2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Oleh karena itu, saya
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
seluruh pembaca.
Dalam membuat makalah ini saya menemukan materi tentang Pembagian Ilmu Hadits dan
Cabang-cabangnya, maka ini adalah hal yang saya dapat petik.
2. Apa saja pembagian ilmu hadits dan apa definisi masing-masing bagian?
3. Apa saja cabang-cabang ilmu hadits dan apa definisi masing-masing bagian?
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam hal ini, hadits yang pertama dicabut oleh hadits yang kedua.
Hadits yang kedua menggantikan hadits yang pertama sehingga hukum
puasa pada hari Asyura berubah dari wajib menjadi sunnah. Oleh karena itu,
hadits yang kedua menjadi nasikh dan hadits yang pertama menjadi
mansukh.
Para ulama hadits mempelajari hadits-hadits yang berkaitan dengan
ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh untuk memahami perubahan hukum atau
perintah yang terdapat dalam Al-Quran dan hadits. Dengan memahami ilmu
an-Nasikh wa al-Mansukh, para ulama dapat memberikan penafsiran yang
tepat terhadap ayat atau hadits yang dicabut atau mencabut.
Contohnya yang lain yaitu hadits tentang shalat sunnah sebelum dan
sesudah shalat wajib. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa
Rasulullah SAW melaksanakan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat
wajib, namun ada pula riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW
tidak melaksanakan shalat sunnah tersebut.
Dalam hal ini, para ulama hadits menggunakan ilmu an-Nasikh wa al-
Mansukh untuk memahami perbedaan antara riwayat-riwayat tersebut.
Mereka menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa
Rasulullah SAW melaksanakan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat
wajib merupakan ayat yang menggantikan, sementara riwayat yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW tidak melaksanakan shalat sunnah
tersebut merupakan ayat yang digantikan.
Dalam hal ini, para ulama hadits menggunakan kaidah-kaidah ilmu an-
Nasikh wa al-Mansukh untuk menyelesaikan perbedaan antara riwayat-
riwayat tersebut dan menghasilkan pemahaman yang lebih akurat mengenai
praktik shalat Rasulullah SAW.
6. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits adalah disiplin ilmu hadis yang
mempelajari sebab atau kejadian yang menyebabkan atau memunculkan
suatu hadis. Asbab al-Wurud mengacu pada sebab-sebab yang
melatarbelakangi penyampaian atau kejadian suatu hadis oleh Nabi
Muhammad SAW.
Asbab al-Wurud al-Hadits ini penting untuk dipelajari karena dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap konteks dan situasi
ketika hadis tersebut disampaikan, serta dapat membantu menentukan
kredibilitas suatu hadis. Dalam mempelajari Asbab al-Wurud, dibutuhkan
kajian terhadap konteks sejarah, sosial, dan budaya pada masa Rasulullah
SAW dan para sahabat (Al-Asqalani, 2003).
Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits juga dikenal sebagai "sebab-sebab
munculnya hadits", ilmu yang mempelajari sebab atau konteks di balik
hadits yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW atau para sahabatnya.
Tujuan utama Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits adalah untuk memahami
hadits dengan lebih baik dan untuk menentukan apakah hadits tersebut
bersifat mutawatir (diterima secara luas) atau ahad (tidak diterima secara
luas).
Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits juga membantu kita memahami tujuan
dari hadits, dan konteks di balik kata-kata Nabi atau sahabat. Ini dapat
membantu kita dalam menafsirkan hadits dan mengaplikasikan ajarannya
dalam kehidupan sehari-hari (Taimiyah, 2010).
Contoh dari Ilmu Asbab Wurud al-Hadits adalah sebagai berikut:
a. Hadits tentang larangan makan dengan tangan kiri: Sebab
munculnya hadits ini adalah karena pada masa Nabi Muhammad
SAW, banyak orang yang makan dengan tangan kiri, yang dianggap
kurang sopan dan tidak baik. Oleh karena itu, Nabi Muhammad
SAW memberikan larangan untuk makan dengan tangan kiri dan
menekankan pentingnya makan dengan tangan kanan.
b. Hadits tentang wudhu: Sebab munculnya hadits ini adalah karena
pada masa Nabi Muhammad SAW, banyak orang yang tidak
mengetahui tata cara wudhu yang benar. Oleh karena itu, Nabi
Muhammad SAW memberikan penjelasan tentang tata cara wudhu
yang benar, sehingga umat Islam dapat melaksanakannya dengan
benar.
c. Hadits tentang shalat Jumat: Sebab munculnya hadits ini adalah
karena pada masa Nabi Muhammad SAW, umat Islam belum
mengetahui tata cara pelaksanaan shalat Jumat dengan benar. Oleh
karena itu, Nabi Muhammad SAW memberikan tuntunan tentang
tata cara pelaksanaan shalat Jumat yang benar, sehingga umat Islam
dapat melaksanakannya dengan baik.
7. Ilmu Gharib al-Hadits
Ilmu Gharib al-Hadits adalah cabang ilmu Hadits yang berkaitan dengan
mempelajari kata-kata dan frasa yang tidak umum atau jarang digunakan
dalam Hadits. Istilah "Gharib" dalam bahasa Arab berarti asing, tidak biasa,
atau jarang digunakan. Oleh karena itu, ilmu Gharib al-Hadits berfokus pada
memahami makna dan penggunaan kata-kata atau frasa yang jarang
digunakan dalam Hadits (Al-Utsaimin, 2012).
Contoh dari Ilmu Gharib al-Hadits adalah sebagai berikut:
1. Hadits tentang "Shalat Dhuha empat rakaat" yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dan Ahmad. Dalam hadits ini, terdapat redaksi yang tidak
lazim, yaitu "Shalat Dhuha empat rakaat, itu cukup bagi kalian sepertiga
dari shalat malam."
( فمن شاء فليكف من الليل ثلثه،ً)صالة الضحى أربعا.
Kata "sepertiga dari shalat malam" dalam hadits ini agak aneh karena
shalat malam tidak selalu memiliki jumlah rakaat yang tetap. Oleh
karena itu, para ulama hadits mengkaji hadits ini dengan Ilmu Gharib al-
Hadits untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya.
2. Hadits tentang "Dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging" yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini memuat redaksi
yang tidak biasa, yaitu "Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat
segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuh akan baik, dan jika
buruk maka seluruh tubuh akan buruk. Ketahuilah, segumpal daging itu
adalah hati."
( أال وهي القلب، وإذا فسدت فسد الجسد كله، إذا صلحت صلح الجسد كله،)إن في الجسد مضغة
Para ahli hadits mengkaji hadits ini dengan Ilmu Gharib al-Hadits karena
redaksi "segumpal daging" yang terdapat dalam hadits tersebut tidak
lazim dalam bahasa Arab.
3. Hadits tentang "Pemandian mayat" yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Dalam hadits ini terdapat redaksi yang tidak lazim, yaitu "Jika seseorang
mandi jenazah dan dia tidak memperoleh sakit kulit atau matanya tidak
menjadi kabur, maka jaminan syurga untuknya."
( فضمن له الجنة،)من غسل الميت ولم يصب جلده بأذى وال غمزت عيناه.
Redaksi "matanya tidak menjadi kabur" dalam hadits ini tidak biasa,
sehingga para ulama hadits mempelajari hadits ini dengan Ilmu Gharib
al-Hadits untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya.
8. Ilmu at-Tashhif wa at-Tahrif
Ilmu at-Tashhif wa at-Tahrif adalah cabang ilmu hadits yang
mempelajari tentang perubahan dan distorsi teks-teks haditss yang terjadi
selamaproses transmisi dari masa ke masa. Secara harfiah, at-Tashhif berarti
perbaikan dan at-Tahrif b erarti distorsi atau perubahan (Al-Qaradawi,
2005)
Contoh dari Ilmu at-Tashhif wa at-Tahrif adalah sebagai berikut:
Perubahan dalam nama: Misalnya, dalam beberapa riwayat hadits, nama
sahabat Abdullah bin Mas'ud diganti menjadi Abdullah bin Umar. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kesalahan dalam mentransmisikan hadits dari satu
generasi ke generasi lainnya.
Perubahan dalam urutan kata-kata: Beberapa riwayat hadits mungkin
mengalami perubahan dalam urutan kata-kata, yang dapat mengubah makna
hadits secara keseluruhan. Ini mungkin terjadi karena terjemahan yang tidak
akurat atau karena kesalahan dalam penghapalan atau penulisan.
Penambahan atau pengurangan kata-kata: Beberapa riwayat hadits
mungkin mengalami penambahan atau pengurangan kata-kata, yang juga
dapat mempengaruhi makna hadits. Ini bisa terjadi karena salah satu perawi
ingin menjelaskan hadits lebih rinci atau karena terjadi kesalahan dalam
mentransmisikan hadits.
Dalam ilmu hadits, terdapat metode-metode untuk memeriksa
keabsahan dan keandalan hadits, termasuk metode perbandingan antara
riwayat hadits dan metode analisis sanad (rantai transmisi) hadits. Dengan
menggunakan metode-metode ini, para ulama hadits dapat menentukan
keabsahan dan keandalan hadits serta memperbaiki perbedaan-perbedaan
yang terjadi dalam narasi hadits.
9. Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Ilmu Mukhtalif al-Hadits adalah cabang ilmu hadits yang berfokus pada
perbedaan redaksi dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi
atau perbedaan dalam matan dan sanad hadits yang serupa atau sejenis.
Dalam konteks ini, kata "mukhtalif" berarti "berbeda". Tujuan dari ilmu ini
adalah untuk memahami mengapa perbedaan hadits terjadi dan bagaimana
memecahkan perbedaan tersebut. Ilmu Mukhtalif al-Hadits melibatkan
analisis kritis terhadap berbagai versi hadits yang ada dan penentuan
keabsahan atau kebenaran masing-masing versi hadits tersebut (Wahab,
2013).
Contoh dari Ilmu Mukhtalif al-Hadits:
Contoh 1:
Perawi A meriwayatkan sebuah hadits dengan lafazh "Aku pernah
mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda...", sedangkan
perawi B meriwayatkan hadits yang sama dengan lafazh "Aku pernah
melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda...". Di sini, Ilmu
Mukhtalif al-Hadits akan mempelajari perbedaan lafazh dalam kedua
riwayat tersebut dan mencari tahu mana yang lebih tepat atau lebih dekat
dengan makna hadits yang sebenarnya.
Contoh 2:
Perawi A meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad (rantai perawi)
yang berbeda dengan perawi B. Dalam hal ini, Ilmu Mukhtalif al-Hadits
akan mempelajari perbedaan dalam sanad tersebut, termasuk kualitas
perawi dan keakuratan transmisi hadits dari satu perawi ke perawi
berikutnya.
Contoh 3:
Perawi A meriwayatkan sebuah hadits yang lebih panjang daripada
perawi B. Ilmu Mukhtalif al-Hadits akan mempelajari perbedaan antara
kedua riwayat tersebut, mencari tahu apakah ada bagian yang mungkin
dihilangkan atau ditambahkan pada salah satu riwayat dan apakah
perbedaan ini mempengaruhi makna hadits.
Dalam kesimpulannya, Ilmu Mukhtalif al-Hadits membahas perbedaan
dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang berbeda
dengan tujuan untuk mencari tahu keakuratan dan kebenaran hadits-hadits
tersebut serta memahami makna hadits yang sebenarnya.
Daftar Pustaka
al-Asqalani, a.-H. I. (2006). Al-Taqrib wa al-Taysir fi Ilm al-Riwayah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Al-Asqalani, I. H. (2003). Fath al-Bari. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Alawi, A. (2004). Studi tentang Ilmu Jarh wa Ta'dil: Analisis Kitab Al-Istiqraa fi Marifati Al-Aththar
al-Musalsalah min Al-Ahadits Al-Mashhurah karya Ali bin Abdullah Al-Madeeni.
Yogyakarta: Pustaka Pengajar.
al-Faruqi, A. S. (2006). Ma'rifah al-Rijal. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Masri, M. T. (2005). Al-Nasikh wa Al-Mansukh fi Al-Hadits Al-Sharif. Cairo: Dar al-Ma'arif.
al-Munajjid, S. (2015). Ilmu Hadits: Teori dan Praktik. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Al-Qaradawi, Y. (2005). Manhaj al-Tarjih fi al-Sunnah wa al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qaradhawi, Y. (2013). Dirasah al-Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Utsaimin, M. b. (2012). Tafsir Hadits Gharib wa Maqbul. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i.
Qodir, M. A. (2011). Metodologi Penelitian Hadits Dirayah. Pustaka Ibnu Katsir.
Qodir, M. A. (2015). Relevansi Penggunaan Ilmu Ushulul Hadits dalam Pemahaman Hadits. Jurnal
Studi Islam, Vol. 11 No. 1, 24-48.
Suparta, M. (2014). Ilmu Hadits. Jakarta: Rajawali Pers.
Taimiyah, I. (2010). Kitab al-Ilmu. Bandung: Pustaka Imam Asy-Syafi'i.
Thahhan, M. (2016). Ulumul Hadits : Studi Kompleksitas Hadits Nabi. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Wahab, A. (2013). Ilmu Hadits : Teori dan Metodologi Penelitiannya. Jakarta: Prenada Media.
Zahrah, M. A. (1958). Usul al-Tafsir. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi.
Zainuddin, A. (2015). Metodologi Ilmu Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.