Anda di halaman 1dari 9

JARH WA TA’DIL

MAKALAH

Dipresentasikan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Semester II

pada Mata Kuliah “Ulumul Hadits”

Disusun oleh Kelompok 9:

Aulia Husni Afda

Khairunnisa

Nurhasanah

Widia Kartika

Dosen Pengampu:

Linda Suanti, M.A

JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

PENGEMBANGAN ILMU QURAN (STAI-PIQ)

SUMATERA BARAT

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua
hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya, oleh karena itu para periwayat
mulai dari generasi sahabat sampai generasi mukharrijul hadis tidak bisa
kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk
mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka
dalam periwayatan,maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang
di tulis oleh ulama ahli kritik para periwayatan hadis.
Kritikan para periwayatan hadis itu tidak hanya berkenaan dengan
hal-hal yang tercela. Hal-hal dapat dikemukakan untuk dijadikan
pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya
riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnya disini
penulis akan membahas tentang “ ilmu jarh wa ta‟dil”

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apakah pengertian Jarh wa Ta‟dil?
2. Bagaimana sejarah awal mula Jarh wa Ta‟dil
3. Apa saja syarat-syarat bagi penjarh dan penta‟dil
4. Apa kegunaan ilmu jarh wa ta‟dil?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Jarh menurut bahasa berarti “melukai badan yang karenanya
mengalirlah darah”. Adapun menurut istilah yaitu terlihatnya sifat atau
keadaan seorang periwayat yang menyebabkan ditolak atau dilemahkan
periwayatannya terhadap suatu hadis.1
Ta‟dil menurut bahasa ialah taswiyah, berarti menyamakan.
Menurut istilah yaitu mensifatkan para perawi dengan sifat-sifat yang
menetapkan kebersihannya dari pada kesalahan-kesalahannya, lalu
nampaklah keadilannya dan diterimalah riwayatnya.2

Jadi, jarh wa ta‟dil adalah Suatu disiplin ilmu yang membahas


tentang keadaan para rawi berdasarkan aspek diterima atau ditolaknya
periwayatan mereka.

B. Sejarah Perkembangan
Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan periwayatan dalam Islam,
karena untuk mengetahui hadis-hadis yang shahih perlu mengetaui
keadaan periwayatnya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan
kebenaran perawi, atau kedustaanya hingga dapatlah mereka membedakan
antara yang diterima dengan yang ditolak.
Karena itu para ulama menanyakan tentang keadaan para perawi,
meneliti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui segala keadaan mereka,
hinngga mengetahui siapa yang lebih hapal, lebih kuat ingatan, lebih lama

1
Kementrian Agama, Hadis-Ilmu Hadis, (Jakarta: Kementrian Agama, 2015), hlm. 20.
2
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: NV Bulan Bintang,
1981), hlm.

2
3

menyertai guru. Demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan


tumbuhnya periwayatan dalam islam.3
Sejarah pertumbuhan ilmu jarh wa ta’dil selalu seiring dan sejalan
dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadis, karena
bagaimanapun juga untuk memilah dan memilih hadis-hadis shahih
melewati penelitian terhadap periwayat dalam sanadnya, yang pada
akhirnya memungkinkan utnuk membedakan antara hadis yang maqbul
dan mana yang mardud.
Praktek men-jarh dan menta‟dil sudah tampak sejak masa
Rasulullah yang beliau contohkan sendiri secara langsung dan mencela
bi‟sa akh al-„asyirah dan pernah pula beliau memuji sahabat Khalid bin
Walid dengan sebutan “sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin
Walid. Dia adalah pedang dari sekian banyak pedang Allah”.4

C. Tingkatan Jarh wa Ta’dil


1. Lafal Jarh:
a) Lafaẓ yang menunjukan penilaian jarḥ yang paling ringan
kejelekannya. Seperti: fulānun layyinu al-ḥadīṡ, fīhi ṡiqatun, fi
ḥadīṡihi ḍa'īf dan lain-lain.
b) Lafaẓ yang menunjukkan penilaian lemah terhadap
periwayat dari segi hafalannya, seperti penegasan tidak ada
hujjah atau yang menyerupainya seperti: ḍa’īfun, lahu manākir
dan lain-lain.
c) Lafaẓ yang terang-terangan melarang hadisnya ditulis atau
yang lainnya.
Seperti: ḍa’īfun jiddan, fulānun lā yuktabu ḥadīṡuhu dan lain-
lain.
d) Lafaẓ yang menunjukkan tuduhan berdusta,
seperti: laisa bi ṡiqqah, yaskuru al-ḥadīṡ dan lain-lain.

3
Ibid., hlm.
4
Kementrian Agama, Op.Cit., hlm. 24.
4

e) Lafaẓ yang menunjukkan periwayat disifati berdusta,


seperti: fulānun każżābun, yakżibu, dan lain sebagainya.
f) Lafaẓ yang menunjukkan keterlaluan berdusta,
Seperti: fulānun akżabu an- nās.

2. Lafal Ta‟dil
a) Lafaẓ yang diperkuat dengan satu atau dua sifat dari
sifat ṡiqah. Seperti: ṡiqatun-ṡiqatun, ṡiqatun-ṡābitun,
ṡiqatun-hujjatun dan lain-lain.
b) Lafaẓ yang menunjukkan sigat mubalagah ( paling puncak )
ataau atas dasar wazan af’ala yang merupakan sigat paling
tinggi. Seperti: fulan aṣdaqu ar-rijal.
c) Lafaẓ yang menunjukkan pada satu sifat atas ṡiqah tanpa ada
penjelas. Seperti: ṡiqatun, ḥujjatun.
d) Lafaẓ yang menunjukkan pada ta’dīl tapi tanpa
menunjukkan adanya ḍābiṭ . Seperti: la ba`sa bihi.
e) Lafaẓ yang menunjukkan pada dekatnya
tajrīḥ. Seperti; fulānun syaikhun.5

D. Syarat pena’dil dan penjarh


Menetapka keta‟dilan atau jarh kepada seseorang memegang
peranan yang sangat penting. Menetapkan keta‟dilan itu sama dengan
persaksian terhadap bersihnya seorang perawi dan memberikan hak
kehidupn bermoral, kemuliaan, dan amanah kepada perawi. Adapun jarh
itu sama dengan menetapkan bahwa seorang perawi yang di jarh itu tidak
bermoral, yaitu dengan mencontohkan bukti-bukti kecacatan seseorang,
gugurnya kemampuan dan tidak layak dihormati yang cenderung
dijumpainya sampai hari kiamat. Maka betapa pentingnya persaksian ini
karena pengalaman sunnah itu bergantung kpadanya. Oleh sebab itu,

5
Kementrian Agama, Op.Cit., hlm.27.
5

ulama kritik sepakat bahwa persaksian degan jarh dan ta‟dil dari seorang
perawi tidak akan diterima kecuali dengan syarat-syarat:
1) Syahid (org yang mengeritik) itu hendaknya mengetahui
kaidah-kaidah ilmu hadis, mengetahui rawi yang diterima
dan yang tidak diterima menurut muhadditsin.
2) Hendakmya mengeritik itu termasuk orang yang bijak,
punya pendegaran yang baik, tidak mengikuti hawa nafsu
dan orang ornag yan punya kepentigan pribadi.
3) Mempunyai tujuan utnuk memurnikan sunnah rasul saw.
4) Dikenal berilmu, jujur, bertakwa dan wara‟
5) Baik hafalannya ataupun dhabit, punya kesadara dan
mengetahui rijaal beserta keadaannya.
6) Tidak fanatik
7) Rendah hati6

E. Sebab-Sebab Perawi dikenakan Jarh dan Ta’dil


Penyebab dan dorongan untuk mengkritikperawi berbeda-beda
berdasarkan perbedaan pandangan para ulama yang mengkritik. Terkadang
terjadi perbedaan, yaitu sebagian ulama men-jarh dan sebagian ulama
lainnya men-ta’dil. Dalam menilai seorang perawi diharuskan
menilaidengan penilaian yang ketat (mutasyaddid) karena masalah jarh wa
ta‟dil sangat penting dan berkaitan dengan sumber agama kedua. Mereka
yang telah sepakat mengeritik (jarh) tidak akan menilai baik (ta‟dil),
begitupun sebaliknya.
Imam Ibnu Hajar membagi sebab-sebab yang menjadikan aib
perawi ada lima;
1) Bid‟ah yaitu mengada-ada atau membuat-buat
2) Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang tsiqat
(terpercaya) dan dhabit

6
Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis, (Bandung: CV
Pustakan Setia, 1998), hlm. 71
6

3) Ghalat yaitu adanya kekeliruan dalam meriwayatkan


4) Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya
8) Dawa‟ al inqitha‟ialah diduga karena sanadnya terputus

F. Manfaat Jarh wa Ta’dil


Ilmu jarh wat-ta‟dil sangat berguna untuk menentukan kualitas
perawi dan nilai haditsnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus
mempelajari kaidah-kaidah jarh wat ta‟dil yang telah banyak dipakai para
ahli‟mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara
menetapkan keadilan dan kedabitan perawi dan hal lain-lain yang
berhubungan dengan bahasa ini. Seseorang tidak dapat memperoleh
simpulan yang benar ketika membaca biografi perawi dalam kitab-kitab
biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kaidah jarh
dan ta‟dil, dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu
ini, dari tingkatan ta‟dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang
paling rendah.7
Jelasnya, Ilmu Jarh wa ta‟dil ini dipergunakan untuk menetapkan
apakah periwayatan seorang rawi itu bisa diterima atau harus ditolak.
Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka haditsnya bisa
diterima selama syarat-syarat yang lain terpenuhi.

7
Dr. Mahmud At Tahhan, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1995), hlm. 100
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jarh wa ta‟dil membahas tentang cacat-cacat ynag dihadapkan
kepada perawi dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk
menerima atau menolaknya riwayat perawi . Ilmu ini tumbuh bersama
dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam, karena untuk mengetahui
hadis yang shahih perlu diketahui keadaan rawinya. Adapun kegunaan dari
ilmu jarh wa ta‟dil yaitu untuk menentukan kualitas perawi dan nilai
hadisnya. Menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa
diterima atau ditolak sama sekali.

B. Saran
Penulis menyadari adanya kesalahan dalam penulisan maupun
penyusunan makalah ini. Maka dengan itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran mengenai makalah kami ini. Semoga dengan adanya makalah ini
bisa sedikit membantu kita dalam memahami ilmu jarh wa ta‟dil.

7
DAFTAR KEPUSTAKAAN

At Tahhan, Mahmud. 1995. Metode Takhrij dan Penelitian Sanad. Surabaya: PT


Bina Ilmu

Fayyad, Mahmud Ali. 1998. Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis. Bandung:


CV Pustaka Setia.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1981. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: NV


Bulan Bintang.

Kementrian Agama. 2015. Hadis-Ilmu Hadis. Jakarta: Kementrian Agama.

Anda mungkin juga menyukai