Anda di halaman 1dari 10

KRITIK HADIST

Oleh: Fuji Fathurrahmah dan Neuis Marfu

Konsep Jarh dan Ta’dil


Sunnah sebagai sumber hukum Islam, dijustifikasi dengan jelas dari berbagai
firman Allah, sabda Nabi dan tradisi khulafa ar-Rasyidin, sunnah diposisikan sebagai
interpretasi firman Allah. Namun, disisi keurgensiannya hadits sebagai sumber hukum
Islam. Hadits atau sunnah pernah menjadi alat yang paling efektif dalam memecahkan
persatuan kesatuan umat Islam.
Jarh dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalil hadits. Tetapi, karena ilmu ini
memiliki ciri dan spesifikasi yang agak unik, maka ilmu ini berdiri sendiri. Melalui ilmu
ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi. Kredibilitas perawi hadits
akan terukur jelas.
a. Pengertian dan Tokoh Pendiri Jarh dan Ta’dil
Lafadz Jarh secara etimologi adalah melukakan badan yang mengeluarkan darah.
Apabila dikatakan: Hakim menjarahkan saksi, maka ma’nanya: hakim menolak kesaksian
saksi. (Ash-Shidieqy, 1981: 204). Menurut para muhadditsin jarh ialah sifat seorang rawi
yang dapat mencecatkan keadilan dan hafalannya, menunjukkan atau membayangkan
kelemahan seorang rawi. Menjarh atau mentajrih seorang rawi berarti menyipati rawi
tersebut dengan sifat-sifat yang menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang
diriwayatkannya.(Fathurrahman,(tt): 307)
Sedangkan Ta’dil ialah menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau
kelurusan seorang rawi. Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan
sifat-sifat yang menodai agama dan keperwiraannya. Dengan memberikan sifat-sifat yang
terpuji kepada seorang rawi sehingga apa yangdiriwayatkannya dapat diterima.
Musthafa Al-Siba’I berpendapat bahwa Jarh dan Ta’dil adalah ilmu hadits yang
secara khusus membicarakan tentang sisi negatif dan positif perawi hadits. Artinya,
periwayat hadits dari masing-masing thobaqat diteliti secara mendetail, apakah perawi itu
dapat dipercaya atau tidak (amanah), handal (tsiqat), adil (’adalah), dan tegar (dlabith),
atau sebaliknya, sampai di mana perawi itu berbohong, lalai atau pelupa.
Berbeda dengan pendapat Musthafa, sebagian ahli hadits menyatakan bahwa
kritik sanad hadits pada zaman nabi belum ditemukan. Hai itu dapat difahami, karen
aperiwayat pada dua masa itu disepakati dan termasuk dalam kategori ’udul (adil). Tapi
tidak semua sahabat itu dlabith.
Terlepas dari skursus ini, pada dasarnya diantara nuqad (kritikus) hadits sepakat
bahwa yang dimaksud dengan ilmu kritik hadits ialah ilmu yang membahas tentang
memberikan kritikan adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi
dengan maksud dan tujuan yang sama yaitu memurnikan hadits.
b. Tokoh-tokoh pendiri
Secara empiris, ilmu kritik hadits sudah ada sejak zaman sahabat Nabi. Di antara
para sahabat sudah muncul perlunya menilai seorang perawi hadits. Namun demikian
dalam tataran teoritis ilmiah, kritik hadits tampaknya baru terlihat pada masa Tabi’in
(awal abak ke-2 Hijriyah) sampai abad ke-3 Hijriyah. Pada abad ke-4 sampai dengan
abad ke-9 Hijriyah, sebenarnya masih juga muncul tokoh-tokoh yang mengembangkan
ilmu ini, namun tingkat kesemarakannya tidak mampu menandingi fase tersebut di atas.
Hal ini dapat terjadi karena terorientasi ilmiah sudah mapan di abad ke-3 Hijriyah.
Karena itu ilmu kritik Hadits dimulai pada abad ke-1 sampai abad ke-3 Hijriyah.
1. Abad pertama Hijriyah
Abad pertama Hijrriyah telah memunculkan tokoh-tokoh rijalul hadits dari kalangan
sahabat dan sebagian lagi dari kalangan tabi’in. Tokoh sahabat yang khusus
membicarakan ilmu ini diwakili oleh Ibnu Abbas (w. 93 H), Ubadah Ibnu Shamit (w. 34
H), dan Anas bin Malik (w. 93 H), disusul oleh tokoh tabi’in seperti Sa’id ibnu Musayyab
(w. 93 H).
2. Abad kedua Hijriyah
Penyusun ilmu Jarh dan Ta’dil pada abad kedua adalah Al-Sya’bi (104 H), Ibnu Sirrin
(110 H), Syu’bah (160 H), dan Imam Malik (179 H). Di antara ulama yang secara khusus
membicaraka dan mempelajari ilmu Jarh dan Ta’dil adalah: Muammar (153 H), Hisyam
Al-Dustuwi (154 H), Al-Auza’i (156 H), al-Tawri (w. 161 H), Muhammad Ibnu Salamah
(w. 167 H), dan Laits Ibnu Sa’id (w. 175 H). Setelah itu muncul generasi berikutnya
seperti Ibnu Al-Mubarah (181 H), Al-Fazari (w. 185 H). Ibnu Uyayah (w. 197 H), Waqi
Ibnu Al-Jarah (w. 197 H), dan setelah itu muncul dua tokoh yang menjadi standar dalam
penilaian hadits yaitu Yahya Ibnu Said Al-qhatan (189 H) dan abdurrahman Ibnu Mahdi
(198 H). Dua nama terkahir itu adalah tokoh menjadi acuan dalam penilaian terhadap
perawi hadits, apa yang dikatakan kedua tokoh ini dapat diterima oleh tokoh-tokoh Jarh
dan Ta’dil lainnya.
3. Abad ketiga Hijriyah
Penerus ulama ilmu kritik hadits di abad ketiga adalah sebagai berikut: Yazid bin Harun
(206 H), Abu Dawud Al-Tayali (204 H), Abdul Raziq Ibnu Hammam (211 H) dan Abu
Hasyim Al-Nabi Ibnu Mukhlad (212 H). Setela itu muncul generasi berikutnya yang
mengsistematiskan penyusunan Jarh dan Ta’dil seperti: Yahya Ibnu Mu’in (w. 233 H),
Ahmad Ibnu Hambal (w. 241 H), Muhammad Ibnu Sa’ad (230 H), Ali Ibnu Al-Maini
(234 H), dab kemudian disusul oleh Bukhari dan Muslim.
c. Objek Penelitian
Objek yang terpenting dalam penelitian hadits adalah terhadap sejumlah
periwayat yang mentranspormasikan riwayat hadits (kualitas sanad) dan materi hadits
(matan hadits).
Kritik sanad adalah mempelajari rangkaian periwayatan hadits dengan cara
mengetahui biografi masing-masing perawi, dipelajari juga tingkat kekuatan dan
kelemahan perawi dalam mengingat hadits, sebab-sebab yang memungkinkan seseorang
disebut kuat atau lemah. Kritik sanad beratti juga menjelaskan muttasil dan munqati
perawi dalam rangkaian sanad. Mencakup dua hal yaitu tingkat intelektual rawi dan
mekanisme isnadul khabar.
Dalam asfek sanad yang harus diperhatikan dalam kualitas dan kuantitas sanadnya
meliputi: sanadnya bersambung, rawinya adil, dlabit, terhindar dari syadz dan tidak ber-
illah. Kelima asfek tersebut adalah sebagai sumber adanya kepastian validitas suatu
proses transformasi hadits. Dengan demikian kritik sanad hadits ialah penelitian,
penilaian, dan pelurusan sanad hadits tentang individu perawi dan proses penerimaan
hadits dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan
kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadits
(sahih, hasan dan dhaif).
Kritik matan hadits adalah proses lanjutan dari kritik terhadap sanad. Studi ini
merupakan konsekuensi logis yang sulit untuk dihindari. Kedua metode ini berjalan
seirama karena sama-sama membersihkan hadits dari berbagai kemungkinan yang tidak
benar. Kritik sanad bertujuan untuk melihat validitas dan kapabilitas menyangkut tingkat
ketakwaan dan intelektualitas perawi hadits serta mata rantai periwayatannya, sedangkan
kritik matan bertujuan untuk menyelidiki isi atau materi hadits.
Kritik matan dilakukan untuk melihat sejauh mana orsinilitas materi yang telah
dikemukakan. Untuk itu, terdapat langkah-langkah dalam melakukan kritik terhadap
matan. Langkah-langkah itu adalah:
1. Meneliti susunan kalimat yang semakna.
2. Meneliti kandungan matan.
3. meneliti matan mesti diawali dengan melihat kualitas sanad.
d. Syarat-syarat Untuk Menjadi Ulama Jarh dan Ta’dil
1. Beriman, bertaqwa, wara’, berilmu dan jujur.
2. Mengetahui sebab-sebab Jarh dan Ta’dil.
3. Mengetahiu penggunaan Bahasa Arab.
Syarat-syarat itu sangat penting untuk dimiliki oleh setiap ulama yang akan
mengikuti dunia Jarh dan Ta’dil, dan syarat ini yang nampaknya diperlukan agar orang
tidak mudah memberikan penilaian dengan kehendak hatinya atau dapat juga
dimaksudkan untuk menjaga hadits. Artinya, hadits eksistensinya terlindungi dari hasrat
seseorang yang merasa dirugikan, sehingga ia mencari-cari kelemahan hadits itu dan
salah satu di antaranya dengan kaidah Jarh dan Ta’dil.
e. Kriteria dalam Menentukan Kritik Hadits
Untuk menghimpun hadits-hadits itu diperlukan kerangka ketelitian yang sangat tinggi,
berupa kerangka ontologis (isi), epistemologis (cara) dan aksiologis (tujuan) yang akurat,
agar yang dinamakan hadits itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Langkah awal
para ulama dalam menetapkan kesahihan dan kelemahan suatu hadits adalah menentukan
prinsip-prinsip dasar suatu hadits sebagai cara untuk melakukan elaborasi terhadap
keberadaan hadits. Objek terpenting dalam penelitian hadits itu terhadap sejumlah
periwayat yang mentranspormasikan riwayat hadits (kualitas sanad) dan materi hadits
(kualitas matan).
Maksud mengevaluasi perawi hadits apakah layak atau tidak untuk ditetapkan
sebagai periwayat shahih secara singkat ada dua syarat untuk perawi hadits yang
ditetapkan oleh ilmu Jarh dan Ta’dil yaitu: Al-’Adalah (keadilan) dan Al-Dlabith.
Persoalan selanjutnya adalah apakah evaluasi negatif (Jarh) dan evaluasi positif (Ta’dil)
diterima tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Dalam hal ini tampak berbeda di antara
ulama Jarh dan Ta’di. Jarh yang tidak beralasan adalah tiap jarh yang ditujukan kepada
seorang rawi hendaklah ada alasannya, dari perbuatan seorang rawi atau dari jalan lain.
Ulama yang menjarh seorang rawi dengan tidak menyebut alasannya tentu bagi ulama
itu ada alasannya sendiri. Alasan yang menyebabkan ia menjarah seorang rawi belum
tentu menjadi alasan bagi orang lain, karena ada banyak orang yang menjarh rawi, tetapi
sebenarnya apa yang mereka tunjukkan itu bukan jarh. Jadi jarh yang tidak disebut
alasannya belum dapat diterima dan dianggap untuk melemahkan seorang rawi. Seperti
Bakr bin Amr Abu Sidiq an-Naji: kata Ibnu Hajar: ”Ibnu Sa’ad ada yang membicarakan
bahwa Bakr dengan tidak beralasan
Jarh yang tidak diterangkan sebabnya ialah jarh yang tidak disebut atau diketahui
sebab si rawi itu dianggap lemah, seperti seorang yang berkata: ”Si anu lemah”, ”Si anu
tidak kuat” dan lain-lain. Menjarh seperti ini tidak diterima karena status penjarahannya
masih gelap.Seperti Abdul Malik bin Shubbah al-Misma’i al-Bashri: ada orang yang
meriwayatkan bahwa Al-Khalili pernah berkata: ”Abdul Malik tertuduh mencuri hadits”.
Kata Ibnu Hajar ini adalah satu jarh yang tidak diterangkan sebabnya. Dikatakan seperti
itu karena al-Khalili tidak menunjukkan jalan tuduhannya.
f.Tingkatan Jarh Wa Ta’dil dan lafad-lafadnya:
Lafadz-lafadz Jarh adlah sebagai berikut:
1. Menilai lunak atau rendah dan hal ini menunjukkan yang paling ringan kejelekannya.
Seperti: fulanun layyin al-hadits, fihi tsiqal, fi haditsihi dha’if dan lain-lain.
2. Sesuatu yang ditegaskan dengan tidak ada hujah atau yang menyerupainya seperti:
dha’ifun, lhu manakir dan lain-lain.
3. Lafadz yang terng-terangan melarang haditsnya ditulis atau yang lainnya. Seperti:
dha’Ifun jiddan, fulanun la yuktabu haditsuhu dan lain-lain.
4. Lafadz yang menunjukkan tuduhan berdusta seperti: laisa bi tsiqqah,yaskuru al-hadits
dan lain-lain.
5. Lafadz yang menunjukkan rawi disifati berdusta seperti: fullanun kaddzab, yakdzibu,
dan lain sebagainya.
6. Lafadz yang menunjukkan keterlaluan berdusta, seperti: fulanun akdzaba al nass.
Perawi yang berada pada dua tingkat pertama (no.1 dan 2), sudah tentu tidak
dapat dijadikan hujjah. Hadits mereka ditulis hanya untuk i’tibar. Adapun sisanya,
diterima juga tidak ditulis untuk dijadikan i’tibar. Karena hadits ini tidak kuat dan tidak
dapat menguatkan hadita lainnya.
Para ulama hadits telah menetapkan lafadz-lafadz ta’dil dalam beberapa martabat,
diantaranya:

1. Lafadz yang menunjukkan shigat mubalghah (paling puncak) dalam tausik atau
atas dasar wajan af’ala yang merupakan shighat paling tinggi.
2. Lafadz yang diperkuat dengan satu atau dua sifat dari sifat tsiqat. Seperti:
Tsiqatun-tsiqatun, tsiqat-tsabit, tsiqat-hujjah dan lain-lain.
3. Lafadz yang menunjukkan pada satu sifat atas tsiqat tanpa ada penjelas. Seperti:
tsiqat, hujjah.
4. Lafadz yang menunjukkan pada ta’dil tapi tanpa menunjukkan adanya dlabith.
Seperti: la ba`sa bihi.
5. Lafadz yang menunjukkan pada dekatnya tajrih. Seperti; fulanun syaikhun.

Lafadz-lafadz pada no.1 dengan no. 3 rawinya dapat dijadikan hujjah, meskipun
sebagian dari mereka ada yang lebih kuat dari sebagian yang lainnya. Adapun no.4 dan 5
rawinya tidak boleh dijadikan hujjah. Tetapi terkadang hadits mereka ditulis untuk diuji,
meskipun tingkatan keempat berbeda dengan tingkatan rawi yang kelima. Wallahu a’lam.
KRITIK HADIST

Untuk menguji keshahihan sebuah hadis, dalam ilmu Hadis


berkembang teori tentang Ilmu Riwayah Hadis (ilmu yang dipakai untuk
meneliti sanad suatu hadis) dan Ilmu Dirayah Hadis (ilmu yang dipakai
untuk meneliti matan suatu hadis).

a. Teori Kritik Sanad

Para ulama Hadis sesungguhnya telah memiliki teori-teori sanad


yang cukup ketat. Sanad sebagai mata rantai periwayatan merupakan asas
utama dalam menentukan kualitas sebuah hadis. Umat terdahulu tidak
memiliki sistem ini, sehingga otentisitas kitab samawi dan ajaran para Nabi
mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sekarang ini .
Bahkan Imam Muslim meriwayatkan dalam Muqaddimah al-Shahih, bahwa
al-Imam cAbd Allah bin Mubarak (w.181 H) berkata: "Sistem sanad
merupakan sebagian dari agama Islam, tanpa ada sistem sanad, setiap
orang dapat mengatakan apa yang dikehendakinya" . Sementara al-Imam
al-Tsaury mengatakan: "Sistem sanad merupakan senjata bagi kaum
muslimin" .

Kaidah keshahihan sanad hadis yang ditetapkan ulama tidaklah


seragam. Akan tetapi ada kaidah-kaidah yang disepakati oleh ulama hadis
dan masih terjadi sampai sekarang. Berdasarkan kaidah tersebut, sebuah
sanad hadis barulah dinyatakan shahih apabila :

a) Sanad hadis bersambung (muttasil) dari awal sanad hingga ke Nabi


(marfuc).

b) Seluruh perawi hadis bersifat adil, yakni: (1) beragama Islam, (2)
mukallaf, (3) melaksanakan ketentuan agama Islam, dan 4) menjaga
maruah.

c) Seluruh perawi bersifat dabit, yakni: (1) terpelihara hafalannya jika


meriwayatkan hadis dari hafalannya, atau terpelihara catatannya jika ia
meriwayatkan dari kitabnya), dan (2) mampu meriwayatkan hadis ada
kesalahan. Perawi yang mempunyai sifat cadil dan dabit disebut
sebagai tsiqah.

d)Sanad hadis terhindar dari syudzudz, yaitu tidak terdapat kontradiksi


apapun dengan riwayat tsiqah atau riwayat yang lebih tsiqah darinya
atau riwayat yang lebih banyak jumlahnya. Sanad hadis yang terhindar
dari shadz disebut juga sanad mahfudz.

e) Sanad hadis terhindar dari illah, yakni: (1) tidak terjadi kesalahan
penilaian tsiqah terhadap perawi yang sesungguhnya tidak tsiqah, dan
(2) tidak terjadi kesalahan penetapan sanad yang tersambung. Illah
baru dapat ditemukan dalam periwayatan tunggal seorang perawi
(hadits gharib) dan adanya pertentangan dengan perawi lain yang
lebih tinggi taraf kedabitan dan pengetahuannya. Illah secara umum
terdapat dalam sanad, tetapi tidak jarang pula terjadi di dalam matan
hadis.

b. Teori Kritik Matan

Dalam Ilmu Dirayah Hadis, kritik matan bisa dilakukan dengan dua
cara; Pertama, kritik terhadap redaksi matan hadis, dan kedua, kritik
terhadap makna matan hadis.

Mengingat bahwa metode penyandaran Hadis yang dilakukan secara


maknawi lebih banyak dipakai dalam periwayatan Hadis, maka kritik matan
menjadi sangat penting. Metode ini sarat dengan subjektifitas perawi,
karena mereka hanya mengambil inti dari apa yang didengar atau dilihat
dari Nabi saw., kemudian menyampaikannya menurut kepekaan intelektual
masing-masing.

Untuk memperoleh otentisitas hadis, menurut Muhammad


Mustafa Azami, digunakan metode rujukan silang (cross reference), dengan
mengumpulkan semua bahan hadis dan membandingkannya dengan
cermat satu sama lain. Adapun rumusan metodologis yang ditawarkan
Muhammad Mustafa Azami untuk membuktikan otentisitas hadis adalah:

¨Membandingkan Hadis-hadis dari berbagai murid seorang syaikh


(guru).

¨Membandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang


dikeluarkan pada waktu-waktu yang berlainan.

¨Membandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis.

¨Membandingkan Hadis-hadis dengan ayat Al-Qur’an yang


berkaitan.

Sementara itu, Prof. Ali Mustafa Ya’kub MA dalam bukunya yang


berjudul Kritik Hadis menyatakan bahwa upaya untuk mendeteksi
kedhabitan rawi dengan Membandingkan Hadis-hadis yang
diriwayatkannya dengan Hadis lain atau dengan al-Qur’an, dapat dilakukan
melalui enam metode perbandingan Hadis, yaitu:

¨Membandingkan Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah


Shahabat Nabi, antara yang satu dengan yang lain.
¨Membandingkan Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada
masa yang berlainan.

¨Membandingkan Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang


berasal dari seorang guru Hadis.

¨Membandingkan suatu Hadis yang sedang diajarkan oleh seorang


dengan Hadis semisal yang diajarkan oleh guru lain.

¨Membandingkan antara Hadis-hadis yang tertulis dalam buku


dengan yang tertulis dalam buku lain, atau dengan hafalan Hadis.

¨Membandingkan Hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an.

Disamping dengan metode-metode perbandingan atau pencocokan


Hadis, yang dalam istilah Ilmu Hadis disebut metode mu’aradhah atau
muqaranah, untuk mendeteksi otentisitas Hadis para ulama juga
menggunakan metode “Kritik Akal” (al-Naqd al-‘Aqli). Menurut al-Mu’allimi,
penggunaan akal untuk mengkritik otentisitas Hadis ini dilakukan melalui
empat langkah, yaitu:

¨Ketika rawi menerima Hadis

Para ahli hadis menetapkan bahwa Hadis dapat diterima apabila


rawinya ketika menerima atau mendengar Hadis itu memilik sifat-sifat
mumayyiz, dhabit, dan ‘alim. Mumayyiz artinya ia dapat membedakan
antara hal-hal yang benar dan salah, antara Hadis dengan yang bukan
Hadis. Dhabit artinya ia memiliki kekuatan hafalan yang unggul, tidak
pelupa, tidak sering keliru dan sebagainya. ‘Alim artinya ia mengetahui arti
dan maksud Hadis yang diterimanya.

¨Ketika rawi mengajarkan Hadis

Para ahli Hadis juga menetapkan bahwa tidak dibenarkan


mengajarkan atau meriwayatkan Hadis-hadis dha’if apalagi Hadis-hadis
palsu, kecuali dijelaskan kedha’ifannya.

¨Ketika menilai kredibilitas rawi

Para ahli Hadis dalam menetapkan bahwa seorang rawi dinyatakan


tidak memiliki kredibilitas sebagai rawi Hadis, hanya berdasarkan
keterangan satu orang saja. Artinya, dengan keterangan satu orang saja
bahwa seorang rawi itu tidak ‘adil , para ahli hadis sudah dapat
menetapkan bahwa rawi seperti itu ditolak Hadisnya.

¨Ketika menilai otentisitas Hadis.


Imam al-Syafi’i mengatakan bahwa kebanyakan hadis-hadis itu tidak
dapat dibuktikan kebenaran atau tidaknya kecuali berdasarkan kebenaran
atau tidaknya orang yang menyampaikan hadis-hadis itu. Hanya dalam
beberapa hal saja ketentuan ini tidak berlaku.

Pernyataan Imam al-Syafi’i ini berarti bahwa kebanyakan Hadis tidak


dapat dibuktikan otentisitasnya kecuali berdasarkan kebenaran sumber
hadis dan para rawinya. Dan ini tidak lain adalah cara pendeteksian
otentisitas hadis melalui akal semata. Sekiranya tidak mempergunakan akal
untuk hal itu, tentulah setiap hadis akan diterima sebagai sesuatu yang
bersumber dari Nabi SAW, tanpa mempertanyakan apakah para rawinya itu
memiliki sifat tsiqah (kredibilitas) sebagai rawi atau tidak.

Demikian pula ketika para ahli hadis mempertanyakan apakah rawi tersebut
memiliki sifat-sifat mumayyiz, dhabit, dan ‘alim ketika ia menerima Hadis,
apakah Hadis yang diajarkan itu Hadis dha’if atau palsu, apakah ia
termasuk rawi majruh dan sebagainya; semuanya itu adalah penggunaan
akal semata dalam mendeteksi otentisitas Hadis. Hal ini sekaligus menepis
anggapan sementara orang bahwa para ahli Hadis tidak pernah
menggunakan “kritik akal” dalam menyeleksi Hadis.

Tags: makalah, hadis


Prev: HADIS MUSYKIL TENTANG WANITA
Next: KEHUJJAHAN HADITS MURSAL

Anda mungkin juga menyukai