Anda di halaman 1dari 12

KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN NASR HAMID ABU ZAID

(AL-QUR’AN SEBAGAI PRODUK BUDAYA)

Tulisan ini dipersembahkan untuk memnuhi tugas mata kuliah Kajian


literature al-Qur’an (UTS)

Dosen pengampu: DR. Kerwanto

Ditulis oleh:
Busyro lilmu’minin

PROGRAM STUDI
MAGISTER ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
PASCASARJANA INSTITUT PTIQ JAKARTA
2019/1440 H
KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN NASR HAMID ABU ZAID
(AL-QUR’AN SEBAGAI PRODUK BUDAYA)

Sebagai satu-satunya sumber inspirasi bagi ummat muslim, al-Qur’an


memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan ummat islam, kenapa
tidak? Sebab ia adalah satu-satunya pedoman hidup bagi ummat manusia, ia
tidak hanya berupa pedoman hidup namun ia juga merupakan salah satu
kitab suci yang di yakini oleh ummat islam sebagai hadiah ilahiyah bagi
ummat islam, jika demikian maka pemahaman yang utuh terkait konsep
tentang tek al-Qur’an itu sendiri menjadi sangat penting bahkan mutlak di
butuhkan, oleh sebab itu, para pemikir muslim klasik banyak melakukan
pengkajian terkait teks al-Quran itu sendiri, telah banyak pembahasan yang
berkaitan dengan masalah teks yang di telurkan oleh para ulama klasik,
dewasa ini telah banyak para cendikiawan muslim modern menawarkan
gagasan barunya terkait masalah teks al-Qur’an itu sendiri, salah satunya
adalah Nasr hamid abu zayd, dengan gagasan barunya nasr hamid abu zayd
datang membentur keyakinan khalayak muslim umumnya, pernyataan bahwa
al-Quran merupakan produk budaya melambung ke permukaan menjadi
topik bahasan yang cukup kontroversial dan banyak menyedot perhatian.

Ummat islam meyakini bahwa teks al-Qur’an merupakan tanzil yang


di turunkan oleh Tuhan melalui malaikat Jibril kepada utusan-Nya yaitu nabi
Muhammad, keyakinan ini tidak bisa lepas dari pemahaman para ulama-
ulama klasik islam itu sendiri, al-Gazali misalnya, ia menyatakan bahwa teks
al-Qur’an itu di turunkan kepada nabi Muhammad melalui malaikat jibril,
baik secara makna maupun secara lafadz teks al-Qur’an adalah tanzil dari
Tuhan, adapun keberadaan nabi Muhammad hanyalah sebagai penyampai
dan mubayyin (penjelas), hal inilah yang mendasari para pemahaman ummat
islam dalam memahami hakikat teks al-Qur’an itu sendiri.

Dengan pernyaan demikian ia ingin menegaskan bahwa sejatinya teks


al-Qur’an itu bukanlah hasil dari suatu system budaya tertentu. Al-Qur’an
justru merombak serta membangun pola pemikiran baru dalam system
sebuah peradaban tertentu.1

1
Husaini, A. Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani Press.
A. Al-Qur’an sebagai wahyu

Dalam hal ini kita perlu memahami proses turun nya al-Qur’an, sebab
memahami proses ini memiliki peranan yang sangat penting dalam kajian
pemikiran yang di angkat oleh peneliti, hal terpenting adalah kita harus
memahami bagaimana cara dan proses yang digunakan oleh Allah untuk
melakukan komunikasi dengan manusia, dalam hal ini ada banyak cara yang
di gunakan oleh Allah untuk melakukan komunikasi dengan manusia
sebagaimana yang di firmankan oleh Allah dalam al-Qur’an Nya, “proses
komunikasi Allah dengan manusia meliputi tiga cara, dengan cara wahyu,
atau berbicara di balik hijab serta dengan cara mengirim Rasul yang di
wahyukan dengan seizin Nya”.

Cara pertama adalah wahyu yang di maknai sebagai ilham,


sebagaimana ilham yang di turunkan Allah kepada ibunda Nabi Musa dan
lebah, proses ini merupakan suatu ilham yang tidak bisa di pahami kecuali
sang penerima wahyu dan disini bukanlah proses komunikasi yang tidak
berkaitan dengan penggunaan bahasa tertentu, namun melalui perintah yang
hanya di pahami oleh sang penerima, kedua, dengan cara berbicara di balik
hijab, dengan demikian proses ini harus menggunakan suatu sistem bahasa
yang di pahami oleh penerima, ketiga, proses komunikasi Allah dengan
manusia melalui utusan malaikat yang kemudian di sampaikan pada Rasul
dan Nabi-Nya.

Namuan proses penyampaian pesan yang melibatkan alat dan media


yang di gunakan oleh Allah untuk ummat manusia menuai perbedaan
pendapat, misalnya pertanyaan yang di ajukan ole para ulama adalah :
apakah Jibril menurunkan al- Qur’an berupa lafadz dan makna atau hanya
makananya saja? Hal ini mejadi penting untuk di pertanyakan sebab al-
Qur’an memiliki dua sisi yang paradok yang mungkin menjadi benang
pemisah antara keduanya, sakraliktas bahwa teks suci al-Qur’an adalah
firman Allah yang menuntut kehati-hatian penuh dalam memahami al-
Qur’an tidak berbanding lurus dengan fakta bahwa al-Qur’an adalah risalah
(pesan) untuk ummat manusia, dalam hal ini memahami pesan yang sengaja
di sampaikan kepada ummat manusia adalah tugas manusia itu sendiri selaku
penerima pesan, sebab proses komunikasi tidak akan terjalin tanpa adanya
suatu pemahaman antara kedua nya.
Pendapat pertama yang di gunakan oleh Imam Gazali adalah bahwa
al-Qur’an turun dengan lafadz dan makna, artinya jibril menghafal al-Qur’an
dari lauhul mahfudz kemudian menurunkan nya kepada Nabi Muhammad,
sedangkan pendapat kedua melakukan pemisahan antara proses tanzil dan
wahyu, tanzil yang di turunkan oleh Allah kepada jibril merupakan proses
ilham sedangkan wahyu yang di sampaikan oleh jibril merupakan
pemindahan bahasa, artinya jibril memahami apa yang di turunkan oleh
Allah kemudian dia menggunakan bahasa Arab sebagai media untuk
menyampaikan kepada Nabi Muhammad.

Menurut M. Quraish Shihab, dalam penafsiran bisa jadi dan mungkin


kerap kali terjadi penyimpangan atau kesalahpahaman, adapun yang di
maksud dengan menyimpang maupun sebab-sebab terjadinya penyimpangan
adalah tidak mengikuti apa yang sudah ditentukan sehingga melanggar
hukum atau kebenaran agama.2 Dalam bahasa al-Qur’an kata menyimpang
serupa dengan kata zaighun. Kata ini pada mulanya digunakan untuk makna
al-mailu yang berarti kemiringan/kecenderungan3 atau tidak berada atau
menjauh dalam posisinya. Dalam al-Mu‟jam al-Wasith yang disusun oleh
sejumlah pakar negara Arab, kata al-Zaighun diartikan dengan almailu „ani
al-haqqi artinya penyelewengan dari kebenaran.4

Penyimpangan dalam penafsiran lahir dari adanya dorongan hawa


nafsu si penafsir untuk mengalihkan makna satu ayat ke makna yang sesuai
dengan keinginan hawa nafsunya. Dengan kata lain, adanya prakonsepsi
yang ingin dibenarkan melalui penafsiran.5 Mengabaikan ketentuan-
ketentuan yang disepakati oleh yang memiliki otoritas dalam satu disiplin
ilmu juga dapat dinilai penyimpangan, bahkan walau hasil yang
dikemukakan benar. Dalam konteks inilah harus dipahami riwayat yang
dinisbatkan kepada Nabi saw. yang menyatakan: “Siapa yang menafsirkan
al-Qur‟an dengan hawa nafsunya, lalu ia benar (dalam penafsirannya)
maka ia telah salah.”

2
M. Quraish shihab, membumikan al-Qur’an Jilid 2, Lentera hati, 2010, h. 601-602.
3
Ahmad faris bin Zakariya dalam Mu’jam al Maqayis fi al-Lughah, dar al-Fikr, Beirut, cet.I
1994, h 466.
4
M. Quraish shihab, membumikan al-Qur’an Jilid 2, Lentera hati, 2010, h.601
5
M. Quraish shihab, membumikan al-Qur’an Jilid 2, Lentera hati, 2010, h.602
Yakni jalan yang ditempuhnya salah sehingga ia berkewajiban untuk
kembali ke jalan yang benar dan cara yang sah untuk menemukan kebenaran
itu. Ini serupa dengan sikap guru mata pelajaran matematika yang
mempersalahkan siswa yang menempuh jalan yang salah dalam
perhitungannya kendatipun angka yang diperolehnya benar.

Ada jalan-jalan yang telah di sepakati oleh pakar-pakar dalam bidang


setiap ilmu, yang harus dilalui oleh mereka yang bermaksud melibatkan diri
dalam bidang ilmu tersebut. Dalam penafsiran al-Qur’an, jalan tersebut
dinamai kaidah-kaidah tafsir. Siapa yang mengabaikan, sekali lagi
mengabaikan, kaidah-kaidah yang disepakati, maka penafsirannya dapat
dinilai menyimpang.

Adapun Kaidah tafsir ini juga telah disepakati adalah bahwa


penafsiran yang dikemukakan tidak boleh bertentangan dengan sunnah Rasul
saw., sehingga siapa yang mengemukakan pendapat yang bertentangan
dengannya, maka penafsirannya dapat juga dinilai menyimpang.6

Para ulama dan ilmuwan mengenal kaidah-kaidah tafsir yang telah


mapan dan diakui bersama menyangkut setiap disiplin ilmu. Nah, selama
pendapat tersebut tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang telah
disepakati itu, walaupun tidak sesuai dengan pendapat yang dianut
mayoritas, maka itu dapat ditoleransi. Adapun yang jelas menyimpang, maka
ia harus ditolak dan dibuktikan kesalahannya, agar yang mengemukakannya
menyadari kesalahannya, atau yang terpengaruh dapat kembali ke kebenaran.
Perlu dicatat bahwa al-Qur‟an tidak segan-segan memaparkan argumentasi
kaum musyrik untuk dibantahnya dan dibuktikan kesalahannya.

Dalam bukunya, Quraisy Shihab menyatakan bahwa: “Salah seorang


pengagum barat Hermeneutika di Mesir, Nashr Hamid Abu Zayd, bahkan
ditetapkan dalam satu sidang pengadilan resmi di Mesir sebagai seorang
yang telah keluar dari koridor agama karena dituduh dan ditetapkan sebagai
seorang yang menilai bahwa al-Qur’an adalah produk budaya. Banyak
tulisan-tulisannya dalam aneka bukunya yang dijadikan bukti, alasan, atau
dalih kemurtadannya. Misalnya, ajaran untuk membebaskan diri dari
kungkungan teks dan semua kungkungan yang menghalangi kemajuan

6
M. Quraish shihab, membumikan al-Qur’an Jilid 2, Lentera hati, 2010, h.604
manusia. Teks yang dimaksudnya antara lain adalah al-Qur’an. Hal ini
dipahami dari bukunya Mafhum an-Nash ketika dia menyatakan bahwa teks
pada hakikat dan subtansinya adalah produk budaya dan bahwa itu adalah
aksioma yang tidak memerlukan pembuktian.

Hal ini berarti bahwa Quraish Shihab sependapat dengan para ulama
Mesir dan menganggap bahwa penafsiran Nashr Hamid telah menyimpang.
Adapun dasar pemikiran Quraish Shihab adalah sebagai berikut:
1. Kalau yang dimaksud dengan Al-Qur‟an adalah penafsirannya, maka
kekeliruan tulisan Nashr Hamid Abu Zayd hanya pada redaksi, bukan
substansi. Akan tetapi, pernyataan Nashr Hamid Abu Zayd tentang
Al-Qur’an sebagai produk budaya adalah teks yang digunakan Al-
Qur’an atau kandungannya.
2. Nashr Hamid Abu Zayd menyerukan ajakan untuk melakukan apa
yang diistilahkan dengan Demitologisasi teks-teks Al-Qur’an, yakni
dengan memberinya makna yang logis dan ilmiah. Ini adalah cara
yang ditempuh oleh beberapa penganut Hermeneutika menghadapi
teks-teks Bibel.
3. Al-Qur’an diklaim sebagai produk budaya, dan merupakan hasil
pemikiran nabi Muhammad atau teksnya adalah hasil usulan beliau.
Kalau memang demikian tentu ada saja dari anggota masyarakat pada
masa itu yang dapat menyusun semacam teks-teks Al-Qur’an. Tetapi,
mengapa ketika Al-Qur’an menantang masyarakat yang ditemuinya
bahkan siapapun sepanjang masa, walaupun dengan bekerjasama,
untuk menyusun satu surah Al-Qur’an (baca : QS. Al Baqarah [2]:
23), mengapa mereka tidak sanggup memenuhi tantangan itu?. Itu
membuktikan bahwa jalan sulit yang mereka tempuh itu disebabkan
karena mereka sepenuhnya sadar, bahwa tidak seorangpun mampu
menyusun semacam Al-Qur’an karena itu diluar kemampuan
manusia.
4. Kalau kandungan Al-Qur’an dinyatakan sebagai produk budaya,
maka apakah produk itu lahir dari faktor-faktor penyebab yang logis
dalam arti apakah ada faktor-faktor yang memadai dalam masyarakat
jahiliyah yang mengantar pada lahirnya produk itu? Abbas Mahmud
al-Aqqad, seorang pemikir dan sastrawan Mesir kenamaaan (1889-
1964 M), dalam muqadimah bukunya Mathla‟ an-Nur menulis
bahwa: “muqadimah bagi lahir dan terjadinya sesuatu bermacam-
macam. Ada yang mengantar kepada natijah-nya dan berakhir disana
seperti halnya penyakit yang merupakan muqadimah yang
mengakibatkan terjadinya kematian. Yang demikian ini lumrah dalam
kenyataan hidup. Ada juga aneka muqadimah yang natijah-nya
datang sesudahnya bagaikan dampak baginya serta hasil dari usaha
perbaikan bagi sebab-sebabnya. Ini serupa dengan yang sakit, lalu
minum obat, sehingga dia sembuh. Tetapi ada lagi muqadimah yang
merupakan penyakit, lalu penyakit itu menghasilkan obat. Tetapi
tentu saja obat tersebut pada hakikatnya bukanlah akibat dari
penyakit.”

Nashr Hamid sama sekali tidak mengingkari hakikat al-Qur`an


sebagai kalamullah. Nashr Hamid menyatakan bahwa dalam hubungan
linguistik terdapat interaksi antara pengirim dan penerima. Dalam konteks al-
Qur`an pengirimnya adalah Allah. Oleh karena pengirim dalam konteks al-
Qur`an adalah Allah, maka tidak dapat dijadikan objek kajian. Nashr Hamid
kemudian menawarkan objek kajian dalam studi al-Qur`an berupa realitas
budaya yang terjadi pada fase pembentukan dan penyempurnaan. Dengan
demikian pendapat Nashr Hamid bahwa al-Qur`an adalah teks linguistik,
tidaklah menafikan realitas al-Qur`an sebagai kalamullah pada masa
pewahyuan. Karena setelah masa pewahyuan berlangsung masa berikutnya
sebagai apa yang disebut masa pembentukan, di mana al-Qur`an sebagai teks
kebahasaan yang dibaca dan dikaji oleh umat manusia. Interaksi masyarakat
dengan al-Qur`an inilah yang dimaksud Nashr Hamid sebagai realitas
budaya yang dapat dijadikan objek studi al-Qur`an.

Berdasarkan statemen di atas sebenarnya pemikiran Nashr Hamid


telah keluar dalam koridor kaidah Islam M. Quraish Shihab yang dinyatakan
dalam bukunya;
“Bahwa siapapun yang terbukti dengan jelas menilai al-Qur’an, sekali lagi
al-Qur’an, bukan penafsirannya, sebagai produk budaya, maka yang
bersangkutan pada hakikatnya telah keluar dari koridor agama Islam. Tetapi
vonis itu baru dijatuhkan setelah jelas apa yang dimaksudnya dengan produk
budaya. Kalau yang dimaksud dengan produk budaya adalah teks/bahasa
yang digunakan Allah dalam menyampaikan pesan-pesan-Nya adalah bahasa
manusia, sedang bahasa manusia adalah produk budaya, atau bahwa al-
Qur’an menyampaikan pesan-pesannya dalam masyarakat yang mempunyai
budaya, lalu Allah melalui al-Qur’an berinteraksi dengan masyarakat yang
berbudaya itu serta menggunakannya dalam memberi contoh dan bimbingan-
Nya, maka agaknya makna ini tidak terlalu jauh dari yang telah disinggung
oleh para ulama Islam. Bukankah ada ayat-ayat yang turun meluruskan
budaya masyarakat atau mengukuhkannya? Bukankah sebagai gaya redaksi-
Nya ada yang mengikuti gaya redaksi masyarakat Arab? Itu dilakukan Allah
agar manusia paham. Kalau demikian itu maka agaknya tidak salah kalau
dikatakan bahwa Allah swt., dalam kitab suci-Nya yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw., menggunakan budaya manusia untuk menjelaskan
tuntunan-Nya, bukan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya. Tetapi kalau
yang dimaksud dengan produk budaya adalah teks yang digunakan al-Qur’an
atau kandugan-Nya adalah produk hasil karya, rasa dan cipta manusia,
sebagai definisi budaya, maka ini jelas bertentangan dengan akidah Islam.
Dari tulisan-tulisan Nashr Hamid, ada ulama dan cendekiawan yang
memperoleh kesan kuat atau bahkan bukti yang jelas bahwa makna kedua
itulah yang dia maksud.”

Interpretasi dan teks seperti dua sisi dari satu mata uang. Teks al-
Qur`an telah ditundukkan pada interpretasi sejak masa pewahyuannya.
Muhammad SAW. adalah sebagai penafsir pertamanya yang melalui dialah
al-Qur`an untuk pertama kalinya berinteraksi dengan pemikiran manusia.

Penolakan terhadap metodologi studi al-Qur’an Abû Zaid


dituliskan oleh Adian Husaini. Dalam karyanya, Adian menjelaskan
al-Qur’an telah menyelamatkan budaya Arab. Maka, saat al-Qur’an
dianggap sebagai produk budaya saat itu pula status dan signifikansi al-
Qur’an sebagai kalâm Allah yang diturunkan terhadap Nabi Muhammad
hilang. Adian juga menjelaskan Muhammad hanya menjadi penerima pasif
sekaligus penyampai.7 Posisi ini tidak memungkinkan Muhammad untuk
menambah firman-firman Tuhan sebagaimana yang dituduhkan oleh Abû
Zaid.

Pendapat serupa bisa ditemukan dalam karya Lalu Nurul Bayanil


Huda berjudul Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zaid.
Menanggapi al-Qur’anversi Abû Zaid, Lalu Nurul menulis: “Kesimpulan
Nashr Hamid bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya tidaklah tepat,
Imam Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’anmengatakan
bahwa pada malam lailatul qodr, al-Qur’an diturunkan dari lauh mahfuzh ke
samâ’ul Ardi sekaligus baru kemudian diturunkan ke dunia secara
bertahap, hal yang sama juga dikemukakan oleh Imam a-Syuyûti. Sehingga,
tidaklah tepat jika al-Qur’an diturunkan menyesuaikan dengan sejarah
budaya Arab saat itu. Karena al-Qur’an sudah ada sebelum adanya bangsa
Arab itu sendiri.”

7
Adian Husaini, Hermeneutika & Tafsir al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), h. 35.
Secara umum, kelompok ini mempertahankan posisi al-Qur’an di
lauhal-mahfûzh. Posisi al-Qur’an di lauhal-mahfûzhmenjadi argumentasi
dalam menjelaskan adanya al-Qur’an sebelum bangsa Arab. Keberadaan
al-Qur’an sebelum bangsa Arab adalah alasan kuat untuk menolak
bahwa al-Qur’an bukan produk kebudayaan. Pemahaman ini akan berimbas
pada pemahaman selanjutnya tentang posisi Muhammad sebagai
penerima pasif (ummî) yang tidak memungkinkan untuk mengubah
segala yangdiwahyukan Allah. Selanjutnya, pengakuan Muhammad
sebagai penerima pasif akan berpengaruh pada cara pembacaan terhadap
bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an.

Pendapat al-Suyûthî menjadi rujukan pokok saat


kelompok ini berargumentasi perihal penolakan terhadap al-Qur’an
sebagai produk budaya. Salah satu pendapat yang masyhur adalah perihal
turunnya al-Qur’an pada malam lailatul qadardi bulan Ramadlan ke langit
dunia (sama’ al-dunyâ) dengan sekaligus kemudian diturunkan secara
bertahap.8

B. Implikasi atas pernyataan Al-Qur’an sebagai produk budaya

Pemikiran terkadang dianggap sebagai sebuah kekafiran, diharamkan,


dan dimusuhi. Namun sejalan dengan perjalanan waktu, ia menjadi sebuah
madzab, bahkan menjadi ideologi dan pembaruan, yang membawa
kehidupan selangkah menuju kemajuan.9 Pernyataan Nashr Hamid Abu Zayd
tentang al-Qur’an sebagai produk budaya mengimplikasi lebih kepada sisi
negatifnya.

Sisi negatifnya, Nashr Hamid Abu Zayd diklaim sebagai seorang


yang murtad, akibatnya berita tersebut bukan saja menggemparkan kalangan
Islam Mesir tapi juga Islam seluruh dunia. Pemikiran Nashr Hamid yang
menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai Produk Budaya Arab, sejatinya sangat
berlebihan. Ini akan membawa konsekuensi timbulnya pendapat segala

8
Imam al-Suyûthi, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an (Markazu al-Dirâsât al-Islamiyah, Saudi
Arabiya) dalam Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zaid , h.
23.
9
Amin al-Kulli, dikutip oeh Nashr hamid dalam al-Tafkir fi zaman al-takfir: dhidd al-Jahl wa
al-Zayf wa al-Khurofah, Cairo: Maktabah Madbuli, 1995 (edisi ke-2) h. 5.
sesuatu yang terjadi di dunia ini di luar kehendak adalah perbuatan Allah,
serta akan menimbulkan anggapan teks al-Qur’an tidaklah suci.

Padahal, segala sesuatu yang membawa kepada kesucian pada


hakikatnya dia juga suci. Melihat kasus pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd,
umat Islam harus terdorong untuk menumbuhkan sikap kritis analisis
sebelum menerapkan sesuatu yang datang dari Barat ke dalam Islam, terlebih
jika hal tersebut mengimplikasikan kepada pemahaman yang fundamental
terhadap keyakinan dan aqidah, terkait dengan al-Qur’an dan konsep
wahyunya.
KESIMPULAN

1. Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, al-Qur’an merupakan teks


kebahasaan dan produk kebudayaan yang berangkat dari
keterbatasan konsep dan realitas. Teks al-Qur’ansangat
berhubungan dengan bahasa yang memformatnya dan sistem
kebudayaan yang membangun dan turut membentuknya. Oleh karena
itu, menurutnya pendekatan yang paling tepat
digunakanadalah dengan metode pendekatan linguistik dan kritik
sastra. Hal ini merupakanusaha membangun sebuah metodologi
yang ilmiah dalam studi al-Qur`an dan jalan satu-satunya untuk
mencapai obyektifitas pemahaman terhadap al-Qur`an dan Islam
secara keseluruhan.
2. Menurut M. Quraish Shihab, al-Qur’an adalah kitab petunjuk dan
pedoman yang tiada hentinya sampai akhir masa dan bukan
merupakan teks kebudayaanseperti yang diisukan, karena al-
Qur’an berbeda dengan kitab suci lainnya, yang datang dari
tuhan kemudian redaksinya dari para utusan yang bersangkutan,
melainkan secara redaksi punberasal dari tuhan. Hal ini dapat
dibuktikan dengan keindahan bahsa al-Qur’an dan tingginya, tidak
ada seorang manusia pun dapat membuat yang serupa dengannya.
Jika yang dimaksudkan produk budaya adalah tafsir al-Qur’an
maka hal tersebut dapat ditoleransi, dan masih diterima
pandangannya, akan tetapi jika yang di maksud al-Qur’an, maka
yang menganggap demikian sudah keluar dari koridor ajaran Islam.
3. Dalam tesisnya, studi kritis terhadap pemikiran Nasr hamid Nurul
bayanil huda mengatakan: “Kesimpulan Nashr Hamid bahwa al-
Qur’an merupakan produk budaya tidaklah tepat, Imam Zarkasyi
dalam kitabnya al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’anmengatakan bahwa
pada malam lailatul qodr, al-Qur’an diturunkan dari lauh mahfuzhke
samâ’ul Ardisekaligus baru kemudian diturunkan ke dunia secara
bertahap, hal yang sama juga dikemukakan oleh Imam a-Syuyûti.
Sehingga, tidaklah tepat jika al-Qur’an diturunkan menyesuaikan
dengan sejarah budaya Arab saat itu. Karena al-Qur’an sudah ada
sebelum adanya bangsa Arab itu sendiri.”
4. Penolakan terhadap metodologi studi al-Qur’an Abû Zaid
dituliskan oleh Adian Husaini. Dalam karyanya, Adianmenjelaskan
al-Qur’an telah menyelamatkan budaya Arab. Maka, saat al-Qur’an
dianggap sebagai produk budaya saat itu pula status dan signifikansi
al-Qur’an sebagai kalâmAllah yang diturunkan terhadap Nabi
Muhammad hilang. Adian juga menjelaskan Muhammad hanya
menjadi penerima pasif sekaligus penyampai.4Posisi ini tidak
memungkinkan Muhammad untuk menambah firman-firman
Tuhan sebagaimana yang dituduhkan oleh Abû Zaid.

Anda mungkin juga menyukai