Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Berbagai kitab tafsir al-Qur‟an telah ditulis oleh para ulama‟ dengan
menggunakan metode penulisan, corak dan kecenderungan yang berbeda. Sehingga
dalam perkembangannya diskursus dan penafsiran terhadap al-Qur‟an telah mengalami
tiga fase, yakni:
Pertama, era formatif yang berbasis pada nilai-nilai mistis. Di era ini penafsiran al-
Qur‟an menurut Nasir (2011: 14-15) terjadi pada zaman klasik, dimana yang sumber
penafsiran yang mendominasi adalah bi al-ma’tsur yang kental pada nalar bayani. Di
Indonesia era ini terjadi sekitar abad VIII sampai pada abad XV M. Kedua, era afirmatif
yang berbasis pada nalar ideologis yang terjadi pada abad pertengahan. Era ini pada
awalnya muncul karena tidak puas terhadap sumber penafsiran bi al-ma’tsur yang belum
menyentuh pada kehidupan sosial. Untuk konteks Indonesia era ini terjadi pada abad ke-
XVI sampai pada abad XVIII. Dan ketiga adalah era reformatif yang berbaisis pada nilai
kritis. Era ini muncul pada abad XX-XXI (abad ini). Kajian tafsir pada masa ini menurut
Zuhri (2014:5-8) muncul karena munculnya kegelisahan sosial, yaitu banyaknya problem actual
yang muncul dalam kehidupan sosial, akan tetapi belum bisa diselesaikan dengan
mengatasnamakan agama. Sehingga al-Qur‟an muncul untuk memberikan pencerahan.
Ulama tanah air (nusantara) juga turut berkontribusi dalam memperkaya khazanah
keilmuan dalam bidang tafsir al-Qur‟an. Sebut saja misalnya Syaikh Muhammad
Nawawi al-Bantani al-Jawi dengan Kitab Marah Labid, KH Bisri Musthofa dengan Kitab
al-Ibriz, Hasbi al-Shiddiqie dengan al-Nur, Quraish Shihab dengan al-Mishbah.
Kali ini penulis akan menyajikan uraian tentang kitab Marah Labid karya Syaikh
Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kitab ini menarik untuk dibahas karena
meskipun ditulis oleh ulama‟ yang asli kelahiran Indonesia, akan tetapi kitab ini ditulis
dengan menggunakan bahasa Arab, karena itu, kitab ini tidak hanya dikaji di Indonesia
saja, akan tetapi di negara-negara lain juga, khususnya di Timur Tengah.

1
PEMBAHASAN

A. Biografi Pengarang Kitab Tafsir Marah Labid


Syekh Nawawi Banten dilahirkan di desa Tanara, Serang, Banten pada tahun
1230 H/1815 M.1 Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. dalam
usia 84 tahun. Nama lengkapnya adalah Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn
Umar at-Tanari al-Jawi al-Bantani. Ia dilahirkan dalam keluarga yang saleh dan memiliki
tradisi relijius sebagai keturunan dari keluarga raja-raja dan bangsawan kesultanan
Banten. Ayahnya, KH. Umar bin Arabi adalah ulama dan penghulu desa Tanara dan juga
pemimpin sebuah masjid di desa yang menjadi cikal-bakal berdirinya pesantren milik
keluarganya. Dari pesantren inilah ia mengawali pendidikannya. Ibunya bernama Nyai
Zubaidah, seorang wanita salehah dan taat beragama. Selama mengandung, Nyai
Zubaidah tidak pernah berhenti berdo’a untuk anak pertamanya itu. Terlahir dari keluarga
yang agamis dan dalam lingkungan yang menjadi pusat kesultanan sekaligus pusat
penyebaran agama Islam di Banten, memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan
intelektualnya. 1
Kecerdasannya diwarisi dari orang tua dan para nenek moyangnya, yang
merupakan orang-orang berpengaruh, baik dalam bidang agama, maupun pemerintahan.
Bakatnya menjadi orang alim sudah nampak sejak usia kanakkanak. Ia pertama kali
belajar agama di bawah bimbingan ayah kandungnya, KH. Umar, ketika berusia 5 tahun.
Pelajaran yang mula-mula dia dapat adalah ilmuilmu dasar agama Islam dan bahasa
Arab. Pengajaran dari sang ayah berlangsung selama 3 tahun, yaitu hingga berusia 8
tahun. Menurut Abdurrahman Mas’ud, peran ayahnya sebagai guru pertama bagi dia dan
saudara-saudaranya merupakan tradisi masyarakat Muslim Jawa , dimana ayah menjadi
orang pertama yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Setelah
merasa cukup pembelajaran bersama ayahnya, ia bersama dua orang saudaranya, Tamim
dan Ahmad Syihabuddin, meminta do’a dan restu kepada ibunya untuk menuntut ilmu di
pesantren lain. Nyai Zubaidah, ibunya, kemudian melepas kepergian mereka dengan
berucap: “Kudo’akan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan satu syarat; ‘jangan
pulang sebelum kelapa yang sengaja kutanam ini berbuah”. Ia dan kedua saudaranya

1
Ali Muqoddas, Syeikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi Ilmuwan Spesialis Ahli Syarah Kitab Kuning dalam
Jurnal Tarbawi Vol. II. No. 1, Januari-Juni 2014., 7-8.

2
belajar kepada Haji Sahal, seorang guru di Banten yang sangat terkenal kala itu. Dari Haji
Sahal, mereka meneruskan studinya kepada Raden Haji Yusuf, seorang ulama terkenal di
daerah Purwakarta dekat Karawang. Setelah menamatkan pelajaran kepada Raden Haji
Yusuf, mereka mengirimkan surat kepada sang ibu untuk menanyakan apakah kelapa
yang ditanamnya sudah berbuah. Karena tidak mendapat jawaban, mereka akhirnya
memutuskan untuk tidak pulang terlebih dahulu. Mereka sepakat untuk melanjutkan
pelajarannya di sebuah pesantren di Cikampek guna mendalami ilmu bahasa Arab. Di
tempat yang baru itu mereka diuji terlebih dahulu oleh sang kiai. Mereka ternyata lulus
dengan predikat sangat baik dan bahkan mereka diberitahu bahwa mereka tidak perlu lagi
belajar di pesantren tersebut. Oleh sang kiai mereka bertiga disuruh pulang sebab,
menurut sang kiai, pohon kelapa yang ditanam ibunya telah berbuah dan sang ibu telah
menanti kepulangan mereka. Setelah sampai di rumah ternyata apa yang dikatakan oleh
kiai tersebut benar, kelapa yang ditanam sang ibu telah berbuah dan dia sudah menanti
kepulangan mereka. Menurut perkiraan, lamanya mereka menuntut ilmu adalah enam
tahun. Hal ini didasarkan pada perkiraan bahwa pohon kelapa itu akan berbuah pada
enam tahun sejak masa penanaman. Sampai sini ia telah mengenyam pendidikan selama
lebih dari delapan tahun. Dengan berbekal ilmu yang diperoleh dari ayahnya selama 3
tahun dan beberapa pesantren di sekitar Jawa Barat selama 6 tahun, kini saatnya ia
mengajarkan ilmu itu kepada masyarakat di sekitar desanya. Kehadirannya
membangkitkan gairah dan kepercayaan masyarakat sekitar. Sejak saat itu pesantren
ayahnya menjadi ramai. Berbagai diskusi diselenggarakan secara rutin untuk membahas
masalah-masalah agama. Para santri banyak mengajukan pertanyaan. Karena kepandaian
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan para santri ayahnya, nama Syekh
Nawawi Banten semakin terkenal dan mempesona banyak orang untuk datang dan belajar
di pesantren ayahnya itu.11 Ketika ayahnya meninggal dunia, ia menggantikan posisinya
sebagai pemimpin pesantren, meskipun saat itu usianya baru 13 tahun.12 Pesantren
ayahnya semakin berkembang semenjak ia mengajar dan memimpin pesantren tersebut.
Tentang hal ini Chaidar menjelaskan: “Maka berdatanganlah para santri baru sehingga
pesantren ayahnya di Tanara tidak lagi dapat menampung mereka. Oleh karena itu, Syekh
Nawawi terpaksa mencari tempat yang memadai buat tuntutan kebutuhan. Dia memilih
Tanara pesisir yang pada waktu itu masih sunyi sepi. Hijrahlah ia kesana, ke Tanara

3
pesisir. Disebut Tanara pesisir karena letaknya di pantai.” Namun demikian, keadaan ini
hanya berlangsung dua tahun saja, sebab ia memutuskan untuk meninggalkan tanah
airnya berhijrah ke Tanah suci dalam rangka memperdalam ilmu agama. Sambil
melaksanakan ibadah haji ia menuntut ilmu di sana selama tiga tahun dan belajar kepada
para guru kenamaan di Haramain, seperti Sayyid Ahmad an-Nahrawi, Sayyid Ahmad ad-
Dimyati dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan di Makkah, serta Syekh Muhammad Khatib al-
Hanbali di Madinah. Sejumlah peneliti menjelaskan maksud dan alasan kepergiannya ke
Haramain untuk pertama kalinya. Pertama, ingin melaksanakan ibadah haji. Bagi umat
Islam saat itu, haji tidak sekedar berdimensi ibadah semata, tetapi merupakan konggres
akbar umat Islam seluruh dunia. Dari konggres akbar ini, spirit pembaruan pemahaman
terhadap Islam dan kesadaran akan pentingnya persatuan umat Islam seluruh dunia
menggema dan menyeruak ke seluruh negeri Muslim yang kala itu hampir seluruhnya
terjajah. Dan dari sini menggelora semangat perlawanan untuk mencapai kemerdekaan.
Syekh Nawawi Banten memanfaatkan perjalanan ini untuk menuntut ilmu. Ia
menetap selama tiga tahun di sana guna mendalami ilmu agama. Baginya, menuntut ilmu
adalah kewajiban setiap mukmin. Ia memandang usaha menuntut ilmu sebagai jihad fī
sabīlillāh. Jika seseorang gugur sewaktu mencari ilmu, ia dianggap mati syahid. Doktrin
inilah yang membentuk tradisi para santri untuk pergi mengembara dari pesantren ke
pesantren lain dalam rangka memperluas cakrawala pengetahuan tentang Islam. Secara
khusus, semangat Syekh Nawawi Banten yang luar biasa untuk merantau demi menuntut
ilmu pengetahuan, baik sewaktu di Jawa maupun di tanah Arab, terilhami oleh salah satu
ungkapan Imam Syafi’i, yaitu: “Tidak layak bagi orang yang berakal dan berilmu,
beristirahat (dalam mencari ilmu). Tinggalkan negerimu dan berkelanalah, kelak engkau
akan menemukan pengganti orang-orang yang engkau tinggalkan. Bersusah payahlah,
karena sesungguhnya ketinggian derajat kehidupan hanya bisa dicapai lewat susah
payah.”2

B. Karya Syekh Nawawi al-Bantani

2
Suwarjin, Biografi Intelektual Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam jurnal Tsaqofah & Tarikh Vol. 2 No. 2
Juli 2017, 190-193.

4
Syaikh Nawawi al Bantani memiliki dedikasi keilmuan yang tinggi, khususnya
kajian-kajian keislaman yang berhasil ditulis dalam berbagai disiplin ilmu. Yang paling
menarik, dari berbagai karya tersebut, semuanya ditulis menggunakan redaksi berbahasa
Arab seperti disebutkan sebelumnya. Bisa dibayangkan betapa mahirnya beliau dalam
menguasai bahasa Arab dan gramatikalnya yang sebenarnya bukan bahasa ibu-nya.
Karena itu, tidak heran kalau namanya sangat harum bahkan penulisnya dapat dikenal
sampai ke Mesir, Syam, Turki, dan Hindustan (India), khususnya ketika menulis Tafsir
Marah Labid, yang mungkin saja di masanya hanya satu-satunya karya tafsir yang ditulis
menggunakan berbahasa Arab. Bahkan ketenaran melalui karyanya tersebut membuatnya
diundang ke Mesir dan disambut oleh para ulamanya dengan sambutan yang mulia
Terkait karya-karya ilmiah Nawawi al Bantani, catatan KH. Saefuddin Zuhri
menyebutkan, kitab-kitab yang dikarang atau ditulisnya lebih dari seratus buah karya, dan
umumnya karya-karya itu membahas ilmu fikih, ushuluddin, dan tafsir al Quran.
Sementara Alian Sarkis, menyebut jumlah karyanya tidak kurang dari 38 buah dan karya-
karya ini telah dicetak berulangkali dalam terbitan Mesir, Bulaq, Mekkah, al Maimuniah,
al Jamaliah, al Mathba’ah al Syuruq, al Mathba’ah al Wahabiyah, al Khairiyah, al
Mathba’ah Abd. al Razzaq, Wadi al Nil, al Azhariyah, dan lain-lain. Sumber lain
menyatakan, karangan Nawawi al Bantani pada umumnya selain mensyarah-i karya-
karya ulama sebelumnya, ia juga tetap memberikan syarh terhadap karya yang ia tulis
sendiri agar memudahkan para pembaca. Salah satu dari karyanya yang disinyalir asli
adalah kitab tafsir Marah Tafsir Marah Labid tersebut.
Terlepas dari semua itu, secara faktual seperti diungkapkan Martin beberapa
karya Nawawi al Bantani sangat cukup populer dan secara mayoritas seringkali
dikonsumsi orang-orang Islam yang belajar di pesantren Indonesia dikategorikan dalam
tujuh rumpun bidang
ilmu sebagai berikut:
1. Bidang ahlak dan tasawuf; seperti Nashaih al ‘Ibad, al Adzkar, al
Maraqi al ‘Ubudiyah, Sulalim al Fudhala, Mishbah al Zhulam;
2. Bidang hadis; seperti AlArba’in alNawawi, Tanqih al Qaul;
3. Bidang fikih; seperti Nihayah alZain, Kasyifah alSaja, al Tsamar fi Riyadh
alBadi’ah, Sulam Munajat, ‘Uqud alLujain, a lTausyih ibn Qasim;

5
4. Bidang tauhid, akidah, ushuluddin; seperti Tijan al Darari, Qami’
Thugyan, Fath al Majid;
5. Bidang sejarah; seperti al Ibriz al Dani fi Maulid Sayyidina Muhammad,
Bughyah al Awwam fi Maulid Sayyid al Anam;
6. Bidang gramatikal Arab (Nahwu, Sharaf, dan balaghah); seperti Fath
al Ghafir al Khatiyah ‘ala al Kawakib al Jaliyah fi Nazham al Ajrumiyah,
al Fushush al Yaqutiyah ‘ala Raudhah al Bahiyah fi Abwab al Tashrifiyah,
Lubab al Bayan fi al Isti’arah;
7. Bidang tafsir; seperti Marah Labid fi Kasyfi Ma’na al Quran al
Majid.3

C. Latar Belakang Kepenulisan Kitab Tafsir Marah Labid


Syekh Nawawi menamai kitab tafsirnya dengan nama Marâh Labîd li Kasyf
ma`nâ Qur’ân Majîd kemudian beliau menamainya juga al-Tafsîr al-Munîr li Ma`âlim al-
Tanzîl. Karenanya, cetakan pertamanya bernama Marâh Labîd dan cetakan keduanya
bernama alTafsîr al-Munîr li Ma`alim al-Tanzîl.43 Di Indonesia lebih terkenal dengan
nama al-Tafsîr al-Munîr. Pertama kali di cetak di penerbit Abd al-Razzâq, Kairo tahun
1305 H, kemudian di penerbit Mushthafâ al-Bâb al-Halabî, Kairo tahun 1355 H. Setelah
itu diterbitkan di Singapura oleh penerbit al-Haramain sampai empat kali cetakan,
kemudian di Indonesia oleh penerbit Usaha Keluarga, Semarang. Lalu diterbitkan pula
penerbit al-Maimanah di Arab Saudi dengan nama Tafsîr al-Nawawî dalam dua jilid.
Kemudian pada tahun 1994 diterbitkan oleh penerbit Dâr al-Fikr, Beirût dengan nama al-
Tafsîr al-Munîr li Ma`alim al-Tanzîl.
Tentang tujuan penamaan tafsir ini dengan Marâh Labîd, tidak ditemukan secara
eksplisit dari penulisnya. Namun, jika dilihat dari sudut kebahasaan, Marâh berasal dari
kata râha – yarûhu – rawâh yang berarti datang dan pergi di sore hari untuk berkemas dan
mempersiapkan kembali berangkat. Marâh yang menunjukkan tempat (ism al-Makân)
dari kata tersebut berarti al-maudhi` yarûhu li Qaum minhu aw ilaih (tempat –
istirahatbagi

3
Ansor Bahary, Tafsir Nusantara:Studi Kritis terhadap Marah Labid Nawawi al Bantani dalam jurnal Ulul
Albab Volume 16, No.2 Tahun 2015, 179-180.

6
sekelompok orang yang darinya mereka pergi dan kepadanya mereka kembali).
Sedangkan Labîd seakar dengan kata labida- yalbadu yang berarti berkumpul mengitari
sesuatu. Dalam istilah ilmu hewan (zoologi), labîd sama dengan al-Libâdî yang berarti
sejenis burung yang senang di daratan dan hanya terbang bila diterbangkan. Dengan
demikian secara harfiah
Marâh Labîd berarti “Sarang Burung” atau dengan istilah lain “tempat istirahat yang
nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi”. Federspeel dalam a Dictionary of
Indonesian Islam, sebagaiman dikutip Mamat, menerjemahkan Marâh Labîd dengan
Compact Bliss (kebahagiaan yang tertata rapi).46 Dengan penamaan ini, Nawawi ingin
menjadikan tafsirnya sebagai tempat rujukan yang menyenangkan bagi umat Islam yang
tidak pernah meninggalkan al-Qur’an, dan ingin mencoba memberikan jalan keluar bagi
masyarakat muslim yang masih mempertahankan Islam tradisional untuk memahami
ajaran al-Qur’an dengan benar.
Kitab tafsir ini ditulis sebagai jawaban atas permintaan beberapa koleganya agar
ia menulis sebuah kitab tafsir sewaktu berada di Mekkah.
Meskipun pada awalnya beliau ragu untuk menulis tafsir karena takut masuk dalam
kategori apa yang disabdakan Rasul saw.: (siapa yang menfasirkan al-Qur;an (hanya)
dengan akalnya maka dia telah melakukan kesalahan sekalipun benar tafsirannya), tetapi
setelah dipertimbangkan dengan matang, dengan penuh ketawadhuan, beliau tidak
berambisi menjadikan tafsir sebagai target transmisi ilmu yang baru, tetapi hanya akan
mengikuti contoh para pendahulunya dalam menafsirkan al-Qur’an. Karenanya, beliau
mengatakan di pendahuluannya bahwa dalam tafsir tersebut dirujuk beberapa kitab tafsir
standar yang menurutnya otoritatif dan kompeten, yaitu: al-Futûhât al-Ilâhiyyah karya
Sulaiman al-Jamal (w. 1790 M.), Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhruddin al-Râzy
(w. 1209 M.), al-Sirâj al-Munîr karya al-Syirbîni (w. 1570 M.), Tanwîr al-
Miqbâs karya al-Fairuzabadi (w. 1415 M.), dan Irsyad al-`Aql al-Salîm karya
Abû Su`ûd (w. 1574 M.).
Selain lima kitab tafsir yang disebutkan di atas, Mustamin melihat masih ada
beberapa rujukan lain yang dipakai oleh Nawawi dalam tafsirnya, di antaranya: Jâmi` al-
Bayân karya al-Thabari (w. 310 H.), Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm karya Ibn Katsir (w. 774

7
H.), al-Durr al-Mantsûr karya al-Suyuthi (w. 911 H.), dan al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân
karya al-Qurthubi (w.671 H.)4

D. Karateristik Kitab Tafsir Marah Labid


Seseorang dengan latar pemikiran yang berbedà, sedikit banyak akan berpengaruh
terhadap karya seseorang, yang selanjutnya menjadi kekhasan suatu karya. Seperti halnya
tafsir Marah Labid yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
Pada juz pertama kitab ini dimulai dari Surah al-Fatihah sampai surah al-Kahfi,
sedangkan juz kedua dimulai dari Surah Maryam sampai Surah al-Nas.Dalam kitab ini
menurut Ali (1414 H.:648), tidak ditemukan adanya kecenderungan pada tasawuf atau
tafsir Isyari, Syaikh Nawawi sepakat pada teori-teori umum yang meliputi kaidah-kaidah
lafadz dan makna, dan ia mengacu pada penjelasan bahasa atau al-manhaj al-kalamy. Hal
yang unik dari kitab ini menurut Mas‟ud (2006:53-54) adalah adanya banyak cerita yang
mengherankan, dan banyaknya khabar tentang asbab al-nuzul.
Dalam penjelasannya, tafsir ini lebih mudah dipahami daripada kitab tafsir yang
lain, pembahasannya sederhana dan pembahasannya tidak terlalu jauh dari konteks ayat,
atau bisa disebut juga dengan metode penafsiran secara ijmaly (global) dan
berkarakteristik kebahasaan.
Adapun kecenderungan corak penafsirannya adalah termasuk penganut ahlu al-
sunnah wa al-jama’ah dalam bidang teologi dan dalam bidang fiqh mengikuti madzhab
Syafi‟i. Dalam bidang fiqh, syaikh Nawawi terlihat lebih detail dalam penafsirannya,
namun ia tidak terlibat dalam diskusi panjang masalah furu’ dan tidak melakukan istidlal.
Maka dapat disimpulkan bahwa penafsiran Syaikh Nawawi berkecenderungan pada fiqh,
karena ketika menjelaskan ayat yang berkaitan dengan fiqh, ia terlihat lebih detail.
Hal yang menarik juga dari kitab ini adalah adanya nuansa sufistik. Di beberapa tempat
terlihat sejumlh ayat yang ditafsirkan mirip dengan penafsiran yang dilakukan ahli
tasawuf. Asmawi dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa Syaikh Nawawi seperti
keterangan dalam kitab tersebut Juz 1 hal. 178 adalah termasuk pengikut tarikat
Qadariyyah. Hal ini terlihat dalam penafsiran surah al-A‟raf ayat 205 yag berisi tentang
dzikir.
4
Aan Fahrani, Metode Penafsiran Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid, dalam jurnal
Tafsere Vol.1, No.1, 2013, 13-14.

8
Berkaitan dengan tasawuf ini bisa dilihat dalam tafsir alif, laam, raa ia mencoba
mengungkap rahasia di balik huruf di awal beberapa surah al-Qur‟an. Contohnya ketika
menafsirkan lafadz Alif, Lam, Mim yang terdapat di awal pembukaan Surat al-Baqarah:
(‫ ) الم‬Imam Syu‟bah berkata bahwa lafadz Alif, Lam, Mim dah huruf hija’iyyah lainnya
semisal: Tha Ha, Ya Sin, Nun dan lain-lain adalah bagian dari kemukjizatan al-Qur‟an
yang hanya diketahui oleh Allah swt. Kita hanya mengimani secara dzahirnya saja,
termasuk faidah dari membaca awal-awal surat itu adalah bertambahnya keimanan kita
kepada Allah yang maha kuasa. Di dalam semua kitab terdapat rahasia. Abu Bakar
berkata: Rahasia Allah yang terdapat dalam al-Qur‟an adalah ayat aatau bacaan yang
terdapat di awal-awal tiap surat. Akan tetapi tidak semua Marah Labid membiarkannya
begitu saja huruf-huruf muqhata’ah tidak ditafsirkan, ditempat yang berpisah dia juga
menafsirkan huruf-huruf di awal surat dengan berpedoman pada pendapat ulama‟.5

E. Metode Penafsiran

Didalam studi keilmuan tafsir, setidaknya ada 3 ciri pokok yang perlu
diperhatikan dalam pembahasan metode tafsir dari suatu karya tafsir. Yaitu:
teknik(manhaj / thariqah), orientasi (ittijah), dan coraknya (laun). Yang dimaksud teknik
penafsiran disini adalah bagaimana suatu tafsir menggunakan teknik pembahasannya,
apakah sang mufassir tersebut menggunakan teknik analisis (tahlili), global
(ijmali),perbandingan (muqaran) atau teknik maudhu’i.6 dan adapaun yang dimaksud
bentuk disini adalah sejauh mana suatu tafsir itu mengambil pijakan dari sumber-sumber
penafsiran, al-Qur’an, al-Hadist, tafsir para sahabat nabi yang disebut pula dengan tafsir
bi al-ma’tsur, atau bahkan dengan bentuk pemikiran / rasio yang dikenal juga dengan
tafsir bi ar-ra’yi. Sedangkan yang dimaksud dengan corak adalah afiliasi terhadap disiplin
ilmu apa penafsir terpengaruh dan tercondong, dan biasanya tergantung latar belakang
dan keahlian sang penafsir. Apakah dia ahli hukum (fiqih), sufi, teolog (kalam), ahli
bahasa, dan lain-lain.

5
Masnida, Karakteristik Dan Manhaj Tafsir Marah Labid Karya Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Jurnal
Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam Volume VIII, No.1, 192-201, September
2016, 196-198.
6
Suryan A Jamrah, Metode Tafsir Maudhu’I Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,cet 1,1994),
35-36.

9
Dari teknik penafsirannya, Marah Labid termasuk dalam kategori tafsir yang
menggunakan mentode ijmali (global), hal ini dapat diketauhi dimana Imam Nawawi
berusaha untuk menyajikan penafsirannya seringkas-ringkasnya tetapi tetap mencakup
banyak hal dengan menggabungkan pendapat-pendapat dalam bahasa yang mudah dan
ringkas. Sebagai contoh: penafsiran Nawawi terhadap awal surat yusuf :

‫سورة يوسف عليه السالم مكية و هي مائة واحدي عشرة آية و ألف و تسعمائة و ست و تسعون كلمة وس**بع آالف‬
‫ س**ألت اليه**ود الن**بى ص**لى هللا‬: ‫و مائة و ستة و سبعون حرفا (بسم هللا الرحمن الرحيم) و عن ابن غباس أن**ه ق**ال‬
) ‫ تلك آيات الكتاب المبين‬. ‫ حدثنا عن أمر يعقوب وولده و شأن يوسق فنزلت هذه السورة ( الر‬: ‫عليه و سلم فقالوا‬
‫أي تلك األيات التي نزلت اليك قي هذه السورة المسماة الر هي آيات الكتاب المبين و هو الق**رأن ال**ذي بين اله**دي و‬
‫قصص األولين‬

Setelah menyebutkan nama surah dan status makkiyah, Nawawi menerangkan


berapa jumlah ayat, kalimat dan huruf yang terkandung dalam surah tersebut. Dan hal ini
beliau lakukan karena mengikuti langkah kitab tafsir refrensinya, yaitu Abu Sa’ud dan as-
Siraj al-Munir yang melakukan hal yang serupa. Dalam memulai menafsirkan ayat surah
Yusuf ini, Nawawi terlebih dahulu mengemukakan asbab an-Nuzul dengan memotong
sanadnya dan langsung menyebutkan sumbernya dari sahabat sehingga lebih ringkas.
Akan tetapi pola ini tidak selalu sama di setiap surah. Terkadang Nawawi memulainya
dengan makna ayat secara umum, terkadang juga membahas I’rab, kadang dengan
menyebutkan hadist yang menafsirkan ayatnya, dengan kata lain sangat variatif. Sesuai
dengan pemahaman mana yang lebih penting untuk di muat di penjelasan lebih awal.7

Sekalipun didominasi dengan metode ijmali, Nawawi terkadang juga menjelaska


suatu ayat secara detail layaknya seperti tafsir tahlili. Seperti ketika Nawawi mebahas
surah al-Hasyr ayat 16, beliau menjelaskan tafsirannya sampai menghabiskan satu
halaman penuh. 8

Adapun dari segi bentuk penafsirannya, Marah Labid termasuk perpaduan antara
bentuk tafsir bi al-ma’tsur dan bi ar-ra’yi. Dalam banyak tempat, Nawawi sering
menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, seperti ketika menafsirkan kata al-Hijaarah

7
Mustamin Arsyad, Signifikansi Tafsir Marah Labid terhadap perkembangan Studi Tafsir di Indonesia,
dalam jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.1, No.3,2006, .362.
8
Mamat S Burhanuddin, Hermeneutika Al-Qur’an Ala Pesantren, Analisis Terhadap Tafsir Maraah Labid
Karya K.H. Nawawi Bantani, (Yogyakarta: UII Press,2006), 49.

10
dalam surah al-Baqarah ayat 24 dengan sembahan orang kafir seperti surah al-Anbiya
ayat 98 :

(‫ إنكم و ما تعب**دون من )التي وقودها الناس‬: ‫أي حطبها الكفار (و الحجارة) أي المعبودة لهم و قال تعالي‬
)‫ ( أعدت) اي هيئت تلك النار (للكافرين‬.. ‫دون هللا حصب جهنم‬

Terkadang pula, Nawawi pun memuat hadist nabi sebagai sandaran penafsiran
ayatnya, pola penafsiran seperti ini dikenal dengan penggunaan teknik interpretasi
tekstual, yaitu menafsirkan ayat dengan ayat atau hadist nabi SAW. Nawawi juga bantak
pula mengutip perkataan Sahabat sebagai sumber penafsirannya, seperti sahabat Ibnu
Abbas, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, dan lainnya. Begitu pula sumber dari tabi’in.

Dalam konteks tafsir bi ar-ra’yi, Nawawi memahami bi ar-ra’yi bukan nya beliau
langsung menyelami al-Qur’an dengan tanpa dibekali ilmu yang mumpuni sebagai alat
bantunya menafsirkan al-Qur’an. Menurutnya, memahami dengan bi ar-ra’yi berarti
seseorang berijtihad memahami al-Qur’an dengan dilandaskan kepada perangkat-
perangkat syar’iyah yang dikenal dengan syuruth al-mufassir ( syarat-syarat yang harus
dipenuhi seorang mufassir dalam menafsirkan al-qur’an.9

F. Corak Penafsiran

Dari segi corak penafsirannya, Nawawi dipengaruhi oleh keluasan ilmunya yang
meliputi berbagai bidang ilmu agama islam dan hal ini terlihat dengan berapa banyaknya
karya-karya beliau yang lain, seperti fiqih, tasaawwuf, dan lainnya. Kaenanya, ketika
mengkaji corak tafsir dalam kitab Marah Labid, didapati berbagai aspek kajian
didalamnya, yaitu Ulum al-Qur’an , Ilmu bahasa, Fiqh, Ushul Fiqh, Ilmu kalam, dan
Tasawwuf.

Di dalam bidang Ulum al-Qur’an, mencakup bahasan tentang I`jaz al-Qur’an,


Muhkam dan Mutasyabih, Tartib al-ayat wa al-suwar, `ilm al-munasabat, Asbab al-
Nuzul, Waqaf dan Washal, dan Nasikh dan Mansukh.

Adapun dalam bidang fiqh, corak penafsiran Nawawi memiliki kecenderungan


Syafi`iyah, karena beliau menyebut dirinya sebagai penganut madzhab asy-Syafi`i.

9
Mustamin Arsyad, Signifikansi Tafsir Marah Labid terhadap perkembangan Studi Tafsir di Indonesia,
246-26.

11
Sekalipun itu, tafsir ini agak detail dalam menjelaskan hukum dan tidak ingin terlibat
dalam diskusi panjang dalam masalah furu’ dengan tidak memberikan tarjih setelah
menguraikan pendapat para ulama. Mengikuti madzhab Syafi`i, Nawawi bukan berarti
menolak madzhab lain. Di beberapa tempat dalam tafsirnya banyak mengindikasikan
Nawawi tidak fanatik (ta`ashub) madzhab. Beliau terkadang membandingkan empat
madzhab yang ada.

Dalam bidang Teologi, Nawawi menganut paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah,


yang afiliasinya kepada Asy`ariyah.

Sebagai pengamal tarekat Qadiriyah, Nawawi juga banyak menafsirkan ayat-ayat


al-Qur’an dengan aspek-aspek Tasawuf. Bahkan, tafsirannya terhadap surah al-A’raf ayat
205 yang berisi tentang dzikir, sejalan dengan tarekat Qadiriyah yang banyak
menganjurkan dzikir.

Aspek lain yang bisa dilihat dari tafsir Nawawi adalah dari segi qira’at. Nawawi
termasuk mufassir yang menempuh tradisi menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-
Qur’an dengan pendekatan ilmu qira’at, sehingga jarang ditemukan ayat yang tidak
dikomentari perbedaan qira’atnya dan terkadang mengemukakan argumentasi setiap
penganut qira’at yang ada.10

G. Keistimewaan

Sekilas ketika melihat cara penafsiran dan bentuk penulisan kitabnya, kitab
Marah Labid ini hampir mirip dengan kitab Tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin al-
Mahally dan Imam Jalaluddin al-Suyuthi, akan tetapi kitab yang juga banyak dipelajari di
pesantren ini mempunyai keistimewaan tersendiri. Kekhasan dari kitab ini adalah
penyebutan makna surah dan nama-namanya, serta menjelaskan tema-temanya. Misalnya
ketika menyebut Surah al-Kafirun, Syaikh Nawawi berkata: “disebut juga dengan surah
al-Munabadzah, atau al-Mu’abadah”, dan ketika menyebut Surah al-Ikhlas, “maksudnya
adalah ikhlas beribadah, dan surah itu disebut juga surah al-Muqasyqasyah, yang artinya
terbebas dari kemunafikan”, seperti keterangan Ali (1414 H.:641). Secara keseluruhan,

10
Aan Fahrani, Metode Penafsiran Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid, dalam jurnal
Tafsere Vol.1, No.1, 2013, 14-20.

12
Ali Iyazi menilai kitab ini sebagai kitab yang pantas dijadikan referensi karena kitab ini
adalah kitab tafsir yang berkualitas.11

PENUTUP
Kitab tafsir Marah Labid karya syaikh Nawawi ini terdiri dari dua jilid.
Karakteristiknya adalah kebahasaan dan metode yang digunakan adalah ijmaly dan
penulisannya menggunakan tertib mushafi. Sedangkan kecenderungannya adalah fiqh dan
tasawuf
Kitab tafsir Marah Labid ini adalah termasuk kitab yang sederhana dan jelas,
penulisnya memerhatikan lafadz-lafadznya, yaitu selama tidak keluar dari konteks (siyaq
al-lafadz), menerangkan madlul ayat dan tafsirnya, juga menyebutkan qira‟at, dan
riwayat-riwayat ayat tersebut, atau asbab nuzul-nya.

11
Masnida, Karakteristik Dan Manhaj Tafsir Marah Labid Karya Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Jurnal
Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam Volume VIII, No.1, 192-201, September
2016, 198-199.

13

Anda mungkin juga menyukai