Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PEMBAGIAN ILMU HADITS DAN CABANG-CABANGNYA

Dosen Pengampu: Bapak Dr. Syakir Jamaluddin, S.Ag., M.A.

KELAS EKONOMI SYARIAH A

Hafiz Shidqi (20220730012)

FAKULTAS AGAMA ISLAM PRODI EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH Yogyakarta

2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuhu


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu,dan tak lupa juga shalawat kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan Syafaatnya di akhirat nanti,
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas individu mata kuliah Ulumul Hadits.

Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Oleh karena itu, saya
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
seluruh pembaca.

Dalam membuat makalah ini saya menemukan materi tentang Pembagian Ilmu Hadits dan
Cabang-cabangnya, maka ini adalah hal yang saya dapat petik.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari ulumul hadits?

2. Apa saja pembagian ilmu hadits dan apa definisi masing-masing bagian?

3. Apa saja cabang-cabang ilmu hadits dan apa definisi masing-masing bagian?

4. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadits dan cabang-cabangnya?

5. Mengapa penting untuk mempelajari cabang-cabang ilmu hadits?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ulumul Hadits


Ilmu hadits (ulum al hadits) terdiri dari dua kata, yaitu (‘ulum) dan al hadits.
Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, yang berarti “ilmu-ilmu”,
sedangkan al hadits di kalangan ulama’ hadits berarti “segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW baik dari perbuatan, perkataan, taqrir, atau sifat.”
Dengan demikian, gabungan kata ‘ulum al hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu
yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi Muhammad SAW” (Thahhan,
2016).
Sedangkan definisi ‘ulumul hadits menurut Mahmud Thahhan adalah ilmu yang
membahas tentang pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk
mengetahui keadaan-keadaan sanad dan matan suatu hadits dari segi diterima dan
ditolak (Thahhan, 2016).
B. Pembagian Ilmu Hadits dan Definisi Masing-masing Bagian
Secara garis besar ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits
riwayat (riwayah) dan ilmu hadits dirayat (dirayah).
1. Ilmu Hadits Riwayah
Adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang mengkhabarkan
sabda-sabda nabi SAW, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau
benarkan, sifat-sifat beliau sendiri (Thahhan, 2016).
Objek ilmu Hadits Riwayah adalah bagaimana cara menerima,
menyampaikan kepada orang lain, memindahkan atau mendewankan.
Dalam menyampaikan atau membukukan hadits hanya disebutkan apa
adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya, ilmu ini tidak
membicarakan tentang syadz (kejanggalan) atau ‘ilat (kecacatan) matan
hadits, dan juga tidak membahas kualitas perawi baik dalam keadilan,
kedzabitan maupu kefasikan nya.
Adapun faedah mempelajari ilmu Hadits Riwayah adalah untuk
menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama,
yaitu Nabi SAW (Suparta, 2014).
2. Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah adalah sebuah penelitian terhadap para perawi
hadits dan keadaan mereka yang meriwayatkan hadits, begitu juga halnya
dengan sanad dan matannya. Ilmu ini biasa juga disebut Ilmu Musthalah Al-
Hadits, Ilmu Ushul Al Hadits, Ulum Al Hadits, dan Qawa'id Al Hadits.
Al-Tirmidzi mendefinisikan ilmu ini dengan: “Undang-undang atau
kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima
dan meriwayatkan sifat-sifat perawi.”
Menurut Ibnu Al-Akfani, definisi ilmu hadits dirayah adalah: “Ilmu
pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-
macam, dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para
perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan
segala yang berkaitan dengannya.”
Yang dimaksud dengan:
a. Hakikat periwayatan adalah penukilan hadits dan penyandarannya
kepada sumber hadits atau sumber berita.
b. Syarat-syarat periwayatan adalah penerimaan perawi terhadap hadits
yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan, seperti
melalui Al-Sima' (pendengaran), Al-Qiro'ah (pembacaan), Al-Washiyah
(berwasiyat), Al-Ijazah (pemberian izin dari perawi).
c. Macam-macam periwayatan adalah pembicaraan sekitar bersambung
dan terputusnya periwayatan, dll.
d. Hukum-hukum periwayatan adalah pembicaraan sekitar diterima atau
ditolaknya suatu hadits.
e. Keadaan para perawi adalah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan
para perawi dan syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan
hadits.
f. Macam-macam hadits yang diriwayatkan meliputi hadits-hadits yang
dapat dihimpun pada kitab-kitab tashnif, kitab tasnid, dan kitab mu’jam
(Suparta, 2014).
Objek pembahasan ilmu Hadits Dirayah adalah keadaan para perawi dan
marwinya. Keadaan para perawi, baik yang menyangkut pribadinya, seperti
akhlak, tabiat, dan keadaan hafalannya, maupun yang menyangkut
persambungan dan terputusnya sanad. Sedang keadaan marwi, adalah dari
sudut keshohihhan atau kedhoifannya.
Dengan mempelajari ilmu hadits dirayah ini, faedah yang diperoleh
adalah
1. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits
dari masa kemasa sejak masa rosul saw sampai sekarang
2. Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka
lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
3. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam
mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4. Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kreteria-kriteria hadits
sebagai pedoman dalam beristimbat.
Dari beberapa faedah diatas dapat disimpulkan faedah yang
mempelajari ilmu hadits dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah
hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud( ditolak), baik dilihat dari
sudut sanad maupun matannya.
C. Cabang-cabang Ilmu Hadits dan Definisi Masing-masing Bagian
Cabang-cabang ilmu hadits adalah sebagai berikut:
1. Ilmu Jarh wa Ta'dil (Kritik dan Sanad)
Ilmu Jarh wa Ta'dil adalah ilmu yang mempelajari tentang para perawi
hadits, terutama dari segi keabsahan, kekuatan, dan kelemahan mereka.
Ilmu ini membahas tentang kualitas sanad (rantai perawi) dan periwayat
(rawi) hadits (Zahrah, 1958).
Ilmu Jarh wa Ta'dil adalah cabang ilmu hadits yang membahas tentang
validitas atau keabsahan perawi hadits dalam menjalankan tugasnya sebagai
pengumpul, penyebar, dan pewaris hadits. Istilah Jarh dalam ilmu ini berarti
kritik, sedangkan Ta'dil berarti pujian.
Penilaian terhadap perawi hadits dapat dilakukan dengan
memperhatikan riwayat hidupnya, kepercayaan, ketaatan, serta ketelitian
dalam meriwayatkan hadits. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa
hadits yang diterima dan disebarkan merupakan hadits yang benar-benar
berasal dari Nabi Muhammad SAW dan tidak tercemar oleh pemalsuan atau
kecacatan dalam sanadnya (Alawi, 2004).
Berikut adalah contoh dari ilmu Jarh wa Ta'dil:
Contoh pertama adalah kisah tentang perawi hadis yang bernama Abu
Hurairah. Abu Hurairah adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW
yang banyak meriwayatkan hadis. Namun, ada beberapa kritik yang
dilontarkan terhadapnya oleh para ulama ahli hadis, seperti Al-Bukhari dan
Muslim. Mereka menyatakan bahwa Abu Hurairah memiliki memorinya
yang lemah dan sering membuat kesalahan dalam meriwayatkan hadis.
Namun, kritik ini tidak berarti bahwa semua hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah tidak dapat dipercaya, karena masih ada banyak hadis yang
diakui keasliannya.
Contoh kedua adalah kisah tentang perawi hadis yang bernama Ibn Abi
Hatim. Ibn Abi Hatim adalah seorang ahli hadis terkenal pada masanya,
namun ia juga dikritik oleh beberapa ulama ahli hadis karena terkadang ia
meriwayatkan hadis dari seseorang yang tidak dikenal dan tidak memiliki
kualifikasi sebagai perawi hadis yang dapat dipercaya. Oleh karena itu, Ibn
Abi Hatim dianggap kurang bisa dipercaya dalam beberapa hal, tetapi masih
diakui sebagai seorang ahli hadis yang memiliki kontribusi yang berharga
dalam dunia keilmuan Islam.

Dalam kedua contoh ini, ilmu Jarh wa Ta'dil digunakan untuk


mengevaluasi kualitas perawi hadis dan untuk menentukan apakah hadis
yang diriwayatkan oleh mereka dapat dipercaya atau tidak. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya ilmu Jarh wa Ta'dil dalam memastikan
keaslian dan keandalan hadis dalam tradisi Islam.

2. Ilmu Ma'rifah al-Rijal/Rijalil Hadits (Studi Biografi Perawi)


Ilmu Ma'rifah al-Rijal adalah ilmu yang mempelajari tentang biografi
para perawi hadits. Ilmu ini membahas tentang pengetahuan tentang
kehidupan para perawi, baik dari segi agama, moral, sosial, maupun politik
(al-Faruqi, 2006).
Ilmu Rijalil Hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang para perawi
hadits atau narator hadits, serta mengevaluasi kualitas mereka dalam rangka
memahami keaslian suatu hadits. Sehingga, ilmu ini sangat penting dalam
menilai keabsahan suatu hadits, apakah hadits tersebut shahih (terpercaya)
atau lemah (tidak dapat dipercaya) (Al-Qaradhawi, 2013).
Berikut adalah beberapa contoh dari Ilmu Ma'rifat al-Rijal atau Rijalil
Hadits:
a. Imam Bukhari dalam Sahih Bukhari menggunakan Ilmu Ma'rifat al-
Rijal untuk mengevaluasi kredibilitas perawi hadits. Dia hanya
memasukkan hadits yang berasal dari perawi yang dapat dipercaya,
dan memeriksa riwayat kehidupan mereka, pemikiran, karakter, dan
kebiasaan mereka.
b. Imam Muslim dalam Sahih Muslim juga menggunakan Ilmu
Ma'rifat al-Rijal untuk mengevaluasi hadits. Dia hanya mengambil
hadits dari perawi-perawi yang memiliki reputasi baik dan dapat
dipercaya dalam menuliskan hadits.
c. Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, seorang ahli hadits dan penulis
Kitab Fath al-Bari, juga menggunakan Ilmu Ma'rifat al-Rijal dalam
mengevaluasi kredibilitas perawi hadits. Dia memeriksa biografi
perawi, hubungan mereka dengan para ulama, dan menilai kualitas
sanad hadits.
d. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri Madzhab Ahlul Hadits, juga
mengandalkan Ilmu Ma'rifat al-Rijal dalam menilai hadits. Dia
hanya menerima hadits dari perawi-perawi yang dapat dipercaya dan
memeriksa biografi mereka dengan hati-hati.

Dalam kesimpulannya, Ilmu Ma'rifat al-Rijal atau Rijalil Hadits adalah


salah satu cabang ilmu hadits yang penting untuk mengevaluasi kredibilitas
perawi hadits dan kebenaran hadits itu sendiri. Para ulama hadits
menggunakan ilmu ini sebagai dasar dalam menyaring hadits yang sahih
dan memastikan bahwa sumber-sumber hadits yang mereka gunakan adalah
dapat dipercaya.

3. Ilmu Tarikh ar-Ruwah (Sejarah Periwayat)


Ilmu tarikh ar-ruwah adalah cabang ilmu hadits yang berfokus pada
penelitian tentang riwayat-riwayat perawi hadits (ruwah) yang terkait
dengan sejarah hidup mereka. Ilmu ini mempelajari data-data personal,
sosial, politik, ekonomi, dan budaya dari perawi hadits guna memahami
konteks sosial-historis yang mempengaruhi pengumpulan, penulisan, dan
penyebaran hadits (al-Asqalani, 2006).
Salah satu contoh dari ilmu tarikh ar-ruwah dalam ilmu hadits adalah
ketika para ahli hadits menilai periwayat hadits berdasarkan kejujuran dan
keandalannya. Sebagai contoh, dalam kitab Shahih al-Bukhari, terdapat
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Abu Hurairah adalah
seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang sangat terkenal dan sering
meriwayatkan hadits-hadits dari Nabi Muhammad SAW. Namun, beberapa
periwayat lain yang juga meriwayatkan hadits yang sama, tidak dianggap
sebagi sumber yang dapat dipercaya karena mereka memiliki reputasi yang
buruk atau kurang jujur dalam meriwayatkan hadits tersebut.
Oleh karena itu, ketika seorang ahli hadits menilai kualitas suatu hadits,
dia akan memperhitungkan bukan hanya isi hadits itu sendiri, tetapi juga
riwayat para periwayatnya. Misalnya, apakah periwayat tersebut memiliki
reputasi yang baik dalam meriwayatkan hadits, apakah mereka mengingat
dengan baik, apakah mereka mengambil hadits dari sumber yang andal, dan
apakah mereka memiliki keyakinan dan integritas yang cukup untuk
menjadi sumber yang dapat dipercaya.
Dalam beberapa kasus, ahli hadits bahkan dapat menolak sebuah hadits
yang tampaknya sahih jika sumbernya tidak dapat dipercaya. Dalam hal ini,
ilmu tarikh ar-ruwah menjadi sangat penting dalam menjaga integritas dan
kualitas hadits sebagai sumber ajaran Islam.
4. Ilmu ‘Ilal al-Hadits
Ilmu 'Ilal al-Hadits adalah cabang ilmu hadits yang mempelajari
penyebab atau faktor-faktor terjadinya perubahan pada sanad (rantai
periwayatan) atau matan (teks) hadits. Seperti menyebut hadits yang
sanadnya tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai hadits yang
sampai kepada Nabi Muhammad SAW, atau memasukkan hadits ke dalam
hadits lain. Dalam kajian ilmu hadits, 'Ilal al-Hadits sangat penting untuk
menentukan kualitas suatu hadits, apakah sahih, hasan, atau dhaif. Ilmu 'Ilal
al-Hadits juga membahas tentang kelemahan-kelemahan dalam sanad dan
matan hadits (al-Munajjid, 2015).
Contoh dari ilmu 'Ilal al-Hadits adalah sebagai berikut:
Misalnya, terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi
yang bernama Fulan bin Fulan. Dalam penelitian 'Ilal al-Hadits, ditemukan
bahwa Fulan bin Fulan pernah melakukan kesalahan dalam riwayat hadits,
seperti ia pernah lupa pada saat meriwayatkan hadits atau ia pernah
meriwayatkan hadits dari seorang perawi yang tidak terpercaya. Dalam hal
ini, maka hadits yang diriwayatkan oleh Fulan bin Fulan tersebut harus
dihindari karena hadits tersebut tidak dapat diandalkan kebenarannya.
Selain itu, contoh lain dari Ilmu 'Ilal al-Hadits adalah ketika terdapat
sebuah hadits yang berbeda dengan riwayat hadits yang lain dalam sanad
atau matan, maka penelitian 'Ilal al-Hadits dapat menentukan mana riwayat
hadits yang lebih sahih dan dapat dijadikan acuan.
Dalam penelitian 'Ilal al-Hadits juga dapat ditemukan faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kualitas suatu hadits, seperti keadaan perawi saat
meriwayatkan hadits, lingkungan saat meriwayatkan hadits, atau keadaan
tulisan hadits tersebut.
Dengan demikian, Ilmu 'Ilal al-Hadits sangat penting dalam menentukan
kualitas suatu hadits dan memahami secara lebih mendalam mengenai
kebenaran hadits yang diriwayatkan oleh para perawi.
5. Ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh
Ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh adalah cabang ilmu hadits yang
membahas tentang hadits-hadits yang dicabut (mansukh) dan yang
mencabut (nasikh). Dalam konteks ini, nasikh adalah hadits yang berisi
hukum atau perintah yang menggantikan hukum atau perintah yang terdapat
pada ayat atau hadits yang dicabut (mansukh) (Al-Masri, 2005).
Contoh dari ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh dalam ilmu hadits adalah
hadits tentang puasa Asyura. Terdapat dua hadits yang berkaitan dengan
puasa Asyura, yaitu hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw.
memerintahkan umat Islam untuk berpuasa pada hari Asyura, dan hadits
yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. memerintahkan umat Islam
untuk berpuasa pada hari Asyura dan satu hari sebelumnya atau satu hari
setelahnya.

Dalam hal ini, hadits yang pertama dicabut oleh hadits yang kedua.
Hadits yang kedua menggantikan hadits yang pertama sehingga hukum
puasa pada hari Asyura berubah dari wajib menjadi sunnah. Oleh karena itu,
hadits yang kedua menjadi nasikh dan hadits yang pertama menjadi
mansukh.
Para ulama hadits mempelajari hadits-hadits yang berkaitan dengan
ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh untuk memahami perubahan hukum atau
perintah yang terdapat dalam Al-Quran dan hadits. Dengan memahami ilmu
an-Nasikh wa al-Mansukh, para ulama dapat memberikan penafsiran yang
tepat terhadap ayat atau hadits yang dicabut atau mencabut.
Contohnya yang lain yaitu hadits tentang shalat sunnah sebelum dan
sesudah shalat wajib. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa
Rasulullah SAW melaksanakan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat
wajib, namun ada pula riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW
tidak melaksanakan shalat sunnah tersebut.

Dalam hal ini, para ulama hadits menggunakan ilmu an-Nasikh wa al-
Mansukh untuk memahami perbedaan antara riwayat-riwayat tersebut.
Mereka menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa
Rasulullah SAW melaksanakan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat
wajib merupakan ayat yang menggantikan, sementara riwayat yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW tidak melaksanakan shalat sunnah
tersebut merupakan ayat yang digantikan.

Dalam hal ini, para ulama hadits menggunakan kaidah-kaidah ilmu an-
Nasikh wa al-Mansukh untuk menyelesaikan perbedaan antara riwayat-
riwayat tersebut dan menghasilkan pemahaman yang lebih akurat mengenai
praktik shalat Rasulullah SAW.
6. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits adalah disiplin ilmu hadis yang
mempelajari sebab atau kejadian yang menyebabkan atau memunculkan
suatu hadis. Asbab al-Wurud mengacu pada sebab-sebab yang
melatarbelakangi penyampaian atau kejadian suatu hadis oleh Nabi
Muhammad SAW.
Asbab al-Wurud al-Hadits ini penting untuk dipelajari karena dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap konteks dan situasi
ketika hadis tersebut disampaikan, serta dapat membantu menentukan
kredibilitas suatu hadis. Dalam mempelajari Asbab al-Wurud, dibutuhkan
kajian terhadap konteks sejarah, sosial, dan budaya pada masa Rasulullah
SAW dan para sahabat (Al-Asqalani, 2003).
Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits juga dikenal sebagai "sebab-sebab
munculnya hadits", ilmu yang mempelajari sebab atau konteks di balik
hadits yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW atau para sahabatnya.
Tujuan utama Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits adalah untuk memahami
hadits dengan lebih baik dan untuk menentukan apakah hadits tersebut
bersifat mutawatir (diterima secara luas) atau ahad (tidak diterima secara
luas).
Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits juga membantu kita memahami tujuan
dari hadits, dan konteks di balik kata-kata Nabi atau sahabat. Ini dapat
membantu kita dalam menafsirkan hadits dan mengaplikasikan ajarannya
dalam kehidupan sehari-hari (Taimiyah, 2010).
Contoh dari Ilmu Asbab Wurud al-Hadits adalah sebagai berikut:
a. Hadits tentang larangan makan dengan tangan kiri: Sebab
munculnya hadits ini adalah karena pada masa Nabi Muhammad
SAW, banyak orang yang makan dengan tangan kiri, yang dianggap
kurang sopan dan tidak baik. Oleh karena itu, Nabi Muhammad
SAW memberikan larangan untuk makan dengan tangan kiri dan
menekankan pentingnya makan dengan tangan kanan.
b. Hadits tentang wudhu: Sebab munculnya hadits ini adalah karena
pada masa Nabi Muhammad SAW, banyak orang yang tidak
mengetahui tata cara wudhu yang benar. Oleh karena itu, Nabi
Muhammad SAW memberikan penjelasan tentang tata cara wudhu
yang benar, sehingga umat Islam dapat melaksanakannya dengan
benar.
c. Hadits tentang shalat Jumat: Sebab munculnya hadits ini adalah
karena pada masa Nabi Muhammad SAW, umat Islam belum
mengetahui tata cara pelaksanaan shalat Jumat dengan benar. Oleh
karena itu, Nabi Muhammad SAW memberikan tuntunan tentang
tata cara pelaksanaan shalat Jumat yang benar, sehingga umat Islam
dapat melaksanakannya dengan baik.
7. Ilmu Gharib al-Hadits
Ilmu Gharib al-Hadits adalah cabang ilmu Hadits yang berkaitan dengan
mempelajari kata-kata dan frasa yang tidak umum atau jarang digunakan
dalam Hadits. Istilah "Gharib" dalam bahasa Arab berarti asing, tidak biasa,
atau jarang digunakan. Oleh karena itu, ilmu Gharib al-Hadits berfokus pada
memahami makna dan penggunaan kata-kata atau frasa yang jarang
digunakan dalam Hadits (Al-Utsaimin, 2012).
Contoh dari Ilmu Gharib al-Hadits adalah sebagai berikut:
1. Hadits tentang "Shalat Dhuha empat rakaat" yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dan Ahmad. Dalam hadits ini, terdapat redaksi yang tidak
lazim, yaitu "Shalat Dhuha empat rakaat, itu cukup bagi kalian sepertiga
dari shalat malam."
(‫ فمن شاء فليكف من الليل ثلثه‬،ً‫)صالة الضحى أربعا‬.
Kata "sepertiga dari shalat malam" dalam hadits ini agak aneh karena
shalat malam tidak selalu memiliki jumlah rakaat yang tetap. Oleh
karena itu, para ulama hadits mengkaji hadits ini dengan Ilmu Gharib al-
Hadits untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya.
2. Hadits tentang "Dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging" yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini memuat redaksi
yang tidak biasa, yaitu "Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat
segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuh akan baik, dan jika
buruk maka seluruh tubuh akan buruk. Ketahuilah, segumpal daging itu
adalah hati."
(‫ أال وهي القلب‬،‫ وإذا فسدت فسد الجسد كله‬،‫ إذا صلحت صلح الجسد كله‬،‫)إن في الجسد مضغة‬
Para ahli hadits mengkaji hadits ini dengan Ilmu Gharib al-Hadits karena
redaksi "segumpal daging" yang terdapat dalam hadits tersebut tidak
lazim dalam bahasa Arab.
3. Hadits tentang "Pemandian mayat" yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Dalam hadits ini terdapat redaksi yang tidak lazim, yaitu "Jika seseorang
mandi jenazah dan dia tidak memperoleh sakit kulit atau matanya tidak
menjadi kabur, maka jaminan syurga untuknya."
(‫ فضمن له الجنة‬،‫)من غسل الميت ولم يصب جلده بأذى وال غمزت عيناه‬.
Redaksi "matanya tidak menjadi kabur" dalam hadits ini tidak biasa,
sehingga para ulama hadits mempelajari hadits ini dengan Ilmu Gharib
al-Hadits untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya.
8. Ilmu at-Tashhif wa at-Tahrif
Ilmu at-Tashhif wa at-Tahrif adalah cabang ilmu hadits yang
mempelajari tentang perubahan dan distorsi teks-teks haditss yang terjadi
selamaproses transmisi dari masa ke masa. Secara harfiah, at-Tashhif berarti
perbaikan dan at-Tahrif b erarti distorsi atau perubahan (Al-Qaradawi,
2005)
Contoh dari Ilmu at-Tashhif wa at-Tahrif adalah sebagai berikut:
Perubahan dalam nama: Misalnya, dalam beberapa riwayat hadits, nama
sahabat Abdullah bin Mas'ud diganti menjadi Abdullah bin Umar. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kesalahan dalam mentransmisikan hadits dari satu
generasi ke generasi lainnya.
Perubahan dalam urutan kata-kata: Beberapa riwayat hadits mungkin
mengalami perubahan dalam urutan kata-kata, yang dapat mengubah makna
hadits secara keseluruhan. Ini mungkin terjadi karena terjemahan yang tidak
akurat atau karena kesalahan dalam penghapalan atau penulisan.
Penambahan atau pengurangan kata-kata: Beberapa riwayat hadits
mungkin mengalami penambahan atau pengurangan kata-kata, yang juga
dapat mempengaruhi makna hadits. Ini bisa terjadi karena salah satu perawi
ingin menjelaskan hadits lebih rinci atau karena terjadi kesalahan dalam
mentransmisikan hadits.
Dalam ilmu hadits, terdapat metode-metode untuk memeriksa
keabsahan dan keandalan hadits, termasuk metode perbandingan antara
riwayat hadits dan metode analisis sanad (rantai transmisi) hadits. Dengan
menggunakan metode-metode ini, para ulama hadits dapat menentukan
keabsahan dan keandalan hadits serta memperbaiki perbedaan-perbedaan
yang terjadi dalam narasi hadits.
9. Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Ilmu Mukhtalif al-Hadits adalah cabang ilmu hadits yang berfokus pada
perbedaan redaksi dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi
atau perbedaan dalam matan dan sanad hadits yang serupa atau sejenis.
Dalam konteks ini, kata "mukhtalif" berarti "berbeda". Tujuan dari ilmu ini
adalah untuk memahami mengapa perbedaan hadits terjadi dan bagaimana
memecahkan perbedaan tersebut. Ilmu Mukhtalif al-Hadits melibatkan
analisis kritis terhadap berbagai versi hadits yang ada dan penentuan
keabsahan atau kebenaran masing-masing versi hadits tersebut (Wahab,
2013).
Contoh dari Ilmu Mukhtalif al-Hadits:
Contoh 1:
Perawi A meriwayatkan sebuah hadits dengan lafazh "Aku pernah
mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda...", sedangkan
perawi B meriwayatkan hadits yang sama dengan lafazh "Aku pernah
melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda...". Di sini, Ilmu
Mukhtalif al-Hadits akan mempelajari perbedaan lafazh dalam kedua
riwayat tersebut dan mencari tahu mana yang lebih tepat atau lebih dekat
dengan makna hadits yang sebenarnya.
Contoh 2:
Perawi A meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad (rantai perawi)
yang berbeda dengan perawi B. Dalam hal ini, Ilmu Mukhtalif al-Hadits
akan mempelajari perbedaan dalam sanad tersebut, termasuk kualitas
perawi dan keakuratan transmisi hadits dari satu perawi ke perawi
berikutnya.
Contoh 3:
Perawi A meriwayatkan sebuah hadits yang lebih panjang daripada
perawi B. Ilmu Mukhtalif al-Hadits akan mempelajari perbedaan antara
kedua riwayat tersebut, mencari tahu apakah ada bagian yang mungkin
dihilangkan atau ditambahkan pada salah satu riwayat dan apakah
perbedaan ini mempengaruhi makna hadits.
Dalam kesimpulannya, Ilmu Mukhtalif al-Hadits membahas perbedaan
dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang berbeda
dengan tujuan untuk mencari tahu keakuratan dan kebenaran hadits-hadits
tersebut serta memahami makna hadits yang sebenarnya.

Daftar Pustaka
al-Asqalani, a.-H. I. (2006). Al-Taqrib wa al-Taysir fi Ilm al-Riwayah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Al-Asqalani, I. H. (2003). Fath al-Bari. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Alawi, A. (2004). Studi tentang Ilmu Jarh wa Ta'dil: Analisis Kitab Al-Istiqraa fi Marifati Al-Aththar
al-Musalsalah min Al-Ahadits Al-Mashhurah karya Ali bin Abdullah Al-Madeeni.
Yogyakarta: Pustaka Pengajar.
al-Faruqi, A. S. (2006). Ma'rifah al-Rijal. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Masri, M. T. (2005). Al-Nasikh wa Al-Mansukh fi Al-Hadits Al-Sharif. Cairo: Dar al-Ma'arif.
al-Munajjid, S. (2015). Ilmu Hadits: Teori dan Praktik. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Al-Qaradawi, Y. (2005). Manhaj al-Tarjih fi al-Sunnah wa al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qaradhawi, Y. (2013). Dirasah al-Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Utsaimin, M. b. (2012). Tafsir Hadits Gharib wa Maqbul. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i.
Qodir, M. A. (2011). Metodologi Penelitian Hadits Dirayah. Pustaka Ibnu Katsir.
Qodir, M. A. (2015). Relevansi Penggunaan Ilmu Ushulul Hadits dalam Pemahaman Hadits. Jurnal
Studi Islam, Vol. 11 No. 1, 24-48.
Suparta, M. (2014). Ilmu Hadits. Jakarta: Rajawali Pers.
Taimiyah, I. (2010). Kitab al-Ilmu. Bandung: Pustaka Imam Asy-Syafi'i.
Thahhan, M. (2016). Ulumul Hadits : Studi Kompleksitas Hadits Nabi. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Wahab, A. (2013). Ilmu Hadits : Teori dan Metodologi Penelitiannya. Jakarta: Prenada Media.
Zahrah, M. A. (1958). Usul al-Tafsir. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi.
Zainuddin, A. (2015). Metodologi Ilmu Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai