Anda di halaman 1dari 15

TAFSIR AL-FURQAN KARYA A.

HASAN

Mata Kuliah:
KAJIAN TAFSIR DI INDONESIA

Dosen Pengampu:
Dr. Saifuddin, M.Ag

Oleh:
Aminatul Aulia (180103020187)
Jarimah (180103020157)
Lailan Nazad (180103020013)
Muhammad Sofyan (180103020206)
Muhammad Zakaria Anshari (180103020163)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
BANJARMASIN
2020
PENDAHULUAN

Al-Qur‟an merupakan pedoman hidup bagi umat manusia. Selain sebagai


pedoman hidup, al-Qur‟an juga merupakan salah satu sumber hukum dan ajaran
Islam yang menempati posisi paling sentral. Oleh karena itu, memahami isi
kandungan al-Qur‟an sangatlah penting mengingat betapa vitalnya peranan al-
Qur‟an dalam kehidupan.

Kandungan al-Qur‟an tidak dapat dipahami serta-merta. Untuk dapat


memahami isi kandungan al-Qur‟an diperlukan adanya pengungkapan makna-
makna dari ayat-ayat al-Qur‟an itu sendiri. Oleh sebab itulah, para ulama banyak
menyusun karya-karya tafsir yang mana tujuannya tidak lain untuk memberikan
pemahaman tentang makna-makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an kepada
umat Islam, terlebih kepada golongan awam yang tidak memiliki ilmu yang cukup
untuk dapat memahami al-Qur‟an.

Tidak hanya para ulama dari Timur Tengah, para ulama di Asia Tenggara,
bahkan di Indonesia sendiri pun banyak yang menyusun kitab tafsir demi
memenuhi kebutuhan umat. Salah satunya ialah Ahmad Hasan atau yang lebih
dikenal dengan A. Hasan dengan karya tafsirnya yang diberi nama al-Furqan
Tafsir Qur‟an. Untuk mengetahui lebih jauh tentang profil A. Hasan dan karya
tafsirnya, maka dalam makalah ini kami akan mencoba untuk mengulasnya.

1
PEMBAHASAN

A. Biografi dan Riwayat Hidup A. Hasan

Ahmad Hasan atau yang lebih dikenal dengan A. Hasan dilahirkan di


Singapura pada tahun 1887. Ayahnya bernama Ahmad Sinna Vappu Maricar,
berasal dari India. Sedangkan ibunya bernama Hajah Muznah, kelahiran Surabaya
namun berasal dari Palekat Madras, India.1 Ahmad dan Muznah menikah di
Surabaya ketika Ahmad sedang melakukan perjalanan dagangnya di kota tersebut.
Setelah menikah, Ahmad membawa istrinya ke Singapura. Selain berdagang,
Ahmad juga seorang wartawan dan juga penerbit surat kabar dan buku-buku
dalam bahasa Tamil. Ia juga ahli dalam agama dan bahasa.

Ibarat pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, A. Hasan mewarisi
tradisi intelektual ayahnya. Sejak umur tujuh tahun, ia sudah belajar al-Qur‟an dan
ilmu-ilmu agama. Kemudian ia masuk sekolah melayu dan belajar bahasa Melayu,
Arab, Inggris dan Tamil.

Secara formal, A. Hasan tidak pernah menyelesaikan pelajarannya di


sekolah dasar yang ditempuhnya di Singapura. Ia hanya bersekolah sampai kelas
empat sekolah rakyat dan tingkat empat pada English Elementary School. Setelah
meninggalkan sekolah, selama sebelas tahun ia bekerja sebagai pegawai toko,
distributor es dan vulkanisir ban mobil.2

Pada usia 12 tahun, A. Hasan ikut berdagang menjaga toko milik iparnya,
Sulaiman. Sembari berdagang, ia belajar ilmu agama kepada Haji Ahmad di
Kampung Tiung dan belajar ilmu nahwu dan sharaf kepada Haji Muhammad
Thaib di Kampung Rokoh. Kemudian A. Hasan beralih untuk belajar bahasa Arab
kepada Said Abdullah Munawi Mausili kurang lebih sekitar tiga tahun.

1
Syafiq Mughni, Hasan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1994), 11.
2
Akhmad Bazith, “Metodologi Tafsir „Al-Furqan Tafsir Qur‟an‟ (Membaca Karya A.
Hassan 1887-1958)”, dalam Education and Learning Journal, Vol. I, No. 1, Januari 2020, 20-21.

2
Setelahnya, ia belajar kepada Syeikh Haji Hasan al-Malabary dan Syeikh Ibrahim
al-Hindi. Semuanya ditempuh hingga sekitar tahun 1910, ketika ia berumur 23
tahun. Pada masa ini, A. Hasan belum memiliki pengetahuan yang luas tentang
tafsir, fiqh, fara‟idh, mantiq dan ilmu-ilmu lainnya. Namun, dengan ilmu alat vang
ia miliki itulah yang kemudian mengantarkannya untuk memperdalam
pengetahuan dan pemahamannya terhadap agama.3

Pada tahun 1912, A. Hasan bekerja di Utusan Melayu yang diterbitkan


oleh Singapore Press. A. Hasan menulis artikel yang berisikan nasihat-nasihat dan
tak jarang ia menulis dalam bentuk puisi yang menyentuh. A. Hasan bekerja di
surat kabar ini sampai tahun 1916.

A. Hasan tidak hanya bermukim di Singapura. Pada Tahun 1921, ia pindah


ke Surabaya untuk mengelola toko paman yang sekaligus gurunya, Abdul Lathif.
Kemudian pada tahun 1923, A. Hasan berangkat ke Bandung untuk mempelajari
tenun. Di sinilah ia berkenalan dengan tokoh pendiri organisasi Persis (Persatuan
Islam), yakni Kiyai Haji Muhammad Yunus. Ia kemudian bergabung tatkala
organisasi ini berusia tiga tahun, yakni tahun 1926. A. Hasan menjadi populer
dengan cepat di kalangan kaum muda karena pengaruh dan wibawanya di
organisasi ini. Kemudian A. Hasan mulai identik dengan Persis.

Pada tahun 1940, A. Hassan pindah ke Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, dan
mendirikan Pondok Pesantren Persis. Pada tahun 1956, A. Hassan menunaikan
ibadah haji. Saat berada di Tanah Suci, ia jatuh sakit hingga terpaksa dibawa
pulang. A. Hasan meninggal dunia pada 10 November 1958 di usia 71 tahun di
Bangil, Jawa Timur, dan dimakamkan di Pekuburan Segok, Bangil.4

3
Syafiq Mughni, Hasan Bandung: Pemikir Islam Radikal, 13.
4
Akhmad Bazith, “Metodologi Tafsir „Al-Furqan Tafsir Qur‟an‟ (Membaca Karya A.
Hassan 1887-1958)”, 21-22.

3
B. Pemikiran dan Karya-karya A. Hasan

Perkembangan pemikiran seseorang tidak terlepas dari peran orang tua,


buku bacaan dan lingkungan sekitarnya. A. Hasan sendiri lahir di tengah-tengah
keluarga yang taat. Ayahnya adalah seorang yang berpegang teguh pada prinsip-
prinsip agama. Selain dari ayahnya, pemikiran A. Hasan juga dipengaruhi oleh
tiga orang ulama asal India, yaitu Thalib Rajab Ali, Abdurrahman dan Jaelani.5

Sebagai salah seorang mufassir, A. Hasan tidak terlepas dari


subjektifitasnya sebagai seorang individu. Karangannya yang dikategorikan
sebagai salah satu karya tafsir, tidak dapat dipungkiri kemungkinan sedikit banyak
dipengaruhi oleh pemikirannya. Walaupun secara praktis hal tersebut hampir tidak
ditemukan dalam karyanya.

A. Hasan banyak mengemukakan pendapatnya terkaitan masalah-masalah


agama. Namun, sebenarnya pemikiran A. Hasan lebih berorientasi kepada tajdid
atau pembaruan. A. Hasan menganggap bahwa umat Islam telah terperosok ke
dalam mistisisme dengan paham-paham yang menyesatkan dan bermaksud
mendorong umat Islam untuk kembali kepada al-Qur‟an dan sunnah, karena
menurutnya al-Qur‟an dan sunnahlah satu-satunya rujukan yang mampu
memberikan dasar seluruh tindakan manusia. Walaupun demikian, setidaknya
pemikiran A. Hasan tertuang dalam karya-karyanya setidaknya bermuara pada
tiga masalah pokok, yakni:

1. Sumber Hukum Islam

Hasan tidak pernah membatasi secara tegas jumlah sumber hukum Islam,
tetapi sumber hukum Islam yang pokok menurutnya ialah al-Qur‟an dan sunnah.
Sedangkan ijma’ dan qiyas, keduanya tidak berdiri sendiri dan tetap merujuk
kepada dua sumber utama, yakni al-Qur‟an dan sunnah. Oleh sebab itu, A. Hasan
hanya mengakui ijma’ para sahabat yang sudah jelas sumbernya yaitu al-Qur‟an
dan hadits. Pendapat A. Hasan tentang sumber hukum Islam ini merupakan hal

5
Mohammad Herry, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), 16.

4
yang sangat penting, pengakuannya bahwa hanya al-Qur‟an dan hadits sajalah
yang menjadi pokok sumber hukum Islam senantiasa tercermin dalam seluruh
buah pemikirannya dan menjadi kerangka berpikir yang sangat mendasar.

2. Ijtihad, Ittiba’ dan Taqlid

Umat Islam memahami dan mengamalkan ajarannya melalui tiga jalan,


yakni ijtihad, ittiba’ dan taqlid. Menurut A. Hasan, pada dasarnya agama
mengharuskan agar setiap orang melakukan ijtihad dalam rangka mengamalkan
dan memahami agama, kecuali bagi orang yang tidak memenuhi syarat. Jika
demikian halnya, maka ia harus memilih alternatif lain yaitu ittiba’. Hasan dengan
tegas menolak taqlid buta, karena menurutnya taqlid ialah meniru mengerjakan
sesuatu atau menerima suatu hukum dari seseorang tanpa mengetahui alasannya
dari al-Qur‟an maupun hadits.

3. Bid‟ah

A. Hasan berpendapat bahwa umat Islam hanya boleh mengamalkan apa


yang terdapat dalam al-Qur‟an dan hadits. Apa yang tidak ada di dalam al-Qur‟an
maupun hadits menurutnya dikategorikan bid‟ah. Menurut A. Hasan hanya ada
dua hukum, yaitu wajib dan sunnah. Sedangkan selain itu ialah haram dan bid‟ah.
Dengan demikian, menurutnya tidak ada bid‟ah kecuali haram.6

Adapun karya-karya A. Hassan, ia meninggalkan beberapa karya ilmiah


sekitar 80 buku dan majalah-majalah. Di antaranya yakni:

1) Dalam bidang al-Qur‟an dan tafsir, yaitu al-Furqan Tafsir Qur‟an, Tafsir
al-Hidayah, Tafsir Surah Yasin dan Kitab Tajwid.
2) Dalam bidang hadits, fiqh, dan ushul fiqh, yaitu Soal Jawab: Tentang
Berbagai Masalah Agama, Risalah Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah al-
Fatihah, Risalah Haji, Risalah Zakat, Risalah Riba, Risalah Ijma‟, Risalah
Qiyas, Risalah Mazhab, Risalah Taqlid, al-Jawahir, al-Burhan, Risalah

6
Siti Fahimah, “al-Furqan Tafsir al-Qur‟an Karya Ahmad Hasan: Sebuah Karya Masa
Pra-Kemerdekaan”, dalam el-Furqania, Vol. IV, No. 1, Februari 2017, 90-93.

5
Jum‟at, Hafalan, Tarjamah Bulugh al-Maram, Muqaddimah Ilmu Hadis
dan Ushul Fiqh, Ringkasan Islam dan al-Fara‟id.
3) Dalam bidang akhlak, yaitu Hai Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku dan
Kesopanan Tinggi Secara Islam.
4) Dalam bidang kristologi, yaitu Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Bibel
Lawan Bibel, Benarkah Isa Disalib? dan Isa & Agamanya.
5) Dalam bidang akidah, pemikiran Islam dan umum, yaitu Islam dan
Kebangsaan, Pemerintahan Cara Islam, Adakah Tuhan?, Membudakkan
Pengertian Islam, What is Islam?, ABC Politik, Merebut Kekuasaan,
Risalah Ahmadiyah, Topeng Dajjal, al-Tauhid, al-Iman, Hikmat dan Kilat,
an-Nubuwwah, al-„Aqa‟id, al-Munazarah, Surat-surat Islam dari Endeh
dan Is Muhammad a True Prophet?
6) Dalam bidang sejarah, yaitu al-Mukhtar dan Sejarah Isra„ Mi‟raj.
7) Dalam bidang bahasa dan kata hikmat, yaitu Kamus Rampaian, Kamus
Persamaan, Syair, First Step Before Learning English, al-Hikam, Special
Dictionary, al-Nahwu, Kitab Tashrif, Kamus al-Bayan dan lainnya.7

C. Latar Belakang dan Sejarah Tafsir al-Furqan

al-Furqan Tafsir Qur‟an adalah karya besar dan penting yang dimiliki oleh
A. Hassan. Penulisan tafsir ini merupakan langkah pertama dalam sejarah
penerjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa Indonesia dalam kurun waktu 1920
sampai 1950-an. Terbagi ke dalam beberapa edisi penerbitan sampai sekarang.
Bagian pertama diterbitkan pada tahun 1928, akan tetapi edisi pertama ini belum
seperti yang diharapkan, karena hanya dapat memenuhi sebagian dari apa yang
dibutuhkan oleh umat Islam di Indonesia.8

7
Akhmad Bazith, “Metodologi Tafsir „Al-Furqan Tafsir Qur‟an‟ (Membaca Karya A.
Hassan 1887-1958)”, 23.
8
Akhmad Bazith, “Metodologi Tafsir „Al-Furqan Tafsir Qur‟an‟ (Membaca Karya A.
Hassan 1887-1958)”, 24

6
Kemudian untuk memenuhi desakan anggota Persatuan Islam, bagian
kedua tafsir tersebut diterbitkan pada tahun 1941, namun hanya sampai surah
Maryam. Selanjutnya pada tahun 1953, penulisan kitab tafsir tersebut dilanjutkan
kembali atas bantuan seorang pengusaha yang bernama Sa‟ad Nabhan, hingga
akhirnya penulisan tafsir ini dapat diselesaikan secara keseluruhan dan diterbitkan
pada tahun 1956.9

Mengingat tafsir al-Furqan ditulis pada dekade 1960-an, bahasa Indonesia


yang digunakan pun sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada masa itu. Pada
periode berikutnya bahasa Indonesia mengalami perkembangan dan kemajuan,
terutama setelah ditetapkannya Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (edisi kedua, 1987), Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi
pertama, 1988), Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi pertama, 1988) dan
Pedoman Transliterasi Arab-Indonesia 1987. Dikarenakan hal tersebutlah pihak
keluarga besar A. Hassan berusaha melakukan perbaikan dan penyempurnaan
redaksional yang selaras dengan perkembangan bahasa Indonesia modern. Namun
perbaikan ini hanya diarahkan kepada pemilihan kata yang tepat dan susunan
kalimat yang sesuai dengan kaidah yang berlaku dan tidak mengarah kepada hal
yang sifatnya substansial, yakni bahwa perbaikan yang dilakukan tetap menjaga
inti pemikiran A. Hassan yang dituangkan dalam karya tafsirnya. Hingga pada
akhirnya tafsir ini terbit dalam edisi bahasa Indonesia mutakhir yang diprakarsai
oleh Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Qadir, M.Sc.,E.E., selaku rektor Universitas al-
Azhar Indonesia (UAI) Jakarta, yang juga merupakan ahli waris A. Hassan.

Pada dasarnya A. Hassan tidak menjelaskan secara komprehensif dan


eksplisit mengenai latar belakang penulisan tafsir al-Furqan. Namun, jika dilihat
dari mukadimah tafsirnya yang ditulis oleh cucu A. Hassan, yaitu Prof. Dr. Ir.
Zuhal Abdul Qadir, M.Sc.,E.E., terdapat beberapa poin latar belakang penulisan
tafsir al-Furqan yang dapat dirangkum, yaitu:

9
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi,
(Yogyakarta: LKiS, 2013), 48.

7
a. Penulisan tafsir al-Qur‟an sangatlah penting untuk memenuhi kebutuhan
ilmu yang diperlukan umat Islam Indonesia.
b. Adanya desakan sejumlah anggota Persis yang ingin sekali mempunyai
pegangan bacaan sebuah tafsir sehingga dapat memudahkan mereka
memahami al-Qur‟an.
c. Atas dorongan dan bantuan seorang pengusaha penerbit buku yang
bernama Sa‟ad Nabhan sehingga tafsir ini mampu diselesaikan sekaligus
diterbitkan.

Sekilas, saat melihat dan membuka lembaran demi lembaran kitab tafsir
al-Furqan, maka kesan awal yang tersirat ialah bahwa kitab ini merupakan
terjemahan al-Qur‟an dan bukanlah kitab tafsir, karena tidak ada kesan seperti
kitab tafsir pada umumnya. Karya ini layaknya seperti terjemah al-Qur‟an
sebagaimana terjemahan terbitan Departemen Agama RI atau cetakan Madinah al-
Munawwarah maupun terbitan lainnya, yang dibubuhi dengan catatan kaki. Itupun
tidak semua surah ada catatan kakinya, bahkan terdapat surah yang sama sekali
tidak memiliki catatan kaki.10

D. Metode dan Corak Penasfsiran Tafsir al-Furqan

Jika kita memperhatikan tafsir al-Furqan, A. Hassan dalam kitab tafsirnya


ini cenderung hanya mengalihbahasakan ayat-ayat al-Qur‟an ke dalam bahasa
Indonesia secara harfiyah, kecuali jika ada kata atau kalimat yang sulit
dialihbahasakan secara harfiyah, maka ia berusaha memberikan makna yang dapat
dipahami dalam bentuk footnote (catatan kaki). A. Hassan menyatakan dalam
“Pendahuluan” tafsirnya bahwa, “Dalam menerjemahkan ayat, sedapat mungkin
saya melakukannya kata demi kata. Jika cara itu tidak dapat dilakukan, barulah
saya menerjemahkan suatu kata dengan melihat maknanya, karena menurut saya
cara itu akan berguna bagi orang yang teliti dalam melihat terjemahan.”

10
Akhmad Bazith, “Metodologi Tafsir „Al-Furqan Tafsir Qur‟an‟ (Membaca Karya A.
Hassan 1887-1958)”, 24-25.

8
A. Hassan memiliki cara tersendiri dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an. Ia
lebih banyak menggunakan penafsiran secara harfiyah dan beranggapan bahwa
rasio hanya digunakan dalam memahami wahyu, tidak dalam menentukan
kebenaran. Dan bagi mereka yang ingin mendapatkan tafsir al-Qur‟an secara non-
literal, maka hendaknya membaca dari kitab-kitab tafsir al-Qur‟an selain al-
Furqan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa metode tafsir yang dipakai A.


Hassan adalah metode harfiyah, yaitu penerjemahan kata demi kata, kecuali
terhadap kata-kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan dengan
metode ini, maka ia menggunakan metode maknawiyah. Menerjemahkan al-
Qur‟an secara harfiyah dilakukan oleh A. Hassan dengan maksud untuk
mempertahankan sepenuhnya nuansa asli teks dalam terjemahnya. Akan tetapi
metode ini pula diakuinya tidak menghasilkan terjemahan yang mudah dipahami
oleh orang yang membacanya dan tidak begitu sejalan dengan kaedah-kaedah
bahasa Indonesia. Sehingga dalam beberapa hal, A. Hassan menerjemahkannya
secara maknawiyah.

Pada hakikatnya, metode yang digunakan dalam penerjemahan harfiyah


ini merupakan bagian dari metode ijmali (global), yaitu metode penafsiran yang
mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an secara ringkas dan padat. Metode ini
juga mengulas setiap ayat al-Qur‟an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya
untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan
yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat
global.11

11
Akhmad Bazith, “Metodologi Tafsir „Al-Furqan Tafsir Qur‟an‟ (Membaca Karya A.
Hassan 1887-1958)”, 27-28.

9
Adapun jenis penafsiran yang digunakan A. Hasan dalam kitab tafsir al-
Furqan ini ialah tafsir bil ma’tsur sekaligus bil ma’qul dengan corak adabi ijtima’i
yang sangat menekankan pada penyelesaian masalah-masalah yang sering terjadi
di masyarakat.12

E. Sistematika dan Keistimewaan Tafsir al-Furqan

Secara umum, ada tiga jenis sistematika dalam penulisan kitab tafsir, yakni
sistematika mushafi, yaitu penulisan tafsir dengan berpedoman pada urutan
susunan surah-surah dan ayat-ayat sebagaimana tertera dalam mushaf, sistematika
nuzuli, yaitu penulisan tafsir dengan berpedoman pada kronologi turunnya ayat-
ayat al-Qur‟an, dan sistematika maudhu’i, yaitu penulisan tafsir berdasarkan
topik-topik tertentu dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang relevan dengan
suatu topik kemudian menafsirkannya.13 Jika dilihat dari sistematikanya, tafsir al-
Furqan termasuk dalam kategori sistematika mushafi, yang memulai tafsirnya dari
surah al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya hingga an-Nas sesuai dengan urutan
surah dan ayat yang ada dalam mushaf al-Qur‟an.

Tafsir al-Furqan merupakan tafsir yang sangat komprehensif, karena di


dalamnya termuat berbagai macam penjelasan mulai dari sejarah al-Qur‟an, ilmu
pengetahuan dalam al-Qur‟an serta hal-hal yang terkait dengan penjelasan
mengenai ayat al-Qur‟an itu sendiri, dengan sistematika sebagai berikut:

a. Pada bagian awal cover dicantumkan nama kitab, nama mufassir, nama-
nama penyunting, serta penerbit, disertai dengan tahun cetakan.
b. Pada bagian mukadimah memuat kata pengantar “Sepatah Kata dari
Kami” yang ditulis oleh Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Qadir, M.Sc.,E.E.
Setelah itu “Pengantar Tim Penyunting”, kemudian dilampirkan pula
“Transliterasi”.
12
Siti Fahimah, “al-Furqan Tafsir al-Qur‟an Karya Ahmad Hasan: Sebuah Karya Masa
Pra-Kemerdekaan”, 97.
13
Mohammad Arja Imroni, Konstruksi Metodologi Tafsir al-Qurthubi, (Semarang:
Walisongo Press, 2010), Cet. I, 108.

10
c. Pada bagian “Pendahuluan” yang ditulis oleh A. Hasan sendiri terdapat 33
pasal yang setiap pasalnya menerangkan mengenai pembahasan tentang al-
Qur‟an.
d. Setelah pendahuluan dilampirkan “Glosarium”, yakni keterangan beberapa
kata kunci dalam al-Qur‟an atau kata-kata ilmiah yang disusun secara
alphabet.
e. Setelah glosarium dicantumkan “Petunjuk Pencarian Kata dalam al-
Qur‟an”, yakni tema-tema pokok al-Qur‟an dengan menampilkan ayat-
ayatnya, atau dengan kata lain ini merupakan indeks al-Qur‟an
berdasarkan tema.
f. Kemudian tema-tema pokok ditempatkan berdasarkan keterangan dan
ayat-ayat pada bagian berikutnya dalam “Penelusuran Pokok-pokok
Ajaran Qur‟an”.
g. Setelah lengkap keseluruhannya barulah A. Hassan mencantumkan
“Daftar Isi” yang berisikan nama surat dan arti dari nama surat itu sendiri
dengan menggunakan bahasa Arab dan bahasa Indonesia.
h. Setelah itu A. Hasan mulai melakukan penafsiran yang diawali dengan
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Setiap awal surat
dimulai dengan basmalah seperti pada umumnya, kecuali surah Bara‟ah.
Kemudian dicantumkan nama setiap surah dan arti dari nama surah
tersebut, jumlah ayatnya, tempat turunnya surah, lalu mukadimah dan
terjemahan (tafsirannya) serta pada bagian akhir diberikan catatan kaki,
meskipun tidak semua surah memiliki catatan kaki (footnote), seperti surah
al-Ikhlas, al-Kafirun dan Quraisy.14

14
Akhmad Bazith, “Metodologi Tafsir „Al-Furqan Tafsir Qur‟an‟ (Membaca Karya A.
Hassan 1887-1958)”, 26.

11
Adapun keistimewaan yang dapat kita temukan dalam kitab tafsir al-
Furqan karya A. Hasan ini di antaranya ialah:

a. Adanya definisi istilah-istilah yang terdapat dalam al-Qur‟an dan masalah-


masalah yang ditemukan dalam penerjemahanya. Biasanya A. Hasan
menulisnya di catatan kaki sebagai penjelasan dari kata atau lafadz yang
belum jelas.
b. Adanya definisi tentang konsep-konsep Islam. A. Hasan dalam hal ini
mencantumkanya di dalam pendahuluan tentang definisi-definisi tertentu.
c. Adanya catatan kaki yang sekitar 60% dari catatan kaki tersebut digunakan
untuk menjelaskan kata-kata atau kalimat tertentu untuk mengungkapkan
kembali teks agar lebih memperjelas maksud dan tujuannya.
d. Adanya indeks dan daftar kata yang walaupun tidak disusun oleh A. Hasan
sendiri, namun tidak mengurangi maksud dari penulisan tafsir itu sendiri.15

15
Siti Fahimah, “al-Furqan Tafsir al-Qur‟an Karya Ahmad Hasan: Sebuah Karya Masa
Pra-Kemerdekaan”, 101.

12
PENUTUP

Salah satu kitab tafsir yang dikarang oleh ulama Nusantara ialah tafsir al-
Furqan yang disusun oleh Ahmad Hasan atau yang lebih dikenal dengan A.
Hasan. Kitab tafsir al-Furqan menggunakan metode penerjemahan harfiyah,
sehingga kitab ini lebih terlihat seperti kitab terjemahan al-Qur‟an daripada kitab
tafsir. Terlepas dari hal tersebut, tafsir al-Furqan merupakan salah satu kitab tafsir
yang memiliki banyak keistimewaan yang disusun untuk mempermudah umat
Islam, khususnya di Indonesia, untuk memahami isi kandungan al-Qur‟an.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bazith, Akhmad, “Metodologi Tafsir „Al-Furqan Tafsir Qur‟an‟ (Membaca Karya


A. Hassan 1887-1958)”, dalam Education and Learning Journal, Vol. I,
No. 1, Januari 2020.

Fahimah, Siti, “al-Furqan Tafsir al-Qur‟an Karya Ahmad Hasan: Sebuah Karya
Masa Pra-Kemerdekaan”, dalam el-Furqania, Vol. IV, No. 1, Februari
2017.

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi,


Yogyakarta, LKiS, 2013.

Herry, Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta,


Gema Insani, 2006.

Imroni, Mohammad Arja, Konstruksi Metodologi Tafsir al-Qurthubi, Semarang,


Walisongo Press, 2010.

Mughni, Syafiq, Hasan Bandung: Pemikir Islam Radikal, Surabaya, PT. Bina
Ilmu, 1994.

Anda mungkin juga menyukai