Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH JARH WA TA’DHIL

Dosen Pengampu : Insan Jauhari


Disusun oleh:
Mardiana oktaria (2212039)
Berta Dwi Malita (2212030)
Nabila (2212032)

FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI 1B

IAIN SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK

BANGKA BELITUNG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam konteks ini jarh adalah menampakkan, menujukan,


dan memperlihatkan kekurangan seorang perawi yang hal tersebut
dapat merusak kualitas bahkan membatalkan periwayatannya.
Sementara ta’dhil memiliki arti sebaliknya, yaitu memperkuat dan
memperteguh kekuatan perawi yang predikat tersebut berdampak
pada kualitas perawinya. Semakin baik predikat yang diberikan
kepada perawi maka semakin baik pula kualitas hadis tersebut.1
Dalam penulisan sejarah islam pada priode abad ketiga
hijriah penulisan sejarah ini tidak terlepas adri metode hadis
seperti sanad, matan, rawi, dan jarh wa tadhil. Metode ini adalah
dengan metode mempelajari sanad dan matan peristiwa sejarah
yang berpegang pada nash yang benar dan berita yang terfilter.
Yaitu dengan mengaitkan ilmu sejarah dengan salah satu cabang
ilmu hadis yang tersebut dengan ilmu jarh wa tadhil, yang
membahas biografi, sifat, akhlak dan akidah seorang rawi.2
B. Rumusan Masalah

Dalam penyusunan makalah ini, masalah yang dikaji akan


dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut ini:
1. Apa pengertian dan kegunaan jarh wa ta’dhil?
2. Apa saja lafadz lafadz yang digunakan untuk
menta’dilkan dan mentarjihkan?
3. Bagaimana faktor lahirnya jarh wa ta’dhil?
4. Apa saja tingkatan tingkatan jarh wa ta’dhil?

1
Manna Qaththan, pengantar studi ilmu hadis, Jakarta: pustaka al kautsar, 2010, hlm. 82.
2
Wahyu Iryana, Historiografi Islam, Jakarta: Kencana, 2021, hlm. 92.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kegunaan Jarh wa ta’dhil

1. Pengertian Jarh wa ta’dhil

Menurut Muhammad ajjaj al khatib ilmu jarh wa ta’dhil ialah


ilmu yang membahas perihal sifat rawi yang akan menentukan
diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkan. Karena jarh
dalam arti istilah ialah sifat yang disematkan kepada perawi
sehingga periwayatnya menjadi terputus dan tertolak, sebaliknya
makna ta’dil secara istilah ialah sifat yang diberikan kepada
perawi karena kesucian dan keadilannya sehingga periwayatan
bias diterima khatib, 2006:168).
Berikut nama nama pengkritik dari kalangan tabi’in yang
member penilaian baik itu jarh dan ta’dil para perawi, mereka
diantaranya ialah Muhammad bin Sirin, ‘Amir as Sya’abi,
syu’bah bin Hajaj, Malik bin Anas, Safyan bin ‘Aiyyinah,
Abdurahman bin Mahdi, Yahya bin mu’in, Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam Ali bin Abdullah al madani, Imam Muhammad bin
Ismail al bukhari, Abu Hatim Muhammad bin Idris ar razi, Abu
zar’ah Ubaidillah bin Abdul Kari mar razi Khatib, 2006:1tujuh1).
Syarat syarat untuk bisa memberikan penilaian terhadap keadilan
dan kecacatan seorang perawi ialah harus memiliki ilmu yang
luas, bersikap wara’, bertaqwa dan jujur, tidak memiliki sifat
fanatisme terhadap suatu golongan dan memahami sebab sebab
untuk menilai keadilan dan kecacatan para perawi
Khatib,2006:1tujuh3).3
1. Prinsip prinsip jarh wa ta’dhil
Ada tiga pandangan terkait pertentangan antara mana yang
didahulukan bila kecacatan dan keadilan terdapat didalam
seorang perawi berdasarkan penilaian pengkritik. Tiga

3
Arbain Nurdin, Studi Hadis Teori dan Aplikasi Bantul, Jawa Barat: Lembaga Ladang Kata, 2019, hlm. 67.

2
pandangan tersebut ialah Khatib, 2006: 1tjuh4 sampai
1tjuhlima):
a. Menurut pandangan jumhur ulama ialah mendahulukan jarh
daripada ta;dhil, walaupun jumlah mu’addilnya lebih banyak
daripada jaarihin.
b. Pandangan kedua berpendapat bahwa mendahulukan ta’dhil
daripada jarh apabila jumlah mu’addilnya lebih banyak
daripada jaarihin, karena banyaknya mu’addil memperkuat
kedudukan mereka.
c. Pandangan terakhir menyatakan bahwa pertentangan antara
jarh dan ta’dil akan selamanya ada, namun bisa diselesaikan
bila sudah ditemukan yang merajihkannya.
B. Lafadz-lafadz yang digunakan untuk menta’dilkan dan mentarjihkan

Dari sekian banyak nuqqad al-hadith yang telat didata oleh peneliti, tidak semua
dari mereka telah membuat maratib sighat al- jarh wa al-ta’dil, ini juga ditandai
dengan fakta bahwa formulasi maratib sighat al-jarh wa al-ta’dil itu sendiri mulai
dipopulerkan oleh Ibn Abu Hatim dalam kitabnya yang berjudul al-jarh wa al-ta’dil.
Berawal dari apa yang dilakukan oleh Ibn Abu Hatim al-Razi, kemudian nuqqad al-
hadith setelahnya mulai menyusun maratib sightal-jarh wa al-ta’dil, seperti Ibn al-
shalah (w. 643 H), al-Dzahabi (w. 748 H),dan al-Sakhawi (w. 902 H) dan lainnya. Di
bawah ini peneliti akan mencantumkan maratib sighat al-jarh wa al-ta’dil yang penulis
rangkum berdasarkan gabungan sighat al-jarh wa al-ta’dil yang masyhur digunakan
oleh nuqqad al-hadith.

Adapun tingkatan lafadz ta’dil dan jarh dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah
sebagai berikut:4

4
Rizkiyatul Imtyas, Metode Hasan bin Ali assaqaf dalam kritik hadis, Serang A-empat, 2021, hlm.47-49.

3
4
C. Faktor lahirkan jarh wata’dhil

Dari pengertian secara singkat mengenai ilmu jarh wa ta’dil yang menekankan
pada aspek sanad atau para perawinya menandakan bahwa ilmu jarh wa ta’dil ini
sudah ada sejak awal kemunculan islam. Para ulama bersikap kritis terhadap para rawi
yang meriwayatkan sebuah hadis, apakah mereka jujur atau berdusta. Oleh sebab itu,
para ulama meneliti sebuah rawi dilihat dari tinjauan kualitas dan kepribadiannya,
sehingga akan diketahui mana hadist yang dapat dijadikan sumber hukum dan mana
hadist yang cacat. Para ulama juga menganjurkan ilmu ini karena ilmu ini bisa
dikategorikan sebagai nasehat dalam agama. Dan juga dijelaskan dalan Alquran surat
Al-hujarat (49) yang menjelaskan tenatng pemilihan dalam menentukan hadist yaitu
kita dilarang mengambil hadist dari orang fasiq dan tidak tsiqot.

Adapun faktor yang melatar-belakangi munculnya ilmu jarh wa ta’dil ini bukan
hanya sikap kritis dari para ulama, akan tetapi masih banyak faktor yang lain pemicu
munculnya ilmu ini. Dilihat dari tujuan ilmu ini tak lain hanyalah sebagai menjaga
keaslian dan keutuhan sumber hukum islam yang tinggi yaitu alquran dan hadist.
Menyangkut alquran sendiri mungkin para ulama tidak perlu mendebatkannya karena
sudah diyakini bahwa alquran sudah terjaga langsung oleh allah. Namun hadist yang
merupakan sunnah sunnah nabi muhammad SAW ini lah yang menjadikan para ulama
khawatir mengenai tersampainya hadist ini ke generasi berikutnya. Faktor yang paling
utama yaitu adanya gerakan pemalsuan hadist (al-wadh’u). Sehingga para ulama
berusah untuk mencegah gerakan tersebut dengan melahirkan disiplin ilmu
diantaranya:5

(1) ilmu tentang isnad hadist,

(2) melakukan pengecekan dan validitas sebuah hadist,

(3) ilmu jarw wa ta’dil,

(4) mengklasifikasikan hadist menjadi tiga jenis: shahih, hasan, dan dhaif.

Maka dari itu, mulailah berkembang salah satu disiplin ilmu yaitu ilmu jarh wa
ta’dil dan para sahabat dan para tabi’in bersikap hati hati dalam menerima riwayat
dari para perawi, yang kurang bertanggung jawab. Perkembngan ilmu ini sudah di
mulai sejak pada zama sahabat. Pada masa sahabat banyak buku yang menjelaskan

5
Ainul Yaqin, dkk, Ilmu Jarh wa al-Ta'dil, Jawa Timur: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2018, hlm. 4.

5
tentang keadaan perawi seperti kitab Al-kamil yang menjelaskan keadaan perawi
hadist seperti ibnu Abbas (68 H), Anas ibnu Malik (93 H), dll. Pada masa ini masih
sedikit para perawi yang dinggap cacat dalam periwayatannya. Meskipun juga masih
ada kesalahan yang tidak sengaja dalam penulisan matannya. Sehingga hanya perlu
konfirmasi antar para sahabat mengenai kesalahan yang terjadi.

Seiring berkembangnya pada zaman sahabat dalam hal kritis hadist bukan hanya
terletak pada matannya saja, melainkan mulai ada pengkritisan tentang sanad
hadistnya. Pengkritikan ini dimulai akibat terjadinya al-fitnah al-kubra (bencan besar)
dengan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan juga adanya perang antara
Muawiyah dan Ali. Kejadian tersebutlah yang menyebabkan perpecahan pada umat
islam. Sehingga pada masa inilah mulai digunakan ilmu jarh wa ta’dil. Kemudia sikap
kritis ini mulai berlanjut ke masa para tabi’in dan banyak para tokoh tokoh islam yang
ahli dalam karakteristik hadist seperti Yahya bin Said al- Qattan yaitu orang yang
pertama yang menghimpun mngenai ilmu ini. Pada abad kedua hijriyah ilmu ini
masih belum dibukukan. Namun mulai tumbuh generasi yang meneruskan atau yang
ahli dalam bidangkritik hadist. Diantara mereka sudahmulai memunculkan kitab kitab
yang secara khusus membicarakan ilmu jarh wa ta’dil seperti karya imam Bukhori dll.

Adapun kitab kitab yang telah tersusun dalam ilmu jarw wa ta’dil adalah sebagai
berikut:

1. Kitab yang diklasifikasikan berdasarkan perawi perawi yang terpercaya


diantaranya :

a. Kitab Al-tsiqah karangan ibnu Hibban (351 H).

b. Kitab Al-tsiqah karangan Zainuddin Qasim Al- Hanafi (879 H).

2. Kitab yang diklasifikasikan berdasarkan perawi yang lemah diantaranya:

a. Kitab Adl Al- Dhu’afa karya imam Bhukori.

b. Kitab Al- Kamil karangan Ibn ‘Adi (365 H).

3. Kitab yang diklasifikasikan berdasarkan perawi yang terpercaya dan lemah


diantaranya:

a.Kitab Al- jarh wa At-Ta’dil karangan Ibnu Hatim Al- Razi (337 H).

6
b.Kitab At- Thabaqat Al- Kubra karangan Muhammad bin Sa’ad (235 H).

Ilmu jarh wa ta’dil berkembang pada masa sahabat hingga saat ini juga karena
takut pada apa yang pernah disabdakan nabi Muhammad SAW: “Akan ada pada
umatku yang terakhir nanti orang orang yang menceritakan hadist kepada kalian apa
yang belum pernah kalian dan juga bapak bapak kalian mendengar sebelumya. Maka
waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqoddimah Shahih
Muslim).

D. Tingkatan Tingkatan Jarh Wa Ta’Dhil

Pada perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu


derajat dari segi ke’adilan, kedhabithan, dan hafalan mereka. Diantara mereka ada
yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada
pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah, serta
ada juga yang berdusta dalam hadits, maka allah menyingkap perbuatannya ini
melalui tangan ulama yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karna itu, para ulama
menetapkan tingkatan jarh dan ta’dhil.
1. Tingkatan At Ta’dhil
• Tingkatan pertama: yang menggnakan bentuk superlative dalam penta’dilan atau
dengan menggunakan wazan “af ala”, seperti: “fulan kepadanyalah puncak
ketepatan dalam periwayatan”, atau “fulan orang yang paling tepat periwayatan
dan ucapannya”, atau “fulan orang yang sangat terpercaya”, atau “fulan orang
yang paling kuat hafalan dan ingatanya”.
• Tingkatan kedua: dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ketsiqohannya,
ke’adilan dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafazh maupun dengan
makna, seperti: “tsiqah tsiqah”, atau “tsiqah tsabt”, atau “tsiqah dan terpercaya
ma’mun)”, atau “tsiqah dan hafiizh”.
• Tingkatan ketiga: yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya
penguatan atas hal itu, seperti: tsiqah, tsabt, hujjah, mutqin.
• Tingkatan keempat: yang menunjukkan adanya ke’adilan dan kepercayaan tanpa
adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, seperti: shaduq atau jujur,
ma’mun atau dipercaya, mahalluhu ash shidg atau ia tempatnya kejujuran, la
ba’sa bihi atau tidak mengapa dengannya. Menurut selain Ibnu Ma’in, sebab
menurut Ibnu Ma’in kalimat “laa ba’sa bihi” adalah tsiqah.

7
• Tingkatan kelima: yang tidak menunjukan adanya pentsiqahan ataupun celaan,
seperti: “fulan syaikh” atau fulan seorang syaikh, “ruwiya ‘anhu al hadits” atau
orang meriwayatkan hadits darinya, dan “hasan al hadits” atau yang baik
haditsnya.
• Tingkatan keenam: isyarat yang medekati pada celaan atau jarh, seperti: shalih al
hadits atau haditsnya lumayan, “yuktabu haditsuhu” atau ditulis haditsnya.
2. Tingkatan Al Jarh
• Tingkatan pertama: yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling
rendah dalam tingkatan al jarh atau kritikan seperti: “layyin al hadits” atau lemah
hadistnya, “fihi maqaal” atau dirinya dibicarakan, “fiihi dha’fun” atau padanya
ada kelemahan.
• Tingkatan kedua: yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan
tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, seperti: “fulan tidak boleh dijadikan
hujjah”, “dhaif, “ia mempunyai hadits yang munkar”, “majhul atau tidak
diketahui kondisinya.
• Tingkatan ketiga: yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis
haditsnya, seperti: “fulan dhaif jiddan” atau dhaif sekali, “wahin marrah” atau
sangat lemah, tidak ditulis haditsnya, tidak halal periwayatannya, “laisa bisya’in
atau tidak ada apa apanya, kecuali menurut Ibnu Ma’in ungkapan “laisa bisya’in”
sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit.
• Tingkatan keempat: yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadits,
seperti: “fulan muttaham bil kadzib” atau dituduh berdusta, dituduh memalsukan
hadits, dituduh mencuri hadits, “matruk” atau yang ditinggalkan, “laisa bi tsiqah”
atau bukan orang yang terpercaya.
• Tingkatan kelima: yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya,
seperti: “kadzdzab” atau tukang pendusta, “wadhdha” atau pemalsu hadits,
“yakdzib” atau dia berbohong, “yadha” atau dia yang memalsukan hadits.
• Tingkatan keenam: yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini
seburuk buruk tingkatan, seperti: “fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia
adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.6

6
Lukman Hakim, Pengantar Ilmu Hadis, Jawa Barat: CV Jejak, 2022, hlm. 77.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
ilmu jarh wa ta’dhil ialah ilmu yang membahas perihal sifat rawi yang akan
menentukan diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkan. Karena jarh dalam arti
istilah ialah sifat yang disematkan kepada perawi sehingga periwayatnya menjadi
terputus dan tertolak, sebaliknya makna ta’dil secara istilah ialah sifat yang diberikan
kepada perawi karena kesucian dan keadilannya sehingga periwayatan bias diterima
khatib. mengenai ilmu jarh wa ta’dil yang menekankan pada aspek sanad atau para
perawinya menandakan bahwa ilmu jarh wa ta’dil ini sudah ada sejak awal
kemunculan islam. Para ulama bersikap kritis terhadap para rawi yang meriwayatkan
sebuah hadis, apakah mereka jujur atau berdusta. Oleh sebab itu, para ulama meneliti
sebuah rawi dilihat dari tinjauan kualitas dan kepribadiannya, sehingga akan diketahui
mana hadist yang dapat dijadikan sumber hukum dan mana hadist yang cacat.

9
DAFTAR PUSTAKA

Hakim Lukman. 2022. Pengantar Ilmu Hadis, Jawa Barat: CV Jejak.

Imtyas Rizkiyatul. 2021. Metode Hasan bin Ali assaqaf dalam kritik hadis, Serang A-
empat.

Iryana Wahyu. 2021. Historiografi Islam, Jakarta: Kencana.

Nurdin Arbain. 2019. Studi Hadis Teori dan Aplikasi Bantul, Jawa Barat: Lembaga
Ladang Kata.

Qaththan Manna. 2010. Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta: pustaka al kautsar.

Yaqin Ainul, dkk. 2018. Ilmu Jarh wa al-Ta'dil, Jawa Timur: UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang.

10

Anda mungkin juga menyukai