Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH AL JARAH WA’ TAKDIL KAJIAN

TEMATIK
SEMESTER GANJIL
TAHUN 2020/2021

Disusun oleh :

Al ilmi
Diky Haikal Hidayat
Muhammad Zulkipli
Yunita Dewi Sriwahyuni
Yudi Ashari

STIE SYARIAH INDONESIA PURWAKARTA


Jl. Veteran No.150,Telp. (0264) 8624444 Ciseureuh,Purwakarta,Jawa Barat 41118
www.sties-purwakarta.ac.id email : fo@sties-purwakarta.ac.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Teknik Komunikasi Manusia Prasejarah" dengan
tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Sejarah. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang manusia prasejarah bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nina selaku guru Mata Pelajaran Sejarah. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya
makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 6 Maret 2021

Penyusun

 
DAFTR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………….. 1

 A. Latar Belakang ………………………………………………………………………….. 2


 B. Rumusan Masalah …………………………………………………………………….. 2
 C. Tujuan ……………………………………………………………………………………….. 3

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………… 4

 A. Pengertian Aljarah wa’tadil ……………………………………………………….. 5


 B. Manfaat Ilmu Aljarah Wa’tadil …………………………………………………… 6
 C. Metode Ilmu Aljarah Wa’tadil……………………………………………………. 12
 D. Syarat syarat Bagi Orang Yang Men Ta’dilkan ……………………….. 16
 E. Pertentangan Antara Aljarah Dan Al Ta’dil ………………………………. 20
 F. Bentuk Bentuk Lafadz Aljarah Wa’tadil ……………………………………. 25

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………….. 26

 A. Simpulan …………………………………………………………………………………… 30
 B. Daftar Pustaka ………………………………………………………………………….. 31
BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Umat Islam memiliki dua landasan utama yaitu Al-Quran dan Hadits (Sunnah) sebagai
pedoman hidup di dunia.  Al-Qur’an yang notaben kalam Allah, telah dijamin kemurnian dan
keabsahannya. yakni Al-Qur’an shahi likulli zamanin wamakan karena Al-qur’an diturunkan
secara mutawatir. Sedangkan Sunnah atau sabda Rasul tidak semuanya berpredikat mutawatir,
sehingga tidak semua hadis bisa diterima, karena belum tentu setiap hadis itu berasal dari
Rasulullah. Oleh karenanya muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadis atau biasa disebut
dengan istilah ‘Ulumul Hadits. Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadis,
ada satu ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu Ilmu Al-
Jarh wa Al-Ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para kritikus hadis
tentang keadaan setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga
nantinya bisa ditentukan status dan derajat hadis yang diteliti oleh perawi tersebut.

B.      Rumusan Masalah
A.    Apa yang dimaksud dengan Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
B.     Apa Manfaat dari Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
C.     Bagaimana Metode untuk mengetahui Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
D.    Apa Syarat-Syarat Bagi Orang Yang  men-Tajrih-kan dan Men-Ta’dil-kan
E.     Bagaiman Pertentangan antara Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
F.      Bagaiman Bentuk-Bentuk Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil

C.    Tujuan
A.    Untuk Mengetahui Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
B.     Untuk Mengetahui Manfaat Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
C.     Untuk Mengetahui Metode Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
D.    Untuk Mengetahui Syarat-Syarat Bagi Orang  yang  Men-Tajrih-kan dan Men-Ta’dil-kan.
E.     Untuk Mengetahui Pertentangan antara Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
F.      Untuk Mengetahui Bentuk Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil


Kalimat ‘al-jarh wa Ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua
kata, yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-Jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata ‫جر‬
‫ ىجر ح‬-‫ح‬ , yang  berarti ‘seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan
mengalirnya darah pada luka itu’. Dikatakan juga (tulisan arab), yang berarti hakim dan yang
lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.
[1] Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai
sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur
riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.  Adapun ‘at-
tajrih’ menyifatinseorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah
atas riwayatnya atau tidak diterima.[2]
Pengertian ‘Al-Adl’ secara Etimologi berarti ‘sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa
sesuatu itu lurus’, merupakan lawan dari ‘lacur’. Orang adil berarti orang yang diterima
kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif.[3]Adapaun secara
terminology, al-adl berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan
keperawiannya.[4]
Lafadzh al-Jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan
keadilan dan hapalannya. Men-Jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi
dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang dirawayatkannya.
Adapun rawi dikatan ‘adil adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat
menodai agama dan keperawiannya.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa
alta’dil suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau adilnya
seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya.
B.     Manfaat Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil
Ilmu al-Jarh wa alta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi
itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli
sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji
sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya dterima, selama syarat-syarat yang lain untuk
menerima hadis terpenuhi.
Apabila kita tidak memahami ilmu al-jarh wa at-ta’dil dan tidak mempelajarinya dengan
seksama, maka akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadist ini dinilai
sama. Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan adalah
perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah
wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadist harus diteliti secara seksama karena terjadi
pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan lain-lain yang dikaitkan dengan hadist.
Akkibatnya, mereka yang menyandarkan hadist terhadap Rasulullah SAW, padahal yang
diriwayatkannya adalah riwayat yang bohong. Dan mereka melakukan itu untuk kepentingan
golongannya saja.
Jika kita mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan
antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui ilmu al-Jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi mana hadist
shohih, hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.

C.    Metode Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil


      Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dua ketetapan.
Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai
seorang yang adil (Bisy-Syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai para ahli ilmu bagi Asy-syafi’I,
Ahmad bin Hambal, dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah terkenal sebagai orang yang
adil di kalangan para ahli ilmu sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.[5]
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi
yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
      Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
a.       Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang
menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadist). Oleh
karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian
menurut pendapat para fuqaha’ yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam
mentazkiyah seorang rawi.
b.      Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan baik
orang yang merdeka maupun budak. Selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
       Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan :
a.       Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah
dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi
dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b.      Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.
Demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut  para fuqaha
sekurang-sekurangnya harus ditarjihkan oleh orang laki-laki yang adil.
Ada beberapa masalah yang berhubungan dengan men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan
seorang rawi, diantaranya apabila penilaian secara mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan
ada kalanya munfasar (disebutkan sebab-sebabnya). Tentang mubham ini diperselisihkan oleh
para ulama, dalam beberapa pendapat, yaitu:
a.       Men-ta’dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu banyak
sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan menyibukkan saja. Adapun men-tarjih-
kan tidak diterima, kalau tidak menyibukkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil
dengan satu sebab saja. Dan karena orang-orang itu berlainan dengan mengemukakan sebab jarh,
hingga tidak mustahil seorang men-tarjih-kan menurut keyakinannya, tetapi tidak dalam
kenyataan. Jadi, agar jelas apakah ia tercatat atau tidak, perlu disebutkan sebab-sebabnya.[6]
b.      Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu. Karena sebab-
sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedangkan mentarjihkan tidak
bisa dibuat-buat.
c.       Untuk kedua-duanya, harus disebutkan sebab-sebabnya.
d.      Untuk kedua-keduanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarh dan mu’addil
sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Di antara sebab munculnya kriteria
mubham dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap rawi.
Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang
yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawi. Sebagaimana berikut:
a.       Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah.
b.      Cukup seorang saja, dalam  soal  riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab bilangan tersebut
tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadis, maka tidak pula dalam men-ta’dil-kan dan men-
tajrih-kan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
c.       Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah
Adapun kalau ke-adalah-annya itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau
dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, tidak diperlukan lagi orang yang men-ta’dil-kan
(muzakky = mua’dil). Seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, dan lain-lain.

D.    Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Men-Ta’dil-kan dan Men - Tajirh kan


Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainnya,
melainkan harus jelas dahulu sebab-sebab penilaian tersebut. Terkadang, orang yang
menganngap orang lain cacat, malah ia sendiri cacat. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menerima
langsung suatu perkataan sebelum ada yang menyetujuinya.
Beranjak dari sikap selektif terhadap sesuatu, ada beberapa syarat bagi orang yang men-
Ta’dil-kan (Mu’addil) dan orang yang men-jarah-kan (Jarih), yaitu:
1.      Berilmu pengetahuan,
2.      Takwa,
3.      Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosakecil, dan makruhat-
makruhat,
4.      Jujur
5.      Menjauhi fanatik golongan,
6.      Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.[7]

E.     Pertentangan Antara Al-Jarh dan Al-Ta’dil


Terkadang, pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang
sama bisa bertentangan. Sebagian men-tajrihkan-kannya, sebagian lain men-ta’dil-kan. Bila
keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya.
Dalam masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut:
a.       Al-Jarh harus didahulukan secara mutak, walaupun jumlah mu’addil-nya lebih banyak
daripada jarh-nya. Sebab bagi jarih tertentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui
oleh mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut
lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh
si mu’adil. Inilah pendapat yang dipegang mayoritas ulama.[8]
b.      Ta’dil didahulakan daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya yang
men-ta’dil-kan bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-
Khatib, pendapat ini dapat diterima, sebab yang men-ta’dil. Meskipun lebih banyak jumlahnya,
tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang men-tajrih.[9]
c.       Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulakan, kecuali dengan adanya
perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai
diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.[10]
d.      Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tarjih-kan.[11]
Melihat perbedaan tersebut, sekarang kita bisa mengetahui bahwa konsep
‘mendahulukan jarh daripada ta’dil’ bukan merupakan konsep yang mutlak, tetapi merupakan
konsep dari mayoritas ulama.
F.     Bentuk Lafazh-Lafazh Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Lafazh-lafazh yang digunakan untuk mentarjihkan dan menta’dilkan itu bertingkat.
Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawi, lafazh-lafazh itu disusun secara
bertingkat-tingkat yaitu 4 tingkatan, menurut Al-Hafizd Ad-Dzahaby dan Al-‘Iraqy menjadi 5
tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan,[12] yaitu sebagai berikut.
Tingkat pertama, segala sesuatu yang mengandung  kelebihan rawi dalam keadilan,
dengan menggunakan lafazh-lafazh yang af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung
ungkapan sejenis, misalnya “Orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hapalannya”.
Tingkatan kedua, memeperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang
menunjukan keadilan dan ke-dahbit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafadz (dengan
mengulangnya) maupun semakna, misalnya “Orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya”.
Tingkatan ketiga, menunjukan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti’kuat
ingatan’, misalnya “Orang yang hafizh (kuat hapalannya)”
Tingkatan keempat, menunjukan keadilan dan kedlabitan, tetapi dengan lafadh yang tidak
mengandung arti kuat ingatan dan adil, misalnya “Orang yang sangat jujur”
Tingkatan kelima, menunjukan kejujuran rawi, tetapi dengan lafazh yang tidak terfaham
adanya kedlabithan, misalnya “Orang yang berstatus jujur”
Tingkatan keenam, menunjukan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut diatas
yang diikuti dengan lafadh “insya Allah”, atau lafadh tersebut di-tashir- kan (pengicilan arti),
atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya “Orang yang jujur, insya Allah”
Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-
ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun hadis-
hadis para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan
baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadis periwayat lain.[13]
Orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, hadisnya
tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan menurut tingkatan
kelima dan keenam, hadisnya  masih dapat di pakai sebagai I’tibar ( tempat pembading ).
Untuk menerima pen-tajrih-an ata pen-ta’dil-an, ada yang harus diperhatikan, yaitu
apabila kita temui sebagai ahli jarh dan ta’dil, dalam men-jarh seorang rawi, kita tidak perlu
segera menerima pen-tajrih-annya tersebut, tetapi hendaklah menyelidiki terlebih dahulu. Jika
pen-tajrih-an itu membawa kegoncangan yang hebat, kendati yang men-tajrih-kan adalah ulama-
ulama yang mahsyur, pen-tajrih-annya tersebut tidak boleh diterima. Sebab, setelah kita adakan
penelitian, terkadang sebab-sebab yang digunakan untuk men-tajrih-kannya tidak kuat sehingga
kita tidak bisa menolak pen-jarh-annya.[14]
Hal ini disebabka adanya kemungkinan-kemungkinan antara lain adalah, si-jahr sendiri
termasuk orang yang di-tarjih-kan orang lain, sehingga pen-tajrih-annya dan pen-ta’dil-annya
tidak harus segera kita terima, selama orang- orang lain tidak menyutujuinya. Kemungkinan
yang lain bisa terjadi bahwa si jahr termasuk orang yang terlebih dahulu dalam men-tajrih-kan
seseorang. Adapun pen-tajhrih-an yang dilakukan oleh kebanyakan ahli tajrih dan ta’dil, lebih
ringan. Jadi riwayat yang kemungkinan di terima adalah bukan berdasarkan banyak dan
sedikitnya orang yang menilai,tetapi terlibih dahulu berdasrkan kualitas orang yang menilainya.
[15]
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil merupakan materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang
membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar
terhadap klarifikasi hadisnya. Dengan mengetahui ilmu al-Jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa
menyeleksi mana hadist shohih, hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas
rawi, bukan dari matannya.
Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama
lainnya, terkadang pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang
sama bisa bertentangan. Oleh sebab itu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi (kriteria yang
dimiliki) bagi orang yang men-Ta’dil-kan (Mu’addil) dan orang yang men-jarah-kan (Jarih). 
Salahsatunya harus berilmu, takwa, wara’, jujur, tidak fanatik terhadap golongan, dan
mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
Dalam menentukan sebuah hadis, konsep mendahulukan jarh daripada ta’dil bukan
merupakan konsep yang mutlak, tetapi merupakan konsep dari mayoritas ulama. Kemudian
lafazh-lafazh yang digunakan untuk men-tajrih dan men-ta’dil itu memiliki tingkatan. Para ahli
ilmu mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut
tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Sedangkan orang yang di-
tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, hadisnya tidak dapat
dibuat hujjah sama sekali.
Dengan demikian, Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil merupakan bagian penting dari cabang
ilmu ‘ulumul hadis dalam proses penyeleksian sebuah hadits. Sehingga bisa diterima atau
tidaknya sebuah hadits tersebut.   
      
DAFTAR PUSTAKA

Solahudin, Agus. Ulumul Hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2008.


Al-khatib, ‘Ajjaj, Ushul Al-Hadits. Terj. H.M. Qadirun dan Ahmad Musyafiq,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mustahul Hadis. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1985.
Ash-Shiddieqy, M. Hasby. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1989.
Endang, Soetari. Ilmu Hadis: Kajian Diriwayah dan Dirayah.
Bandung: Mimbar Pustaka. 2005.
Http//triulfawardani.blogspot.co.id/2014/04/makalah-ilmu-al-jarh-wa-at-tadil.html
Makalah Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta'dil Ulumul Hadits (wilymuhamadr7.xyz)

Anda mungkin juga menyukai