Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ILMU AL-JARH WA AL-TADIL


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

“STUDI HADIST”

OLEH:
RISQI KELENIA ANGGRAINI (103220072)
SHELLY CHOIRUNISA (103220078)

Dosen Pengampu:
Suprapto, Lc., M.Ag

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI PONOROGO
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atasrahmat dan hidayah-
Nya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan wawasan mengenai mata kuliah
studi Hadist, dengan judul “ILMU AL-JARH WA AL-TADIL”. Dengan tulisan ini kami diharapkan
mahasiswa mampu untuk memahami makna dari Ilmu Al- Jarh Wa Al-Tadil. Kami sadar materi kuliah ini
terdapat banyak kekurangan.

Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari
berbagai pihak, agar bisa menjadi lebih baik lagi. Kami berharap semoga tulisan ini dapat memberi
informasi yang berguna bagi pembacanya, terutama mahasiswa, supaya kelak menjadi pribadi yang
beridentitas nasional, karena kita adalah penerus Bangsa Indonesia.

Ponorogo, 1 November 2022

Kelompok 10
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
Latar Belakang........................................................................................................................................4
Rumusan Masalah...................................................................................................................................4
Tujuan.....................................................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
Pengertian ilmu al-jarh wa al-Tadil.........................................................................................................5
Kegunaan ilmu al-jarh wa al-Tadil..........................................................................................................6
objek ilmu al-jarh wa ta’dil......................................................................................................................7
Lafadz-Lafadz Jarh Wa Ta’dil.................................................................................................................7
BAB III.....................................................................................................................................................10
PENUTUP................................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif
perawinya, oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai dengan generasi
mukharrijul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka sudah meninggal dunia.
Untuk mengenali mereka baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka
diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.

Kritik para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal- hal yang terpuji saja tapi
juga hal-hal tercela juga. Hal-hal dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam
hubungan yang tepat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah
lebih jelasnya disini penulis akan membahaas tentang ‘’ Ilmu Jarh wa Ta’dil ‘’

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari ilmu al-jarh wa al-Tadil?


2. Sebutkan objek dan kegunaan pada ilmu al-jarh wa al-Tadil?
3. Sebutkan lafadz-lafadz dan maratib al- jarh wa al-Tadil ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian, objek, dan kegunaan dari Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ?
2. Untuk mengetahui lafadz-lafadz dan maratib al- Jarh wa al- ta’dil ?
BAB II
PEMBAHASAN

1) Pengertian ilmu al-jarh wa al-Tadil


1. Pengertian al-Jarh Wa al-Ta'dil  secara Bahasa

Secara bahasa, dengan memfathah-kan huruf jim (dibaca ja) jarh artinya adalah akibat atau bekas
luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Kalau di-dhammah-kan (dibaca ju) jurh dikatakan sebagai isim
dari kata kerjanya.Ada pula yang mengatakan jurh berkaitan dengan jasmani yang diakibatkan oleh
senjata, sedangkan jarh adalah akibat perkataan, yang menimbulkan bekas secara maknawi atau
mengenai sisi kehormatan seseorang.1
Secara Jughawi lafad al jarh adalah mashdar  berarti "melukai sebagian badan yang
memungkinkan darah dapat cepat  mengalir" (Al-Abb Lowes Ma'luf, 1935: 83), selanjumya dikatakan
bahwa al-jarh mempunyai arti "mang-'aib-kan seseorang yang oleh karenanya ia menjadi kurang". Di
samping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat  "Hakim itu menolak saksi"2

2. Pengertian al-Jarh Wa al-Ta'dil  secara Istilah


Secara istilah, jarh adalah sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolak atau
dilemahkan periwayatannya terhadap suatu hadis. Adapun ta’dil secara bahasa sama artinya
dengan taswiyah, yaitu mengukur atau menimbang sesuatu dengan yang lainnya. Secara istilah
mempunyai pengertian yang sebaliknya dari jarh.3
Menurut 'Ajaj aL-Khathib, ilmu jarh dan ta'dil adalah suatu ilmu yang "membahas hal ihwal para
perawi dari segi diterima atau ditolaknya pcriwayatannya. Secara lebih tegas Iagi Ahd al Rahman Ibu
Hatim al-Razi seperti yang dirulis oleh Fathurrahman (1968: 168) mendefisikan ilmu jarh dan ta'dil, yakni
suaru ilmu yang membahas tentang jarh dan ta'dil para parawi dengan menggunakan lafaz-lafaz tertentu
dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut dan ilmu al-jarh dan ta'dil ini merupakan
salah satu cabang dari ilmu rijal.4

1
ARIFIN JOHAR, ‘Pendekatan Ulama Hadis Dan Ulama Fiqh Dalam Menelaah Kontroversial Hadis’, USHULUDDIN, Vol XXII.No 2 (2014),
Hlm151 
2
Al-jarh W A Al-ta Dil, ‘Al-Jarh Wa Al-Ta’dil’, Alqalam, vol 10 no 2 (1995), hlm 24.
3
Redaksi, Al-Jarh Wa At-Ta’dil, Upaya Menjaga Kemurnian Syariat, 14th edn (Asy Syariah, 2019).

4
Al-jarh W A Al-ta Dil, ‘Al-Jarh Wa Al-Ta’dil’, Alqalam, vol 10 no (1995), hlm 26, <1515-313-3654-1-10-20190215.pdf>.
2) Kegunaan ilmu al-jarh wa al-Tadil

Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya.
Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa al-ta'dil yang telah
banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan
dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat
memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kadah jarh dan ta'dil, maksud
dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang tertinggi
sampai pada tingkatan jarh yang paling rendah. 5Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk
menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila
seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak.
Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi. Adapun
informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu: 6

a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil,
atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya,
maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang
terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil
menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadiannya, maka telah dianggap cukup dan
rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan
rawi yang di tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa
diterima. Sementara orang yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat sebagai berikut:
berilmu pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan mengetahui
ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini.

5
Dr. Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits”, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995, hlm 100
6
Drs. Munzier Suparta, “Ilmu Hadits”, Jakarta : PT Raja Grafindo, Persada, hlm 33
3) objek ilmu al-jarh wa ta’dil
a)      Untuk menghukumi dan mengetahui status perawi hadis.
b)      Untuk mengetahui kedudukan hadis atau martabat hadis, karena tidak mungkin mengetahui status
hadis tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa ta’dil
c)      Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya serta
perkara yang berkaitan dengannya.7

4) Lafadz-Lafadz Jarh Wa Ta’dil

Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu bertingkat.


Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4
tingkatan, menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu
Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu sebagai berikut8

 Tingkatan dan lafadz-lafadz menta’dil rawi


a. Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-
lafadz yang berbentuk af’alut tafdil atau ungkapan yang mengandung arti sejenis, misalnya:
ُ َ‫)َأوْ ث‬
1)    Orang yang paling tsiqah ( ْ‫ق النَّاس‬
2)    Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya ( ً‫اس ِح ْفظًا َو َعدَالَة‬ ُ َ‫)َأ ْثب‬
ِ َّ‫ت الن‬
3)    Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (‫)ِإلَ ْي ِه ْال ُم ْنتَهَى فِى الثّبت‬
b. Memperkuat ke-tsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk
keadilan dan kedhabitannya, baik sifatnya yang dibubuhkan itu selafadz (dengan mengulanginya)
maupun semakna, misalnya:
ْ ‫ُت ثُب‬
1)         Orang yang teguh (lagi) teguh (‫ُت‬ ٌ ‫)ثُب‬

2)         Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah (‫)ثِقَةٌ ثِقَ ْة‬


3)         Orang yang ahli (lagi) pandai dalam berargumen (hujjah) ( ‫) ُح َّجةٌ ُح َّج ْة‬
c. Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan, misalnya:
ٌ ‫)ثُب‬
1)    Orang yang teguh (hati dan lidahnya), ( ‫ُت‬
2)    Orang yang meyakinkan (ilmunya), (‫) ُم ْتقِ ٌن‬
3)    Orang yang tsiqah (ٌ‫)ثِقَة‬

7
Mohd Sukri hanapi, PENGAPLIKASIAN KAEDAH HADITH AL-MAWDU IY DALAM PENYELIDIKAN Abstrak
Applying the Thematic Hadith Method in Research Related to Islam Abstract’, vol 1 no 2  (2016), hlm  132
8
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, hlm 313.
d. Menunjukkan keadilan dan kedhabitan, tapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat
ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
ٌ ْ‫ص ُدو‬
1)     Orang yang sangat jujur (‫ق‬ َ )
2)     Orang yang dapat memegang amanat ( ‫) َمْأ ُموْ ٌن‬

َ ‫)اَل بَْأ‬.
3)     Orang yang tidak cacat (ْ‫س بِه‬

e. Menunjukkan kejujuran rawi, tapi tidak terpaham adanya kedhabitan, misalnya :


ِّ ‫) َم ِحلُّهُ ال‬
1)     Orang yang berstatus jujur (ُ‫ص ْدق‬
2)     Orang yang baik hadisnya (‫) َجيِّ ُد ْال َح ِديْث‬
3)     Orang yang bagus hadisnya (‫)ح َسنُ ْال َح ِديْث‬
َ
f. Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat yang sudah disebutkan diatas yang diikuti
dengan lafadz “Insya Allah”, atau lafadz tersebut di-tashgir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu
dikatikan dengan suatu pengharapan, misalnya:
1)          Orang yang jujur, insya Allah (‫ق ِإ ْنشَا َء هللا‬
ٌ ْ‫ص ُدو‬
ُ )

َ ‫)فُاَل ٌن َأرْ جُوْ بَِأ َّن اَل بَْأ‬


2)          Orang yang diharapkan tidak memiliki cacat (‫س بِه‬
3)          Orang yang sedikit kesalehannya (‫)فُاَل ٌن صويلح‬
Para ahli ilmu menggunakan haits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita’dil menurut
tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedang hadits-hadits para rawi yang dita’dil
menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan
oleh hadits perawi lain.9

 Tingaktan dan lafadz-lafadz menjarh rawi


a. Menunjukkan kepada kecacatan yang sangat kepada rawi dengan menggunakan lafadz-lafadz
yang berbentuk afalut tafhdil atau ungkapan yang lain (seperti sighat muballagah) yang
mengandung pengertian yang sejenisnnya dengan itu, misalnya:
1)    Orang yang paling dusta (‫ض َع النَّاْس‬
َ ْ‫)اَو‬
2)    Orang yang paling bohong ( ْ‫)اَ ْك َذبُ النَّاس‬
3)    Orang yang paling top kebohongannya (‫)اِلَ ْي ِه ْال ُم ْنتَقَى فِى ْال َوضْ ِع‬

b. Menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk sighat muballagah,


misalnya:
9
Ibid., hlm 316.
1)    Orang yang pembohong ( ُ‫) َك َّذاب‬
ٌ ‫) َوضَّا‬
2)    Orang yang pendusta (‫ع‬
3)    Orang yang penipu ( ْ‫) َدجَّال‬
c. Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya, misalnya:

ِ ‫)فُاَل ٌن ِمتَّهَ ٌم بِاْلك َْذ‬


1)    Orang yang dituduh bohong (‫ب‬
2)    Orang yang dituduh dusta (‫)اَوْ ُمتَّ ِه ٌم بِ ْال َوضْ ِع‬
ْ َّ‫)فُاَل نُ فِ ْي ِه الن‬
3)    Orang yang perlu diteliti (‫ظ ُر‬
d. Menunjukkan kepada kelemahan yang sangat, misalnya:
ْ ‫) ُم‬
ُ ‫ط َر ُح ْال َح ِدي‬
1) Orang yang dilempar hadisnya (‫ْث‬

َ ‫)فُاَل ٌن‬
ٌ ‫ض ِعي‬
2) Orang yang lemah (‫ْف‬
3) Orang yang ditolak hadisnya (‫)فُاَل ٌن َمرْ ُدوْ ٌد ْال َح ِديْث‬
e. Menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya:
1)      Orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya (‫)فُاَل ٌن اَل يُحْ تَجُّ بِ ِه‬
2)      Orang yang tidak dikenai identitasnya (‫)فُاَل ٌن َمجْ هُوْ ٌل‬
3)      Orang yang mungkar hadisnya (‫)فُاَل ٌن ًم ْن َك ٌر ْال َح ِديْث‬
f. Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tapi sifat itu berdekatan dengan
adil, misalnya:
1)      Orang yang didla'ifkan hadisnya (ُ‫ضعِّفَ َح ِد ْيثَه‬
ُ )
2)      Orang yang diperbincangkan ( ‫)فُاَل ٌن ُمقَا ٌل فِ ْي ِه‬
ٌ ‫)فُاَل ٌن فِ ْي ِه َخ ْل‬
3)      Orang yang disingkiri (‫ف‬
Orang yang ditarjih menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat haditsnya tidak dapat
dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan-tingkatan kelima dan
keenam, haditsnya masih dapat dipakai sebagai i’itibar (tempat membandingkan). 10

BAB III
10
Ibid., hlm 318.
PENUTUP

D. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa Ilmu Jarh Wa Ta’dil merupakan Ilmu
yang membahas tentang kaidah-kaidah mencela para rawi dan mengadilkannya.

Latar belakang terjadinya ilmu jarh wa ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, sebagai
usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan hadits sahih dan dhaif.

Banyak pembahasan mengenai Ilmu Jarh Wa Ta’dil diantaranya pembahasan mengenai


macam-macam kaidah jahr dan ta’dil, hukum mencela para perawi, tidak boleh mencela lebih
dari keperluan, syarat menerima penta’dilan dan pentajrihan, jarh dan ta’dil yang diterima dan
yang ditolak, jumlah kesaksian dalam jarh atas ta’dil, mendahulukan jarh atas ta’dil, jumlah
kesaksian dalam jarh atas ta’dil, mendahulukan jarh atas ta’dil,

Pertentangan jarh wa ta’dil terhadap seorang perawi, maka menimbulkan pendapat yang
dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar Razy, AL Amidy dan lain-lain adalah arah itu
didahulukan atas ta’dil secara muthlaq.

DAFTAR PUSTAKA
JOHAR ARIFIN, ‘Pendekatan Ulama Hadis Dan Ulama Fiqh Dalam Menelaah Kontroversial
Hadis’, USHULUDDIN, Vol XXII.No 2 (2014), Hlm151 
Dr. Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits”, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995,
hlm 100

Drs. Munzier Suparta, “Ilmu Hadits”, Jakarta : PT Raja Grafindo, Persada, hlm 33

Mohd Sukri hanapi, PENGAPLIKASIAN KAEDAH HADITH AL-MAWDU IY DALAM


PENYELIDIKAN Abstrak Applying the Thematic Hadith Method in Research Related to Islam
Abstract’, vol 1 no 2  (2016), hlm  132

Rahman Factur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, hlm 313

Anda mungkin juga menyukai