DISUSUN OLEH:
HAIRIL AZWAN
T.A 2023/2024
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT karena atas berkah dan karunia-Nya,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul. “ILMU JARH WA TA’DIL”. Pada
kesempatan ini saya penyusun mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Nada Nazopah, M.Pd
selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini
dimasa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Dan semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................4
B. Rumusan masalah......................................................................4
C. Tujuan.........................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................5
A. Kesimpulan.................................................................................16
B. Saran...........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................17
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat
dhaif perawinya, oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai dengan
generasi mukharrijul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal
dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam
periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik
Kritik para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi
juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan
dalam hubungannya dengan tepat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan.
Untuk itulah lebih jelasnya di sini penulis akan membahas tentang “Ilmu Jarh wa Ta’dil”. 1
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari ilmu jarh wa ta’dil
4
BAB II
PEMBAHASAN
yang artinya melukai, terkena luka pada badan atau menilai cacat(kekurangan). Kalimat: hakim
men-jarah saksi, artinya nilai keadilan si saksi menjadi gugur karena kebohongannya. Jika
“Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan
hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan
riwayatnya di tolak”.
هو العلم الذي يبحث يف أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها.
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak
periwayatannya".
Sementara itu, Al-ta‟dil berasal dari kata al-„adl (keadilan), artinya menilai adil kepada si
periwayat atau membersihkan periwayat dari kesalahan atau kecacatan. Adilnya rawi dilihat dari
pengalaman dan ketekunannya dalam menunaikan agama islam dan terhindar dari perbuatan
2
Majma Al-Laughah Al-Arabiyyah, Al-Mu‟jam Al-Wajiz, (Jarh wa Ta’Dal-Ta’Lim,1997), hlm. 99.
5
dilarang dan keji. Ilmu ini sangat penting dalam menjaga hadis karena dengan ilmu ini dapat
diketahui mana hadis yang diterima dan mana hadis yang ditolak.3
Dapat disimpulkan bahwa Al-Ta‟dil berarti menilai adil seorang periwayat hadist dengan
sifat-sifat tertentu yang membersihkan diri nya dari kecacatan berdasarkan sifat yang tampak dari
luar. Apa yang dimaksud dengan adil di sini tentu bukan adil dalam konteks hukum dan kriminal
seperti yang ada dalam literatur bahasa Indonesia sekarang ini, tetapi lebih merupakan
penggambaran atas kualitas moral, spiritual, dan relegiusitas seorang perawi. Sedangkan istilah
dhabit sendiri merupakan gambaran atas kapasitas intelektual sang perawi yang benar-benar
prima.4
Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya.
Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa al-ta'dil yang
telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara
menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan
ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu
mengetahui kaidah-kadah jarh dan ta'dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang
dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang
paling rendah.5
Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi "dijarh" oleh
3
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadiits, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 98.
4
Ali Imron, “Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil‟ UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Volume 2, No. 2, Desember 2017,
hal. 290.
5
Dr. Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits”, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995, h:100
6
para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji
Adapun informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu: 6
a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal
sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah
terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu
lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal
b. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang
rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal
keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang
gelar adil dan periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan rawi yang di
Sementara orang yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat sebagai berikut:
berilmu pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan
6
Drs. Munzier Suparta, “Ilmu Hadits”, Jakarta : PT Raja Grafindo, Persada, h. 33
7
3. Sebab-Sebab Perawi Dikenakan Jarh Dan Ta’dil
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang
menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam
Bid‟ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan
bid‟ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan.
Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik
adalah golongan yang mempunyai keyakinan („itikad) yang berlawanan dengan dasar
syari‟at.
Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat
Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal
Sedangkan Da‟wa al-“inqitha‟ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda‟wa
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi
keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya
sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan
salah padahal mereka orang yang „adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits.
7
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah ……… h.279.
8
Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama‟ yang sempurna
pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama‟ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta‟dil, dan
lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta‟dil ada enam tingkatan,
1. Tingkatan At-Ta’dil
Tingkatan Pertama, Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta‟dil-an, atau dengan
kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat
periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti :
tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma‟mun), atau tsiqah dan
hafizh.
Tingkatan Ketiga, Yang menunjukan adanya pentsiqahan tanpa adanaya penguatan atas hal
Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan adanya ke-„adil-an dan kepercayaan tanpa adanya
isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma‟mun (dipercaya),
mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba‟sa bihi (tidak mengapa
dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma‟in kalimat laa ba‟sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma‟in
dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia
9
Tingkatan Kelima, Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti :
Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya „anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits),
Tingkatan Keenam, Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti: ShalihulHadiits (haditsnya
Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat
Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka
boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits 9 mereka dengan
hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan
Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis
untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak
dlabith.8
2. Tingkatan Al-Jarh :
Tingkatan Pertama, Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam
tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya
8
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟al-Hadits……. h. 268
10
Tingkatan Kedua, Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh
dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla‟if, atau “ia
Tingkatan Ketiga, Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya,
seperti : “Fulan dla‟if jiddan (dla‟if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal
periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu
ma‟in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu
sedikit).
Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan
hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), ataulaisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
Tingkatan Kelima, Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti :
kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla‟ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia
Tingkatan Keenam, Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk
tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam
Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka,
akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua
11
Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis,
Para ulama hadis memberikan perhatian khusus terhadap ilmu jarh wa ta’dil karena
dengannya dapat menjaga kemurnian hadis Nabi yang memiliki posisi sentral dalam agama
Islam. Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang mengemukakan sisi-sisi tercela dan terpuji dari
perawi hadis, namun demikian tidak bertujuan untuk menyebarkan 9 kekurangan sesorang atau
berbuah ghibah kepadanya. Para ulama kritikus hadis hanya pada tataran memberikan penjelasan
dan informasi tentang keadaan pribadi perawi hadis, demi kehati-hatian dalam meriwayatkan
Al-qur’an dan hadis telah memberikan gambaran yang jelas tentang jarh wa ta’dil, Adapun
yang berkaitan dengan jarh, Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 6:
ياأيها الذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu
membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum
9
Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits, h. 152-154. As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, h. 229-233.
12
Yang berkaitan dengan ta’dil, firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Fath ayat 18:
لقد رضي هللا عن المؤمنين إذ يبايعوعك تحت الشجرة فعلم ما في قلوبهم فأنزل السكينة عليهم و
Artinya: “Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka,
lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang
yang dekat”.
Jarh (Celaan)
Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan satu pernyataan yang mengharuskan untuk menolak
riwayatnya. Dengan menetapkan sifat penolakan atau menafikan (meniadakan) sifat untuk diterima
haditsnya. Semisal dikatakan, dia adalah: pembohong()كذاب, fasiq ()فاسق, lemah ()ضعيف, tidak tsiqah (ليس
)بثقة, tidak dianggap ()ال يعتبرatau tidak ditulis haditsnya ()ال بكتب حديثه.
a. Mutlaq: jika disebut seorang rawi dengan jarh (celaan) tanpa batasan, maka dia menjadi cacat
di setiap keadaan.
b. Muqoyyad: disebutkannya seorang rawi dengan jarh, namun jarh tersebut dikaitkan dengan
hal tertentu (ada pemberian catatan), semisal berkaitan dengan guru tertentu atau sekelompok
orang tertentu atau semacamnya, maka jarh tersebut menjadi cacat pada rawi tersebut jika
dikaitkan dengan hal tersebut dan tidak berlaku untuk yang lainnya.
13
Contoh: Perkataan ibnu Hajar dalam Taqribu Tahdzib tentang Zaid ibn Habab (rawi ini
dipakai Imam Muslim). Ibnu Hajar mengatakan “Dia adalah orang yang jujur (1). Namun,
riwayatriwayatnya adalah keliru jika dia dapatkan dari gurunya yang bernama Sufyan Atsauri.
Contoh lain: Perkataan penulis kitab Al Kholashoh tentang Isma’il ibn ‘Iyas, “orang ini
ditsiqahkan Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Bukhori khusus untuk riwayat dari orang Syam, akan
tetapi para ulama mendha’ifkan Ismail jika gurunya adalah orang Hijaz.” Jadi, dia dha’if dalam
hadits yang diambil dari orang-orang Hijaz namun tidak dha’if jika gurunya dari penduduk Syam
(2).
Tingkatan jarh yang paling keras adalah yang menyebutkan dengan puncaknya dalam
celaan. Misalnya: “orang yang paling pendusta” ( )الناس أكذب,” sendi kedustaan”()الكذب ركن.
Kemudian apa yang menunjukkan berlebih-lebihan, akan tetapi tidak sampai seperti
yang pertama. Misalnya: tukang bohong ( )كذاب, pembuat hadits palsu ( )وضاع, pembohong (
) دجال
Jarh yang paling ringan: lembek haditsnya ( )لين, lemah hafalannya ( ) الحفظ سيئatau
Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan perkataan yang menyebabkan wajib diterimanya
riwayat darinya, bisa berupa sifat diterimanya riwayat atau menafikan sifat ditolaknya riwayat.
Misalnya, dikatakan: dia “tsiqah (terpercaya)” ( )ثقة هو,” tidak mengapa dengannya ( )ال بأس بهatau
14
Ta’dil terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Mutlaq: disebutkannya seorang rawi dengan ta’dil tanpa persyaratan. Maka, rawi tersebut
b. Muqayyad: disebutkannya seorang rawi dengan ta’dil. Namun, ta’dil tersebut dikaitkan
dengan hal tertentu (ada pemberian catatan), baik dari guru tertentu atau sekelompok orang
tertentu atau sejenisnya. Maka, ta’dil ini adalah penilaian tsiqah tentang orang ini pada keadaan
Contoh:
Dikatakan “Dia ini tsiqah bila membawakan hadits dari Az zuhri atau hadits yang dia dapatkan
berasal dari orang Hijaz.” Maka, rawi ini tidak tsiqah dalam riwayat yang dia bawakan dari
Tingkatan Ta’dil yang paling tinggi adalah yang menunjukkan puncaknya dalam ta’dil.
Semacam: “manusia yang paling terpercaya” ( )الناس اوثق,” padanya terdapat puncak ketekunan (
Tingkatan yang paling rendah adalah kata-kata pujian yang paling dekat dengan jarh yang paling
ringan. Semisal dikatakan “dia adalah orang yang sholeh” ( )صالح,” dia adalah dekat” ( )مقارب,”
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang
dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka,
Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk
mengetahui hadis-hadis yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, secara yang
memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau kedustaannya hingga dapatlah
Jelasnya ilmu jarh wa ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan
seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.
B. Saran
Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat penting bagi para pelajar ataupun mahasiswa
ilmu hadis, karena ilmu ini merupakan timbangan bagi para rawi hadis. Rawi yang berat
timbangannya diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatannya.
Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima hadisnya, serta dapat
membedakan dengan periwayat yang tidak dapat diterima hadisnya. Oleh karena itu para ulama
hadis memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan mencurahkan segala pikirannya
untuk menguasainya.
16
DAFTAR PUSTAKA
99.
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadiits, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 98.
Imron Ali, “Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil‟ UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Volume 2,
Dr. Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits”, Surabaya: PT Bina
229-233.
17