Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“ILMU JARH WA TA’DIL”


Dosen pengampu : Dr. Nada Nazopah, M.Pd

DISUSUN OLEH:

HAIRIL AZWAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-AZIZIYAH KAPEK

T.A 2023/2024

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT karena atas berkah dan karunia-Nya,

sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul. “ILMU JARH WA TA’DIL”. Pada

kesempatan ini saya penyusun mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Nada Nazopah, M.Pd

selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan

demi terselesaikannya makalah ini serta.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu, kritik

dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini

dimasa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan

masyarakat pada umumnya. Dan semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk

menambah pengetahuan para mahasiswa dan masyarakat dan pembaca.

Kapek, November 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

 KATA PENGANTAR................................................................................2

 DAFTAR ISI...............................................................................................3

 BAB I PENDAHULUAN...........................................................................4

A. Latar Belakang...........................................................................4

B. Rumusan masalah......................................................................4

C. Tujuan.........................................................................................4

 BAB II PEMBAHASAN............................................................................5

1. Pengertian Ilmu Jarh Wa Ta’dil..............................................5

2. Kegunaan Ilmu Al jarh wa Ta'dil............................................6

3. Sebab-Sebab Perawi Dikenakan Jarh Dan Ta’dil..................8

4. Tingkatan-tingkatan Al-Jarh Wat-ta’dil.................................8

5. Urgensi Ilmu Jarh wa Ta’dil dalam Studi Hadis....................12

6. Contoh Aplikasi Jarh wa Ta’dil...............................................13

 BAB III PENUTUP....................................................................................16

A. Kesimpulan.................................................................................16

B. Saran...........................................................................................16

 DAFTAR PUSTAKA............................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat

dhaif perawinya, oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai dengan

generasi mukharrijul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal

dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam

periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik

para periwayat hadis.

Kritik para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi

juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan

dalam hubungannya dengan tepat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan.

Untuk itulah lebih jelasnya di sini penulis akan membahas tentang “Ilmu Jarh wa Ta’dil”. 1

B. Rumusan masalah

1. Apakah pengertian dari Ilmu Jarh Wa Ta’dil?

2. Bagaimana urgensi Ilmu Jarh wa Ta’dil dalam Studi Hadis?

3. Apa saja contoh aplikasi Ilmu Jarh wa Ta’dil?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari ilmu jarh wa ta’dil

2. Untuk mengetahui urgensi ilmu jarh wa ta’dil

3. Untuk mengetahui contoh aplikasi Ilmu Jarh Wa Ta’dil


1
Zubaidillah, M.H (2018). ILMU JARH WA TA’DIL

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Ilmu Jarh Wa Ta’dil

Menurut bahasa, kata al-jarh merupakan mashdar dari kata jaraha-yajrahujarhan-jarahan

yang artinya melukai, terkena luka pada badan atau menilai cacat(kekurangan). Kalimat: hakim

men-jarah saksi, artinya nilai keadilan si saksi menjadi gugur karena kebohongannya. Jika

demikian, kesaksiannya ditolak.2

Menurut istilah, Muhammad Ajaj Al-Khathib:

“Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan

hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan

riwayatnya di tolak”.

Dr. Ajjaj Khatib mendefinisikannya sebagai berikut:

‫هو العلم الذي يبحث يف أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها‬.

"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak

periwayatannya".

Sementara itu, Al-ta‟dil berasal dari kata al-„adl (keadilan), artinya menilai adil kepada si

periwayat atau membersihkan periwayat dari kesalahan atau kecacatan. Adilnya rawi dilihat dari

pengalaman dan ketekunannya dalam menunaikan agama islam dan terhindar dari perbuatan

2
Majma Al-Laughah Al-Arabiyyah, Al-Mu‟jam Al-Wajiz, (Jarh wa Ta’Dal-Ta’Lim,1997), hlm. 99.

5
dilarang dan keji. Ilmu ini sangat penting dalam menjaga hadis karena dengan ilmu ini dapat

diketahui mana hadis yang diterima dan mana hadis yang ditolak.3

Dapat disimpulkan bahwa Al-Ta‟dil berarti menilai adil seorang periwayat hadist dengan

sifat-sifat tertentu yang membersihkan diri nya dari kecacatan berdasarkan sifat yang tampak dari

luar. Apa yang dimaksud dengan adil di sini tentu bukan adil dalam konteks hukum dan kriminal

seperti yang ada dalam literatur bahasa Indonesia sekarang ini, tetapi lebih merupakan

penggambaran atas kualitas moral, spiritual, dan relegiusitas seorang perawi. Sedangkan istilah

dhabit sendiri merupakan gambaran atas kapasitas intelektual sang perawi yang benar-benar

prima.4

2. Kegunaan Ilmu Al jarh wa Ta'dil

Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya.

Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa al-ta'dil yang

telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara

menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan

ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu

mengetahui kaidah-kadah jarh dan ta'dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang

dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang

paling rendah.5

Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang

perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi "dijarh" oleh

3
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadiits, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 98.
4
Ali Imron, “Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil‟ UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Volume 2, No. 2, Desember 2017,
hal. 290.
5
Dr. Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits”, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995, h:100

6
para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji

maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.

Adapun informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu: 6

a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal

sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah

terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu

lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal

dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.

b. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang

rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal

keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang

gelar adil dan periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan rawi yang di

tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi

tidak bisa diterima.

Sementara orang yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat sebagai berikut:

berilmu pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan

mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini.

6
Drs. Munzier Suparta, “Ilmu Hadits”, Jakarta : PT Raja Grafindo, Persada, h. 33

7
3. Sebab-Sebab Perawi Dikenakan Jarh Dan Ta’dil

Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang

menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam

saja: bid‟ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da‟wa al-inqitha‟.7

 Bid‟ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan

bid‟ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan.

Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik

adalah golongan yang mempunyai keyakinan („itikad) yang berlawanan dengan dasar

syari‟at.

 Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat

menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.

 Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.

 Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal

identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.

 Sedangkan Da‟wa al-“inqitha‟ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda‟wa

perawi, mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.

4. Tingkatan-tingkatan Al-Jarh Wat-ta’dil

Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi

keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya

sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan

salah padahal mereka orang yang „adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits.

7
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah ……… h.279.

8
Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama‟ yang sempurna

pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama‟ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta‟dil, dan

lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta‟dil ada enam tingkatan,

begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).

1. Tingkatan At-Ta’dil

 Tingkatan Pertama, Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta‟dil-an, atau dengan

menggunakan wazan af‟ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan

kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat

periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.

 Tingkatan Kedua, Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-„adil-

annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti :

tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma‟mun), atau tsiqah dan

hafizh.

 Tingkatan Ketiga, Yang menunjukan adanya pentsiqahan tanpa adanaya penguatan atas hal

itu, seperti: tsiqah, tsabat, atau hafizh.

 Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan adanya ke-„adil-an dan kepercayaan tanpa adanya

isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma‟mun (dipercaya),

mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba‟sa bihi (tidak mengapa

dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma‟in kalimat laa ba‟sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma‟in

dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia

ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).

9
 Tingkatan Kelima, Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti :

Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya „anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits),

atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).

 Tingkatan Keenam, Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti: ShalihulHadiits (haditsnya

lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya.)

Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini:

 Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat

dari sebagian yang lain.

 Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka

boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits 9 mereka dengan

hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan

hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.

 Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis

untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak

dlabith.8

2. Tingkatan Al-Jarh :

 Tingkatan Pertama, Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam

tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya

diperbincangkan), atau fiihi dla‟fun (padanya ada kelemahan).

8
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟al-Hadits……. h. 268

10
 Tingkatan Kedua, Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh

dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla‟if, atau “ia

mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).

 Tingkatan Ketiga, Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya,

seperti : “Fulan dla‟if jiddan (dla‟if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal

periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu

ma‟in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu

sedikit).

 Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan

muttaham bil-kadzib(dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri

hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), ataulaisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).

 Tingkatan Kelima, Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti :

kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla‟ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia

berbohong), atau yadla‟ (dia memalsikan hadits).

 Tingkatan Keenam, Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk

tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam

kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.

Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh:

 Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka,

akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua

lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.

11
 Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis,

dan tidak dianggap sama sekali.9

5. Urgensi Ilmu Jarh wa Ta’dil dalam Studi Hadis

Para ulama hadis memberikan perhatian khusus terhadap ilmu jarh wa ta’dil karena

dengannya dapat menjaga kemurnian hadis Nabi yang memiliki posisi sentral dalam agama

Islam. Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang mengemukakan sisi-sisi tercela dan terpuji dari

perawi hadis, namun demikian tidak bertujuan untuk menyebarkan 9 kekurangan sesorang atau

berbuah ghibah kepadanya. Para ulama kritikus hadis hanya pada tataran memberikan penjelasan

dan informasi tentang keadaan pribadi perawi hadis, demi kehati-hatian dalam meriwayatkan

hadis, khususnya yang berkaitan dengan syariat agama.

Al-qur’an dan hadis telah memberikan gambaran yang jelas tentang jarh wa ta’dil, Adapun

yang berkaitan dengan jarh, Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 6:

‫ياأيها الذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu

membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum

karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”.

9
Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits, h. 152-154. As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, h. 229-233.

12
Yang berkaitan dengan ta’dil, firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Fath ayat 18:

‫لقد رضي هللا عن المؤمنين إذ يبايعوعك تحت الشجرة فعلم ما في قلوبهم فأنزل السكينة عليهم و‬

‫أثابهم فتحا قريبا‬

Artinya: “Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia

kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka,

lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang

yang dekat”.

6. Contoh Aplikasi Jarh wa Ta’dil

 Jarh (Celaan)

Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan satu pernyataan yang mengharuskan untuk menolak

riwayatnya. Dengan menetapkan sifat penolakan atau menafikan (meniadakan) sifat untuk diterima

haditsnya. Semisal dikatakan, dia adalah: pembohong(‫)كذاب‬, fasiq (‫)فاسق‬, lemah (‫)ضعيف‬, tidak tsiqah (‫ليس‬

‫)بثقة‬, tidak dianggap (‫)ال يعتبر‬atau tidak ditulis haditsnya (‫)ال بكتب حديثه‬.

Jarh terbagi 2, yaitu:

a. Mutlaq: jika disebut seorang rawi dengan jarh (celaan) tanpa batasan, maka dia menjadi cacat

di setiap keadaan.

b. Muqoyyad: disebutkannya seorang rawi dengan jarh, namun jarh tersebut dikaitkan dengan

hal tertentu (ada pemberian catatan), semisal berkaitan dengan guru tertentu atau sekelompok

orang tertentu atau semacamnya, maka jarh tersebut menjadi cacat pada rawi tersebut jika

dikaitkan dengan hal tersebut dan tidak berlaku untuk yang lainnya.

13
Contoh: Perkataan ibnu Hajar dalam Taqribu Tahdzib tentang Zaid ibn Habab (rawi ini

dipakai Imam Muslim). Ibnu Hajar mengatakan “Dia adalah orang yang jujur (1). Namun,

riwayatriwayatnya adalah keliru jika dia dapatkan dari gurunya yang bernama Sufyan Atsauri.

Namun, dia tidak dha’if untuk guru yang lain.”

Contoh lain: Perkataan penulis kitab Al Kholashoh tentang Isma’il ibn ‘Iyas, “orang ini

ditsiqahkan Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Bukhori khusus untuk riwayat dari orang Syam, akan

tetapi para ulama mendha’ifkan Ismail jika gurunya adalah orang Hijaz.” Jadi, dia dha’if dalam

hadits yang diambil dari orang-orang Hijaz namun tidak dha’if jika gurunya dari penduduk Syam

(2).

Tingkatan jarh yang paling keras adalah yang menyebutkan dengan puncaknya dalam

celaan. Misalnya: “orang yang paling pendusta” (‫ )الناس أكذب‬,” sendi kedustaan”(‫)الكذب ركن‬.

Kemudian apa yang menunjukkan berlebih-lebihan, akan tetapi tidak sampai seperti

yang pertama. Misalnya: tukang bohong ( ‫ )كذاب‬, pembuat hadits palsu ( ‫ )وضاع‬, pembohong (

‫) دجال‬

Jarh yang paling ringan: lembek haditsnya ( ‫ )لين‬, lemah hafalannya ( ‫ ) الحفظ سيئ‬atau

orang tersebut ada pembicaraan pada dirinya (‫)مقال فيه‬.

 Ta’dil (Penilaian Baik)

Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan perkataan yang menyebabkan wajib diterimanya

riwayat darinya, bisa berupa sifat diterimanya riwayat atau menafikan sifat ditolaknya riwayat.

Misalnya, dikatakan: dia “tsiqah (terpercaya)” (‫ )ثقة هو‬,” tidak mengapa dengannya (‫ )ال بأس به‬atau

tidak ditolak hadits darinya (‫)ال يرد حديثه‬.

14
Ta’dil terbagi menjadi 2, yaitu:

a. Mutlaq: disebutkannya seorang rawi dengan ta’dil tanpa persyaratan. Maka, rawi tersebut

tsiqah dalam setiap kondisi.

b. Muqayyad: disebutkannya seorang rawi dengan ta’dil. Namun, ta’dil tersebut dikaitkan

dengan hal tertentu (ada pemberian catatan), baik dari guru tertentu atau sekelompok orang

tertentu atau sejenisnya. Maka, ta’dil ini adalah penilaian tsiqah tentang orang ini pada keadaan

tertentu tersebut dan tidak pada keadaan sekaliannya.

Contoh:

Dikatakan “Dia ini tsiqah bila membawakan hadits dari Az zuhri atau hadits yang dia dapatkan

berasal dari orang Hijaz.” Maka, rawi ini tidak tsiqah dalam riwayat yang dia bawakan dari

orang lain yang dia tidak ditsiqahkan.

Tingkatan Ta’dil yang paling tinggi adalah yang menunjukkan puncaknya dalam ta’dil.

Semacam: “manusia yang paling terpercaya” ( ‫ )الناس اوثق‬,” padanya terdapat puncak ketekunan (

‫)فيه الثبت‬, (‫) إليه المنتهى‬.

Tingkatan yang paling rendah adalah kata-kata pujian yang paling dekat dengan jarh yang paling

ringan. Semisal dikatakan “dia adalah orang yang sholeh” ( ‫ )صالح‬,” dia adalah dekat” (‫ )مقارب‬,”

diriwayatkan haditsnya” ( ‫ ) حدي يروى ثه‬atau kata-kata semisal.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang

dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka,

dengan ungkapan atau lafaz tertentu.

Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk

mengetahui hadis-hadis yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, secara yang

memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau kedustaannya hingga dapatlah

membedakan antara yang diterima dengan yang ditolak.

Jelasnya ilmu jarh wa ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan

seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.

B. Saran

Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat penting bagi para pelajar ataupun mahasiswa

ilmu hadis, karena ilmu ini merupakan timbangan bagi para rawi hadis. Rawi yang berat

timbangannya diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatannya.

Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima hadisnya, serta dapat

membedakan dengan periwayat yang tidak dapat diterima hadisnya. Oleh karena itu para ulama

hadis memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan mencurahkan segala pikirannya

untuk menguasainya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Zubaidillah, M. H. (2018). ILMU JARH WA TA'DIL.

Majma Al-Laughah Al-Arabiyyah, Al-Mu‟jam Al-Wajiz, (Jarh wa Ta’Dal-Ta’Lim,1997), hlm.

99.

Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadiits, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 98.

Imron Ali, “Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil‟ UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Volume 2,

No. 2, Desember 2017, hal. 290.

Dr. Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits”, Surabaya: PT Bina

Ilmu, 1995, h:100

Drs. Munzier Suparta, “Ilmu Hadits”, Jakarta : PT Raja Grafindo, Persada, h. 33

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah ……… h.279.

Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟al-Hadits……. h. 268

Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits, h. 152-154. As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, h.

229-233.

17

Anda mungkin juga menyukai