk meningkatkan kualitas
akal adalah menuntut ilmu atau belajar. Dalam rangka daf’u
madhoroh Allah melarang segala usaha yang menyebabkan
kerusakan akal.
d) Memelihara keturunan
Keturunan disini adalah keturunan dalam lembaga keluarga.
Sedangakan yang dimaksud dengan keluarga yang dihasilkan
melalui perkawinan yang sah. Untuk memelihara keluarga
yang sahih itu adalah menghendaki manusia itu melakukan
perkawinan. Sebagaiman terdapat dalam QS. An-Nur : 32
‫ِئ‬ ِ ِ ِ ‫الصالِ ِح‬ ِ ِ
َ ‫ين م ْن عبَاد ُك ْم َوِإ َما ُك ْم ِإ ْن يَ ُكونُوا ُف َق َر‬
‫اء‬ َ َّ ‫َوَأنْك ُحوا اَأْليَ َامى م ْن ُك ْم َو‬
ِ ِ ِ ِ ْ َ‫يغْنِ ِهم اللَّهُ ِمن ف‬
)32( ‫يم‬ ٌ ‫ضله َواللَّهُ َواس ٌع َعل‬ ْ ُ ُ
Artinya: dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas lagi Maha mengetahui.
e) Memelihara harta
Harta adalah suatu yang sangat dibutuhkan manusia karena
tanpa harta (makan dan minum) manusia tidak mungkin
84

bertahan hidup. Dalam rangka jalbu manfa’ah Allah


memerintahkan mewujudkan dan memelihara harta.
Menurut Wabah Az-Zuhairi dilihat aspek
pengaruhnya dalam kehidupan manusia maslahat dibagi
tiga yaitu:
a) Dharuriyah(masalah yang bersifat primer) dimana kehidupan
manusia sangat tegantung padanya baik agama maupun
duniawi.
b) Hajiyat (masalah yang bersifat skunder) yang diperlukan
oleh manusia untuk mempermudah dalam kehidupan dan
menghilangkan kesulitan.
c) Tahsiniayat (masalah yang bersifat moral) yang dimaksudkan
untuk kebaikan dan kemuliaan.56
Pembagian maslahat seperti yang dijelaskan diatas
dimaksudkan dalam rangka mempertegas maslahat mana
yang boleh diambil dan maslahat mana yang harus
diprioritaskan diantara sekian banyak maslahat, yang
kemudian ditetapkan sesuai dengan kebutuhan pokok
hidup manusia. Keterkaitan dalam Maslahah dalam
Maqosid Syari’ah pada pembahasan peniliti tentang
muslim yang menikahi pezina yaitu terdapat pada aspek
tahsiniyah atau moral yang tentunya sangat berkaitan
dengan lima pencapaian maslahat yaang telah dipaparkan

56
Wahbah Az-Zuhairi, Ushul Fiqih Al-Islami, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986),
1020-1023.
85

diatas terlebih cenderung terdapat pada pencapaian


maslahat yang ke tiga yaitu menjaga keturunan.
Adanya suatu hukum tentang tidak diperbolehkan
orang muslim menikahi pezina, ini tujuan untuk keduanya
supaya mencari pasangan yang setara terutama agama,
kebaikannya dan akhlaknya, supaya mempunyai
keturunan yang shalih dan shalihah. Bagaimana mungkin
terbentuknya jiwa-jiwa yang shalih dan shalihah jika
didasari dengan suatu hubungan yang kurang baik.
Tentunya dikemudian waktu mental sang anak akan
terganggu dengan perbuatan orang tuanya dahulu. Dan
tujuan suatu pernikahan adalah menjadikan rumah tangga
yang sakinah mawadah warahmah tentram damai dunia
dan akhirat.

C. Verifikasi Riwayat
Riwayat al-Wāhidī 1 dikutip dari pendapat ulama tafsir.
Untuk melacaknya diperlukan kitab tafsir yang lebih tua dari
masa al-Wāhidī. Dalam hal ini penulis mencoba melacaknya dari
Tafsir Thabari, Ibnu Abi Hatim dan Tsa’labi. Dalam tafsir Ibnu
Abi Hatim ditemukan riwayat yang redaksi dan detail ceritanya
mirip riwayat al-Wāhidī 1. Ibnu Abi Hatim menuturkannya
dengan sanad yang berujung pada Muqatil bin Hayyan (w.
86

Sebelum 150 H), seorang tabi’it tabi’in. Berikut sanad Ibnu Abi
hatim:57

‫ ثنا محمد بْ ُن َعلِى بْ ِن الحسن ابن‬,‫س‬


َ ‫ض ِل بْ ِن ُم ْو‬
ْ ‫ت َعلَى محمد بْ ِن الْ َف‬
ُ ‫َق َرْأ‬
‫ عن مقات ل ابن‬,‫ف‬ ٍ ‫ ثن ا ب َكي ر بن مع رو‬,‫اح ٍم‬ ِ ‫ ثن ا محم د بن م ز‬,‫َش ِقي ِق‬
ُْ َْ ُ ْ ُ ْ ُ َ ُ ٌْ َ ْ
....‫حيان‬
Riwayat Ibnu Abi Hatim lebih panjang dari
riwayat al-Wāhidī 1. Di samping kesamaan inti cerita,
yaitu pernikahan dengan pelacur, juga terdapat kesamaan
detail cerita dalam tiga hal. Pertama, mengenai implikasi
waktu dan tempat kejadian. Ibnu Abi Hatim menuturkan:

,‫ إال قلي ل ِم ْن ُه ْم‬,‫ قَ ِد ُم ْو َها َو ُه ْم بِ َج ْه ِد‬,َ‫ ل ََّما قَ ِد َم ال ُْم َه ا ِج ُر ْو َن ال َْم ِد ْينَ ة‬...
...‫ الْ َخ ْي ُر بِ َها قَلِ ْي ُل‬,‫ْج ْه ِد‬ ِ
َ ‫ َشديْ َدةُ ال‬,‫الس ْع ِر‬ِّ ُ‫َوال َْم ِد ْينَةُ غَالِيَة‬
Artinya: Ketika sahabat muhajirin datang ke Madinah, mereka
dalam kondsi payah kecuali sebagian kecil. Dan Madinah saat
itu, harga-harga mahal, kehidupan sangat susah, dan kehidupan
yang baik menjadi barang langka…58
Kutipan di atas sekaligus menyatakan kesamaan
detail kedua, yaitu kondisi sahabat muhajirin yang miskin.
Tentang kesamaan detail ketiga, yaitu kondisi para
pelacur yang hidup sejahtera, Ibnu Abi Hatim
menuturkan:

...‫ب اَ ْه ِل ال َْم ِد ْينَ ِة َواَ ْكثِ ِر ِه َخ ْي ًرا‬


ِ‫ص‬ ِ
َ ‫ َو ُك َّن م ْن اَ ْخ‬...
57
Abu Muhammad Abdurrahman bin Muhammad al-Razi Ibnu Abi Hatim,
Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adhīm (Saudi Arabia: Maktabah Nizar Musthafa al-Bāz,
1419 H) , 8:2523
58
Ibid...
87

Artinya:…Dan mereka (para pelacur) termasuk di antara


penduduk Madinah yang berkehidupan sejahtera …59
Dengan demikian riwayat al-Wāhidī 1 dapat
disandarkan pada riwayat Ibnu Abi Hatim. Riwayat Ibnu
Abi Hatim sendiri tidak menyebutkan sekurang-
kurangnya dua periwayat di atasnya, yaitu periwayat dari
generasi tabi’in dan sahabat. Riwayat al-Wāhidī 2 juga
ditemukan dalam Tafsir Tsa’labi dengan cerita dan
redaksi yang nyaris persis. Sebagaimana al-Wāhidī 2,
Tsa’labi juga hanya menyebutkan,“Ikrimah berkata” tanpa
menyertakan sanad.60Riwayat ini terputus di awal dan
akhir mata rantai periwayat. Sebab, baik al-Wāhidī
maupun Tsa’labi tidak menyebtukan mata rantai yang
menyambungkannya dengan Ikrimah dan sekurang-
kurangnya terdapat satu periwayat di atas Ikrimah yang
tidak disebut, yaitu periwayat dari generasi sahabat.
Riwayat al-Wāhidī 3 dari sudut sanad sama
dengan al-Suyūṭī 1. Sebab riwayat al-Suyūṭī 1 yang
memang disandarkan pada Al-Nasā`iy di temukan dalam
al-Sunan al-Kubrā dengan sanad sebagi berikut:

,‫ض َر ِمي‬ ِ ِ ِ
َ ‫ َع ِن ال‬,‫ َع ْن َأبِه‬,‫ َحدَّ َثنَا ال ُْم ْعتَم ُر بْ ُن ُس لَْي َما َن‬,‫اَ ْخَب َرنَا َع ْم ُر بْ ُن َعلى‬
ْ ‫ْح‬
...‫ َع ْن َع ْب ِد اهلل بْ ِن َع ْم ٍرو‬,‫َع ِن الْ َق ِس ِم بْ ِن محمد‬

59
Ibid...
60
Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Abu Ishaq al-Tha’labī, al-Kashfu wa
al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur`ān (Beirut: Dār Ihyā` turāth al-‘Arabī, 2002),7:65-
66
88

Dengan demikian riwayat al-Wāhidī 1 bertemu sanad dengan


riwayat Al-Nasā`iy pada al-Mu’tamir bin Sulaiman.61 Sanad yang
sama juga ditemukan dalam riwayat al-Ḥākim sebagai berikut:
ِ
‫ َح َّد َثنَا‬,‫َّد‬ ُ ‫ َأن‬,ُ‫اَأب ْوبَ ْك ِربْ ُن ِإ ْس َحا َق اَلْ َفقي ه‬
ُ ‫ َح َّد َثنَ ُام َس د‬,‫أَأب ْوال ُْم َثنَّى‬ ُ َ‫َح َّد َثن‬
‫اس ِم بْ ِن‬ ِ ‫ َع ِن الْ َق‬,‫ض ر ِم ُّي بن الَ ِح ِق‬ َ َ‫ ق‬,‫ َع ْن َأبِْي ِه‬, ‫ال ُْم ْعتَ ِم ُر‬
ُ ْ َ ْ ‫ْح‬ َ ‫ َح َّد َثنَا اَل‬: ‫ال‬
62
... ‫ َع ْن َع ْب ِد اهلل بْ ِن َع ْم ٍرو‬,‫محمد‬
Bahkan riwayat Al-Ḥākim juga menyebutkan
motivasi ekonomi sebagaimana riwyat al-Wāhidī 3.
menurut komentar al-Dhahabi riwayat Al-Ḥākim bernilai
saḥīḥ. Berdasarkan penuturan di atas, maka muatan cerita
al-Wāhidī 3 bernilai sahih berdasarkan penilaian al-
Dhahabi. Seperti diatas disebutkan dalam riwayat yang
dituturkan oleh Al-Tirmīdhī, Abu Dawud, Al-Nasā`iy dan
Al-Ḥākim. Keempat riwayat bertemu sanadnya pada
Ubaidullah bin al-Akhnas dari Amr bin Syuaib dari
bapaknya dari kakeknya. Yang dimaksud kakeknya
adalah kakek buyut Amr bin Syuaib, yaitu Abdullah bin
‘Amr bin al-‘Ash dari generasi sahabat. Al-Tirmīdhī
memberikan nilai hasan pada hadis yang
diriwayatkannya. Sementara al-Dhahabi memberikan nilai
sahih pada hadis yang diriwayatkan al-Ḥākim. Berikut
riwayat selengkapnya:
a. Al-tirmidzi
61
Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib al-Al-Nasā`iy, al-Sunan al-Kubrā
(Beirtu: al-Risālah, 2001), 10:197
62
Abu Abdillah Muhammad Bin Abdillah bin Muhammad al-Ḥākim, al-
Mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīḥayn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990) , 2:211
‫‪89‬‬

‫س‬ ‫ادةَ َع ْن عَُب ْي ِد اللَّ ِه بْ ِن اَأْل ْخنَ ِ‬ ‫ح بْ ُن عُبَ َ‬ ‫ٍ‬


‫َح َّد َثنَا َع ْب ُد بْ ُن ُح َم ْي د َح َّد َثنَا َر ْو ُ‬
‫ب َعن َأبِي ِه َعن ج د ِ‬ ‫ِ‬
‫ال لَهُ‬ ‫ال َك ا َن َر ُج ٌل ُي َق ُ‬ ‫ِّه قَ َ‬ ‫ْ َ‬ ‫َأ ْخَب َرني َع ْم ُرو بْ ُن ُش َع ْي ٍ ْ‬
‫اَأْلس َرى ِم ْن َم َّكةَ َحتَّى يَْأتِ َي بِ ِه ْم‬ ‫ٍ‬
‫َم ْرثَ ُد بْ ُن َأبِي َم ْرثَد َو َك ا َن َر ُجاًل يَ ْح ِم ُل ْ‬
‫ص ِدي َقةً لَهُ‬ ‫ت َ‬ ‫ال ل ََها َعنَا ٌق َو َك انَ ْ‬ ‫ت ْام َرَأةٌ بَِغ ٌّي بِ َم َّكةَ ُي َق ُ‬ ‫ال َو َكانَ ْ‬‫ال َْم ِدينَةَ قَ َ‬
‫ال فَ ِجْئ ُ‬ ‫ُأس َارى َم َّكةَ يَ ْح ِملُ هُ قَ َ‬ ‫ِ‬
‫ت‬ ‫ت َحتَّى ا ْنَت َه ْي ُ‬ ‫َوِإنَّهُ َك ا َن َو َع َد َر ُجاًل م ْن َ‬
‫ت َعنَ ا ٌق‬ ‫اء ْ‬
‫ال فَ َج َ‬ ‫ِإلَى ِظ ِّل َحاِئ ٍط ِم ْن َح َواِئ ِط َم َّكةَ فِي ل َْيلَ ٍة ُم ْق ِم َر ٍة قَ َ‬
‫َت‬ ‫َي َع َر َف ْت هُ َف َق ال ْ‬ ‫ت ِإل َّ‬ ‫ْحاِئ ِط َفلَ َّما ا ْنَت َه ْ‬ ‫ب ال َ‬ ‫اد ِظلِّي بِ َج ْن ِ‬ ‫ت َس َو َ‬ ‫ص َر ْ‬ ‫فََأبْ َ‬
‫ال‬‫ت ِع ْن َدنَا اللَّْيلَ ةَ قَ َ‬ ‫َت َم ْر َحبً ا َو َْأهاًل َهلُ َّم فَبِ ْ‬ ‫ْت َم ْرثَ ٌد َف َق ال ْ‬ ‫َم ْرثَ ٌد َف ُقل ُ‬
‫الر ُج ُل يَ ْح ِم ُل‬ ‫ْخيَ ِام َه َذا َّ‬ ‫َت ي ا َْأه ل ال ِ‬ ‫ْت يَ ا َعنَ ا ُق َح َّر َم اللَّهُ ِّ‬
‫الزنَا قَ ال ْ َ َ‬ ‫ُقل ُ‬
‫ف َْأو‬ ‫ت ِإلَى َك ْه ٍ‬ ‫ت الْ َخ ْن َد َم ةَ فَ ا ْنَت َه ْي ُ‬‫ال َفتَبِ َعنِي ثَ َمانِيَ ةٌ َو َس لَ ْك ُ‬ ‫َأس َرا ُك ْم قَ َ‬ ‫ْ‬
‫ِ‬
‫ْت فَ َج اءُوا َحتَّى قَ ُاموا َعلَى َرْأس ي َفبَ الُوا فَظَ َّل َب ْول ُُه ْم َعلَى‬ ‫غَ ار فَ َد َخل ُ‬ ‫ٍ‬
‫ت ِإلَى ِ‬
‫ص احبِي فَ َح َملْتُ هُ‬ ‫َ‬ ‫ال ثُ َّم َر َجعُ وا َو َر َج ْع ُ‬ ‫اه ْم اللَّهُ َعنِّي قَ َ‬ ‫َرْأ ِسي َوَأ ْع َم ُ‬
‫ت َع ْن هُ َك ْبلَ هُ‬ ‫ت ِإلَى اِإْل ْذ ِخ ِر َف َف َك ْك ُ‬ ‫َو َك ا َن َر ُجاًل ثَِقياًل َحتَّى ا ْنَت َه ْي ُ‬
‫ص لَّى‬ ‫ت رس َ ِ‬ ‫ْت َأح ِملُ هُ ويعيِينِي حتَّى قَ ِدم ُ ِ‬
‫ول اللَّه َ‬ ‫ت ال َْمدينَ ةَ فَ َأَت ْي ُ َ ُ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫فَ َج َعل ُ ْ َ ُ ْ‬
‫ول اللَّ ِه‬‫ك َر ُس ُ‬ ‫ول اللَّ ِه َأنْ ِك ُح َعنَاقً ا فَ َْأم َس َ‬ ‫ْت يَ ا َر ُس َ‬ ‫اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َف ُقل ُ‬
‫َت { ال َّزانِي اَل‬ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َفلَ ْم َي ُر َّد َعلَ َّي َش ْيًئا َحتَّى َن َزل ْ‬ ‫َ‬
‫ٍ‬ ‫اَّل‬‫ِإ‬ ‫ِ‬
‫الزانيَةُ اَل َي ْنك ُح َها َزان َْأو ُم ْش ِر ٌك َو ُح ِّر َم‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫اَّل‬
‫َي ْنك ُح َزانيَةً َْأو ُم ْش ِر َكةً َو َّ‬ ‫ِإ‬ ‫ِ‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم يَا َم ْرثَ ُد‬ ‫ال رس ُ ِ‬ ‫ِِ‬ ‫ذَلِ َ‬
‫ول اللَّه َ‬ ‫ين} َف َق َ َ ُ‬ ‫ك َعلَى ال ُْم ْؤ من َ‬
‫الزانِي ةُ اَل ي ْن ِكح َه ا ِإاَّل َز ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ان َْأو‬ ‫{ال َّزاني اَل َي ْنك ُح ِإاَّل َزانيَ ةً َْأو ُم ْش ِر َكةً َو َّ َ َ ُ‬
‫يس ى َه َذا َح ِد ٌ‬ ‫ِ‬ ‫ُم ْش ِر ٌك } فَاَل َت ْن ِك ْح َه ا قَ َ‬
‫يث َح َس ٌن غَ ِر ٌ‬
‫يب اَل‬ ‫ال َأبُ و ع َ‬
‫َن ْع ِرفُهُ ِإاَّل ِم ْن َه َذا ال َْو ْج ِه‬
‫‪Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid‬‬
‫‪telah menceritakan kepada kami Rauh bin Ubadah dari‬‬
‫‪Ubaidullah bin Al Akhnas telah mengkhabarkan kepadaku‬‬
‫‪Amru bin Syua'ib dari ayahnya dari kakeknya berkata:‬‬
‫‪Seseorang bernama Murtsad bin Abu Murtsad, ia adalah‬‬
90

seseorang yang pernah menggendong seorang tawanan dari


Makkah hingga ke Madinah. Ketika itu ia mempunyai teman
seorang pelacur di Makkah bernama Anaq. Martsad
kemudian meminta seseorang diantara tawanan Makkah
untuk menggendongnya. Ia berkata: Aku pun datang hingga
sampai ke naungan salah satu kebun Makkah di malam
purnama. Anaq datang lalu melihat gelapnya naungan di tepi
kebun. Saat ia tiba di hadapanku, ia mengenaliku, ia
bertanya: Martsadkah ini? Aku menjawab: Iya, aku Martsad.
Anaq berkata: Selamat datang, mari menginap ditempat kami
malam ini. ia berkata: Aku berkata: Hai Anaq, sekarang
Allah telah mengharamkan zina. Anaq kontan berteriak:
"Wahai pemilik tenda, orang inilah yang membawa tawanan-
tawanan kalian. Ia berkata: Delapan orang menguntitku, aku
menempuh kawasan Khandamah hingga sampai ke salah
satu gua. Aku masuk lalu mereka tiba hingga berdiri di atas
kepalaku. Mereka kencing, kencing mereka mengenaiku dan
mereka dibutakan Allah hingga tidak bisa melihatku. Setelah
itu mereka kembali dan aku pun kembali ke temanku, aku
menggendongnya, kebetulan ia adalah orang yang berat, aku
menggendongnya hingga sampai rumput idzkhir, aku
melepas tali pengikatnya yang kebetulan tali tersebut besar.
Kemudian aku mengendongnya dan ia cukup menjadikanku
kelelahan, hingga akhirnya aku tiba di Madinah. Aku
mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam, aku
91

berkata: "Wahai Rasulullah, bagaimana kalau saya menikahi


si 'Anaq? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam diam tidak
menjawab apa pun hingga turunlah ayat: "Laki-laki yang
berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik: dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang yang mukmin." (An Nuur: 3) Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Wahai Martsad,
wanita pezina hanya menikahi wanita pezina dan pezina
wanita hanya menikahi lelaki pezina atau lelaki musyrik,
jangan nikahi dia." Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib,
kami hanya mengetahui hadits ini melalui sanad ini.63
b. Abu Dawud

‫يم بْ ُن ُم َح َّم ٍد الت َّْي ِم ُّي َح َّد َثنَا يَ ْحيَى َع ْن عَُب ْي ِد اللَّ ِه بْ ِن‬ ِ ‫ِإ‬
ُ ‫َح َّد َثنَا ْب َراه‬
‫َأن َم ْرثَ َد بْ َن َأبِي َم ْرثَ ٍد‬ ِ ‫يه َعن ج د‬ ِ
َّ ‫ِّه‬ َ ْ ِ‫ب َع ْن َأب‬ ٍ ‫س َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َع ْي‬ ِ َ‫اَأْل ْخن‬
‫ال ل ََه ا َعنَ ا ُق‬ ُ ‫اَأْلس َارى بِ َم َّكةَ َو َك ا َن بِ َم َّكةَ بَِغ ٌّي ُي َق‬ ِ
َ ‫ي َك ا َن يَ ْحم ُل‬ َّ ‫الْغَنَ ِو‬
‫ْت يَ ا‬ُ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َف ُقل‬ َ ‫ت ِإلَى النَّبِ ِّي‬ ُ ‫ال ِجْئ‬ َ َ‫ص ِدي َقتَهُ ق‬
َ ‫ت‬ ْ َ‫َو َك ان‬
‫الزانِيَ ةُ اَل‬
َّ ‫َت { َو‬ ْ ‫ت َعنِّي َفَن َزل‬ َ ‫ال فَ َس َك‬ َ َ‫ول اللَّ ِه َأنْ ِك ُح َعنَ ا َق ق‬ َ ‫َر ُس‬
‫ال اَل َت ْن ِك ْح َها‬َ َ‫ان َْأو ُم ْش ِر ٌك } فَ َد َعانِي َف َق َر ََأها َعلَ َّي َوق‬ ٍ ‫ي ْن ِكح َها ِإاَّل َز‬
ُ َ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin
Muhammad At Taimi, telah menceritakan kepada kami
Yahya, dari 'Ubaidullah bin Al Akhnas dari 'Amr bin Syu'aib
dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Martsad bin Abu Martsad

63
Abu Isa al-Tirmīdhī, Sunan al-Tirmīdhī (Cairo: Muṣṭafa al-Bābī al-ḥalabī,
1975) , hlm. 5::329.
‫‪92‬‬

‫‪Al Ghanawi membawa tawanan dari Mekkah dan di Mekkah‬‬


‫‪terdapat seorang pelacur yang dikenal dengan nama 'Anaq dan‬‬
‫‪dia dahulu adalah teman wanitanya. Martsad berkata: Aku‬‬
‫‪menemui Nabi Shallallahu 'alaihi sallam lalu aku berkata:‬‬
‫‪"Wahai Rasulullah, bolehkah aku menikahi 'Anaq?" Martsad‬‬
‫‪berkata: kemudian beliau diam, lalu turun ayat: {Seorang‬‬
‫‪wanita pezina tidaklah boleh dinikahi kecuali oleh seorang‬‬
‫‪laki-laki pezina atau orang musyrik.} (An Nuur:3) Lalu beliau‬‬
‫‪memanggilku dan membacakan ayat tersebut di hadapanku‬‬
‫‪seraya bersabda: "Janganlah kamu menikahinya."64‬‬
‫‪c. Al-Nasā`i‬‬

‫يد َع ْن عَُب ْي ِد‬ ‫ال ح َّد َثنَا يحيى هو ابن س ِع ٍ‬ ‫ٍ ِ‬ ‫ِإ ِ‬


‫يم بْ ُن ُم َح َّمد الت َّْيم ُّي قَ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ ُ َ‬ ‫َأ ْخَب َرنَا ْب َراه ُ‬
‫َأن َم ْرثَ َد بْ َن َأبِي‬ ‫ب َعن َأبِي ِه َعن ج د ِ‬ ‫اللَّ ِه بْ ِن اَأْل ْخنَ ِ‬
‫ِّه َّ‬ ‫ْ َ‬ ‫س َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َع ْي ٍ ْ‬
‫اُأْلس َارى ِم ْن َم َّكةَ ِإلَى‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ي َو َك ا َن َر ُجاًل َش دي ًدا َو َك ا َن يَ ْحم ُل َ‬ ‫َم ْرثَ ٍد الْغَنَ ِو َّ‬
‫ال ل ََه ا َعنَ ا ُق‬ ‫َأِلح ِملَ هُ َو َك ا َن بِ َم َّكةَ بَِغ ٌّي ُي َق ُ‬ ‫ت َر ُجاًل ْ‬ ‫ال فَ َد َع ْو ُ‬ ‫ال َْم ِدينَ ِة قَ َ‬
‫َت َم ْن َه َذا‬ ‫ْحاِئ ِط َف َق ال ْ‬ ‫ِ ِ ِ‬
‫َأت َس َوادي في ظ ِّل ال َ‬ ‫ت َف َر ْ‬ ‫ص ِدي َقتَهُ َخ َر َج ْ‬ ‫ت َ‬ ‫َو َك انَ ْ‬
‫ْت يَ ا‬ ‫الر ْح ِل ُقل ُ‬ ‫ت ِع ْن َدنَا فِي َّ‬ ‫َم ْرثَ ٌد َم ْر َحبً ا َو َْأهاًل يَ ا َم ْرثَ ُد انْطَلِ ْق اللَّْيلَ ةَ فَبِ ْ‬
‫ْخيَ ِام‬ ‫َت ي ا َْأه ل ال ِ‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َح َّر َم ِّ‬ ‫َعنَا ُق ِإ َّن رس َ ِ‬
‫الزنَا قَ ال ْ َ َ‬ ‫ول اللَّه َ‬ ‫َُ‬
‫ت‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِإ‬
‫اء ُك ْم م ْن َم َّكةَ لَى ال َْمدينَ ة فَ َس لَ ْك ُ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّ‬ ‫َه َذا ُّ‬
‫ُأس َر َ‬
‫الدلْ ُد ُل َه َذا الذي يَ ْحم ُل َ‬
‫الْ َخ ْن َد َمةَ فَطَلَبَنِي ثَ َمانِيَ ةٌ فَ َج اءُوا َحتَّى قَ ُاموا َعلَى َرْأ ِس ي َفبَ الُوا فَطَ َار َب ْول ُُه ْم‬
‫ت بِ ِه ِإلَى‬ ‫احبِي فَ َح َملْتُ هُ َفلَ َّما ا ْنَت َه ْي ُ‬ ‫ت ِإلَى ص ِ‬ ‫اه ْم اللَّهُ َعنِّي فَ ِجْئ ُ‬
‫َ‬ ‫َعلَ َّي َوَأ ْع َم ُ‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ‫ت ِإلَى رس ِ ِ‬ ‫ت َع ْن هُ َك ْبلَ هُ فَ ِجْئ ُ‬ ‫اَأْلر ِ‬
‫ول اللَّه َ‬ ‫َُ‬ ‫اك فَ َك ْك ُ‬ ‫َ‬
‫ِ‬
‫الزانيَ ةُ اَل‬
‫َت { َّ‬ ‫ت َعنِّي َفَن َزل ْ‬ ‫ِ‬
‫ول الله َأنْك ُح َعنَ ا َق فَ َس َك َ‬ ‫ِ‬ ‫َّ‬ ‫ْت يَ ا َر ُس َ‬ ‫َف ُقل ُ‬
‫ال اَل َت ْن ِك ْح َها‬ ‫ان َْأو ُم ْش ِر ٌك } فَ َد َعانِي َف َق َر ََأها َعلَ َّي َوقَ َ‬ ‫ي ْن ِكح َها ِإاَّل َز ٍ‬
‫َ ُ‬
‫‪64‬‬
‫‪Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dāwud (Beirut: Al-‘Aṣriyyah, tt), 2:220-‬‬
‫‪221‬‬
93

Artinya: Telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin


Muhammad At Taimi, ia berkata: telah menceritakan
kepada kami Yahya yaitu Ibnu Sa'id dari 'Ubaidullah bin
Al Akhnas dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari
kakeknya bahwa Martsad bin Abi Martsad Al Ghanawi ia
adalah orang yang keras, dan membawa tawanan dari
Mekkah ke Madinah, ia berkata: lalu aku memanggil
seseorang agar aku membawanya, dan di Makkah ada
seorang pelacur yang bernama 'Anaq yang ia dahulu
adalah temannya, wanita tersebut keluar lalu melihat
warna hitamku dibawah bayangan dinding, ia berkata
siapa ini? Martsad? Selamat datang wahai Martsad
datanglah malam ini dan bermalamlah dirumahku. Saya
katakan: wahai 'Anaq sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkan zina.
Wanita tersebut berkata: wahai orang-orang yang ada
dikemah, ini ada seekor landak yang membawa tawanan
kalian dari Mekkah ke Madinah, lalu aku berjalan di
gunung kemudian terdapat delapan orang yang
mencariku, mereka datang dan berdiri diatas kepalaku lalu
kencing, dan kencing mereka beterbangan mengenaiku
dan Allah membutakan mereka dari melihatku, kemudian
aku mendatangi temanku dan membawanya, ketika aku
sampai di dipan aku melepas ikatannya, lalu aku menemui
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata:
94

wahai Rasulullah: bolehkan saya menikahi 'Anaq, lalu


beliau diam dan turunlah ayat perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik. lalu beliau mamanggilku dan bersabda:
"Janganlah engkau menikahinya."65
d. Al-Ḥākim

‫َّد ثنا يَ ْحيَى بْ ُن َس ِع ْي ٍد‬ ُ ‫َح َّد َثنَا َُأب ْو بَ ْك ِر بْ ُن ِإ ْس َحا َق َأْنبَ َأ َُأب ْو ال ُْم َثنَّى ثنا ُم َس د‬
َّ : ‫ب َع ْن َأبِْي ِه َع ْن َج ِد ِه‬
‫َأن‬ ٍ ‫س َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َع ْي‬ ِ ‫ح َّدثَنِي عُب ْي ِد‬
ِ َ‫اهلل بْ ُن اَْأل ْخن‬ َ َ
ِ
‫اُأْلس َارى ب َم َّكةَ َو َكا َن‬ ِ ِ
َّ ‫َم ْرثَ َد بْ َن َأب ْي َم ْرثَ َد الْغَنَ ِو‬
َ ‫ي رضي اهلل عنه َكا َن يَ ْحم ُل‬
‫ت ِإلَى النبي صلى‬ ُ ‫ فُ ِجْئ‬: ‫ال‬ َ َ‫ص ِد ْي َقتَهُ ق‬َ ‫ت‬ ْ َ‫ال ل ََه ا َعنَ ا ُق َو َك ان‬ ُ ‫بِ َم َّكةَ بَِغ ُّي ُي َق‬
‫ت َعنِّي‬ َ ‫ فَ َس َك‬: ‫ال‬ َ َ‫ يا رس ول اهلل اَنْ ِك ُح َعنَ ا َق ؟ ق‬: ‫ْت‬ ُ ‫اهلل عليه و سلم َف ُقل‬
ٍ ‫الزانِي ةُ اَل ي ْن ِكح َه ا ِإاَّل َز‬ ِ ِ ِ َّ { ‫َت‬
‫ان‬ ُ َ َ َّ ‫الزاني اَل َي ْنك ُح ِإاَّل َزانيَ ةً َْأو ُم ْش ِر َكةً َو‬ ْ ‫َفَن َزل‬
‫ين } َف َق َرَأ َعلَ َّي رس ول اهلل ص لى اهلل‬ ِِ َ ِ‫َْأو ُم ْش ِر ٌك َو ُح ِّر َم ذَل‬
َ ‫ك َعلَى ال ُْم ْؤ من‬
ِ ِ ‫ث‬ ِ ِ
ْ ‫صح ْي ُح اِإْل ْسنَاد َو ل‬
ُ‫َم يُ َخ ِّر َجاه‬ َ ُ ْ‫ اَل َت ْنك ْح َها َه َذا َحدي‬: ‫ال‬ َ َ‫عليه وسلم َو ق‬
Artinya: telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin
Ishaq meberitahu kami bahwa Abu al-Muthanna
memberitahu kami Yahya bin Sa'id, Ubayd Allah ibn al-
Akhnas mengatakan kepada saya dari Amr bin Shuaib
dari kakeknya: bahwa Murthad bin Abi Murthad al-
Ghanawi, semoga Tuhan senang dengannya, membawa
tahanan di Mekah dan dia di Makkah disebut pelacur
Pacarnya berkata: Saya datang kepada Nabi, semoga doa
dan damai Allah besertanya, dan berkata: bolehkan saya
menikahi 'Anaq? Dia berkata: Jadi saya diam saja, dan

65
Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib al-Nasā`iy, al-Sunan al- Nasā`iy
(Alepo: Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmoyyah, 1986), 6:66.
95

saya turun: Orang yang berzinah tidak menikah kecuali


seorang pezina atau musyrik, dan pezina tidak
menikahinya kecuali pezina atau penyembah berhala, dan
itu dilarang bagi orang beriman. Ali membaca rasulullah
saw bersabda jangan menikahinya, hadis ini shahih di
keluarkannya.66
Dari sisi kandungan cerita, terdapat dua perbedaan
signifikan dengan keempat riwayat yang menjadi sumber
sandarannya. Pertama, perbedaan nama tokoh sahaba
menyebutnya Mazyad. Sedangkan riwayat Al-Tirmīdhī,
Abu Dawud, Nas`iy dan Al-Ḥākim menyebutnya Marthad
bin Abi Marthad. Kedua, riwayat itu menyebutkan
perjalanan Marthad dimulai dari Anbar menuju Makkah.
Hal ini mengindikasikan seolah-olah peristiwa itu terjadi
di Makkah. Sementara keempat riwayat menyebutkan
bahwa Makkah merupakan awal perjalanan. Bahkan
riwayat Al-Tirmīdhī dan Al-Nasā`iy secara eksplisit
menyebutkan perjalanan dari Makkah menuju Madinah.
Dari penuturan di atas dapat disimpulkan, secara
kesuluruhan riwayat diatas sekurang-kurangnya memiliki
tingkat keterpercayaan yang dapat diterima dengan
penyesuaian detail cerita terkait nama tokoh sahabat dan
rute perjalanan tokoh tersebut.

66
Abu Abdillah Muhammad Bin Abdillah bin Muhammad al-Ḥākim, al-
Mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīḥayn, 2:180
96

Dengan demikian dari riwayat di atas di antaranya


dapat dijadikan sebagai dasar analisa asbab al-nuzūl, yaitu
riwyat al-Wāhidī 3, Riwayat al-Wāhidī 3 dikuatkan oleh
Hadis al-Ḥākim yang bernilai sahih menurut al-Dhahabi.
Riwayat lain dikuatkan oleh hadis Al-Tirmīdhī, Abu
Dawud, Al-Nasā`iy dan al-Ḥākim yang sekurang-
kurangnya bernilai hasan. riwayat ini seluruhnya berujung
kepada informasi Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dari
generasi sahabat Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam.
Dengan mempertimbangkan kesatuan sumber
informasi, dari riwayat di atas dapat dipadukan dengan
redaksi sebagai berikut. Marthad bin Abi Marthad,
seorang sahabat Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam, bekerja sebagai pembawa tawanan dari Makkah
ke Madinah. Ia memiliki seorang kekasih bernama Anaq,
disebut juga Ummu Mahzul. Anaq adalah seorang pelacur
yang siap menanggung nafkah siapa saja yang
mengawininya. Suatu hari Marthad datang ke Makkah
untuk membawa tawanan ke Makkah. Anaq mengetahui
itu dan menemuinya. Lalu Anaq mengajak Marthad untuk
bermalam di rumahnya. Tetapi Marthad menolak dan
menjawab bahwa zina haram. Seusai membawa tawanan
dari Makkah ke Madinah Marthad menghadap Rasulullah
Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam untuk meminta ijin
97

mengawini Anaq. Rasulullah terdiam dan tidak menjawab


permintaan itu. Lalu turunlah ayat:
ٍ ‫الزانِي ةُ اَل ي ْن ِكح َه ا ِإاَّل َز‬ ِ ِ ِ َّ
‫ان َْأو ُم ْش ِر ٌك‬ ُ َ َ َّ ‫الزاني اَل َي ْنك ُح ِإاَّل َزانيَ ةً َْأو ُم ْش ِر َكةً َو‬
‫ين‬ ِِ َ ِ‫َو ُح ِّر َم َذل‬
َ ‫ك َعلَى ال ُْمْؤ من‬
Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam segera memanggil
Marthad dan membacakan ayat tersebut. Lalu Rasulullah Ṣalla
Allah ‘Alaihy wa Sallam bersabda kepada Anaq, “janganlah kamu
menikahinya”.

D. Kesesuaian Riwayat dengan Kriteria Asbāb al-Nuzūl


Seperti dijelaskan di atas sebuah peristiwa dapat dijadikan
sabab al-Nuzūl jika memenuhi tiga kriteria, yaitu keselarasan
konteks pembicaraan, kebersamaan waktu, dan turunnya ayat
merupakan respon atas peristiwa tersebut. Dari segi konteks
pembicaraan, kisah Marthad bertutur tentang keinginan menikahi
pelacur dan ayat yang turun berbicara tentang larangan menikah
dengan pezina. Dari segi kebersamaan waktu, jarak antara
turunnya ayat dengan kisah Marthad masih terbilang dalam satu
rangkaian waktu. Hal itu ditunjukkan dengan redaksi hadis yang
menggunakan huruf athaf fa’ untuk menyambungkan permintaan
ijin marthad dengan turunnya ayat. Dengan kata lain, turunnya
ayat terjadi segera setelah permintaan ijin Marthad. Turunnya
ayat juga merupakan respon atas kisah Marthad di mana
kandungan ayat berisi jawaban atas permintaan ijin Marthad
untuk menikahi pelacur. Dengan demikian kisah Marthad telah
memenuhi kriteria sebagai sabab al-nuzūl dari al-Nūr ayat 3.
98

E. Implikasi Sabab al-Nuzūl terhadap Pemahaman surat al-Nūr


ayat 3
Berdasarkan sabab al-nuzūl di atas surat al-Nūr
ayat 3 diturunkan di Madinah dan setelah hijrah.
Turunnya ayat tersebut merupakan jawaban atas
perminttan ijin Marthad bin Abi Marthad al-Ghanawy
untuk menikahi seorang pelacur. Meskipun diturunkan
untuk merespon kisah Marthad, tetapi hukum ayat
tersebut berlaku umum, baik bagi Marthad atau orang
lain, baik karena alasan ekonomi atau alasan lain. Dalam
hal ini berlaku prinsip al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafdhi lā bi
khuṣūṣ al-sabab. Sabab al-nuzūl di atas juga memastikan
bahwa kata nikāḥ pada ayat tersebut bermakna akad
bukan bersetubuh. Secara etimologis nikāḥ memang bisa
berarti akad dan bersetubuh. Oleh karena itu sebagian
ulama berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah,
seorang pezina laki-laki ketika berzina tidak menzinai
selain pezina muslimah atau pezina musyrikah. Dengan
demikian ayat tersebut tidak berbicara tentang larangan
menikahi pezina. Tetapi kata-kata Marthad, “bolehkah
aku menikahinya?” dan sabda Rasulullah Ṣalla Allah
‘Alaihy wa Sallam,“janganlah kamu menikahinya” dalam
konteks kisah Marthad memastikan bahwa nikāḥ pada
ayat tersebut tidak mungkin diartikan bersetubuh, dan
hanya mungkin diartikan akad.
99

Penolakan Marthad terhadap ajakan berzina dari


`Anaq dengan mengatakan, “Allah telah mengharamkan
zina” menurut versi Al-Tirmīdhī atau, “Rasulullah Ṣalla
Allah ‘Alaihy wa Sallam telah mengharamkan zina”
menurut versi Naza`iy, mengindikasikan bahwa zina telah
dilarang sebelum ayat ini turun. Dengan demikian, sabab
al-nuzūl memberikan petunjuk bahwa ayat ini turun
setelah diharamkannya zina. Sabab al-nuzūl di atas juga
memberikan petunjuk tentang situasi sosial saat mana
ayat diturunkan.
Permintaan ijin Marthad untuk menikahi pelacur
mengindikasikan bahwa menikahi pelacur bukan hal tabu
baginya. Marthad bukan satu-satunya sahabat yang
melakukan itu. Berdasarkan riwayat al-Wāhidī 1 dan 2
banyak sahabat lain yang bermaksud menikahi para
pelacur untuk menumpang hidup. Meskipun kedua
riwayat ini tidak cukup kuat untuk menafsirkan ayat,
tetapi dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang
kehidupan sosial pada masa itu. turunnya ayat ini yang
melarang, atau sekurang-kurangnya mengecam,
pernikahan dengan pelacur, memunculkan norma baru di
kalangan umat Islam yang berbalik seratus delapan puluh
derajat dari norma sosial sebelumnya.
Dari penuturan di atas dapat disimpulkan 5
implikasi sabab al-nuzūl sebagai berikut:
100

a) Ayat 3 dari surat al-Nūr turun di Madinah dan setelah Hijrah


b) Hukum larangan menikahi pezina berlaku umum sesuai
prinsip al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafdhi lā bi khuṣūṣ al-sabab
c) Nikāḥ pada ayat ini bermakna akad, bukan bersetubuh, sesuai
konteks sabab al-nuzūl
d) Zina telah diharamkan sebelum turunyya ayat ini
e) Ayat ini mengajarkan norma baru yang menabukan pernikahan
dengan pelacur
F. Analisis kritis kitab Asbāb Nuzūl Al-Qur’ān Karya Abu al-
Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī
Dalam kasus sabab al-nuzūl al-Nūr ayat 3 riwayat al-
Wāhidī terhitung variatif dari segi sumber informasi. al-Wāhidī
menggunakan empat model sumber informasi, yaitu:
a) Mengutip pendapat ulama tafsir secara anonim
b) Menyebut langsung sumber cerita tanpa sanad
c) Menyebut sumber cerita dengan sanad yang tidak terputus dan
sampai kepada al-Wāhidī langsung.
d) Sama dengan poin 3 tetapi dengan menyebutkan kitab hadis
lain yang memiliki riwayat yang sama
Al-Wāhidī juga terbilang variatif dari segai versi cerita.
Dalam masing-masing kasus, al-Wāhidī menampilkan beberapa
versi cerita. Dari segi akurasi sumber informasi, al-Wāhidī tidak
cukup selektif dalam menentukan sumber informasi. Dari riwayat
yang disampaikan, sebagian diantaranya sulit diverifikasi
keterpercayaan sumber informasinya. Bisa jadi, karya al-Wāhidī
101

memang dimaksudkan sebagai ensiklopedi asbāb al-nuzūl yang


memuat seluruh informasi tanpa pemilahan, seperti Mu’jam al-
Ṭabarānī yang memuat seluruh informasi hadis dengan seluruh
versi sanadnya, atau al-Durar al-Manthūr yang memuat seluruh
penafsiran bi al-ma`thūr. Akurasi kandungan informasi al-Wāhidī
cukup baik. Dari beberapa riwayat yang dapat diverifikasi, di
antaranya memang memiliki detail cerita yang berbeda dari
sumber informasi lain yang diitunjuknya. Tetapi perbedaan itu
tidak signifikan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, serta menjawab
rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, di bawah ini
penulis uraikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam kasus sabab al-nuzūl al-Wāhidī terhitung variatif
dari segi sumber informasi. Dalam kasus di atas misalnya,
al-Wāhidī menggunakan empat model sumber informasi,
yaitu:
a) Mengutip pendapat ulama tafsir secara anonim
b) Menyebut langsung sumber cerita tanpa sanad
c) Menyebut sumber cerita dengan sanad yang tidak
terputus dan sampai kepada al-Wāhidī langsung.
d) Sama dengan poin 3 tetapi dengan menyebutkan kitab
hadis lain yang memiliki riwayat yang sama.
2. Al-Wāhidī juga terbilang variatif dari segai versi cerita.
Dari segi akurasi sumber informasi, al-Wāhidī tidak cukup
selektif dalam menentukan sumber informasi. riwayat yang
disampaikan, diantaranya sulit diverifikasi keterpercayaan
sumber informasinya. Bisa jadi, karya al-Wāhidī memang
dimaksudkan sebagai ensiklopedi asbāb al-nuzūl yang
memuat seluruh informasi tanpa pemilahan, seperti Mu’jam
al-Ṭabarānī memuat seluruh informasi hadis dengan seluruh
92

versi sanadnya, atau al-Durar al-Manthūr yang memuat


seluruh penafsiran bi al-ma`thūr.
3. Karya ulama besar tersebut di bidang asbāb al-nuzūl layak,
bahkan sangat disarankan, menjadi sumber awal untuk
menelusuri asbāb al-nuzūl. Sebab, karya ini memiliki
variasi cerita yang cukup lengkap. Di samping itu
menulusuri asbāb al-nuzūl dari karya-karya yang secara
spesifik membahas hal tersebut lebih mudah dibanding
mencarinya dalam kitab-kitab tafsir atau hadis. Jika asbāb
al-nuzūl yang dicari ditemukan dalam kitab tersebut, maka
langkah selanjutnya adalah melakukan verifikasi, baik dari
segi keterpercayaan sumber informasi maupun kandungan
cerita. Dan langkah terakhir adalah melakukan analisa
kesesuaian asbāb al-nuzūl dengan ayat terkait.
B. Saran
Berdasarkan dari pembahasan dalam skripsi ini,
mulai dari pendahuluaan sampai kesimpulan penelitian ini di
tulis dengan penuh keterbatasan dan kekurangan. Masih
terdapat banyak celah dalam setiap dan data yang disajikan
maupun analisis yang penulis tampilkan dalam memahami
penelitian ini. Oleh karena itu, segala kekurangan yang
terdapat dalam penelitian ini diharapkan dapat dilengkapi oleh
penelitian selanjutnya.
92

Daftar Pustaka

Abi Ishaq al Syathibi, 2005, al-Muwâfaqât fî Ushûl asy-Syari’ah,


vol. III Beirut: Bar al-Kutub al-Ilmiah.
Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī, 1411, Asbāb Nuzūl al-
Qur`ān, Beirut: Dā al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Abu Muhammad Abdurrahman bin Muhammad al-Razi Ibnu Abi
Hatim, 1419 H. Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adhīm, Saudi Arabia:
Maktabah Nizar Musthafa al-Bāz.
Acep Hermawan, 2011, 'Ulumul Quran, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Ahmad Izzan, 2005, Ulumul Qur‟an (Telaah Tekstualitas dan
Kontekstualitas Alquran), Cet. 1, Bandung: Tafakur.
Ahmad Tajudin, 2015, “Asbabun Nuzul menurut Nasr hamid Abu
Zayd”. Skripsi, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Walisongo.
Ahmad Zaini, 2014, “Asbabun Nuzul dan Urgensi nya dalam
memahami Makna Al-Qur’an“, Jurnal. Mahasiswa
Pascasarja Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
al-Ḥākim, Abu Abdillah Muhammad Bin Abdillah bin
Muhammad, 1990, al-Mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīḥayn, Beirut,
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
al-Nasā`iy, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib, 1986, al-Sunan
al-Nasā`iy, Alepo, Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmoyyah.
93

al-Nasā`iy, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib, 2001, al-Sunan


al-Kubrā, Beirut, al-Risālah.
al-Sijistani, Abu Dawud, tth, Sunan Abi Dāwud, Beirut,
Al-‘Aṣriyyah.
al-Tha’labī, Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Abu Ishaq,
2002, al-Kashfu wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur`ān, Beirut
Dār Ihyā` turāth al-‘Arabī.
al-Tirmīdhī, Abu Isa, 1975, Sunan al-Tirmīdhī, Cairo, Muṣṭafa
al-Bābī al-ḥalabī.
al-Wāhidī, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad, 1411 H, Asbāb Nuzūl
al-Qur`ān, Beirut, Dā al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Ilmu-Ilmu Alquran. Cet.
Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009.
As-Shalih, Subhi. 1990, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran. Cet. 1.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Az-Zarkasi, t.t, al-Burhān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān, Juz 1 al-Qāhirah:
Maktabah Dār at-Turās.
Az-Zuhairi, Wahbah, 1986, Ushul Fiqih Al-Islami, Beirut: Dar
Al-Fikr.
Depag RI, 2008, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung: CV.
Diponegoro.
Halim, Mahmud Mani, Abdul. 2006, Metodologi Tafsir (Kajian
Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir), Jakarta: PT.
Raja Grafindo.
94

Hamid, Zahri, 1978, Pokok Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan


Undang-Undang Perkawinan Indonesia, Yogyakarta:
Bina Cipta.
Heri Gunawan, 2015, Ulumul Qur‟an Studi Ilmu-Ilmu Alquran,
Cet 1, Bandung: Arfino Raya.
https://republika.co.id/berita/q5o612430/perjalanan-pembukuan-
asbabun-nuzul-dalam-literatur-islam
Issa J. Boullata, 1996, ”Tafsir Al-Qur’an Modern: Studi Metode
Penafsiran Bint Al-Shati” Dalam Aisyah Abdurrahman,
Tafsir Bint Asy Syati’, Terj Ihsan Ali Fauzi, Bandung:
Mizan.
Jalalud Din as-Syuyuti, 1971, al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Beirut:
Darl al-Kutub al Ilmiah.
M. Quraish Shihab, 2007, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung:
Mizan.
M. Quraish Shihab, 2013, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera
Hati.
M. Quraish Shihab, dkk. 2013. Sejarah Ulumul Qur’an. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
M. Rifai Aly, 2019“Asbabun Nuzul dalam Tafsir Ibnu Katsir
(Seputar Ayat Khamr dan Ayat Bencana Alam)”, Tesis.
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir UIN Raden Intan Lampung.
95

Manna’ Khalil Al Qattan, tt, Mabahis Fi Ulūm Al Qur‟an.


Kairo: Munsarat al “Isr Al Hadist.
Manna’ Khalil Al-Qathan, 2013, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj.
Mudzakir, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa.
Muhammad Amin Suma, 2013, Ulumul Qur‟an, PT Raja
Grafindo, Cet I, Jakarta.
Muhammad Chirzin, 2011, Buku Pintar Asbabun Nuzul, Jakarta:
Zaman.
Muhammad Zainuddin, 2005, Metode Memahami Alqur’an, Cet
1, Bandung: Khazanah Intelektual.
Muhtar Yahya dan Fatchurrahman, 1993, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Islam, Bandung: Al-Ma’rif.
Nasr Hamid Abu Zaid, 2002, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik
Terhadap Ulumul Qur’an terjemahan oleh Khoiron
Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS.
Niswatur Rohmah, 2019, “Studi Analisis Kaidah Asbabun
Nuzul : Kelebihan dan Kekurangannya”, Jurnal.
Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945.
Noeng Muhajir, 1996, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta;
Bayu Indra Garfika.
Nurcholis Madjid, 1994, ”Konsep Asbabun Nuzul: Relevansinya
Bagi Pandangan Historis Segi-Segi Tertentu Ajaran
Keagamaan, Dalam Budhy Munawar Rahman (Ed.)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta:
Paramadina.
96

Rahendra Maya, 2018, Perspektif Al-Qur’an tentang Perubahan


Sosial: Analisis Penafsiran Term Al-Taghyir, Al-Ibtila’,
Al-Tamhish, dan Al-Tamkin. Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir, 03(01).
Rifki Muh. Fatkhi, 2007, “Asbāb an-Nuzūl Kajian Deskriptif
Analisis Kaidah al-Ibrah Pesan dan Fungsinya dalam
Memahami Ayat”, Skripsi. Mahasiswa Jurusan Tafsir
Hadits Fak Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sutria Dirga, 2018, “Studi Qawaid Tafsir Lafadz Mutarodif
Ghadab dan Ghaiza (Penafsiran Menurut Ibnu Jarir Al-
Tabari)”, Skripsi, Fak Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Syaikh Muhammadi Ali Ash-Shabuni,tt, At-Tibyan Fi Ulumil
Qur‟an Ikhtisar Ulumul Qur‟an Praktis.
Umar Shihab, 2005, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik
atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta: Pena
Madani.
W. Montgomeri Watt, 1998, Pengantar Qur’an Terj. Lilian D.
Tedjasudjana Jakarta: Inis.

Anda mungkin juga menyukai