Anda di halaman 1dari 18

JARH DAN TA’DIL

(Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Ulumul Qur’an
dan Hadis)

Dosen Pengampu:
Dr. Muh. Ubaidillah Al Ghifary Slamet, Lc, M.P.I

Disusun Oleh:
Kelompok 11

MHD. Rozali 223430377


Arini Saila Haq 223430372

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


PASCA SARJANA MAGISTER (S2)
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA
TA. 2023-2024
‫الرحيم‬
ّ ‫بسم هللا الرحمن‬

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat yang telah Allah limpahkan kepada para hamba-Nya. Shalawat serta salam
senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw, para keluarga,
sahabat dan orang-orang yang senantiasa berjalan di atas jalan Allah dan Sunnah
Nabi saw.
Dengan nikmat dan hidayah serta rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang merupakan tugas pada mata kuliah Ulumul Hadis, dan tak lupa
kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Muh. Ubaidillah Al Ghifary Slamet,
Lc, M.P.I selaku dosen mata kuliah Ulumul Hadis yang sudah memberikan
kepercayaan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan baik isi maupun penulisannya. Oleh karena itu penulis sangat berharap
kritik dan saran yang positif untuk perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan wawasan kita.

Tangerang Selatan, 05 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
A. Latar Belakang ............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................1
C. Tujuan Penulisan .........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................3
A. Pengertian Jarh dan Ta’dil ..........................................................................3
B. Tujuan atau Kegunaan Ilmu Jarh dan Ta’dil ................................................4
C. Syarat Seseorang yang Melakukan Jarh dan Ta’dil .....................................5
D. Sebab-Sebab Perawi Dikenakan Jarh dan Ta’dil .........................................5
E. Tingkatan Ta’dil dan Lafadz-Lafadznya ......................................................6
F. Tingkatan Jarh dan Lafadz-Lafadznya .........................................................7
G. Pertentangan dalam Jarh dan Ta’dil .............................................................9
H. Kitab Tentang Jarh dan Ta’dil....................................................................10
BAB III PENUTUP .............................................................................................13
A. Kesimpulan ...............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis adalah salah satu pedoman hidup manusia setelah Al-Qur’an,
sebagaimana diketahui bahwa seseorang tidak bisa memahami Al-Qur’an secara
terperinci kecuali dengan bantuan dari penjelasan Rasulullah SAW melalui
perkataannya, perbuatannya dan tingkah lakunya.
Kedudukan hadis (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam kedua
setelah Al-Qur’an sudah tidak diperelisihkan lagi oleh para ulama. Ber-hujjah
dengan hadis sahih tidak diperdebatkan lagi bahkan menjadi keharusan. Namun
bagaimana cara menentukan kesahihan suatu hadis merupakan kajian yang tidak
sederhana. Hal ini karena terdapat jarak waktu yang panjang antara munculnya
hadis (pada masa Rasulullah SAW) dengan masa penghimpunan (pembukuan)
hadis itu sendiri.1
Dalam perkembangan Ilmu Hadis, para periwayat hadis dari generasi
sahabat sampai dengan generasi mukharrijul hadis tidak bisa dijumpai secara
fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka,
baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka
diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para
periwayat hadis.
Kritikan para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal
yang terpuji saja, tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal dapat
dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya mengenai
dapat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itu,
penulis akan membahas tentang Ilmu Jarh wa Ta’dil, yaitu ilmu yang
menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang penta’dilannya (memandang lurus para perawi) dengan memakai kata-
kata khusus untuk menerima atau menolak riwayat mereka.

1
Muhammad Abu Syahbah, al-Wasith fi ‘Ulum wa Mushthalah al-Hadis (Jami`at Umm
alQura: `Alam al-Ma`rifah, tth.), h. 51.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa
masalah pokok dalam kajian ini, yaitu:
1. Apa pengertian jarh dan ta’dil?
2. Apa tujuan atau kegunaan ilmu jarh dan ta’dil?
3. Apa saja syarat seseorang yang melakukan jarh dan ta’dil serta apa saja
penyebab perawi dikenakan jarh dan ta’dil?
4. Bagaimana tingkatan jarh dan ta’dil, pertentangan dalam jarh dan ta’dil serta
kitab apa saja yang membahas tentang jarh dan ta’dil?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka yang
menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa pengertian jarh dan ta’dil.
2. Untuk mengetahui tujuan dan kegunaan ilmu jarh dan ta’dil.
3. Untuk mengetahui syarat seorang yang melakukan jarh dan ta’dil serta apa
saja penyebab perawi dikenakan jarh dan ta’dil.
4. Untuk mengetahui bagaimana tingkatan jarh dan ta’dil, pertentangan dalam
jarh dan ta’dil serta kitab apa saja yang membahas tentang jarh dan ta’dil.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jarh dan Ta’dil


Dari segi bahasa, jarh terambil dari kata dasar ja-ra-ha, artinya melukai.
Sedang menurut pengertian ahli hadis, jarh artinya mencela atau mengkritik perawi
hadis dengan ungkapan-ungkapan yang menghilangkan keadilan ataupun
kedhabitannya. Sebaliknya, ta’dil menurut para ulama hadis adalah memuji perawi
(tazkiyah al-rawi) dan menetapkannya sebagai seorang yang adil dan dhabit.2
Akan tetapi, perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan adil di sini bukanlah
adil dalam konteks hukum dan kriminal seperti yang ada dalam literatur bahasa
Indonesia sekarang ini. Menurut Ali Imron, adil yang dimaksud adalah
penggambaran atas kualitas moral, spiritual, dan relegiusitas seorang perawi.
Sedangkan istilah dhabit sendiri merupakan gambaran atas kapasitas intelektual
sang perawi yang benar-benar prima.3
Selain pengertian di atas, Syaikh Manna Al-Qaththan juga memberikan
definisi dari Jarh dan Ta’dil, menurut beliau Al-Jarh secara istilah yaitu terlihatnya
sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak
hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau
melemahkannya hingga kemudian ditolak. Sedangkan At-Ta’dil yaitu pensifatan
perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya,
dan diterima beritanya.4
Tidak jauh berbeda dengan Syaikh Manna Al-Qaththan, Dr. Ajjaj Khatib
mendefinisikan Jarh dan Ta’dil sebagai berikut: ‫هو العلم الذي يبحث يف أحوال الرواة من‬
‫حيث قبول روايتهم أوردها‬. “Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari
segi diterima atau ditolak periwayatannya”.5

2
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr alMu’ashir,
1997). h. 92.
3
Ali Imron, Dasar-dasar Ilmu Jarh Wa Ta`dil, Jurnal Studi Islam, Vol.2, No. 2, 2017. h.
290.
4
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi lmu Hadis, (Jakarta Timur: Pustaka Al-
Kautsar, 2005). h. 78.
5
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu al-Hadis, Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma‟arif,
1974). h. 268.

3
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan
memakai kata-kata khusus untuk menerima atau menolak riwayat mereka.

B. Tujuan atau Kegunaan Ilmu Jarh dan Ta'dil


Ilmu jarh dan ta’dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan
nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah
ilmu jarh dan ta’dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat
perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat
memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kadah
jarh dan ta’dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam
ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang paling
rendah.6
Sederhanannya, ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan
apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.
Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima
selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Adapun informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua
jalan, yaitu:
1. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal
sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah
terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu
lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang
terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
2. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang
rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal

6
Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis”, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1995). h. 100.

4
keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang
gelar adil dan periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan rawi yang
di tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi
tidak bisa diterima.7

C. Syarat Seseorang yang Melakukan Jarh dan Ta’dil


Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan
pekerjaan yang rawan karena menyangkut nama baik dan kehormatan para
perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadis, maka
ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan
ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yatu:
1. Haruslah orang tersebut `âlim (berilmu pengetahuan),
2. Bertaqwa,
3. Wara` (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat,
dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4. Jujur,
5. Belum pernah dijarh,
6. Menjauhi fanatik golongan, dan
7. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Demikianlah beberapa syarat jika seseorang ingin melakukan jarh dan ta’dil,
apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak
diterima.

D. Sebab-Sebab Perawi Dikenakan Jarh dan Ta’dil


Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, diantara sebab-
sebab yang menjadikan aibnya seorang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar

7
Munzier Suparta, “Ilmu Hadis”, (Jakarta: PT Raja Grafindo, Persada), h. 33

5
di sekitar lima macam saja yaitu: bid`ah, mukhalafah, ghalath, jahalah al-hal, da`wa
al-inqitha.8
1. Bid`ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara’. Orang yang
disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan
adakalanya orang yang difasikkan. Mereka yang dianggap kafir adalah
golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang
mempunyai keyakinan (`itikad) yang berlawanan dengan dasar syari`at.
2. Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat.
Mukhalafah ini dapat menimbulkan hadisnya syadz atau munkar.
3. Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam
meriwayatkan.
4. Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum
dikenal identitasnya ialah hadisnya tidak dapat diterima.
5. Sedangkan Da`wa al-`inqitha` ialah diduga keras sanadnya terputus,
misalnya menda`wa perawi, mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadis.

E. Tingkatan Ta'dil dan Lafadz-Lafadznya


1. Lafadz yang menunjukkan mubalaghah (kelebihan) dalam hal ketsiqahan
(keteguhan), atau lafadz yang mengikuti wazan af'ala. Contohnya: fulanun
ilaihi al-muntaha fi at-tatsabbut (si fulan itu paling tinggi keteguhannya), atau
fulanun atsbata an-nas (si fulan itu termasuk orang yang paling teguh).
2. Lafadz yang memperkuat salah satu sifat atau dua sifat tsigah. Seperti,
tsiqatun tsiqah (orang yang sangat-sangat tsiqah), atau tsiqatun tsabitun
(orangnya tsiqah dan teguh).
3. Lafadz (ungkapan) yang menunjukkan ketsiqahan tanpa ada penguatan.
Seperti, tsiqatun (orangnya tsiqah), atau hujjatun (orangnya ahli argumen).
4. Lafadz yang menunjukkan ta'dil tanpa menampakkan kedlabitan. Seperti,
shaduqun (orangnya jujur), atau yang sama kedudukannya dengan shaduq,

8
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: PT.
Pustaka riski Putra, 1997) h. 279

6
atau la ba'sa bihi (orangnya tidak punya masalah-cacat) yang diungkapkan
selain oleh Ibnu Ma'in, karena kata la ba'sa bihi yang ditujukan terhadap rawi
dan dikatakan oli ibnu Ma'in mempunyai arti tsigah.
5. Lafadz yang tidak menunjukkan ketsiqahan atau tidak menunjukkan adanya
jarh. Contohnya, fulanun syaikhun (si fulan itu seorang syekh/guru), atau
ruwiya 'anhu an-nas (manusia meriwayatkan darinya).
6. Lafadz yang mendekati adanya jarh. Seperti, fulanun shalih al- hadis (si fulan
orang yang hadisnya shalih), atau yuktabu hadisuhu (orang yang hadisnya
dicatat).
Adapun hukum tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk tiga tingkatan yang pertama, orang-orangnya dapat dijadikan sebagai
hujjah, meski sebagian dari mereka kekuatannya berbeda dengan sebagian
lainnya.
2. Untuk tingkatan keempat dan kelima, orang-orangnya tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah. Meski demikian, hadisnya bisa dicatat dan diberitakan,
walaupun mereka tergolong tingkatan yang kelima, bukan yang keempat.
3. Untuk tingkatan keenam, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Meski demikian hadis-hadis mereka dicatat hanya sebagai pelajaran, bukan
sebagai sebuah berita (hadis yang bisa diriwayatkan), ini karena menonjolnya
ketidakdlabitan mereka).9

F. Tingkatan Jarh dan Lafadz-lafadznya


1. Lafadz yang menunjukkan lunak (yaitu yang paling ringan jarhnya).
Contohnya, fulanun layyinun al-hadis (si fulan hadisnya lunak), atau fihi
maqalun (di dalamnya diperbincangkan).
2. Lafadz yang menunjukkan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, atau yang
serupa. Contohnya, fulanun la yuhtajju bihi (si fulan tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah), atau dla'if (lemah), lahu manakir (dia hadisnya munkar).

9
Abu Fuad, Ilmu Hadis Praktik: Terjemahan Taisir Mushthalah al-hadis, (Bogor:
Thariqul Izzah, 2010). h. 195-196.

7
3. Lafadz yang menunjukkan tidak bisa ditulis hadisnya, atau yang lainnya.
Contohnya, fulanun la yuktabu hadisuhu (si fulan hadisnya tidak bisa dicatat),
la tahillu riwayatu 'anhu (tidak boleh meriwayatkan hadis darinya), dla'if
jiddan (amat lemah), wahn bi marratin (orang yang sering melakukan
persangkaan).
4. Lafadz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta, atau yang
sejenisnya. Contohnya, fulanun muhtammun bi al-kadzib (si fulan orang yang
dituduh berbuat dusta), atau muthammun bi al-wadl'i (orang yang dituduh
berbuat palsu), atau yasriqu al- hadis (yang mencuri hadis), atau saqithun
(gugur), atau matruk (ditinggalkan), atau laisa bi tsiqatin (tidak tsiqah).
5. Lafadz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta, atau yang semacamnya.
Contohnya, kadzdzab (pendusta), atau dajjal, atau wadla' (pemalsu), atau
yukadzdzibu (didustakan), atau yadla'u (pembuat hadis palsu).
6. Lafadz yang menunjukkan adanya mubalaghah (tingkatan yang amat berat)
dalam perbuatan dusta. Dan ini tingkatan yang paling buruk. Contohnya,
fulanun akdzabu an-nas (si fulan itu orang yang paling berdusta) ilaihi al-
muntaha fi al-kadzbi (dia orang yang menjadi pangkalnya dusta), huwa ruknu
al-kadzbi (dia orang yang menjadi penopang dusta).
Adapun hukum tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk dua tingkatan yang pertama, maka hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
orang-orang itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Akan tetapi hadis-hadis
mereka bisa ditulis sebagai pelajaran saja, meski mereka itu termasuk
kelompok tingkat yang kedua, bukan tingkat yang pertama.
2. Sedangkan yang termasuk empat tingkatan terakhir, hadis-hadis mereka tidak
bisa dijadikan sebagai hujjah, bahkan tidak boleh ditulis, dan tidak boleh
dijadikan sebagai pelajaran.10

10
Abu Fuad, Ilmu Hadis Praktik: Terjemahan Taisir Mushthalah al-hadis. h. 197-198.

8
G. Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap
seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya
mentajrihnya. Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam
dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua
pertentangan itu tidak diketahui sebabnya. Adapun terhadap kategori yang
pertama, sebab-sebab terjadinya:
1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih
fasik, sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama
lainnya mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat,
sehingga mereka menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib sebenarnya hal
tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah
ulama yang menta’dil.
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya
hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang
lainnya mengetahui perawi itu sebagai orang yang dhabith, sehingga mereka
menta’dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan
ta’dilnya seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk
menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih
atau yang menta’dil terdapat berbagai pendapat dikalangan ulama hadis, sebagai
berikut:
1. Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak
dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat
jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui
(cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat
secara jeli oleh orang yang menta’dil.
2. Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari
ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta‟dil memperkuat
keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa

9
meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin
akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3. Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah
satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian
terpaksa kitatawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan
hal yang menguatkan salah satunya.
4. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi
menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta‟dil,
kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya
ke`adalahannya seorang perawi.
Dari beberapa pendapat diatas, Menurut Ajaz al-Khatib pendapat
pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadis, baik mutaqaddimin maupun
mutaakhirin.11

H. Kitab-Kitab yang membahas Tentang Jarh dan Ta’dil


Mengingat penetapan shahih dan dla'ifnya hadis didasarkan pada beberapa
perkara, antara lain keadilan dan kedlabitan perawi, atau cacatnya keadilan dan
kedlabitan mereka, maka para ulama telah menyusun berbagai kitab yang
menjelaskan mengenai keadilan dan kedlabitan para perawi, yang diambil dari para
imam mu'addil (yang ahli dalam menetapkan keadilan atau cacat seseorang perawi)
dan terpercaya. Ini dikenal dengan nama at-ta'dil. Selain itu juga disusun berbagai
kitab yang menjelaskan cacatnya aspek keadilan sebagian perawi, termasuk
kedlabitan dan hafalan mereka, yang diambil dari para imam yang tidak memiliki
sikap ta'ashub (fanatik terhadap golongan-pen). Ini dikenal dengan nama al-jarh.
Dari sini pula kitab- kitab tersebut dinamakan dengan kitab-kitab jarh wa ta'dil.
Kitab-kitab semacam ini sangat banyak dan bermacam-macam. Ada yang
khusus menjelaskan para perawi tsiqah; ada juga yang menjelaskan perawi dl'aif
yang cacat; namun juga ada yang menjelaskan keduanya, baik perawi yang tsiqah
maupun yang dia'if. Di sisi lain, sebagian kitab-kitab itu ada yang bersifat umum

11
Ajaz al-Khatib, Ulum al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1975). h. 267.

10
menyebut para perawi hadis tanpa memperhatikan lagi rijal kitabnya, atau kitab-
kitab tertentu dari kitab-kitab hadis. Tapi, ada pula yang khusus memuat biografi
para perawi kitab tertentu dari kitab-kitab hadis.
Apa yang dilakukan oleh para ulama jarh dan ta'dil dalam menyusun kitab-
kitab tersebut merupakan pekerjaan yang amat bernilai dan amat melelahkan.
Mereka melakukan penelusuran yang akurat untuk mengetahui biografi seluruh
rawi hadis; dan menjelaskan jarh dan ta'dil terhadap para perawi hadis -sebagai
langkah awal-. Setelah itu menjelaskan siapa-siapa saja yang mengambil (hadis)
darinya, dan siapa pula yang mengambil dari mereka, kemana saja mereka
bepergian, kapan perjumpaan mereka dengan para syekh (guru-guru mereka), dan
memastikan masa mereka hidup; semua itu dilakukan para ulama jarh dan ta'dil,
dengan upaya dan pencapaian yang tidak pernah dilakukan dan dicapai oleh umat-
umat lain; bahkan umat yang ada pada masa sekarang ini pun tidak sanggup untuk
mendekati apa yang telah disusun oleh para ulama hadis, yang telah meletakkan
semacam ensiklopedi yang amat besar tentang biografi para rijal dan perawi hadis;
mereka menghafalnya sepanjang hari untuk mengetahui secara sempurna para
perawi hadis dan penyampaiannya. Semoga Allah Swt memberikan kepada mereka
pahala dan kebaikan. Inilah sebagian dari kitab-kitab tersebut:
1. Tarikh al-Kabir, karya Bukhari. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah
maupun yang dla'if.
2. Al-Jarhu wa at-Ta'dil, karya Ibnu Abi hatim. Kitab umum yang memuat para
perawi tsiqah maupun yang dla'if, menyerupai kitab sebelumnya.
3. Ats-Tsiqaat, karya Ibnu Hibban. Kitab yang khusus memuat perawi tsiqah.
4. Al-Kamil fi ad-Dlu'afa, karya Ibnu 'Adi. Kitab ini khusus memuat biografi
rawl-rawl dia 'If, sebagaimana terpampang pada judul kitab.
5. Al-Kamil fi Asma-i ar-Rijal, karya Abdul Ghani al-Muqaddisi. Kitab umum,
tetapi khusus memuat para hadis perawi yang terdapat dalam kutub as-
sittah.
6. Mizan al-l'tidal, karya adz-Dzahabi. Kitab yang khusus memuat ravi- rawi
dla'if dan matruk (yaitu setiap rawi yang dijarh, meski jarha tidak bisa
diterima).

11
7. Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibnu Hajar. Merupakan ringkasan dari kitab al-
Kamil fi Asma-i ar-Rijal.12

12
Abu Fuad, Ilmu Hadis Praktik: Terjemahan Taisir Mushthalah al-hadis. h. 193-194.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Jarh dan ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang
dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang
lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata khusus untuk
menerima atau menolak riwayat mereka.
2. Tujuan atau kegunaan ilmu jarh dan ta’dil adalah untuk menetapkan apakah
periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.
Apabila seorang perawi “di-jarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat,
maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya
bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
3. Syarat-syarat bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil, yaitu: `âlim
(berilmu pengetahuan), bertaqwa, wara` (orang yang selalu menjauhi
perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-
makruhat), jujur, belum pernah dijarh, menjauhi fanatik golongan, dan
mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrih-kan.
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, diantara sebab-sebab yang menjadikan
aibnya seorang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar di sekitar lima
macam saja yaitu: bid`ah (melakukan tindakan tercela diluar ketentuan
syara’), mukhalafah (menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat),
ghalath (banyak kekeliruan dalam meriwayatkan), jahalah al-hal (tidak
dikenal identitasnya), da`wa al-inqitha (diduga keras sanadnya terputus).13
4. Tingkatan ta’dil:

13
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: PT.
Pustaka riski Putra, 1997) h. 279

13
- Untuk tiga tingkatan yang pertama, orang-orangnya dapat dijadikan
sebagai hujjah, meski sebagian dari mereka kekuatannya berbeda
dengan sebagian lainnya.
- Untuk tingkatan keempat dan kelima, orang-orangnya tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah.
- Untuk tingkatan keenam, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah.
Tingkatan jarh:
- Untuk dua tingkatan yang pertama, maka hadis-hadis yang diriwayatkan
oleh orang-orang itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
- Sedangkan yang termasuk empat tingkatan terakhir, hadis-hadis mereka
tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, bahkan tidak boleh ditulis, dan tidak
boleh dijadikan sebagai pelajaran.
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap
seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya
mentajrihnya, hal ini dapat dibagi kedalam dua kategori: diketahui sebabnya
dan tidak diketahui sebabnya.
Para ulama telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskan mengenai
keadilan dan kedlabitan para perawi, yang diambil dari para imam mu'addil
(at-ta'dil). Selain itu juga disusun berbagai kitab yang menjelaskan cacatnya
aspek keadilan sebagian perawi (al-jarh). Sebagian dari nama-nama
kitabnya ialah Tarikh al-Kabir karya Bukhari, Al-Jarhu wa at-Ta'dil karya
Ibnu Abi Hatim, Ats-Tsiqaat karya Ibnu Hibban dan sejumlah kitab-kitab
lainnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abu Syahbah, Muhammad, al-Wasith fi ‘Ulum wa Mushthalah al-Hadis Jami`at


Umm alQura: `Alam al-Ma`rifah, tth.
Al-Khatib, Ajaz, Ulum al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuhu, Damaskus: Dar al-
Fikr, 1975.
At- Thahan, Mahmud, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis”, Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1995
Fuad, Abu, Ilmu Hadis Praktik: Terjemahan Taisir Mushthalah al-hadis, Bogor:
Thariqul Izzah, 2010.
Hasbi Ash Shiddieqy, Muhammad, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadis, Semarang:
PT. Pustaka riski Putra, 1997.
Imron, Ali, Dasar-dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil, Junal Studi Islam, Vol.2, No. 2,
2017.
Manna Al-Qaththan, Syaikh, Pengantar Studi lmu Hadis, Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar, 2005.
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir,
1997.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul-Hadis, Cet. Ke-1, Bandung: PT Al-
Ma`arif, 1974.
Suparta, Munzier, “Ilmu Hadis”, Jakarta: PT Raja Grafindo, Persada.

15

Anda mungkin juga menyukai