Anda di halaman 1dari 13

PEMIKIRAN S{AL>H{ AL-DI>N IBN AH{MAD ALIDLIBI> DALAM

METODE KRITIK MATAN HADTI>>TH

Surur Rifai (E95217085)


E-mail: sururrifai1811@gmail.com
Thia Liani (E95217087)

E-mail: Thialiani23@gmail.com

ABSTRAK

Setelah masa Nabi Muhammah Shallallahu ‘alaih waSallam sampai pada masa
sekarang, keadaan dan kedudukan hadits yang sudah sedemikian rupa membuka
tabir melihat keberadaannya sebagai otoritas atau pedoman keberagamaan. Oleh
karena itu, jika kita temui taka jarang dari para pecinta hadits termotivasi
mengkaji, mendalami, mengkritisi, dan membincang pemikiran-pemikiran oara
pakar hadits. Shalahuddin Al-Adlabi mengemukakan berberapa pendapatnya
tentang perlunya dilakukan kritik pada matan haditsa yaitu: munculnya pemalsuan
hadits sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaih waSallam, dan kedustaan
yang berat terhadap beliau. Shalahuddin Al-Adlabi dalam hal ini membagi rmpat
kriteria dalam kritik matan. Pertama, matan hadits tidak bertentangan dengan
ayat-ayat al-Qur’an. Kedua, tidak bertentangan dengan hadits shahih dan sirah
nabawiyyah yang shahih. Ketiga, tidak bertentangan dengan akal indra dan
sejarah. Keempat, matan hadits tidak menunjukkan ungkapan yang serampang,
atau tidak menunjukkan makna yang rendah.

Pendahuluan

Sebagai pedoman umat Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits juga
sebagai penjelasa tentang keumuman dalam al-Qur’an agar muda dipahami oelh
umat Islam. Berangkat dari sini, kelayakan hadits sebagai penjelas tidak terlepas
dari keorisinilnya dan otentitasnya sebagai hujjah. Tentu ini penting di lakukan,
karena ketika hadits dijadikan sebgai hujjah terlebih dahulu harus diteliti
bagaimna kedudukan hadits tersebut sehingga bisa dijadikan sebgai hujjah.

Kehujjahan hadits sebagai rujukan kedua dalam Islam dalam hal


kemuatwatirannya tentu berbeda dengan al-Qur’an, al-Qur’an sebagai pedoman
yang utama dalam syari’at Islam tentu kemutawatirannya tidak dapat dibantahkan
karena mrupakan kalamullah yang terjaga sampai hari pembangkitan nanti.
Sedangkan kemutawatiran hadits masih terdapat hal-hal yan diperselisihkan oleh
para ulama terkait dengan banyak tersebarnya hadits-hadits palsu terutama pada
masa khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib.

Melihat banyaknya kemunculan hadits-hadits palsu, maka sudah menjadi


sebuah kaharusan untuk menguji keabsahan suatu periwayatan yang dinisbatkan
kepada Nabi Shallallahu ‘alaih waSallam. Apakah hadits tersebut shahih atau
tidak. Studi mengenai kritik sanad telah muncul pada masa sahabat, perihal pada
periwayatan, keadilan, maupun kedhabitan para perawi. Kemudian berkembang
dan berkembang seiring dengan banyaknya rantai periwayatan. Menurut al-Idlibi
dalam hal kritik matan belum ada tulisan mengenai obyek kritik matan yang
komprehensif.

Kitab Manhaj Naqd al-Matan ‘Ind Ulama>’ al-H{adi>th al-Nabawi>


(1403/1983 M). Dikatakan sebagai karya yang relatif lengkap tentang metode
kritik matan, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan sebagai karya pertama kali
pada masa itu. Sementara buku Manhaj al-Naqd ‘Ind ‘Ulama>’ al-H}adi>th karya
Nuruddin yang lebih dulu muncul ini, lebih terfokus pada kritik sanad. Karena
perngaruhnya ini, membawa dampak positif bagi perkembangan karya-karya yang
memilik topik saa di kemudian hari.

Berkenaan dengan pentingnya adanya kritik sanad, maka perlu juga


adanya kritik terhadap isi-isi riwayat itu sendiri. Sebab terkadang adanya riwayat
yang tidak bisa dibayangkan keabsahannya berasal dari Rasulullah Shallallahu
‘alaih waSallam, sehingga kebanyakan para ulama’ menolaknya, tidak
menghiraukan kalitas sanadnya. Bahkan ada juga sanad yang shahih, namun
periwayatannya tertolak. Inilah makna dari kritik matan (kritik intern) tersebut.

Dibutuhkannya usaha dalam kritik matan untuk menghindari adanya


kesembronoan dalam menentukan riwayat tersebut apakah berasal dari
Rasullullah Shallallahu ‘alaih waSallam atau tidak, meskipun kebanyakan para
ulama’ tidak begitu ketat dalam mencermatinya.

Biografi Salahuddin al-Adlabi


Nama lengkap beliau adalah Salah ad-Din Ibn Ahmad Ibn Muhammad
Sa’id al-Adlabi atau biasa dikenal dengan nama Salah ad-Din Ibn Ahmad al-
Adlabi dan sapaan akrab beliau yaitu “Al-adlabi”, beliau merupakan ahli hadits
dari Syiria yang lahir dikota Madinah pada tahun 1367 H/1948 M. Penyebutan
nama al-Adlabimerupakan penisbahan dari kakek beliau, karena ayahnya yang
bernama Syekh Ahmad adalah putra kesayangan dari Syekh Muhammad Sa’id al-
Adlabi.Salahuddin al-Adlabi adalah ulama salaf pada abad ke 19 Masehi. Beliau
merupakan ulama yang banyak memberikan kontribusi dengan pandangannya
terhadap permasalahan-permasalahan agama.
Beliau menimba ilmu di Madrasah Ibtidaiyah, Kemudian pada Madrasah
setingkat dengan Madrasah Aliyah yang berbasis Syari'ah di Madinah tempat
kelahirannya, Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi
Syariah di Damaskus, dan melanjutkannya pada Perguruan Dar al-Hadits al-
Hasaniyah. Beliau menyelesaikan pendidikan tingginya dengan mendapatkan
gelar magister pada bidang ilmu keislaman dan ilmu Hadis di tahun 1975 M/1395
H. Beliau juga mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu keislaman dan hadis
dengan predikat "Hasan jiddan" di Dar al-Hadits al-Hasaniyah pada tahun 1980
M/1401 H.
Beliau juga mengajar di berbagai perguruan tinggi Islam seperti perguruan
tinggi Al Qurwain. Beliau merupakan dosen bahasa Arab selama dua tahun di
Maroko, dosen hadits di fakultas dirasat Islamiyah Dubai selama empat tahun, dan
sebagai dosen hadis dan ilmu Hadis di Universitas Muhammad ibn Su'ud Riyadh
selama sepuluh tahun lamanya, beliau juga sebagai pembimbing diperguruan
Syari'ah selama 3 tahun.
Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi sebagai sosok ulama yang memiliki
semangat, ketekunan, kecerdasan dan keterampilan yang luar biasa dalam menulis
buah pikiran yang terlintas di benaknya. Ketajaman pikiran yang dimiliki olehnya
dibuktikan dengan beberapa karya tulis yang dimilikinya.
Adapun karya beliau yang terkenal adalah Manhaj Naqd al-Matan 'Inda
'Ulama al-Hadits an-Nabawi. Beliau juga mempunyai karya dalam bentuk artikel
ataupun tulisan lepas. Diantaranya adalah (1) Bagiyah al-Ra'id lamma fil hadits
'am Zar'in Min al-Fu'adi Lil Qadi 'Iyad, (2) Kasyf al-Ma’lum mimma summiya bi
silsilah al-ahadits as-Shahih,(3) Hadis la nikaha illa bi waliyyi riwayatan wa
dirayatan, (4) ‘Aqaida al-Asya’irah fi Hawari Hadi’I ma’a Syubhat al-
Munawi’in,(5) al-Bid’ah al-Mahmudah baina Syubhat al-Mani’in wa istidlalat al-
Mujizin, (6) wa tahdid al-Qiblah fi Syimal Amrika Radda bihi ‘ala al-Ahbasy, dan
tulisan-tulisan lainnya1.
Pemikiran salahuddin al-Adlabi terhadap kritik matan
Hadits memiliki dua komponen penting yakni sanad dan matan. Dalam hal
sanad, ada beberapa kriteria penentuan validasi sanad yakni pertama, kontnuitas
transmisi periwayatan, kedua perawi yang adil dan dabit, ketiga terhindar dari
syadz dan illah. Khusus pada kriteria kritik matan ada dua variabel yang
digunakan yakni, terhindar dari syadz dan illah. Pembagian kaedah tersebut
mengisyaratkan adanya perbedaan tersendiri dalam penentuan validasi hadits.
Maka, muncul pernyataan yang mengatakan bahwa hadits dengan sanad yang
shahih tidak mesti matannya juga shahih. Begitu sebaliknya.
Hadits sangat mengandalakn jalur periwayatan sebagai mata rantai
pembawa berita, maka kajian praktek keilmuan di bidang sanad berkembang pesat
dan dijadikan sebagai langkah awal dalam penentuan kualitas periwayatan hadits.
Kondisi seperti ini memunculkan pendapat ulama hadits dengan mengatakan
bahwa mereka hanya membuktikan penilaian otensitas periwayatan pada kritik
1
Ahmadi Ritonga dkk, Konstribusi Pemikiran Salah Ad-Din Ibn Ahmad Al-Adlabi dalam
metode kritik matan hadits:Telaah terhadap Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda ‘Ulama’ al-
Hadits an-Nabawi, At-Tahdis: Journal of Hadith studies. Vol.1, no.1, 2017, hal.3-5.
sanad dan mengabaikan penelitian tentang unsur terpenting yang dibawa sanad
yakni matan. Penilain demikian mendapat kritikan dikalangan para ulama hadits
yang mengatakan bahwa meskipun penelitian tentang hadits sangat mengandalkan
kualitas periwayatan atau sanad, namun para ulama juga menulis sejumlah karya
tendang metode kritik matan meski dalam jumlah yang sangat terbatas bila
dibanding dengan kajian kritik sanad. Salah satu karya yang membahas tentang
metode kritik matan adalah yang ditulis oleh S{alah{ al-Di>n Ah{mad al-
Adlabi>.

Dalam menentukan kesahihan hadits para ulama hadits menetapkan tiga


kriteria kesahihan pada sanad dan dua kriteria kesahihan Matan. Dua kriteria
kesahihan hadis pada Matan tersebut ialah terbebasnya matan dari syaz dan illat.
Para ulama berbeda-beda mendefinisikan syaz. Ada tiga ulama yang memiliki
definisi berbeda mengenai istilah syaz, yaitu Imam al-syafi'iy mendefinisikannya
sebagai hadis yang diriwayatkan oleh seorang tsiqoh yang bertentangan dengan
hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang(perawi tsiqoh lainnya). Al-Hakim
mendefinisikannya dengan hadits yang diriwayatkan oleh seorang tsiqoh secara
menyendiri tanpa perawi tsiqah lainnya dan hadis tersebut tidak memiliki mutabi
sama sekali. Sementara menurut Abu Ya'la al-Khalili mendefinisikan dengan
hadits yang tidak mempunyai sanad kecuali hanya satu yang periwayatannya
menyendiri dengan sanad itu, baik itu berstatus tsiqoh atau tidak. Jika tidak tsiqoh
maka disebut hadits matruk tidak diterima, kalau statusnya tsiqoh maka tawaqquf
dan tidak berhujjah dengannya.

Sedangkan istilah illat hadis adalah ilmu yang mempelajari sebab-sebab


tersembunyi sesuatu yang dapat mencatatkan keshahihan hadits baik karena
menyambungkan yang terputus, memarfu'kan yang mauquf atau memasukkan
hadits pada hadits lainnya.2

Munculnya perbedaan dalam memahami kritik Matan hadits pertama dari


sudut metodologi sangat memungkinkan karena berbagai faktor diantaranya:

2
Ibid, hal.6
1. Kaidah kritik Matan hadis tersebar dalam beberapa ulasan mengenai
kualitas hadits
2. Belum banyaknya karya yang membahas secara khusus tentang metode
kritik Matan hadits
3. Kaidah-kaidah kesahihan hadits terdahulu belum mencakup seluruh
persoalan yang berkenaan dengan metode kritik Matan.

Para ulama hadis menyebutkan secara berbeda beberapa tanda Hadits


palsu dari segi Matan, diantaranya adalah (1) adanya qarinah pada Matan (bukti-
bukti yang mengiringi Matan) baik rusak(rakik) pada makna maupun lafal atau
keduanya, (2)bertentangan dengan akal sehat yang tidak memungkinkan untuk di
takwil atau bertentangan dengan Indera (3)hadits tersebut bertentangan dengan
dalil Al-quran yang qati atau Hadis Mutawatir, ijma' yang tidak memungkinkan
untuk dijama', (4)haditsnya terlalu berlebihan dalam menilai amal, (5)hadits yang
mestinya disaksikan oleh banyak perawi sahabat namun tidak masyhur dan hanya
diriwayatkan sedikit perawi, (6)Hadis yang bertentangan dengan hikmah dan
logika yang lurus, (7)hadits yang diriwayatkan oleh penganut rafidhah,
(8)bertentangan dengan kebenaran fakta sejarah, (9) salah seorang perawinya
mengaku bertemu dengan perawi lainnya, padahal secara logika tidak mungkin
mereka bertemu, (10)pengakuan sebagian kalangan sufi yang menyatakan
bertemu dengan nabi melalui kasyaf tanpa sanad yang Shahih dan bersambung
atau melalui mimpi.

Begitupun dengan al-adlabi ketika melakukan kritik Matan hadits tolak


ukur yang digunakan dalam kritik Matan tidak lepas dari unsur syaz dan Illat
dalam kaidah kesahihan hadits.3 Dalam hal kriteria penerimaan keshahihan hadits
al-Idlibi> membaginya menjadi beberapa macam, dalam kitabnya Manh{aj Naqd
al-Matn ‘Inda ‘Ulama>’ al-H{adi>th al-Nabawi>. Dalam kitab tersebut
S{alah{ al-Di>n Ah{mad al-Adlabi> mengemukakan empat kategori ddalam
menilai ke-shahihan matan hadits, yaitu:

1. Matan hadits tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an.


3
Ibid, hal.7-8
Ada dua sudut pandang yang bisa kita berikan, jika kita menemukan suatu
hadits yang bertentangan dengan al-Qur’an. Pertama, dari sudut wurud.
Al-Qur’an seluruh isinya adalah qathi’ al-Wurud, benar dengan tingkatan
tidak ada keraguan di dalamnya sedikitpun. Sedang hadits-hadits nabawi
adalah dhanni al wurud, kecuali hadits mutawattir yang jumlahnya sedikit.
Bahkan hadits mutawattir sekalipun yang mecapai tingkatan yang kuat
dalam wurudnya, tidak sampai pada qathi’ al-Wurud sebagaimana al-
Qur’an. Kedua, dari sudut dalalah. Al-Qur’an dan al-Hadits adaklanya
qath’ al-dalalah dan adakalanya dhanni al-Dalalah. Untuk memastikan
adanya pertentangan di antara nash al-Qur;an dan al-Hadits, keduanya
haruslah sama-sama tidak mengandung kemungkinan adanya takwil.4

Al-Idlibi memberikan salah satu contoh hadis yang menurut sebagian


ulama bertentangan dengan dalil Alquran. Hadis tersebut berbicara tentang
sihir yang menimpa Nabi dan dilakukan oleh orang Yahudi sehingga
beliau seakan-akan melakukan sesuatu padahal sebenarnya beliau tidak
melakukan sesuatu. Hadis tersebut terdapat dalam Sahih Bukhari kitab
Jizyah bab Hal yu’fa min al zimmi iza sahira. No. 2939.

“Telah menceritakan kepada kami Muh{ammad ibn al-Mathanna, telah


menceritakan kepada kami Yah{ya, telah menceritakan kepada kami
Hisha>m, dia berkata: telah menceritakan kepaadaku Abi> dari ‘A>ishah
bahwa al-Nabi> S{alla Allah ‘alayh waSallam disihir sampai-sampai
beliau merasa melakukan sesuatu pada hal tidak melakukannya.”

Menurut al-Idlibi, sebagian ulama menolak keshahihan hadits ini karena


dinilai bertentangan engan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan orang-orang yang zalim itu berkata: ‘Kamu sekalian tidak lain
hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir. Perhatikanlah,
bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu,

4
S{alah{uddin ibn Ah{mad al Adlabi>, Metodologi Kritik Matan Hadits, terj. M.
Qadirun Nur, (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2004), 210.
lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk
menentang kerasulan).”

Ada beberapa alasan penolakan hadits di atas: pertama, membenarkan


perkataan kaum musyrikin. Kedua, menghilangkan kepercayaan terhadap
risalah yang dibawahnya. Ketiga, sihir merupakan perbuatan buruk dan
keji. Namun argumen-argumen yang menilai lemah hadis di atas dijawab
oleh al-Qasimi dengan menggunakan dalil naqli dan aqli sehingga ia
menyakini akan kesahihan hadis mengenai tersihirnya Nabi saw. Al-Idlib³
nampaknya sejalan dengan pendapat al-Qasimi yang menyatakan
kesahihan hadis di atas, namun di sini ia hanya ingin menunjukkan
pandangan sebagian orang yang melemahkan hadis sahih karena dinilai
bertentangan dengan dalil Alquran.

2. Tidak bertentangan dengan hadits shahih dan sirah nabawiyyah yang


shahih.

Ada dua syarat yang harus terpenuhi, untuk menolak sebuah riwayat yang
marfu’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaih waSallam, karena bertentangan
dengan hadits lain. Pertama, tidak ada kemungkinan al-Jamu’. Jika tidak
ada kemungkinan untuk dipasukan maka menggunakan metoda al-Tarjih.
Kedua, hadits yang dijadikan penolakan terhadap hadits lain harus
mutawattir.5

Kedua syarat di atas menurut al-Idlibi, tidaklah realistis dan


mempersempit pembahasan mengenai pertentangan di antara hadits-hadits.
Menurutnya, para ulama telah memiliki kategori untuk hadis-hadis yang
saling bertentangan. Hadis dha‘if apabila bertentangan dengan hadis sahih
maka disebut dengan hadis munkar . Adapun hadis sahih yang
bertentangan dengan hadis yang lebih sahih sanadnya maka disebut hadis
syadz . Sedang hadis yang bertentangan dengan hadis mutawatir disebut
dengan maudhu’.

5
Ibid., S{alah{uddin ibn Ah{mad al Adlabi>, Metodologi Kritik Matan Hadits, 234.
Berikut contoh pertentangan antara hadits dengan hadits menurut al-Idlibi,
berkenaan dengan hadits tentang puasa pada bulan sya’ban. Dalam
musnad Ahmad ibn Hanbal kitab Baqi Musnad al-Muksirin Bab Baqi
Musnad al-Sabiq No. 9330.

“Telah menceritakan kepada kami Waki>’, telah menceritakan kepada


kami Abu> ‘Umays ‘Utbah dari al-‘Ala>’ dari Abd al-Rah{man ibn
Ya’qu>b dari bapaknya dari Abi> Hurayrah, bahwa Rasu>l Allah S{alla
Allah ‘alayh waSallam bersabda: “Jika telah mencapai tengah bulan
Sya’ban maka jangan kalian berpuasa hingga sampai pada bulan
ramadhan.”

Hadis di atas bertentangan dengan hadis lainnya yang diriwayatkan oleh


Aisyah dan Umm Salamah. Dalam Shahih al-Bukhari Kitab al-Saum bab
Saum Sha’ban No. 1833.

“Telah menceritakan kepada kami ‘Abd Allah ibn Yu>suf, telah


mengabarkan kepada kami Ma>lik dari Abi> al-Nas{ar dari Abi> Salamah
dari ‘A>ishah semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya, dia
berkata: “Rasu>l Allah S{alla Allah ‘alayh waSallam sering berpuasa
hingga kami mengira beliau tidak berbuka dan beliau berbuka puasa
sehingga kami menduga beliau tidak berpuasa. Saya tidak pernah melihat
Rasu>l Allah menyempurnakan puasa selama satu bulan penuh kecuali di
bulan Rasmadhan dan saya tidak pernah melihat beliau paling sering
berpuasa kecuali pada bulan sha’ban.”

Hadis Abu Hurairah di atas dinilai sendirian ( tafarrud ) oleh para ulama.
Menurut mereka, rawi Al-‘Ala ibn Abdurrahman meriwayatkannya secara
sendiri dari ayahnya dari Abu Hurairah sedang ia adalah thiqah . Imam
Ahmad menilai hadis itu munkar karena hadisnya dhaif dan bertentangan
dengan hadis dari jalur periwayat lain yang lebih sahih.

3. Tidak bertentangan dengan akal indra dan sejarah.


Termasuk hal yang menunjukkan kebathilan sebagian hadits yag
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaih waSallam adalah keberadaan
hadits itu yang bertentangan dengan akal, indra, dan sejarah. 6 Riwayat
yang bertentangan dengan akal, indera atau sejarah. Yang dimaksud
dengan akal disini, menurut al-Idlibi adalah akal yang tercerahkan dengan
Alquran dan hadis yang sahih, bukan hanya akal semata, karena
sesungguhnya akal saja tidak bisa menghukumi baik dan buruk. Hal ini
berbeda dengan pandangan Mu’tazilah.

Berikut contoh hadits yang bertentangan dengan akal diriwayatkan oleh al-
Nasa’i dalam kitab sunan Nasa’i Kitab al-Nikah bab Tajwid al-Zaniah No.
3177.

“Telah mengabarkan kepada kami Muh{ammad ibn Isma>’i>l ibn


Ibra>hi>m, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Yazi>d, dia
berkata: telah mnceritakan kepada kami H{amma>d ibn Salamah
waghairuhu dari Ha>ru>n ibn Rika>b dari ‘Abd Allah ibn ‘Ubayd ibn
‘Umayr dan ‘Abd al-kari>m dari ‘Abd Allah ibn ‘Ubayd ibn ‘Umayr dari
Ibn ‘Abba<s, ‘Abd al-Kari<m memarfu’ kannya kepada ibn ‘Abba>s dan
Ha>ru>n tidak memarfu’kannya. Keduanya berkata: “Seorang laki-laki
datang kepada Rasu>l Allah S{alla Allah ‘alayh waSallam dan berkata:
“sesungguhnya saya memiliki istri yang sangat saya cintai, tetapi ia tidak
menolak tangan orang yang menyentuhnya”. Rasu>l bersabda: “talaklah
dia”. Laki-laki tersebut berkata: “Saya tak dapat berpisah darinya”. Rasu>l
bersabda: “Bersenag-senaglah dengannya”. Abu> ‘Abd al-Rah{man
berkata: “Hadits ini tidaklah kuat dan ‘Abd al-Kari>m dinilai tidak kuat
hafalannya, sedang Ha>ru>n ibn Rika>b lebih kuat darinya namun telah
memursalkan hadits. Ha>ru<n meruapak perawi yang thiqah dan haditsnya
lebih shahih dibandingkan dengan riwayat ‘Abd al-Kari>m.”

Ungkapan “ ia tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya’, menurut


al-Idlibi mengandung pengertian lacur. Meski sebagian ulama
6
Ibid., S{alah{uddin ibn Ah{mad al Adlabi>, Metodologi Kritik Matan Hadits, 254.
mena’wilkannya ungkapan di atas dengan pengertian lain, seperti‘ ia tidak
menolak tangan orang yang mengajaknya bersalaman walaupun bukan
muhrimnya’. Namun, ta’wil seperti ini, menurut al-Adlabi, tidak dapat
dibenarkan secara bahasa. Sekiranya ta’wil tersebut benar maka tidak
mungkin Rasulullah menyuruhnya untuk tetap menahan perempuan
tersebut sebagai istrinya. Sedang Imam A¥mad bin ¦anbal telah
menganggap hadis ini tidak berasal dari Rasul saw dan tidak punya asal.
Ibn al-Jauzi juga menempatkan hadis ini dalam kitab maudhu’at.

4. Matan hadits tidak menunjukkan makna yang rendah ( hadits-hadits yag


tidak menyerupai perkataan Nabi Shallallahu ‘alaih wSallam).
Terkadang suatu riwayat berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaih
waSallam, tidak bertentangan dengan nash Alquran atau sunnah yang
sahih, akal, indera (kenyataan), atau sejarah, akan tetapi riwayat tersebut
tidak seperti perkataan kenabian, maka tidak dapat diterima.

Menurut al-Idlibi, para ulama’ merasa sulit untuk menntukan perkataan


mana yang tidak seperti perkataan kenabian, tetapi yang terpnting adalah
perkataan yang mengandung keserampangan, atau makna-makna yang
rendah, atau ungkapan tentang istilah-istilah yang datang kemudian. Al-
Idlibi kemudian membagi pembahasan menjadi tiga bentuk yakni;
pertama, hadits-hadits yang mengandung keserampangan. Kedua, hadits-
hadits yang megandung makna yang rendah. Ketiga, hadits-hadits yang
lebih menyerupai perkataan-perkataan ulama’ khalaf.7

Sebuah kerangka teori yang dikemukakan oleh al-Adlabi ini sengaja


dipilih dengan pertimbangan bahwa dalam sejarah ‘ulumul hadits, metode kritk
matan yang kebanyakan di kemukakan oleh para ulama’ lebih terfokus pada
penelitian tentang sanad. Kajian atau penelitian terhadap matan hadits ini sangat
penting agar kita tidak terjebak pada penelitian hadits berdasar pada sanad saja.8

7
Ibid., S{alah{uddin ibn Ah{mad al Adlabi>, Metodologi Kritik Matan Hadits, 270.
8
Atiyatul Ulya, Kritik Kualitas Mata Hadits Perempuan Lemah Akalnya Perspektif
S{alah{ al-Di>n Ah{mad al-Adlabi>, Jurnal Ushuluddin, Vol. 6, No. 1, 2018, http://
ejournal.uin-suska.ac.id/indeks.php/ushuludin/article/view/4269.
Kesimpulan
Nama lengkap beliau adalah Salah ad-Din Ibn Ahmad Ibn Muhammad
Sa’id al-Adlabi atau biasa dikenal dengan nama Salah ad-Din Ibn Ahmad al-
Adlabi dan sapaan akrab beliau yaitu “Al-adlabi”, beliau merupakan ahli hadits
dari Syiria yang lahir dikota Madinah pada tahun 1367 H/1948 M. Salahuddin Ibn
Ahmad al-Adlabi sebagai sosok ulama yang memiliki semangat, ketekunan,
kecerdasan dan keterampilan yang luar biasa dalam menulis buah pikiran yang
terlintas di benaknya. Ketajaman pikiran yang dimiliki olehnya dibuktikan dengan
beberapa karya tulis yang dimilikinya. Adapun karya beliau yang terkenal adalah
Manhaj Naqd al-Matan 'Inda 'Ulama al-Hadits an-Nabawi.

Al-adlabi ketika melakukan kritik Matan hadits tolak ukur yang digunakan
dalam kritik Matan tidak lepas dari unsur syaz dan Illat dalam kaidah kesahihan
hadits.9 Dalam hal kriteria penerimaan keshahihan hadits al-Idlibi> membaginya
menjadi beberapa macam, dalam kitabnya Manh{aj Naqd al-Matn ‘Inda
‘Ulama>’ al-H{adi>th al-Nabawi>. Dalam kitab tersebut S{alah{ al-Di>n
Ah{mad al-Adlabi> mengemukakan empat kategori ddalam menilai ke-shahihan
matan hadits, yaitu: pertama, matan hadits tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-
Qur’an. Kedua, tidak bertentangan dengan hadits shahih dan sirah nabawiyyah
yang shahih. Ketiga, tidak bertentangan dengan akal indra dan sejarah. Keempat,
matan hadits tidak menunjukkan ungkapan yang serampang, atau tidak
menunjukkan makna yang rendah.

Daftar Pustaka
S{alah{uddin ibn Ah{mad al-Adlabi. 2004. Metodologi Kritik Matan Hadits.
Ciputat: Gaya Media Pratama.

9
Ibid, hal.7-8.
Atiyatul Ulya, Kritik Kualitas Mata Hadits Perempuan Lemah Akalnya Perspektif
S{alah{ al-Di>n Ah{mad al-Adlabi>, Jurnal Ushuluddin, Vol. 6, No. 1, 2018,
http:// ejournal.uin-suska.ac.id/indeks.php/ushuludin/article/view/4269.
Ahmadi Ritonga dkk, Konstribusi Pemikiran Salah Ad-Din Ibn Ahmad Al-Adlabi dalam
metode kritik matan hadits:Telaah terhadap Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda
‘Ulama’ al-Hadits an-Nabawi, At-Tahdis: Journal of Hadith studies. Vol.1,
no.1, 2017, hal.3-5.

Anda mungkin juga menyukai