Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
 Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya, dan tidak semua hadis-hadis
itu bersifat dhaif perawinya. Oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi
sahabat sampai generasi mukharijul hadistidak bisa kita jumpai secara fisik karena
mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan
maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari
berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.
Kritikan para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang
terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal demikan dapat
dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau
tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnya
disini pemakalah akan membahas mengenai Imu al  jarh wa ta'dil.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Urugensi al jar dan wa ta’dil ?


2. Apa saja objek al jar wa ta’dil ?
3. Bagaimana konsep ilmu al jar wa ta’dil ?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk Memenuhi Urugensi al jar dan wa ta’dil


2. Untuk Mengetahui Apa saja objek al jar wa ta’dil
3. Untuk Memenuhi Bagaimana konsep ilmu al jar wa ta’dil

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Secara Lughowi Lafadz Aj-Jahr adalah masdar dari kata kerja ‫جرحا‬-‫ يجرح‬-‫جحر‬,
yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah mengalir.
Sedangkan menurut istilah ialah nampak suatu sifat pada perawi yang merusak
keadilannya atau mencederai hafalannya, karena gugurlah riwayatnya atau dipandang
lemah. 1 dengan demikian ilmu jahr wa ta`dil adalah ilmu yang membahas hal ihwal
para perawi dari segi diterima atau tidaknya periwayat.
Para ahli hadist mendefinisikannya dengan “kecacatan perawi Hadist yang
disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”. Ibn
Mandzur mengatakan hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan
sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya. 2 Secara terminologi, al-jarh berarti
munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau
mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur
riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan bertolak riwayatnya. Adapun
tarjihnya menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konskuensi
penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.3
Kalimat jarh wa ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri
dari dua kata, yaitu al-jarh dan al-adl. Al-jarh secara bahasa artinya sesorang
membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari
luka itu. Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi
yang menodai sifat adilnya atau mencatatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang
mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak
riwayatnya.4
Sedangkan at-ta’dil secara bahasa berarti at-tasywiyah atau menyamakan.
Bahkan ta’dil memiliki arti meluruskan, membetulkan, dan membersihkan. Dalam
ilmu musthalahul hadist ta’dil ialah menunjukan atau membayangkan kebaikan atau
kelurusan seorang rawi, maupun itu semua benar ada pada diri si rawi atau tidak. At-
ta’dil menurut istilah adalah “mensifatkan perawi dengan sifat-sifat yang menetapkan
1
Ajaj Al-Khatib, 1989:260
2
Khadijah.Ulumul Hadis.(Medan.Perdana Publishing.2011)hlm.102
3
T.M HasbiAsh-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Cetakan Pertama.(Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1958.)hlm.440
4
M. Agus Sholahudin, dkk, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 157
2
kebersihannya dari pada kesalahan-kesalahan, lalu nampaklah keadilannya dan
diterimalah riwayatnya”. At-ta’dil adalah lawan dari al-jarh, yaitu pembersihan atau
pensucian perawi dan ketetapan, bahwa adil atau dabit. Sesuatu yang terdapat dalam
jiwa bahwa sesesuatu itu lurus. Orang adil berarti orang yang diterima kesaksiannya.
Adapun secara terminologi, al-adl berarti orang yang tidak memiliki sifat yang
mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya. Sedangkan menurut Hasbi Ash-
Shidiqie mendefinisakan Al-Ta`dil Ialah, mengakui keadilan seseorang, kedhabitan
dan kepercayaan. 5
Dengan demikian ilmu al-jarh wa at-ta’dil berarti ilmu yang membahas hal
ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak berarti ilmu yang membahas hal
ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka. Ilmu al-jarh wa at-
ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadist yang membahas
cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadist yang berpengaruh besar
terhadap klasifikasi hadistnya.6
 Ilmu ini salah satu ilmu yang terpenting dan tinggi benar nilainya, karena
dengan dialah dapat dibedakan antara yang shahih (sehat) dengan yang saqim (sakit)
antara yang diterima dengan yang ditolak, mengingat timbulnya hukum-hukum yang
berbeda-beda dari pada tingkatan jarh dan ta’dil ini. Ilmu al-jarh wa at-ta’dil
digunakan untuk menetapkan apakah periwayatnya seorang perawi itu bisa diterima
atau harus ditolak sama sekali. Apabila perawi dijarh (ditolak) oleh para ahli sebagai
rawi yang cacat, maka periwayatnya harus ditolak. Sebaliknya, apabila dipuji maka
hadistnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
            Informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu :
1. Popularitas para perawi dikalangan para ahli bahwa mereka dikenal sebagai
orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah terkenal
dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi
diperbincangkan keadilannya, begitu juga perawi yang terkenal dengan
kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
2. Berdasarkan pujian atau pentarjihan dari rawi lainyang adil. Bila seorang rawi
yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya,
maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan
periwayatnya bisa diterima. Bila perawi telah mentarjihnnya, maka

5
Hasbi Ash-Shidiqie, Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan bintang, 1968) hal: 260
6
Mudasir, “Ilmu Hadits”, (Bandung: Pustaka Setia, 1999,) hal:50
3
periwayatannnya tidak dapat diterima. Begitu juga dengan rawi yang ditarjih.
Bila seorang rawi yang adil telah mentarjihnya maka periwayatannya menjadi
tidak pernah diterima.

B. Urgensi Ilmu Jarh wa Ta’dil

Para ulama hadis memberikan perhatian khusus terhadap ilmu jarh wa ta’dil,
karena dengannya dapat menjaga kemurnian hadis Nabi yang memiliki posisi sentral
dalam agama Islam. Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang mengemukakan sisi – sisi
tercela dan terpuji dari perawi hadis, namun demikian tidak bertujuan untuk
menyebarkan kekurangan seseorang atau berbuat gibah kepadanya. Para ulama
kritikus hadis hanya pada tataran memberikan penjelasan dan informasi tentang
keadaan pribadi perawi hadis, demi kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis,
khususnya yang berkaitan dengan syariat agama.Kedudukan ilmu Jarh wa ta’dil
dalam islam itu sangat penting karena dengan ilmu ini seseorang dapat diketahui
shahih atau tidaknya sanad sebuah hadits. Alquran dan hadis telah memberikan
gambaran yang jelas tentang jarh wa ta’dil, adapun yang berkaitan dengan jarh,
Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Hujurat/49: 6
“Hai orang – orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu. Hai orang -orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”.

C. Objek Kajian Al-Jahr wa Ta`dil

Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah


periwayatannya seorang rawi dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila
seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya
harus ditolak, dam apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya
periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist
tersebut terpenuhi.7
Apabila kita tidak memahami ilmu al-jarh wa at-ta’dil dan tidak

7
Khadijah.Ulumul Hadis.(Medan.Perdana Publishing.2011)hlm.104
4
mempelajarinya dengan seksama, maka akan muncul penilaian bahwa seluruh orang
yang meriwayatkan hadist ini dinilai sama. Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi
Muhammad SAW sampai dibukukan adalah perjalanan yang panjang, dan diwarnai
dengan situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW,
kemurnian hadist harus diteliti secara seksama karena terjadi pertikaian dibidang
politik, masalah ekonomi dan lain-lain yang dikaitkan dengan hadist. Akkibatnya,
mereka yang menyandarkan hadist terhadap Rasulullah SAW, padahal yang
diriwayatkannya adalah riwayat yang bohong. Dan mereka melakukan itu untuk
kepentingan golongannya saja.
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi
mana hadist shohih, hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas
rawi, bukan dari matannya.
Ilmu jarh wa ta’dil merupakan cabang ilmu hadis yang senantiasa harus
dipelajari sesuai dengan konsep disiplin ilmu yang konsentrasinya mengkaji
periwayat pada sanad hadis. Orang yang belajar tentang ilmu jarh wa ta’dil dapat
menghukumi/mengetahui status periwayat hadis, mengetahui kedudukan
hadis/martabat hadis karena tidak mungkin mengetahui status suatu hadis tanpa
mengetahui kaidah ilmu jarh wa ta’dil dan juga dapat mengetahui syarat-syarat
periwayat yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dabit-annya, serta perkara yang
berkaitan dengannya.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa fungsi/tujuan dari mempelajari
ilmu jarh wa ta’dil :

1. Untuk mengetahui/menghukumi status periwayat hadis.


2. Untuk mengetahui kedudukan hadis/martabat hadis karena tidak mungkin
3. mengetahui status suatu hadis tanpa mengetahui kaidah ilmu jarh wa ta’dil.
4. Mengetahui syarat-syarat periwayat yang maqbul.

5
D. Metode Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan
Masalah-Masalahnya

Dalam uraian yang baru lalu telah dikemukakan bahwa : menta’dilkan


ialah memuji rawi dengan sifat –sifat yang membawa ke-‘adalah-annya, yakni
sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan riwayat. Keadilan seorang rawi
dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan, yaitu :
1.  Dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia
dikenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya
sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin
Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I,
Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah
terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu
sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.
2.   Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan
sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang
dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat
dilakukan oleh :8
a. Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya
orang yang menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk
penerimaan riwayat (hadist). Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak
menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut
pendapat para fuqaha’ yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang
dalam mentazkiyah seorang rawi.
b. Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki
maupun perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak. Selama
ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui
dua jalan :
a. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya.
Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta
8
Ibid.hlm.106
dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah
kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b. Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui
sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para
Muhadditsin. Sedang menurut  para fuqaha sekurang-sekurangnya harus
ditarjihkan oleh orang laki-laki yang adil.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan menta’dilkan dan
menjarhkan seorang rawi, diantaranya seorang rawi, diantaranya apabila
penilaian itu secara mubham dan ada kalanya mufasarTentang mubham ini
diperselisihkan oleh para ulama, dalam beberapa pendapat, yaitu:
a. Menta’dilkan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena
sebab itu banyak sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan
menyibukkan saja. Adapun mentarjihkan tidak diterima, kalau tidak
menyibukkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu
sebab saja. Dan karena orang-orang itu berlainan dengan mengemukakan
sebab jarh, hingga tidak mustahil seorang mentarjihkan menurut
keyakinannya, tetapi tidak dalam kenyataan.
b. Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak
perlu. Karena sebab-sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga
harus diterangkan, sedangkan mentarjihkan tidak bisa dibuat-buat.
c. Untuk kedua-duanya, harus disebutkan sebab-sebabnya.
d. Untuk kedua-keduanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si
jarh dan mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut.
Di antara sebab munculnya kriteria mubham dan mufassar karena terjadi
perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap rawi.

Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya


mengenai jumlah orang yang dipandang cukup untuk menta’dilkan dan

7
mentarjihkan rawi, seperti berikut ini :9
a. Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal
riwayah. Demikian pendapat kebanyakan fuqaha’ Madina.
b. Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah.
Sebab, bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadist,
maka tidak pula disyaratkan dalam menta’dilkan dan mentarjihkan rawi.
Berlainan dalam soal syahadah.
Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal
syahadah.
Adapun kalau ke’adalahannya (keadilannya) itu diperoleh atas
dasar pujian orang banyak atau dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka
tidak diperlukan orang yang menta’dilkan (mu’addil). Seperti Malik, As-
Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu ‘I-Mubarak, Syu’bah, Is-haq
dan lain-lainnya.

E. Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Menta’dilkan Dan Mentarjihkan

Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama


terhadap ulama lainny, melainkan harus jelas dahulu sebab-sebab
penilaiannya. Terkadang orang menilai orang lain cacat padahal dia sendiri
juga cacat. Oleh sebab itu, tidak boleh menerima langsung suatu perkataan
sebelum ada yang menyetujuinya.
Bagi orang-orang yang menta’dilkan dan mentarjihkan diperlukan
syarat-syarat berikut ini, yaitu :
1) Berilmu pengetahuan
2) Takwa
3) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat syubhat-syubhat,
dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat).
4) Jujur
5) Menjauhi fanatik golongan\
6) Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan mentarjihkan.

9
Ibid.hlm.106

8
F. Pertentangan Antara Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Terkadang, pertanyaan-pertanyaan ulama tentang tajrih dan ta’dil


terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian
mentarjihkannya, sebagian lain menta’dilkan. Bila keadaannya seperti itu,
diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya. Sebagian
ulama mentarjihkan dan sebagian ulama lainnya menta’dilkan dalam 4
pendapat, yaitu :
1.   Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah
mu’addilnya lebih banyak daripada jarhnya. Sebab bagi jarhh
tertentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh
mu’addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa
yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarihnya
memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si
mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh Jumhuru ‘I-ulama.
2.   Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila menta’dilkan lebih banyak
karena banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-
rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini
dapat diterima, sebab yang menta’dil. Meskipun lebih banyak
jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan
yang mentajrih.
3.   Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa
didahulukan, kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan
salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui
mana yang lebih kuat diantara keduanya.
4.   Masih tetap dalam keta’arudlannya selama belum ditemukan yang
merajihkannya. Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab
timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah mu’addilnya lebih banyak,
tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan jarihnya, maka
mendahulukan jarah itu sudah merupakan keputusan ijma’.

BAB III

9
PENUTUP

G.  KESIMPULAN

Ilmu al jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi
hadis,dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat me
ncacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafadz tertentu.
Ilmu al jarh wa ta’dil di butuhkan oleh para ulama hadis karena dengan ilmu
ini akan dapat di pisahkan, mana informasi yang benar datang dari Nabi dan
mana yang bukan. Oleh karena itu, ilmu ala jarrh wa ta’dil sangat berguna
untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya.  
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak mudah dan
gampang untuk menta'dil atau bahkan menjarh seseorang. Sebab ada
persyaratan yang sangat ketat untuk menjarh atau menta'dil seseorang tidak
seenaknya saja kita bilang orang itu jarh atau ta'dil.
Bila perkataan dua orang Imam terhadap seorang perawi, maka kita
harus membahasnya; pertama apakah pertentangan ini hakiki atau tidak? Bila
salah seorang ulama' menjarh disebabkan ketidak dhabitannya, namun ulama'
yang lain menta'dilnya, ada kemungkinan ketidakdhabitannya setelah ia
dita'dil, bila salah.

10
DAFTAR PUSTAKA

Khadijah. 2011. Ulumul Hadis.Medan.Perdana Publishing.


Ahmad ,Muhammad dan M. Mudzakir, 2001.Ulumul Hadits.Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi.  1958.Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits,
Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Bulan Bintang,
Solahuddin, Agus. 2008Ulumul Hadist, Bandung: Pustaka Setia,
Muhammad Ajaj Al-Khatib .1989 Ushulul al-hadist ulumuhu wa musthalahu,
Dar El-Fikr, Bairut.
Ash-Shiddieqy, 1968 Pengantar Ilmu Hadis, Bulan bintang, Jakarta,

11
7

Anda mungkin juga menyukai